• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Uang Giral di Indonesia Perspektif Hukum Positif - Electronic theses of IAIN Ponorogo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Transformasi Uang Giral di Indonesia Perspektif Hukum Positif - Electronic theses of IAIN Ponorogo"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

v ABSTRAK

Hafidh, Mohammad. “Transformasi Uang Giral di Indonesia Perspektif Hukum Positif”. Tesis, Program Studi Magister Ekonomi Syariah, Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing: Aji Damanuri, M.E.I.

Kata Kunci: Uang Giral, Hukum Positif

Alat Pembayaran Menggunkan Kartu (APMK) dan uang elektronik pernah diatur dalam sejumlah regulasi Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI). Selain PBI dan SE BI, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 juga mengakui keberadaan Uang Giral. Namun, secara gramatikal dengan diundangkannya pasal 26 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, maka secara tidak langsung uang giral tidak lagi dianggap sebagai alat pembayaran yang sah.

Penelitian ini meliputi dua pembahasan masalah yang meliputi: (1) transformasi uang giral ke elektronik sebagai alat tukar prespektif Hukum Positif di Indonesia dan (2) pengaruh PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik terhadap transaksi uang elektronik di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research dengan menyajikan data utama bersumber dari laporan Bank Indonesia dan aturan-aturan undangan lalu menganalisanya menggunakan teori perundang-undangan, teori harmonisasi hukum dan teori interpretasi hukum.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada mulanya, uang merupakan sejumlah emas atau perak yang disimpan dan diganti nilainya oleh penerbit (issuer) dengan menggunakan kertas.1 Jumlah uang yang diterbitkan haruslah sesuai dengan emas atau perak yang diback-up agar tidak terjadi penurunan nilai mata uang atau inflasi. Sehingga dengan kata lain uang kertas hanyalah bukti atas keberadaan atau kepemilikan sejumlah emas atau perak yang dimiliki seseorang yang kemudian disimpan oleh issuer. Ketika terjadi bencana yang memusnahkan wujud kertas sebagai uang, maka pihak issuer mampu menerbitkan lagi, karena bentuk ekstrinsik dari nilai sebuah uang memang benar-benar ada dan tetap utuh.

Namun seiring berjalannya waktu, nilai ekstrinsik daripada lembaran-lembaran uang tidak lagi diback-up dalam emas maupun perak. Nilai yang tertera pada uang merupakan nilai virtual yang dikuatkan dengan otoritas dan kepercayaan. Sehingga nilai ekstrinsik uang tidak lagi balance dengan nilai intrinsiknya. Hal tersebut berisiko menimbulkan inflasi sedikit demi sedikit. Bahkan uang yang tadinya merupakan turunan dari emas atau perak dan berfungsi sebagai pengganti keduanya, kini telah diturunkan lagi fungsinya menjadi saldo yang ditanam dan digantikan oleh kartu debit atau ATM

1 Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam).

(8)

(Automated Teller Machine2). Dengan kata lain, nilai yang tertera pada kartu debit dan ATM merupakan nilai yang secara ekstrisik diback-up menggunakan uang dan disimpan oleh issuer.3

Sebagaimana telah disebutkan di atas, demi menjaga stabilitas ekonomi, maka setiap uang yang diterbitkan harus senilai dengan emas atau perak yang disimpan (intrinsic value). Bila jumlah uang yang diterbitkan melebihi nilai emas atau perak yang disimpan, maka akan terjadi penurunan nilai uang atau inflasi. Sehingga Islam mengharamkan pertambahan nilai (bunga) yang didasarkan pada waktu (hutang). Karena hal tersebut sama saja dengan menaikkan jumlah nilai uang tanpa menaikkan saldo emas-perak yang disimpan. Sehingga nilai uang akan turun dan menyebabkan inflasi.4

