BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
DBD (Demam Berdarah Dengue)
merupakan salah satu penyakit infeksi virus yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes sp. yang dapat menimbulkan kematian (Siregar 2004). Penyakit DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%) (Siregar 2004). Sejak saat itu penyakit DBD cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan incidence rate mencapai 35,19 % per 100.000 penduduk (LITBANGKES 2004).
Reiter (2001) menyatakan bahwa iklim mempengaruhi ekologi, perkembangan, sifat hidup, daya tahan nyamuk dan dinamika penularan penyakit DBD. Unsur iklim seperti suhu, curah hujan dan kelembaban merupakan parameter iklim yang mempengaruhi penularan penyakit DBD. Selain itu Focks et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan pupa sebagai gambaran dari populasi nyamuk akan meningkatkan resiko penularan DBD, sehingga akan meningkatkan kejadian DBD.
Pada saat ini seluruh provinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit DBD salah satunya provinsi Jawa Tengah (Siregar 2004). Penelitian Balitbangkes menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan daerah endemis DBD dengan peningkatan kasus setiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan keadaan iklim Jawa Tengah yang bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 mm, dan suhu rata-rata-rata-rata 21-32oC (http://id.wikipedia.org/). Hal tersebut menyebabkan nyamuk Aedes sp. sebagai pembawa penyakit ini dapat berkembang biak di Jawa Tengah.
Vektorial capacity atau kapasitas vektor merupakan nilai laju inokulasi sporozoit beberapa hari kemudian, yang diduga dari kasus manusia yang terinfeksi saat ini, dengan mengansumsikan bahwa semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue. Potensi transmisi digambarkan dari besarnya kapasitas vektor yang dapat menularkan penyakit DBD.
Upaya penurunan kejadian DBD
memerlukan suatu perencanaan
penanggulangan dan pencegahan. Upaya tersebut dapat didukung dengan perkiraan besarnya kapasitas penularan DBD di suatu wilayah. Dengan menghitung potensi penularan pada suatu musim maka kebutuhan
sarana dan prasarana dapat dipersiapkan pada setiap musim.
1.2 Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan nilai potensi transmisi penyakit DBD dalam peta sebaran tingkat kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah berdasarkan informasi unsur iklim dan entomologi pada kondisi tahun bawah normal (BN), normal (N) dan atas normal (AN).
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan penyakit infeksi virus yang paling penting di dunia, yang penyebarannya ditularkan oleh nyamuk sebagai vektor pembawa penyakit. Penyakit ini menyerang ratusan juta manusia setiap tahunnya dan ditularkan sebagian besar oleh satu spesies nyamuk, yaitu Aedes aegypti (Hales et al. 2002). Demam tiba-tiba pada awalnya, kemudian sakit kepala berat, rasa sakit yang sangat di daerah belakang mata, rasa sakit pada seluruh otot dan sendi, mual, dan timbul bintik merah pada kulit menjadi tanda-tanda awal penyakit ini (Reiter 2001).
Demam berdarah biasanya terjadi sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Sesudah masa inkubasi virus Dengue selama 3 - 15 hari, orang yang tertular dapat menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini (http://id.wikipedia.org/) : 1. Bentuk abortif, penderita tidak
merasakan suatu gejala apapun.
2. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 - 7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah kulit. 3. Dengue Hemorrhagic Fever (Demam
Berdarah Dengue/DBD) gejalanya sama dengan Dengue klasik ditambah dengan
pendarahan dari hidung
(epistaksis/mimisan), mulut, dubur, dsb. 4. Dengue Shock Syndrome, gejalanya
sama dengan DBD ditambah dengan shock / preshock. Bentuk ini sering berujung pada kematian.
