BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal akan tetapi berasal dari acuan yang mendasarinya. Agar peneliti dapat membedakan penelitian dengan judul “Reputasi Pemerintah dalam Pemberitaan Ujian Nasional Berbasis
Komputer pada Surat Kabar Kedaulatan Rakyat (Analisis Wacana Kritis Roger Fowler)” dengan penelitian sebelumnya, peneliti meninjau tiga hasil penelitian
yang relevan. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Manggiasih (2015) yang berjudul Penggunaan Teori Roger Fowler dkk. pada Wacana Bertopik “Kurikulum 2013” dalam Surat Kabar Harian Kompas Edisi Desember 2014.
Penelitian tersebut membahas penggunaan teori Roger Fowler pada wacana bertopik “kurikulum 2013” dalam surat kabar harian Kompas edisi Desember
Kedua, penelitian Hermaliza (2014) yang berjudul Pendayagunaan Kosakata dalam Wacana Kritik Politik Editorial Koran Tempo: Analisis Wacana Kritis. Penelitian tersebut membahas tentang penggunaan kosakata dalam wacana kritik politik dalam editorial koran Tempo. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut yakni wacana kritik politik editorial koran Tempo. Dalam tahap penyediaan data menggunakan teknik dokumentasi dengan mengumpulkan koran Tempo selama satu bulan yang difokuskan pada editorial dalam setiap terbitan. Kemudian diidentifikasi dengan mencatat sejumlah kosakata yang meliputi kosakata pembentuk klasifikasi, pembatas pandangan, pemicu pertentangan, dan pembentuk marjinalisasi mengacu pada teori Fowler dkk. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama menggunakan analisis wacana kritis Roger Fowler. Letak perbedaannya pada sumber data yang digunakan.
B. Reputasi
1. Pengertian Reputasi
Reputasi secara umum sering diartikan dengan nama baik yang perlu dibangun dan dipelihara, dalam keadaan buruk maupun dalam keadaan baik (Majidi, 2012: 269). Reputasi dimulai dari identitas korporat sebagai titik pertama yang tercermin melalui nama perusahaan (logo) dan tampilan lain, misal dari laporan tahunan, brosur, kemasan produk, interior kantor, seragam karyawan, iklan, pemberitaan media, materi tertulis, dan audio-visual (Fombrun dalam Ardianto, 2012: 25). Fombrun (dalam Retno, 2015: 9) mendefinisikan reputasi sebagai „the sum of the images the various constituencies have an organization‟.
2. Bentuk Reputasi
Sebuah reputasi mempresentasikan pengaruh atau reaksi emosional murni dari pelanggan, investor, dan masyarakat umum terhadap organisasi, pada keadaan baik atau buruk, kuat atau lemah (Formbrun dalam Retno, 2015: 16). Reputasi menjadi baik atau buruk, kuat atau lemah tergantung pada kualitas pemikiran strategi dan komitmen manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan adanya keterampilan serta energi dengan segala komponen program yang akan direalisasikan dan dikomunikasikan (Morley dalam Ardianto, 2012: 30). Mengacu pada pengertian di atas, maka bila sebuah pemerintahan yang mengeluarkan berbagai kebijakannya menghasilkan reputasi yang bagus maka dukungan rakyat terhadap pemerintahan itu akan terus meningkat. Banyaknya kebijakan pemerintah yang disampaikan menimbulkan reputasi yang buruk karena ada strategi komunikasi atau public relations-nya tidak tepat, juga pemilihan komunikator atau media komunikasinya tidak tepat. Menurut Brown dkk (Walker dalam Retno, 2015: 17) sejumlah kemungkinan dari penilaian reputasi harus disadari bahwa hasil dapat menunjukkan positif atau negatif.