Akan tetapi sejak sistem ekonomi kapital mulai berlaku dimana-mana, emas dan perak tidak lagi diback-up. Sehingga ketika terjadi bencana yang memusnahkan wujud uang, maka nilai uang tersebut juga ikut musnah karena keberadaan nilai ekstrinsik uang ada bersama dengan intrinsiknya meskipun tidak balance. Akan tetapi pada kartu ATM maupun kartu debit yang notabene menjadi turunan daripada uang, hal tersebut tidak akan terjadi. Nilai virtual (intrinsik) yang tertanam pada kartu ATM maupun kartu debit, terpisah dengan nilai ekstrinsiknya. Sehingga apabila terjadi bencana yang memusnahkan wujud kartu ATM maupun kartu debit, pihak issuer mampu menerbitkan lagi kartu yang baru dengan nilai intrinsik yang setara/sesuai dengan saldo yang

2 Bank Indonesia, Daftar Istilah Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

(Jakarta: Bank Indonesia, 2015), 74.

3 Serfianto D.P., Iswi Hariyan,i dan Cita Yustisia Serfianai, Untung dengan Kartu

Kredit, Kartu ATM-Debit, & Uang Elektronik (Jakarta: Visimedia, 2012), 275.

(9)

disimpan sebelumnya karena kartu ATM maupun kartu debit memiliki nilai ekstrinsik yang terpisah dari bendanya.

Namun semakin ke sini, uang yang merupakan back-up atas nilai virtual kini bernasib sama dengan pendahulunya (emas-perak). Saat ini manusia sudah mulai menciptakan nilai virtual lain sebagai turunan dari uang tanpa mem back-up nya. Seperti ketika seorang membeli pulsa senilai Rp 50.000 dan mendapat bonus pulsa Rp 10.000. Selisih antara harga yang dibayarkan dan jumlah pulsa yang didapat merupakan bukti nyata adanya perbedaan antara nilai intrinsik uang virtual dengan nilai ekstrinsiknya. Selain itu, muncul pula token-token virtual semacam bonus yang didapat dari transaksi lain yang juga berpotensi menaikkan nilai uang intrinsik virtual tanpa menaikkan jumlah ekstrinsik daripada uang yang ditanam.

(10)

ditanam dalam kartu. Telkomsel menerbitkan media pembayaran baru bukan dalam kartu melainkan stiker.

Selain dari beberapa kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan (das solen dan das sein) yang penulis paparkan di atas, penulis merasa bahwa T-Cash merupakan sesuatu yang spektakuler yang masih menjadi berita hangat beriringan dengan kemunculan bitcoin, cryptocurrency, e-money dan lainnya. T-Cash tidak termasuk dalam APMK.5 Akibatnya, muncul asumsi bahwa T-Cash merupakan mata uang digital baru dan bukan merupakan uang giral.

Berdasar pada pemaparan di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam dan komprehensif melalui sebuah tesis yang berjudul “TRANSFORMASI UANG GIRAL DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF”.

B.Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dan lebih fokus pada objek penelitian serta tidak meluas pada masalah lain yang dianggap tidak penting, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian, dengan merumuskan beberapa rumusan masalah berikut:

1. Bagaimana transformasi uang giral ke elektronik sebagai alat tukar prespektif Hukum Positif di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik terhadap transaksi uang elektronik di Indonesia?

5 https://digitalpayment.telkomsel.com/about diakses pada Senin, 5 Februari 2018 pukul

(11)

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Menganalisis posisi T-Cash sebagai alat tukar apakah termasuk pada jenis mata uang, simpanan, pembiayaan, valuta, APMK atau lainnya. Sekaligus menganalisis implementasi T-Cash terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

2. Menganalisis kemungkinan-kemungkinan ekonomis yang akan terjadi di masa depan terkait keuntungan bagi nasabah maupun laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Juga menganalisis dampak negatif yang mungkin terjadi pada penurunan stabilitas uang di Indonesia.

D.Kegunaan Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini nanti dapat memberikan kontribusi positif, baik secara teoritis maupun praktis.

1. Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan tentang perkembangan uang kartal, giral hingga uang digital. Serta dapat diketahui pula dampak negatif yang mungkin muncul di masa mendatang.

2. Praktis

(12)

b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi otoritas moneter di Indonesia dalam menentukan kebijakan baru terkait perkembangan ekonomi modern.

c. Sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah Indonesia mengenai proses pembaruan dan evaluasi aturan perundang-undangan di Indonesia.

d. Sebagai masukan untuk pengembang dan lembaga lain dalam mengambil kebijakan mekanisme maupun ekonomi.

e. Sebagai bahan untuk memepersiapkan kemajuan sistem ekonomi Indonesia yang semakin mudah tanpa memengaruhi stabilitas mata uang rupiah.

E.Kajian Terdahulu

Sejauh penelaahan penulis tentang karya tulis ilmiah atau penelitian yang terkait dengan pembahasan T-Cash, di antaranya:

1. Dalam Jurnal Yuridika volume 32 no. 1 yang terbit pada Januari 2017 terdapat tulisan Rachmadi Usman dengan judul “Karakteristik Uang Elektronik” disimpulkan bahwa6:

Uang elektronik pada hakikatnya merupakan uang tunai tanpa ada fsik (cashless money), yang nilai uangnya berasal dari nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbitnya, kemudian disimpan secara elektronik dalam suatu media elektronik berupa server (hard drive) atau

(13)

kartu chip, yang berfungsi sebagai alat pembayaran non tunai kepada pedagang yang bukan penerbit uang elektronik yang bersangkutan.

Usman menyebutkan bahwa di antara uang elektronik yang saat ini muncul dan berkembang adalah T-Cash. Dia menggolongkan T-Cash ini ke dalam elektronik dan sejajar dengan Kartu ATM, Kartu Kredit. Meskipun bentuk fisik T-Cash berupa stiker dan sangat berbeda dengan kartu.

2. Dalam Jurnal terbitan Universitas Negeri Surabaya, terdapat literatur berjudul “Dampak Kebijakan e-money di Indonesia sebagai Alat Sistem Pembayaran Baru” karya Muhammad Sofyan Abidin dapat disimpulkan bahwa:

a. Tujuan Peraturan Bank Indonesia Nomor11/12/PBI/2009 adalah untuk mengontrol jumlah uang yang beredar di masyarakat.

b. Kebijakan sistem pembayaran dengan uang elektronik diharapkan mampu memicu pertumbuhan dan menjaga kestabilan ekonomi.

3. “Implikasi Yuridis Penggunaan Mata Uang Virtual Bitcoin sebagai Alat Pembayaran dalam Transaksi Komersial (Studi Komparasi Antara

Indonesia-Singapura)”. Sebuah jurnal hukum terbitan Universitas Diponegoro tulisan Axel Yohandi, Nanik Trihastuti, dan Darminto Hartono menyimpulkan bahwa7:

a. Penggunaan mata uang virtual bitcoin di Indonesia telah mengalami peningkatan, meskipun demikian hingga saat ini belum ada pengakuan

7 Axel Yohandi, Nanik Trihastuti, dan Darminto Hartono, “Implikasi Yuridis

(14)

secara hukum dari pemerintah Indonesia terhadap penggunaan mata uang virtual bitcoin sebagai alat pembayaran dalam transaksi komersial.

b. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penggunaan mata uang virtual bitcoin seabagai alat pembayaran dalam transaksi komersial menyebabkan seseorang yang dirugikan terhadap penggunaan bitcoin tidak dapat mengajukan upaya hukum

Kedua karya tulis di atas yang membahas uang elektronik secara umum dan mencantumkan T-Cash sebagai contoh. Berbeda dengan dua karya di atas, pada tulisan ini penulis lebih fokus membahas T-Cash secara khusus. Mulai dari sistem operasi yang digunakan, mekanisme, posisi T-Cash sebagai uang hingga legalitas T-Cash di Indonesia.