Gubler (2002) dalam Hidayati (2008) menyebutkan bahwa virus Dengue menjadi endemis di wilayah Asia sejak pertama kali terjadi pada 50 tahun pertama abad ke-20. Banyaknya tentara sekutu dan Jepang yang masuk ke dalam wilayah endemis Asia setelah
perang dunia (PD) ke II menyebabkan penyebaran virus Dengue menjadi dramatis. Material perang pada perang tersebut menyebabkan penyebaran nyamuk Aedes aegypti, sehingga terjadi epidemik diantara
pasukan kedua angkatan perang,
hiperendemik di kota-kota Asia yang disertai pula oleh peningkatan penularan multi serotipe virus Dengue. Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali ditemukan di Kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Sejak itu penyakit ini menjadi salah satu penyakit endemis di Indonesia. Selama kurun waktu 1968 sampai 1993 setiap tahun rata-rata 18.000 orang dirawat di rumah sakit dan 700-750 orang meninggal dunia karena terserang penyakit tersebut (Depkes RI 1997).
Menurut Reiter (2001), penyakit DBD meningkat dramatis dalam beberapa dekade baru-baru ini, baik dalam hal angka kejadian maupun sebaran geografisnya. Lebih dari setengah populasi dunia saat ini hidup di daerah beresiko terinfeksi. Namun saat ini belum tersedia vaksin untuk penyakit tersebut.
Gambar 1 Sebaran DBD di dunia tahun 2005 (http://id.wikipedia.org/).
2.2 Virus Dengue
Penyebab penyakit DBD adalah virus Dengue. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe virus yaitu ;
1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944,
2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944,
3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather, 4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.
Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Siregar
2004). Keempat serotipe virus tersebut termasuk dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae (http://id.wikipedia.org/) .
Gambar 2 Virus Dengue
(http://id.wikipwdia.org/). Martens (1988) menyatakan bahwa pada umumnya, virus Dengue tidak dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 12-13 0C,
sedangkan suhu minimum untuk
perkembangan virus yaitu 11.9 0C. Itu sebabnya virus Dengue ini tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia, karena berdasarkan iklim, Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis basah, dengan rata-rata suhu dan curah hujan tahunan relatif tinggi sepanjang tahun.
Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif jika di dalam tubuhnya telah membawa virus Dengue. Hanya nyamuk Aedes yang telah terinfeksi yang bisa menginfeksi manusia dengan virus Dengue. Virus Dengue membutuhkan waktu untuk berkembang biak dalam tubuh nyamuk hingga jumlahnya cukup untuk dapat menginfeksi dengan waktu inkubasi berkisar antara 3-14 hari dengan kejadian paling sering 4-7 hari.
2.3 Vektor Pembawa Virus Dengue Nyamuk merupakan vektor pembawa virus Dengue dalam penyakit DBD. Aedes aegypti merupakan kebanyakan nyamuk pembawa virus Dengue (Hales et al. 2002). Menurut Brown (1986) dalam Sebayang (1993), nyamuk Aedes diklasifikasikan menjadi sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Invertebrata
Kelas : Insekta
Sub Kelas : Pterygota
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Sub Famili : Aedes
Species : Aedes aegypti
Gambar 3 Nyamuk Aedes aegypti
(http://id.wikipedia.org/). Siregar (2004) menyatakan bahwa ukuran nyamuk Aedes aegypti dewasa lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan seperti sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00).
Aedes aegypti mempunyai kebiasan
mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah, sehingga nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau di luar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Tempat-tempat tersebut dijadikan nyamuk sebagai tempat untuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakan, sedikit di atas permukaan air. Biasanya telur menetas menjadi jentik setelah terendam air selama 2 hari yang kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Siregar 2004).
2.3.1 Siklus Hidup Aedes aegypti
Aedes aegypti mengalami metamorfosis yang sempurna melalui empat stadium, yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Air merupakan medium untuk berkembang biak
pada stadium telur, larva dan pupa, sedangkan pada stadium dewasa, nyamuk mempunyai bentuk serangga utuh yang terbang aktif mencari darah. Biasanya telur menetas menjadi jentik setelah terendam air selama 2 hari yang kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Hidayati 2008).