C. Wacana
dan kategori yang termasuk di dalam kepercayaan di sini ialah pandangan dunia, sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. Berbeda halnya Jorgensen dan Phillips (2007: 1) yang menyatakan bahwa penggunaan kata wacana didasari atas gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka mengambil bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda. Selanjutnya menurut Chaer (2011: 29) wacana merupakan satuan bahasa tertinggi dan terlengkap. Satuan bahasa terlengkap artinya secara semantik sudah mengandung satu konsep yang lengkap sehingga orang tidak akan bertanya karena sudah tidak ada kekurangannya kalau dilihat dari segi semantik. Oleh karena itu, wacana merupakan satuan bahasa tertinggi yang mengandung pola-pola tertentu yang merupakan bagian dari domain kehidupan masyarakat yang lengkap.
Wacana adalah suatu konsep yang dimuat dalam bentuk bahasa, baik itu lisan atau tertulis atau dengan sistem tanda lainnya. Dalam wacana juga banyak memuat bagian dari sistem pendidikan. Misal dalam lembaga-lembaga ada hubungan kekuasaan atau pengetahuan dan wacana didominasi oleh sistem yang didirikan (McLaren dalam Perveen, 244). Sedangkan menurut Durna dan Kubilay (dalam Töngűr, 1633) wacana merupakan istilah kunci dari pendekatan
dalam bentuk tersembunyi (Töngűr, 1633). Berdasarkan definisi wacana di atas,
dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa tertinggi, terlengkap, dan terbesar di atas klausa dan kalimat yang memiliki pola-pola tertentu yang dimuat dalam bentuk tuturan dan tulisan sebagai bentuk praktik sosial.
D. Analisis Wacana Kritis
1. Pengertian Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana merupakan suatu ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam sebuah komunikasi. Darma (2009: 49-50) menegaskan bahwa analisis wacana kritis merupakan suatu upaya atau proses penguraian untuk memberikan penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang akan dikaji dan mempunyai tujuan tertentu. Selanjutnya, menurut Jorgensen dan Phillips (2007: 120), analisis wacana kritis bersifat “kritis”
2. Pandangan Analisis Wacana
3. Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Dalam analisis wacana kritis, bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Praktik wacana juga bisa jadi menampilkan efek ideologi: dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial kelompok mayoritas dan minoritas. Berikut ini disajikan karakteristik analisis wacana (Eriyanto, 2011: 7-13). Adapun Darma (2009:61) menyebutkan lima karakteristik AWK yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Sama halnya dengan Badara (2012: 28) juga menyajikan karakteristik dari analisis wacana yang disarikan oleh Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak. Berikut disajikan karakteristik analisis wacana kritis yang dikutip dari buku Eriyanto (2012:7).
1. Tindakan
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi (Eriyanto, 2012:8).
3. Historis
Salah satu aspek penting untuk memahami sebuah teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Artinya, wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya (Eriyanto, 2012: 10).
4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Analisis wacana kritis tidak hanya membatasi diri pada detail teks atau struktur wacana saja, juga kondisi sosial, politik, dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol. Seorang individu atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain melalui wacana (Eriyanto, 2012: 11).
5. Ideologi
tentang produksi kekuasaan dan dominan yang mereka miliki. Peranan wacana dalam kerangka ideologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok bertindak dalam situasi yang lama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dalam kelompok. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dan kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana (Eriyanto, 2012: 13).
E. Analisis Wacana Kritis Roger Fowler
Dalam membangun model analisisnya, Roger Fowler mendasarkan pada penjelasan Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa ini menjadi dasar struktur tata bahasa, dimana tata bahasa itu menyediakan alat untuk dikomunikasikan kepada khalayak (Eriyanto, 2011: 133). Model analisis Roger Fowler menggunakan kosakata dan tata bahasa dalam membentuk pandangan publik. Penggunaan kosakata meliputi pembentuk klasifikasi, membatasi pandangan, pertarungan wacana, dan marjinalisasi. Untuk penggunaan tata bahasa meliputi efek kalimat pasif dan efek nominalisasi Berikut penjelasan mengenai pembatasan penggunaan kosakata dan tata bahasa menurut teori analisis wacana kritis Roger Fowler.