Salah satu pembahasan dalam penelitian ini menyerupai jurnal ketiga. Jurnal dalam Diponegoro Law Journal tersebut membahas regulasi uang virtual di Indonesia. Hanya saja dalam jurnal tersebut, Yohandi fokus membahas bitcoin yang bebas dari sistem pengendali pusat (pemerintah) yang mengontrol seluruh sistem keuangan8. Sedangkan penelitian ini akan fokus membahas T-Cash yang diterbitkan oleh PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

8 Dimaz Ankaa Wijaya, Mengenal Bitcoin dan Cryptocurrency (Medan: Puspantara,

(15)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Yaitu penelitian dengan lebih ditekankan pada karya-karya pustaka. Penelitian ini merupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/ topik kajian, sehingga penulis lebih bebas dalam menyusun formatnya sesuai kebutuhan.9

2. Sumber Data

a. Sumber data primer yaitu:

1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. 2) PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik.

3) Quick Guide (panduan penggunaan) T-Cash. 2017. b. Sumber data sekunder antara lain:

1) Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. terj. Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2) Serfianto, R., Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiani. 2012.

Untung dengan Kartu Kredit, Kartu ATM,-Debit, dan Uang

Elektronik. Jakarta: Visimedia.

3) Wijaya, Dimas Ankaa. 2016. Mengenal Bitcoin dan Cryptocurrency. Medan: Puspantara.

(16)

4) Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) nomor 11/10 DASP tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

5) Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) nomor 11/11DASP tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau library research. Sehingga, metode pengumpulan data yang tepat adalah metode “dokumentasi”. Metode dokumentasi yaitu dengan mencari data-data mengenai hal-hal/ variabel-variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, artikel, dan sebagainya yang diperoleh dari sumber data primer, sekunder dan tersier.10 Dengan runtutan sebagai berikut:

a. Dokumentasi kepustakaan yaitu mencari data-data yang terkait dari sumber-sumber berupa tulisan dan sumber non tulisan bila perlu.

b. Membaca literatur (buku-buku) dan dari artikel yang ada relevansinya.

c. Menganalisa dan menyimpulkan. 4. Teknik Analisa dan Pengolahan Data

Setelah mendokumentasikan data mengenai objek penelitian berupa T-Cash, data yang terkumpul tersebut kemudian dianalisa

10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka

(17)

dengan menggunakan metode content analysis. Moeloeng mengidentifikasikan istilah ini dengan kajian isi11, yaitu dengan menganalisis seluruh struktur dan ide dasar pemikiran Telkomsel yang tertuang dalam T-Cash setelah itu penulis mengkritisi secara objektif dan menilai seluruh aspek yang ada.

Adapun prosedur pengolahan data yang penulis gunakan adalah:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna keseragaman, kesatuan atau kelompok data.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang telah direncanakan sebelumnya sesuai dengan pembahasan.

c. Penemuan hasil riset, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengolahan data dengan menggunakan kaidah-kaidah, serta teori-tori, sehingga diperoleh kesimpulan tertentu sebagai pemecahan dari rumusan masalah yang ada.

G.Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan hasil penelitian ini, penulis akan membagi dalam lima bab yang dapat digambarkan sebagai berikut:

11 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 1998),

(18)

Bab pertama : Pendahuluan

Konsep dasar yang memberikan gambaran secara umum dari keseluruhan penelitian ini, yang meliputi latar belakang masalah, penegasan masalah, rumusan masalah, telaah pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua : Teori Hukum Positif di Indonesia

Berisi tentang Teori Perundang-undangan, teori harmonisasi hukum dan teori interpretasi hukum.

Bab ini perlu. Karena untuk menganalisa transformasi uang giral prespektif hukum positif, tentunya seorang penganalisis harus mengetahui sejarah perkembangan hukum dan aturan perundang-undangan yang terkait. Begitu juga kedudukan dan asas diantara masing-masing hukum. Bab ketiga : Uang Giral sebagai Alat Pembayaran

Berisi tentang macam-macam uang giral, APMK, uang elektronik dan dasar hukum terkait APMK dan uang elektronik.