2.3.1.1 Stadium Telur
Menurut Depkes RI (1990), telur Aedes aegypti berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam setelah satu atau dua jam. Telur nyamuk tersebut berbentuk oval dan menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap suhu dan kelembaban. Telur tersebut tidak dapat hidup pada suhu 100 C, namun dapat tahan terhadap kekeringan. Pada suhu lingkungan sebesar 210 C, telur dapat bertahan lebih dari satu tahun, sedangkan pada suhu 23-300 C telur dapat menetas menjadi jentik nyamuk selama satu sampai tiga hari. 2.3.1.2 Stadium Larva (Jentik)
Perkembangan jentik sangat dipengaruhi oleh suhu air, kepadatan populasi dan ketersediaan makanan (Depkes RI 1990). Jentik akan berubah menjadi pupa (kepompong) dalam waktu 4-8 hari pada suhu 20 – 27 0C, dan akan mati pada suhu 10 0C dan 36 0C. Jentik Aedes aegypti secara mikroskopis dapat dikenali dari gerakannya yang cepat dan membengkok-bengkokkan tubuh. Bila disoroti cahaya atau senter jentik tersebut bersifat menghindari cahaya.
2.3.1.3 Stadium Pupa (Kepompong)
Menurut Wahyuni (2005) Pppa
(kepompong) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan rata-rata nyamuk lainnya. Kepala dan dadanya bersatu dilengkapi sepasang terompet pernafasan. Pada stadium pup, pupa tidak makan dan bila terganggu, pupa akan bergerak naik turun di dalam wadah air. Pupa akan menjadi nyamuk dewasa dalam waktu lebih kurang dua hari. Beberapa pupa dapat hidup pada suhu air 47 0C selama 5 menit dan pada suhu 4,5 0C dapat hidup selama 24 jam.
2.3.1.4 Stadium Dewasa
Waktu yang dibutuhkan pupa berubah menjadi nyamuk dewasa yaitu sekitar 1-5 hari. Setelah 24-28 jam menjadi dewasa, nyamuk akan mengalami perkawinan. Nyamuk dewasa akan memproduksi telur
50-500 butir pada pertama kali bertelur. Nyamuk dewasa akan bertelur setelah menghisap darah. Nyamuk dewasa akan mati pada suhu 6 0
C jika terpapar selama 24 jam atau pada suhu 36 0C jika terpapar terus menerus. Suhu yang baik untuk nyamuk dewasa yaitu 26 0C. Suhu, kelembaban, makanan dan reproduksi akan mempegaruhi umur nyamuk. Nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari pada suhu 10 0C dan kelembaban relatif 100% tanpa makan dan minum. Nyamuk betina mulai menghisap darah pada hari kedua atau ketiga setelah menjadi nyamuk dewasa. Umur nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari.
Gambar 4 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
(http://id.wikipedia.org/). 2.3.2 Penularan Virus Dengue
Penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit atau mengisap darah orang yang di dalam darahnya terdapat virus Dengue baik orang yang sakit ataupun tidak sakit. Selain itu juga bisa melalui keberadaan virus Dengue pada nyamuk karena terbawa telur nyamuk (transovarial). Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan virus Dengue kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik).
Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Siregar 2006). 2.3.3 Nyamuk Sebagai Vektor
Nyamuk dapat ditemukan di seluruh belahan dunia kecuali di tempat yang dingin terus menerus. Ada 3500 spesies nyamuk, yang tiga perempatnya hidup di tropis basah dan subtropis. Populasi terbesarnya terdapat di arctic tundra, dimana jumlah yang sangat besar muncul pada satu tempat perindukan setiap musim panas.
Nyamuk betina semua spesies nyamuk, mendapatkan protein yang dibutuhkan untuk perkembangan telurnya dengan cara menggigit darah vertebrata. Beberapa spesies sangat selektif, membatasi dirinya pada satu atau beberapa spesies penjamu, namun ada juga spesies tidak begitu mempermasalahkan spesies penjamu dan bahkan dapat menggantinya dengan burung, mamalia bahkan juga reptil.
