• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan. orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan. orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hak Tersangka

Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa, maka tindakan penguasa terhadap individu dan kekuasaannya harus dibatasi oleh hukum. Baik negara maupun individu adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam negara hukum kedudukan dan hubungan individu dengan negara harus seimbang, kedua-duanya memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi hukum. Sudargo Gautama mengatakan, bahwa untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah syarat yang mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. (Sudargo Gautama, 1983 : 16).

1) Hak tersangka dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

a) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

b) Penegasan adanya asas praduga tak bersalah (Presumption of Innounce), tercantum di dalam Pasal 8 ayat (1) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(2)

c) Asas sidang terbuka untuk umum, tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) : Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

d) Hak ingkar, diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. (2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

e) Hak mendapatkan bantuan hukum, diatur dalam Pasal 56 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum

2) Kedudukan Tersangka dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, bagian keempat hak memperoleh keadilan, khususnya Pasal 17- 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asaasi Manusia,dinyatakan :- Pasal 17, berbunyi :

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Pasal 18, berbunyi :

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.

(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. (4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

3) Kedudukan Tersangka dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

KUHAP telah mengatur secara jelas dan tegas hal-hal yang berkaitan hak-hak tersangka (Pasal 50 - Pasal 68 KUHAP), dan setiap pihak wajib menghormati hak-hak tersangka tersebut. Adapun hak-hak tersangka menurut KUHAP adalah sebagai berikut : a) Hak Prioritas Penyelesaian Perkara

Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 50 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke Penuntut Umum. (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum.

(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan. b) Hak Persiapan Pembelaan

Hak ini didasarkan pada Pasal 51 KUHAP, yang berbunyi; untuk mempersiapkan pembelaan :

(4)

(1) tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;

c) Hak Memberi Keterangan Secara Bebas

Jika seorang tersangka memberikan keterangan baik di tingkat penyidikan maupun di sidang pengadilan tanpa adanya rasa takut, berarti tersangka telah mendapatkan haknya. Sebagai bukti bahwa hak untuk memberikan keterangan secara bebas dijamin oleh hukum, terdapat dalam ketentuan Pasal 52 KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut; “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.

d) Hak Mendapatkan Juru Bahasa

Dasar hukum terhadap hak ini adalah yang tertera dalam Pasal 53 KUHAP yang berbunyi :

(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. (2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.

e) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum

Beberapa faktor yang melahirkan perlunya bantuan hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa, sebagai berikut;

(1). Faktor pertama; adalah kedudukan tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan merupakan sosok yang lemah, mengingat bahwa yang bersangkutan menghadapi sosok yang lebih tegar yakni negara lewat aparat-aparatnya. Kedudukan yang tidak seimbang melahirkan gagasan

(5)

bahwa tersangka atau terdakwa harus memperoleh bantuan secukupnya menurut aturan hukum agar memperoleh keadilan hukum yang sebenarnya.

(2). Faktor kedua; adalah tidak semua orang mengetahui apalagi menguasai seluk beluk aturan hukum yang rumit dalam hal ini aparat penegak hukum tentu saja mempunyai kedudukan yang lebih pengalaman serta pengetahuan dari aparat tersebut dan sebagainya.

(3). Faktor ketiga adalah faktor kejiwaan atau faktor psikologis, meskipun baru dalam taraf sangkaan atau dakwaan bagi pribadi yang terkena dapat merupakan suatu pukulan psikologis. (Erni Widhayanti, 1998 : 20).

Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hal yang sangat penting bagi tersangka atau terdakwa dan merupakan hal yang tidak bisa ditiadakan apalagi terhadap kasus yang ancaman pidananya diatas lima tahun atau lebih atau yang diancam dengan pidana mati.

f) Hak Memilih Sendiri Penasehat Hukumnya

Mendapatkan penasihat hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 54 KUHAP tersangka dibolehkan untuk menentukan dan memilih sendiri penasehat hukumnya sesuai dengan keinginannya. Tersangka juga boleh menggunakan penasehat hukum yang disediakan penyidik kepadanya, apabila tersangka tidak mempunyai gambaran tentang siapa yang akan menjadi penasehat hukumnya. Tidak ada larangan apabila tersangka menolak calon penasehat hukum yang diberikan oleh penyidik kepadanya.

g) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum Cuma-Cuma

Mengenai hak ini telah diatur dalam Pasal 56 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut;

(6)

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman 15 tahun atau lebih bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tindak pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.