(19)

Bab keempat : Transformasi Uang Giral Perspektif Hukum Positif Bab ini merupakan inti dari pembahasan tesis ini yang akan diawali dengan analisis penafsiran hukum terkaut uang elektronik baik secara historis, gramatikal hingga evolutif

-dinamis, juga dibahas di dalamnya Pengaruh PBI Nomor 14/2/PBI/2012 terhadap Transaksi Uang Elektronik.

Bab kelima : Kesimpulan dan Saran.

(20)

14

BAB II

TEORI HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A.Teori Perundang-undangan di Indonesia

Istilah perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) disahkan oleh parlemen (legislatif) ditandatangani oleh kepala negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang mengikat1 Dalam perundang-undangan terdapat istilah hirarki yang oleh Maria Farida Indriati Soeprapto diterjemahkan dengan tata atau susunan secara berjenjang, dan berlapis-lapis di mana peraturan yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi. Menurut Hans Kelsen tentang hirarkhi yang menyatakan bahwa, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi dalam tata susunan. Ini berarti suatu norma yang lebih rendah berlaku yang bersumber pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar.2

Kerangka teoritik tentang hirarki peraturan perundang-undangan berikut kekuatan hukum mengikat merujuk pada teori hirarki norma-norma dari Hans Kelsen, yang dapat dirinci sebagai berikut:

1 Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 456.

(21)

1. Hukum mengatur pembentukannya sendiri, yakni suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain dan menentukan isi dari norma hukum yang lain itu.

2. Suatu norma adalah valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma yang lain, dan norma yang lain ini menjadi alasan validitas dari norma yang pertama.

3. Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma yang lain dapat diungkap sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam kiasan mengenai ruang.

4. Norma yang menentukan pembuatan norma yang lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibuat ini adalah norma yang lebih rendah.

5. Tata hukum bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu hirarki norma-norma dari tingkatan yang berbeda.3

Kesatuan norma-norma ini disusun oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus ini diakhiri oleh norma yang lebih tinggi yang merupakan norma dasar, yang menjadi alasan utama validitas dari keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.4

Berdasarkan teori mengenai hirarki norma-norma dari Hans Kelsen, diperoleh pemahaman mengenai makna hirarki norma hukum, bahwa suatu norma hukum memperoleh validitas apabila pembentukannya ditentukan oleh norma hukum yang lebih tinggi, dan pembentukan norma hukum tersebut meliputi cara pembentukan dan isi norma hukum. Dengan demikian, ketika dibuat suatu norma hukum bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, pada dasarnya norma hukum yang lebih rendah itu melaksanakan norma hukum yang lebih tinggi.

3 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: ... 25.

4 Asshiddiqie, Jimly dan Ali Syafaat, M, Teori Hans Keslen Tentang Hukum (Jakarta:

(22)

Menurut A. Hamid S Attamimi dalam pembentukan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum yakni “Pancasila, Negara berdasarkan atas hukum, dan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi”. Pancasila berdasarkan UUD RI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini disebabkan, bahwa Pancasila adalah menjadi cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.5 Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu materi muatan perundang-undangan yang baik yakni berisi kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.

Pembentukan peraturan perundang undangan diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memuat peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya:

1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;

(23)

2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang;

3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang-undangan itu, bersifat peraturan tertulis. Pemaknaan dari peraturan tertulis ini bukan dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja, jika dipahami demikian, maka awig-awig (peraturan desa pakraman) yang ditulis memenuhi sebagai unsur ini. istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “wettelijke regeling”. Menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan dalam cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan produk legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan eksekutif yang bersifat mengatur.6 Selanjutnya dikatakan bahwa, membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Jadi teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan.7 Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja, menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan pemahaman (yang

6 H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia,

(Bandung: Mandar Maju , 1998), 14-15.