1. Kosakata
perkosaan dapat dikatakan sebagai memperkosa, meniduri, menggagahi, memperawani, dan sebagainya (Eriyanto, 2011: 134). Kata-kata yang berbeda tersebut tidaklah dipandang semata secara teknis, tetapi sebagai suatu praktik ideologi tertentu. Bahasa yang berbeda tersebut akan menghasilkan realitas yang berbeda pula ketika diterima oleh khalayak. Bahasa menyediakan alat bagaimana realitas itu harus dipahami oleh khalayak (Badara: 2012:54). Di sini, Roger Fowler melihat bahasa sebagai sistem klasifikasi. Arti penting klasifikasi ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dengan bahasa yang berbeda. Menurut Roger Fowler penggunaan kosakata terbagi atas kosakata pembentuk klasifikasi, kosakata pembatas pandangan, kosakata pemicu pertentangan, dan kosakata marjinalisasi.
a. Kosakata Pembentuk Klasifikasi
Bahasa pada dasarnya selalu menyediakan klasifikasi. Klasifikasi terjadi karena realitas begitu kompleks sehingga kemudian dibuat penyederhanaan dan abstraksi dari suatu realitas tersebut. Realitas tersebut bukan hanya bisa dikenali, pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan yang lain. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Misal, dalam tindakan pasukan interfet ketika berasa di Timor Timur yang dicurigai sebagai milisi. Tindakan itu dapat dikatakan sebagai “intervensi” (campur tangan pihak
dikonstruksikan media cetak. Misal dalam kutipan berikut yang dapat menunjukkan adanya kosakata pembentuk klasifikasi.
(3) “Perseteruan antara Polri dan KPK diperkirakan akan makin seru” (Prawira, dkk., 2015)
Kalimat (3) dalam pemberitaan perseteruan antara KPK dan Polri terdapat kosakata pembentuk klasifikasi yakni kosakata “seru”. Penggunaan kosakata “seru” ini sengaja ditampilkan karena kosakata tersebut mampu menggiring
pembaca ke dalam realitas tertentu. Dalam hal ini pembaca sengaja diarahkan pada ideologi-ideologi tertentu yang sengaja atau tidak diarahkan oleh penulis berita. Menurut KBBI (2014: 484) pengertian kosakata “seru” ini adalah sengit.
Dengan menggunakan kosakata ini pembaca akan memikirkan bahwa perseteruan KPK dan Polri ini seperti pada suatu kompetisi yaitu akan ada yang menang dan ada yang kalah (Prawira, dkk., 2015).
b. Kosakata Pembatas Pandangan
Menurut Fowler, pada dasarnya bahasa bersifat membatasi yakni membatasi dalam berpikir untuk memahami bahasa tersebut bukan yang lain. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Hal ini karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara langsung, oleh karena itu, ketika membaca suatu kosakata tertentu akan dihubungkan dengan realitas tertentu. Untuk melihat bagaimana kosakata mempengaruhi pandangan (Eriyanto, 2011: 137).
Kalimat (4) kosakata “sindir” memiliki arti „celaan dan ejekan‟ (KBBI, 2014: 493). Penggunaan keterangan “sindirnya” yang dicetak miring ini dipilih oleh
media dengan tujuan membentuk pemikiran pembaca bahwa narasumber dalam pemberitaan ini terlihat menyindir, mencela, atau mengejek pihak lain. Oleh karena itu, media cetak memiliki kemampuan untuk mengonstruksikan kembali realitas yang terjadi melalui penggunaan kata-katanya (Chandradewi, 2014).
c. Kosakata Pemicu Pertentangan
Kosakata harus dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Dalam pemberitaan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenar dan penjelas mengenai suatu masalah. Mereka bukan hanya mempunyai versi yang berbeda, tetapi juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam mempengaruhi opini publik. Dalam upaya memenangkan penerimaan publik tersebut, masing-masing pihak menggunakan kosakata sendiri dan berusaha memaksakan agar kosakata itulah yang lebih diterima oleh publik (Eriyanto, 2011: 140-141).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kosakata pemicu pertentangan adalah kosakata yang digunakan dalam memenangkan opini publik dimana masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda yang menimbulkan adanya pertarungan dalam wacana yang ditulis. Prawira, dkk (2015) menyebutkan contoh kosakata pemicu pertentangan sebagai berikut.
kurang satu saja maka itu cacat demi hukum dan batal. Karena penetapan tersangka Komjen Pol. Kita baca UU KPK diatur bahwa komisioner KPK ada lima orang. Budi Gunawan harus dibatalkan karena cacat hukum” paparnya (Prawira, dkk.).