(2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberi bantuannya dengan cuma-cuma.

h) Hak Menghubungi Penasihat Hukum

Tersangka yang dikenakan penahanan, tidak ada larangan bagi mereka untuk menghubungi penasehat hukumnya selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) KUHAP,

i) Hak Kunjungan oleh Dokter Pribadi

Tersangka boleh menerima kunjungan dari siapa saja selama kunjungan tersebut tidak membahayakan ketertiban dan keamanan termasuk juga menerima kunjungan dari dokter pribadinya. Diatur dalam Pasal 58 KUHAP, berbunyi sebagai berikut; ”tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak”.

j) Hak Diberitahukan, Menghubungi atau Menerima Kunjungan Keluarga dan Sanak Keluarganya

Tersangka yang ditangkap dan dilakukan penahanan atas dirinya terkadang tidak diketahui oleh keluarganya, disebabkan ketika penangkapan terjadi tersangka berada ditempat lain, maka perlu diberitahukan kepada keluarganya tentang

(7)

penahanan atas diri tersangka. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 59 KUHAP, yang berbunyi:

Tersangka yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

Selain itu tersangka berhak menerima kunjungan dari keluarganya atau lainnya dalam urusan mendapatkan bantuan hukum atau untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 60 dan 61 KUHAP. Pasal 60 KUHAP, berbunyi; ”tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum”. Pasal 61 KUHAP, berbunyi;

Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaa atau untuk kepentingan kekeluargaan.

k) Hak berkirim surat

Setiap tingkat pemeriksaan tersangka di perkenankan untuk berkirim surat kepada penasehat hukum, sanak saudaranya termasuk juga menerima surat dari mereka semua tanpa diperiksa terlebih dahulu oleh pejabat yang bersangkutan, kecuali diduga kalau surat tersebut disalahgunakan. Terhadap surat yang diduga disalahgunakan, maka surat tersebut akan dibuka oleh pejabat yang bersangkutan akan tetapi terlebih dahulu diberitahukan kepada tersangka, kemudian surat tersebut

(8)

akan dikembalikan kepada si pengirim setelah terlebih dahulu diberi cap yang berbunyi “telah ditilik”. Ketentuan tentang hak berkirim surat ini, tercantum dalam Pasal 62 KUHAP.

l) Hak Menerima Kunjungan Rohaniwan

Hak untuk menerima kunjungan rohaniwan ini diatur dalam Pasal 63 KUHAP, yang berbunyi; ”tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan”. Dengan ditahannya tersangka telah merampas kemerdekaan atau kebebasan tersangka, akibatnya membatasi hubungannya dengan dunia luar. Terisolasinya tersangka dari dunia luar membuatnya tidak dapat menerima pengetahuan agama dari rohaniwan, maka diberikan hak untuk mendapatkan kunjungan rohaniwan agar jiwanya kuat secara spiritual. m) Hak diadili pada Sidang Terbuka untuk Umum

Tersangka apabila statusnya telah menjadi terdakwa, maka memiliki hak untuk diadili pada sidang terbuka untuk umum, kecuali pada kasus yang memang harus tertutup untuk umum yang telah ditentukan oleh undang-undang, dan itupun harus dibuka terlebih dahulu oleh hakim untuk umum, walaupun akhirnya hakim menyatakan bahwa sidang tersebut tertutup untuk umum. Hak ini telah ditegaskan dalam Pasal 64 KUHAP, yang berbunyi; ”terdakwa berhak untuk diadili di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum.

n) Hak Mengajukan Saksi a de charge dan Saksi Ahli

Dasar diakuinya hak untuk mengajukan saksi a de charge dan saksi ahli adalah Pasal 65 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut; ”tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.

(9)

Pasal 66 KUHAP, berbunyi; ”tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Berdasarkan penjelasan Pasal 66 KUHAP, ketentuan ini merupakan penjelmaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innounce).

p) Hak Pemberian Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

Hak-hak ganti rugi dan rehabilitasi belum diatur siapa yang akan melaksanakan ganti rugi (oknum atau instansi mana). Diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi; “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.

4) Hak Tersangka Anak

Pengertian tersangka anak, dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari pengertian anak dan ketentuan Pasal 1 butir 14, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tersangka anak adalah seorang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, yang karena perbuatannya atau keadannya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (Layyin Mahfiana. Muwazah,Vol.3, No. 1, Juli 2011:387).

Selain terdapat hak-hak tersangka tersebut, bila tersangkanya atau terdakwanya adalah anak-anak maka berlakulah hak-hak tersangka khusus untuk anak di bawah umur. Perluya

(10)

undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa, dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum, juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya (Angger Sigit Pramukti, 2015:44).