Sistem sekresi air liur yang kompleks memudahkan penggigitan. Air liur yang di dalamnya mungkin terdapat virus, protozoa atau cacing nematode akan masuk ke dalam pembuluh darah ketika nyamuk menggigit. Selain itu, air liur juga akan memudahkan nyamuk menghisap darah, karena air liur berfungsi mencairkan darah yang beku (Rieter 2001).
2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penularan DBD
2.4.1 Faktor Iklim
Reiter (2001) menyatakan bahwa iklim
sangat mempengaruhi ekologi,
perkembangan, sifat hidup, daya tahan nyamuk dan dinamika penularan penyakit DBD. Unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan durasi cahaya matahari memainkan peranan yang sangat penting dalam daya tahan dan laju penularan penyakit DBD.
2.4.1.1.Curah Hujan
Salah satu faktor yang menyebabkan tersedianya habitat Aedes aegypti yaitu curah
hujan, karena curah hujan akan mengisi genangan-genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk. Kelangsungan hidup nyamuk dewasa dan nyamuk yang telah terinfeksi juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu dan
kelembaban yang kondusif untuk
kelangsungan hidup nyamuk terjadi pada musim hujan, oleh karena itu curah hujan sangat mempengaruhi tersedianya habitat Aedes aegypti (Hidayati 2008).
Menurut Aiken et al. (1980) peningkatan atau penurunan vektor DBD dalam hal jumlah dan ukuran tempat perindukan potensial dan juga populasi nyamuk disebabkan oleh curah hujan. Selain itu menurut Strickman & Kittayapong (2002), pada periode curah hujan tertinggi di Thailand, terjadi kelimpahan jentik nyamuk. Hal tersebut kemungkinan mencerminkan kebiasaaan masyarakat sekitar mengumpulkan air hujan yang tersedia dan terjadinya kelimpahan sumber air yang tak teratur.
Aiken et al. (1980) menyatakan bahwa di beberapa kawasan di Asia Tenggara, pada musim hujan terjadi kasus DBD tertinggi setiap tahunnya. Selain itu di Rangoon Malaysia, pada musim hujan terjadi kelimpahan jumlah larva Aedes aegypti per kontainer dan jumlah kepadatan nyamuk. Dilaporkan pula di beberapa daerah, peningkatan kasus DBD terjadi selama musim kemarau. Kepadatan nyamuk Aedes aegypti di Singapura tertinggi terjadi pada musim kemarau yang meningkatkan pula kasus kejadian DBD. Kejadian tersebut juga terjadi di Jakarta dan Filipina (Aiken et al. (1980)). Kelimpahan tempat perindukan terjadi ketika kondisi kekeringan mengharuskan adanya penyimpanan air di atau di sekitar tempat hunian, sehingga di beberapa daerah terjadi hubungan yang negatif antara curah hujan dengan kejadian DBD.
2.4.1.2 Suhu
Suhu udara mempengaruhi daur hidup, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk, sehingga suhu udara menjadi salah satu faktor pembatas penyebaran nyamuk (Hidayati 2008). Menurut Sehgal (1997), dinamika penularan virus Dengue cenderung dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang lebih hangat akan mengurangi ukuran jentik Aedes aegypti, vektor Dengue dan akhirnya mempengaruhi ukuran nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa yang lebih kecil harus makan lebih sering untuk perkembangan telurnya, sehingga akan menggigit lebih
sering. Selain itu perkembangan virus juga berubah dengan meningkatnya suhu. Pada suhu yang lebih tinggi, periode inkubasi ekstrinsik (EIP) akan lebih singkat, sehingga akan meningkatkan jumlah nyamuk terinfeksi. Perkembangan virus akan berjalan lambat dan nyamuk tidak akan bertahan lama apabila iklim terlalu dingin, sehingga nyamuk akan mati sebelum menjadi terinfeksi virus Dengue (Hales et al 2002).
Sutherst (2004) menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat mempercepat penularan DBD bahkan selama periode curah hujan rendah karena konteiner penyimpanan air buatan dijadikan tempat perindukan oleh Aedes aegypti.