(6) “Saya tidak menyalahkan wewenang. Semua itu sudah sesuai SOP dari KPK, dan tidak ada yang dilanggar”. Tegas Abraham (Prawira, dkk.)
Dari pemberitaan tersebut pihak yang paling sering memaparkan wacananya adalah dari pihak Polri, karena dalam pemberitaan tersebut hanyalah terlihat jelas dominasi dari pihak Polri. Dalam hal ini kutipan pemberitaan tersebut sengaja dipilih karena kedua belah pihak saling beradu pendapat dan saling beradu kebenaran terhadap perseteruan yang mereka alami. Pemilihan kosakata pertarungan wacana pada pemberitaan ini dipilih karena kedua belah pihak yang saling berseteru beradu pendapat mengenai kasus yang mereka alami (Prawira, dkk, 2015)
d. Kosakata Marjinalisasi
pemberitaan. Hal ini dikarenakan pemilihan kosakata tertentu dapat membentuk atau membawa ideologi tertentu. Sobur (2009: 31) mengatakan bahwa media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik antara lain karena media dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan.
(7) “Dituding lobi PDIP jadi cawapres, Ketua KPK nyatakan fitnah. Itu diketahui dari mulut ketua KPK Abraham Samad ketika dirinya hendakmenyampaikan bahwa tidak dipilih mendampingi Jokowi” (Prawira, dkk., 2015)
Pada kutipan (7) secara tidak langsung menggambarkan sikap dari Abraham Samad, karena di dalam kutipan berita tersebut mengarahkan pada sikap dari Abraham Samad yang ingin mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Di mana dalam pemberitaan tersebut, pembaca sengaja diarahkan pada kesalahan yang dibuat oleh Ketua KPK tersebut. Pemilihan kosakata tersebut sengaja dilakukan oleh media untuk memojokan ketua KPK yang secara tidak langsung mengacu pada sikap dari pihak lain yang sedikit geram dengan hal yang dilakukan oleh Abraham Samad (Prawira, dkk., 2015).
2. Tata Bahasa
Roger Fowler (dalam Eriyanto, 2011: 152) memandang bahasa sebagai satu set kategori dan proses. Kategori yang penting disebut sebagai “model”
a. Efek Kalimat Pasif
Tata bahasa bukan hanya berhubungan dengan persoalan teknis kebahasaan, ia juga bukan hanya melulu persoalan cara menulis, karena bentuk kalimat menentukan makna yang dihasilkan oleh susunan kaliat tersebut. Menurut Fowler (dalam Eriyanto, 2011: 160) dengan mengubah susunan kalimat ke dalam bentuk pasif bukan hanya persoalan enak dibaca atau dipahami tetapi merupakan manipulasi sintaksis. Hal ini karena dengan mengubah kalimat menjadi pasif, seseorang (agen/pelaku) bukan hanya disembunyikan tetapi juga dapat dihilangkan dalam pemberitaan. Dengan begitu pelaku dalam pemberitaan tidak lagi menajdi fokus pemberitaan.