Pengaturan mengenai hak-hak tersangka atau terdakwa anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur secara khusus dalam Pasal 3 hingga Pasal 4 mengenai hak-hak anak baik dalam proses peradilan dan pada saat menjalankan pidana. Adapun hak-hak tersangka atau terdakwa anak dalam Pasal 3 adalah setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumnya;

b. Dipisahkan dari orang dewasa;

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. Melakukan kegiatan rekreasional;

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai

(11)

h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. Tidak dipublikasikan identitasnya;

j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi;

m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan;

o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:

a. Mendapat pengurangan masa pidana; b. Memperoleh asimilasi;

c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. Memperoleh pembebasan bersyarat; e. Memperoleh cuti menjelang bebas; f. Memperoleh cuti bersyarat;

g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan diaturnya hak-hak diatas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak, petugas pemeriksa tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya, dan sebaiknya sejak awal pemeriksaan ha-hak tersebut diberitahukan (Gatot Supramono, 2000 :27).

(12)

Tinjauan tentang korban penting diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional mengenai korban kejahatan.

1) Pasal 1 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004 menentukan bahwa : “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”

2) Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Menentukan bahwa : “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” 3) Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, menyatakan bahwa : “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.”

Dalam suatu peristiwa pidana terdapat pelaku dan korban. Korban tindak pidana yang sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan terpenuhinya hakhak korban tindak pidana. Hak-hak korban yang dimaksud terdapat dalam Undang-Undang, salah satunya adalah dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 yang berisi antara lain tentang penggabungan gugatan ganti kerugian. Hal ini merupakan salah satu bentuk

(13)

perlindungan yang diberikan kepada korban tindak pidana (Maja Simarmata, 2013:9).

Perlindungan terhadap korban meliputi pelaksanaan kepentingannya yang meliputi hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi berdasarkan hukum. Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optimal), artinya bisa diterima oleh korban dan bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya individual maupun yang eksternal. Adapun hak-hak korban adalah (Arif Gosita,1993:117) :

1) Mendapat pelayanan (bantuan, restitusi dan kompensasi). Korban berhak untuk mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah menimpanya sebagai akibat dari peristiwa kejahatan tersebut. Ganti kerugian yang dimaksud dapat berupa uang atau perawatan medis apabila korban mengalami luka-luka akibat peristiwa tersebut;

2) Menolak mendapatkan pelayanan demi kepentingan pelaku. Korban berhak menolak karena menganggap pelaku lebih banyak membutuhkan biaya daripada korban; 3) Mendapatkan pelayanan untuk ahli warisnya. Hal ini dapat

diperlukan apabila korban meninggal dunia akibat dari kejahatan tersebut dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap ahli warisnya yaitu anak-anak korban bahkan anggota keluarga korban yang lain apabila korban meninggal dunia di dalam peristiwa tersebut; 4) Mendapatkan kembali hak miliknya. Korban berhak

mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya yang hilang atau rusak akibat dari peristiwa yang menimpanya; e. Menolak untuk menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya. Korban tidak diharuskan untuk menjadi saksi demi keselamatan jiwa dan keluarga

(14)

sikorban, karena bisa saja suatu saat sipelaku akan membalas dendam kepada korban;

5) Mendapatkan perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila melapor dan menjadi saksi. Korban berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan dari aparat penegak hukum apabila pelaku mengancam korban; 6) Mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang

dihadapinya. Korban berhak senantiasa selalu mendapatkan informsi dan perkembanganperkembangan yang terjadi dari permasalahan yang dihadapi;

7) Dapat melangsungkan pekerjaannya. Selama menjadi saksi korban berhak untuk tetap dapat bekerja seperti biasanya dengan aman dan tenang;

8) Mendapatkan pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan. Selama persidangan dan setelah persidangan; 9) Mendapatkan bantuan penasihat hukum. Korban berhak

untuk mendapatkan penasihat hukum apabila korban memerlukannya;

10) Menggunakan upaya hukum. Korban mempunyai hak untuk menggunakan upaya hukum yang lebih tinggi atau banding, apabila korban merasa belum puas atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim.

11) Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis;

12) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau pelaku buron dari tahanan;

13) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;

14) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

(15)

Munculnya korban merupakan suatu sebab akibat dari perbuatan melanggar hukum, sehingga dalam suatu peristiwa kejahatan munculnya korban itu sendiri disebabkan oleh adanya perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang lain. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan maupun kerugian yang dialami dan ditanggung bagi pihak korban kejahatan dan keluarganya. Korban tidak saja dipahami sebagai objek terhadap suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial dan hukum, pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian (Maja Simarmata, 2013:10).