2.4.1.3 Kelembaban Relatif (RH)
RH merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Kelembaban yang rendah akan menggangu sistem pernafasan trakea, sehingga nyamuk sangat rentan terhadap kelembaban rendah (Hidayati 2008).
2.4.1.4 Unsur Iklim Lainnya
Ketinggian tempat 0-500 meter dari permukaan laut sangat cocok untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti , dan pada ketinggian 1000 meter nyamuk ini masih bertahan hidup. Menurut Knowlton et al. (2009), kecepatan pertumbuhan populasi masyarakat kota, peningkatan meluasnya travel dan transportasi internasional dan terganggunya atau berkurangnya langkah-langkah perngontrolan nyamuk juga mempengaruhi kapan dan dimana terjadinya wabah DBD.
Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan September sampai dengan Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu musim hujan. Namun untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret sampai Agustus dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli (Siregar 2004).
2.4.2 Faktor Manusia
Menurut Reiter (2001) penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Sebagai contoh menghilangnya tempat-tempat berair di lubang-lubang pohon yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk akibat penebangan hutan. Selain itu penampungan air pada botol-botol dan drum, buket, pot dan wadah penampung air buatan
manusia lainnya yang dapat menjadi tempat dan sumber kehidupan Aedes aegypti.
Penyebaran penyakit DBD di daerah perkotaan lebih intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) menyebarkan virus Dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas penduduk di kota pada umumnya. jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan (Siregar 2001).
2.4.3 Faktor Sosial Ekonomi
Secara umum kepadatan penduduk akan mempengaruhi penularan DBD, karena kepadatan penduduk akan mempengaruhi ketersediaan makanan dan kemudahan dalam penyebaran penyakit. Selain itu faktor lainnya yang mempengaruhi penularan DBD yaitu kehidupan sosial seperti perkumpulan olahraga, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah. Kemiskinan juga menjadi salah satu fakor penularan DBD, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas sanitasi yang tidak memadai yang secara tidak langsung merupakan faktor penunjang dalam proses penyebaran penyakit menular. Faktor lainnya yaitu keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
2.5 Kapasitas Vektor dalam Menduga Potensi Transmisi (TP)
Transmission potensial (TP) atau potensi transmisi merupakan tinggi rendahnya penularan penyakit dalam kajian kapasitas vektor. Potensi transmisi dan kejadian luar biasa DBD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari epidemiologi DBD. Kejadian luar biasa didasari oleh penularan yang tinggi, oleh sebab itu mengetahui potensi penularan DBD (transmisi potensial) sangatlah penting. Menurut Munif (2007) potensi transmisi adalah nilai potensi penularan yang sedang berlangsung di suatu ekosistem, sehingga dengan mengetahui potensi transmisi, potensi dari terjangkitnya penyakit tersebut di suatu daerah bisa diketahui.
Vectorial capacity atau kapasitas vektor (VC) merupakan nilai laju inokulasi sporozoit masa yang akan datang yang diduga dari kasus manusia yang terinfeksi saat ini, dengan asumsi semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue.
Reiter (2001) menyatakan bahwa kapasitas vektor telah dikembangkan untuk meneliti ciri-ciri pokok dari penularan penyakit DBD, terutama pada konteks pengontrolan vektornya.
MacDonald (1957) dalam Garret-Jones C (1964) mengekspresikan kapasitas vektor dalam persamaan matematika berikut ini :
= −ln Dimana :
m : kepadatan nyamuk hinggap per orang per jam (ekor/orang/jam),
a : rata-rata jumlah gigitan perhari pernyamuk (perhari),
p : nilai harapan hidup harian nyamuk (perhari), dan
n : periode inkubasi ekstrinsik (hari) (waktu yang dibutuhkan virus untuk berkembang dalam tubuh nyamuk hingga nyamuk tersebut menjadi infektif (Reiter 2001)).
Berdasarkan persamaan VC diatas, diasumsikan faktor koreksi sama dengan 1, sehingga maka potensi transmisi merupakan berapa kapasitas vektor yang dapat menularkan penyakit DBD atau VC sama dengan TP.