(8) “Permohonan praperadilan yang diajukan Budi dinilai juga prematur” (Prawira, dkk., 2015)
Penggunaan bentuk pasif pada kalimat (8) secara tidak langsung mengarahkan fokus pemberitaan permohonan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan. Oleh karena itu, yang menjadi target dalam pemberitaan ini adalah Budi Gunawan karena telah melakukan praperadilan yang dianggap oleh KPK itu prematur. Pemasifan pada kutipan data di atas dilakukan dengan tujuan untuk menekankan sasaran pelaku atau tindakan. Dengan begitu kalimat (8) dapat dilihat bahwa Kompas berpihak pada KPK dengan cara memfokuskan pemberitaan pada permohonan praperadilan Budi Gunawan (Prawira, dkk., 2015)
b. Efek Nominalisasi
karena dalam bentuk nominal bukan lagi kegiatan/tindakan yang ditekankan tetapi suatu peristiwa. Dalam kalimat yang menunjukkan kegiatan, membutuhkan subjek, tidak demikian halnya dengan peristiwa. Peristiwa pada hakikatnya tidak membutuhkan subjek. Kata seperti pembunuhan, perkosaan, perceraian, semua kata tersebut hanya menunjuk pada adanya suatu peristiwa, yang tidak harus menunjuk pada realitas acuan yang konkret baik pelaku, korban, tempat, dan waktu (Eriyanto, 2011: 162).
(9) “Pakai dana tanpa konsultasi.” (Chandradewi, dkk., 2014)
Media cetak menggunakan bentuk kalimat (9) dengan tujuan menyembunyikan subjek dan objek dalam pemberitaan. Bentuk ini sekaligus mengarahkan titik perhatian pembaca pada peristiwa (Chandradewi, 2014).
F. Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)
semakin mendorong untuk meningkatkan literasi siswa terhadap teknologi. Selanjutnya secara bertahap pada tahun 2015 dilaksanakan rintisan UNBK dengan mengikutsertakan sebanyak 556 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 379 SMK di 29 provinsi dan Luar Negeri. Pada tahun 2016 dilaksanakan UNBK dengan mengikutsertakan sebanyak 4328 sekolah yang terdiri dari 984 SMP/MTs, 1298 SMA/MA, dan 2100 SMK.Penyelenggaraan UNBK saat ini menggunakan sistem semi-online yaitu soal dikirim dari server pusat secara online melalui jaringan (sinkronisasi) ke server lokal (sekolah), kemudian ujian siswa dilayani oleh server lokal (sekolah) secara offline. Selanjutnya hasil ujian dikirim kembali dari server lokal (sekolah) ke server pusat secara online (upload) (Kemendikbud, 2017: https://ubk.kemdikbud.go.id/).
G. Surat Kabar
periodik. Tujuannya ingin menyampaikan informasi atau berita kepada pembaca yang aktual, terkini, dan akurat.
Berita yang disampaikan dalam surat kabar harian adalah informasi terkini (aktual) yang ditulis dalam bentuk berita cepat (straight news) atau berita yang ditulis apa adanya (hard news). Surat kabar biasanya ditujukan sebagai kegiatan komersil dari penerbit yang bersangkutan. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam sebuah surat kabar dihasilkan oleh para penulis berita. surat kabar dikembangkan untuk bidang-bidang tertentu, misalnya berita untuk industri tertentu, penggemar olahraga tertentu, penggemar seni atau partisipan kegiatan tertentu. Jenis surat kabar umum biasanya diterbitkan setiap hari kecuali pada hari-hari libur nasional. Selain itu, juga ada surat kabar yang diterbitkan setiap satu minggu sekali atau surat kabar mingguan. Biasanya surat kabar mingguan dari segi isi lebih bersifat hiburan dan biasanya lebih kecil dan kurang prestisius dibandingkan dengan surat kabar harian.
H. Peta Konsep
Wacana Pemberitaan UNBK Surat Kabar Kedaulatan Rakyat
Edisi Januari-Maret 2017
Kosakata Tata Bahasa
Reputasi Pemerintah
Reputasi Pemerintah dalam Pemberitaan Ujian Nasional Berbasis Komputer pada Surat Kabar Kedaulatan Rakyat (Analisis Wacana Kritis Roger Fowler)
1. Pembentuk Klasifikasi 2. Pembatas Pandangan 3. Pemicu Pertentangan 4. Marginalisasi
1. Efek kalimat pasif 2. Efek nominalisasi Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis Roger Fowler