3. Tinjauan tentang Anak 1) Pengertian Anak

Mengenai pembahasan anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia ternyata masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian anak, sehinga kadang menimbang kebingungan untuk menentukan seseorang termasuk dalam kategori anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem perundang-undangan di Indonesia yang bersifat pluralisme, sehingga anak mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu perundangan-undangan dengan perundang-undangan lain (Abdussalam, 2007: 5).

Pengertian anak dalam peraturan di Indonesia bersifat pluralis, sehingga perlu didefinisikan berdasarkan ketentuan umum yang tercantum dalam peraturan tersebut. Pengertian-pengertian tersebut antara lain :

(16)

Pengertian anak dalam KUHP dapat kita ambil contoh dalam Pasal 287 KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa anak di bawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun.

b) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memuat, bahwa batasan minimum usia untuk dapat menikah bagi pihak pria adalah apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan bagi pihak wanita adalah bila telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ini menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 (enam belas) tahun dan 19 (Sembilan belas) tahun

c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab I ketentuan Umum. Pasal 1 angka 5 Undang-undang ini menyebutkan bahwa: “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

(17)

e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

f) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

2) Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya (Arif Gosita, 1985 : 18).

Menurut Maidin Gultom (2008: 39) prinsip perlindungan anak ada 3 (tiga), yaitu :

a) Anak tidak dapat berjuang sendiri.

b) Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) c) Ancaman daur kehidupan (life circle approach)

Menurut Darwan Prinst (Darwan Prinst, 1997 : 99 – 100), ada beberapa macam cara yang dilakukan untuk melindungi anak menurut KUHP yaitu :

(1). Menjaga Kesopanan Anak

Pasal 283 KUHP melarang orang tua untuk menawarkan, menyewakan untuk selamanya atau sementara, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan sesuatu tulisan, gambar, barang yang menyinggung perasaan atau kesopanan. Misalnya gambar porno, tulisan-tulisan porno atau alat-alat kontrasepsi.

(18)

(2). Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa Pasal 297 KUHP melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun, baik persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka antara pelakunya ataupun tidak. Akan tetapi pasal ini tidak mengatur larangan bersetubuh dengan anak yang belum dewasa. Delik ini adalah delik aduan, dan karenanya penuntutan hanya akan dilakukan apabila ada perempuan yang disetubuhi itu belum genap berusia 12 (dua belas) tahun, maka delik ini menjadi delik biasa.

(3). Larangan untuk Berbuat Cabul dengan Anak

Hal ini diatur dalam Pasal 290, 294, 295, dan 297 KUHP. Pasal 290 KUHP yaitu tentang larangan untuk berbuat cabul dengan anak dibawah umur. Pasal 294 KUHP yaitu tentang larangan berbuat cabul dengan anaknya sendiri ataupun anak bukan anaknya sendiri yang di bawah pengawasannya. Pasal 295 KUHP yaitu tentang larangan untuk memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tiri, atau anak angkatnya yang belum dewasa atau orang belum dewasa di bawah pengawasannya Pasal 297 KUHP yaitu tentang larangan menyuruh anak perempuan atau laki-laki yang di bawah umur untuk berbuat cabul.

4. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.

Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang

(19)

dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satijipto Raharjo, 2000 : 53).

Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan ( Pjillipus M. Hadjon, 1987 : 2).

Perlindungan yang berifat yuridis atau yang dikenal dengan perlindungan hukum adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak (Barda Nawawi Arief, 1998:156).

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

5. Tinjauan tentang Pemidanaan 1) Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

(20)

J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut : Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu (Leden Marpaung, 2005 : 2).

Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:

a) Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; b) Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

c) Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. 2) Jenis-Jenis Pemidanaan

Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :

a) Pidana Pokok (1). Pidana mati; (2). Pidana penjara; (3). Pidana kurungan; (4). Pidana denda. b) Pidana Tambahan

(1) Pencabutan hak-hak tertentu; (2) Perampasan barang-barang tertentu; (3) Pengumuman putusan hakim.

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 terdapat dalam bab V tentang pidana khususnya Pasal 71 yang berbunyi:

(21)

a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat:

1) Pembinaan di luar lembaga; 2) Pelayanan masyarakat; atau 3) Pengawasan.