Reiter (2001) menyatakan bahwa dalam pendekatan kapasitas vektor diatas satu-satunya faktor yang dipengaruhi langsung oleh iklim yaitu n (periode inkubasi ekstrinsik). Nilai n tersebut berhubungan langsung dengan suhu. Secara teori suhu yang tinggi akan meningkatkan penularan, karena suhu tinggi dapat mengurangi masa inkubasi ekstrinsik, sehingga aktivitas seperti menggigit dan bertelur menjadi lebih cepat (Reiter 2001).
Selain itu dalam Biteau-Coroller F (2005) kapasitas vektor diekspresikan dalam persamaan berikut :
= × × ×
− Dimana
VC : Kapasitas vektor
ma : jumlah kepadatan nyamuk
(ekor/orang/jam)
a : laju menggigit inang (perhari) p : peluang hidup nyamuk (perhari) n : siklus inkubasi ekstrinsik (hari)
V : Vector competence (%)
Pada kedua persamaan diatas, faktor yang paling berpengaruh yaitu suhu dan kepadatan penduduk, tanpa memperhitungkan
faktor-faktor lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Pada penelitian ini tidak tersedia data vector competence (V), maka persamaan yang digunakan untuk menghitung kapasitas vektor yaitu mengikuti persamaan MacDonald (1957) yang menggunakan asumsi semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue (vector competence = 100%) .
2.6 Kondisi Geografi Jawa Tengah
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 mm, dan suhu rata-rata 21-32oC. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama terdapat di Nusakambangan bagian barat, dan sepanjang Pegunungan Serayu Utara. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah bagian selatan Kabupaten Wonogiri.
Penelitian Balitbangkes menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan daerah endemis DBD dengan peningkatan kasus setiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan keadaan iklim Jawa Tengah yang bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 mm, dan suhu rata-rata-rata-rata 21-32oC (http://id.wikipedia.org/). Hal tersebut menyebabkan nyamuk Aedes sp. sebagai pembawa penyakit ini dapat berkembang biak di Jawa Tengah.
BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dan pengolahan data dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data:
a. Data suhu bulanan Jawa Tengah tahun 1960-2008 (Sumber : BMKG Pusat Kemayoran Jakarta)
b. Data curah hujan bulanan Jawa Tengah tahun 1960-2008 (Sumber : BMKG Pusat Kemayoran Jakarta)
c. Data curah hujan bulanan Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Stasiun Cuaca Halim Perdana Kusuma Jakarta)
d. Data curah hujan bulanan Mataram tahun 2009 (Sumber : BMKG Mataram ) e. Data MHD bulanan Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Penelitian Bonita Ayu Novelani Sekolah Pascasarjana IPB) f. Data MHD Mataram bulanan tahun 2009
(Sumber : Penelitian Hidayati et al. CCROM SEAP)
g. Data incidence rate (IR) penyakit DBD seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 1992-2005 (Sumber : Departemen Kesehatan RI)
h. Data kepadatan penduduk Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Timur)
i. Data kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 1992-2008 (Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah)
j. Data kepadatan penduduk Mataram tahun 2009 (Sumber : BPS Kota Mataram)
k. Peta ketinggian DEM SRTM 90x90 wilayah Jawa Tengah (Sumber: http://srtm.csi.cgiar.org).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer dengan software Ms. Office, MINITAB 14, Global Mapper dan Arc View.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penentuan Nilai Parameter-parameter Kapasitas Vektor (VC) a. Perhitungan a (frekuensi makan
nyamuk)
Nilai a menunjukkan banyaknya darah yang diambil oleh nyamuk tiap hari.
Menurut Lardeux et al. (2007), human blood index (HBI) merupakan nilai perbandingan antara jumlah nyamuk yang mengandung darah manusia dengan jumlah populasinya.
HBI Ae. aegypti hasil pengamatan
Hidayati et al. (2009) di Mataram pada musim hujan (MH) sebesar 0.33 sedangkan pada musim kemarau (MK) sebesar 0.30. Nilai tersebut diasumsikan sama untuk wilayah Jawa Tengah.