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

(2). Pidana tambahan terdiri atas:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

(3). Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4). Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencabulan 1) Pengertian Pencabulan

Pencabulan berasal dari kata cabul. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan di dalam kamus hukum berarti : ”Keji dan Kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”. Pencabulan adalah perbuatan kotor atau keji. Sedangkan, Perbuatan cabul secara umum adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman,

(22)

meraba-raba anggota kemaluan, memeraba-raba-meraba-raba buah dada, dan sebagainya (R. Soesilo, 1995 :212.).

Pencabulan atau perbuatan cabul (Ontuchtige Handelingen) dapat juga diartikan sebagai segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui oleh siapapun yang tidak memiliki legalitas hukum dalam hubungan suami istri tetap dipidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chazawi Adami, 2002 : 80).

Pencabulan termasuk dalam tindak pidana kesusilaan, pengertian tindak pidana kesusilaan sendiri tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas kesusilaan cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Untuk memberikan gambaran yang sederhana dapat dikemukakan pengertian tindak pidana kesusilaan adalah sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Pada dasarnya setiap tindak pidana mengandung di dalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, dan dapat dikatakan hukum itu sendiri berisi nilai-nilai kesusilaan yang minimal (Endang Kusuma Astuti, Jurnal Ilmiah Inkoma, Volume 25, Nomor 1, Juni 2014:81-82).

2) Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan

Mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

(23)

Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsurnya sebagai berikut (Adami Chazawi, 2005: 78): a) Perbuatannya: Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan

kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

b) Objeknya: Seseoarang untuk melakukan atau membiarkan melakukan.

(24)

2. Kerangka Pemikiran

a. Bagan Kerangka Pemikiran

Pembuktian dalam Persidangan

Hak Tersangka Hak Korban

Tindak Pidana Pencabulan Anak Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 64 ayat

(1) KUHP Pertimbangan Hakim UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Putusan PN

(25)

b. Keterangan:

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak.

Tindak pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak. Demikian sebaliknya bahwa pelaku tindak pidana bisa saja dilakukan oleh siapa pun baik itu orang dewasa maupun anak. Hal yang paling memprihatinkan ketika anak yang menjadi pelaku dari suatu tindak pidana.

Salah satu tindak pidana kesusilaan adalah pencabulan, tindak pidana pencabulan bisa dilakukan orang orang dewasa maupun anak dibawah umur. Korbannya pun bisa orang dewasa maupun anak dibawah umur. Ketika korban dan pelaku tindak pidana pencabulan adalah anak dibawah umur maka tentunya perlindungan hukum yang diberikan kepada mereka tentu berbeda dengan orang dewasa, begitu juga dengan hak-hak mereka, baik di tingkat penyidikan di kepolisian maupun sampai persidangan dipengadilan.

Hakim dalam memberikan putusan dalam persidangan anak harus mempertimbangkan kaidah dan norma-norma, khususnya yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 serta memperhatikan hak-hak anak baik korban maupun terdakwa yang masih berstatus anak dibawah umur. Sistem pembuktian dalam persidangan harus memperhatikan hak tersangka dan hak korban, selanjutnya dalam pertimbangan hakim, hakim dalam memberikan atau menjatuhkan putusan harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta dalam menjatuhkan putusan hakim juga harus sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga putusan yang dikeluarkan bias diterima oleh semua pihak dan memberikan efek jera kepada pelaku.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Borshchev & Filippov (2004) Agent Based Model (ABM) adalah suatu metode yang digunakan untuk eksperimen dengan melihat pendekatan dari bawah ke atas (

Modernisasi perpajakan yang dilakukan pemerintah tentunya tidaklah hanya untuk mencapai target penerimaan pajak semata, juga penting dilakukan untuk menuju adanya

Pemberian fraksi etil asetat ekstrak etanol daun sirih merah secara oral dengan dosis 0,5; 1,0; dan 1,5 g/KgBB dapat memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan minat membaca novel teenlit dengan sikap kreatif siswa di MTs Negeri 1 Bojonegoroi. Variabel dalam penelitian

Hasil uji statistik Fisher Exact Test diperoleh nilai p value = 0,342 lebih besar dari p > α 0,05 berarti (H0) diterima sehingga tidak terdapat hubungan antara saran

Electronic Word Of Mouth, Lifestyle, Kepercayaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan pembelian dikarenakan sebelum konsumen yang akan membeli tiket

Budaya keselamatan pasien pada setiap instalasi tergolong kuat dengan instalasi yang memiliki budaya keselamatan yang sangat kuat terdapat pada instalasi gawat

Bulanan Yg sdh Dicetak Kartu SPP yg sdh ditandatangani Siswa Cek Data Siswa 1.0 Proses Pembayaran 2.0 Pembuatan Laporan 3.0 Kepala Sekolah Kartu SPP yg sdh