(24)

bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang, pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya dan bersifat kognitif.

Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur dan melaksanakannya sesuai dengan konstitusi dan kewenangan yang ada dalam negara hukum, pada hakekat dari negara hukum memiliki empat elemen hukum, yakni : (a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi keberadaan manusia, (c) pembagian kekuasaan, dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah. Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik.8 Secara yuridis elemen tersebut menjiwai :

1. Bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya;

2. Bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum positip yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat;

3. Bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positip yang mendasarinya;

4. Bahwa setiap perundang-undangan memberikan kesempatan untuk dilakukan yudicial review oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu.

(25)

Peraturan perundang-undangan yang dibuat secara tertulis memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepastian norma hukum adalah keabsahan norma hukum supaya norma hukum bersangkutan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara teoritik, pada dasarnya ada 3 (tiga) aspek yang mesti dipenuhi supaya norma hukum itu absah, yakni filosofi, sosiologis, dan yuridis, yang masing-masing berkaitan dengan nilai-nilai dasar hukum yakni, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, selain itu ada yang menambahkan dengan landasan politis.

Landasan keabsahan norma hukum peraturan perundang-undangan dari filosofi, sosiologis, dan yuridis mendapatkan perhatian bahasan dari para sarjana Indonesia, dan dapat dirangkum, sebagai berikut9:

1. Landasan Filosofi, mencerminkan nilai-nilai filosofi atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), diperlukan sebagai sarana untuk menjamin keadilan.

2. Landasan Sosiologis, mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian, diperlukan sebagai sarana untuk menjamin kemanfaatan.

3. Landasan Yuridis, konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar ketentuan hukum yang

(26)

sederajat dan dengan yang lebih tinggi, diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

Norma hukum tersebut, menjadikan bagian dari pembentuk undang-undang didalam pembuatan peraturan perundang-undang-undang-undangan sebagai landasan atau dasar pikiran. Dalam dasar atau landasan pembentukan itu (filosofi, sosiologis dan yuridis), untuk menjadi dasar sebagai bagian dari kebangsaan diperlukan landasan idiologis, artinya bahwa pembuat undang-undang untuk tetap menjadikan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesiayakni bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia.

Peraturan yang baik selain norma hukum juga diperlukan substansi hukum (materi) yang akan menjadikan bagian penting suatu peraturan perundang-undangan, dimana hirarkhi perundang-undangan agar tidak bertentangan satu dengan yang lainnya (keharmonisan peraturan). Beberapa ajaran dalam konsep dan hirarkhi norma hukum yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Achmad Ali menyatakan tentang ajaran Hans Kelsen terdiri dari tiga konsep, yaitu:10

a. Ajaran Hukum Murni (Pure theory of law) yang menyatakan ilmu hukum bebas dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologi, politik dan sebagainya. Kelsen menolak masalah keadilan di jadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum, baginya keadilan adalah masalah idiologi yang ideal yang irasional, jadi Kelsen ingin menerima hukum apa adanya yaitu peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.

b. Ajaran tentang Groundnorm, yakni merupakan induk yang melahirkan peraturan perundang-undangan dalam suatu tatanan

(27)

sistem hukum tertentu, groundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum yang memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.

c. Ajaran tentang Stufentheori, teori stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa “norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkhis dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada dasar atau groundnorm atau besik norm atau fundamental norm yang tidak dapat ditelusuri lagi pada siapa pembentuknya dan dari mana asalnya.11

Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti antara lain : Pertama Teori tentang Reine Rechchtslehre; Kedua Teori tentang Grundnorm; dan Ketiga Teori tentang Stuffenbau des Rechts. 59 Dalam

penulisan tesis ini adalah teori tentang hirarki norma hukum (Stufenbau Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm). Selanjutnya disebutkan Grundnorm voraussetzt, das heibt: “wie es dem subjektiven Sinn des Verfassunggebenden Willensaktes, den Vorschriften des Verfassunggebers,

entspricht.”12 oleh Max Knight diterjemahkan menjadi :

Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan konstitusi.13

Grundnorm adalah seseorang seharusnya bertindak (menaati) sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi, artinya orang seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif dari tindakan/kehendak/kemauan

11 Asshiddiqie, Teori Hans Keslen ..., 172-174. 12 Ibid.

13 Ayu Bimo Setyo Putri, “Itikad Baik pada Pendaftaran Hak atas Tanah dalam Sistem

(28)

yang membentuk konstitusi. A. Hamid S Attamimi, grundnorm disebutnya sebagai norma tertinggi, mengatakan bahwa :

“Suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, kemudian norma ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan diperkirakan (presupposed, voorondersteld) atau ditetapkan terlebih dahulu (vorausgesetzt) keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat sendiri. Kelsen menamakan norma yang tertinggi ini adalah Grundnorm.”14

Grundnorm dalam pengertian Hans Kelsen merupakan norma yang paling tinggi yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya, atau dari mana asalnya. Keberlakuannya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara presupposed yaitu diandaikan keberadaannya lebih dahulu oleh akal budi manusia. Dalam hubungannya dengan itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :

“Semua hukum yang berada dalam kawasan rezim grundnorm harus bisa mengait kepadanya. Oleh karena itu, ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan- peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ibarat mesin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberi pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu harus dilaksanakan. Ia lebih merupakan dalil dari pada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi tata hukum manakala yang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.”15

Berkaitan dengan masalah penelitian yang menganalisis tentang kepastian hukum dan kedudukan hukum tanah adat di Bali yang terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan, tidak akan terlepas dari sudut pandang

14 A. Hamid S Attamimi, Hukum Tentang..., 358.

(29)

substansi dari undang-undang yang terbentuk dengan undang-undang yang membentuknya yakni dari tata susunan adalah tidak boleh suatu undang- undang bertentangan dengan perundangan di atasnya yaitu UUD NRI Tahun 1945. Dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang didasari atas suatu nilai-nilai dasar seperti kepastian hukum, keadilan dan kegunaan, serta kesahan berlakunya berdasarkan atas keberlakuan secara filosofi, yaitu kebijakan yang dibuat berdasarkan nilai suatu pandangan hidup suatu bangsa. Sedangkan keberlakuan secara sosiologis bahwa peraturan perundang-undangan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat karena memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk nilai kepastian hukum yang secara yuridis merupakan landasan hukum sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Hirarki peraturan perundang-undangan dalam pembentukan perundang-undangan di Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum, yang oleh A. Hamid S Attamimi disebutkan “Pancasila, negara berdasarkan atas hukum, dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.”16

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hal ini disebabkan bahwa Pancasila menjadi cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir

(30)

lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu terbentuknya materi muatan perundang-undangan yang baik yakni yang berisi kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.

Sebagai negara hukum pada hakekatnya memiliki empat elemen hukum, yakni : “(a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (c) pembagian kekuasaan dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah.”17 Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik. Secara yuridis elemen tersebut menjiwai :

a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya; b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat;

c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positif yang mendasarinya;

d. bahwa setiap perundang-undangan memberi kesempatan untuk dilakukan yudicial review oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu.18

Pendapat para sarjana tersebut mengenai teori perundang-undangan berlandaskan filosofi, sosiologis, yuridis dan idiologis yang temuat dalam suatu norma hukum, dimana norma hukum yang lebih rendah berpedoman pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga nantinya dapat terjadi harmonisasi hukum dalam peraturan tersebut.

(31)

B.Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi hukum secara filsafati dapat diartikan sebagai kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata “harmonia” yang artinya “terlibat secara serasi dan sesuai.” Dalam perspektif psikologi diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.19 Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada tahun 1902, penggagasnya adalah Rudolf Stammler (1856-1938). Perkembangan harmonisasi hukum dalam ilmu hukum digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni.

Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf Stammler “a just law aims at harmonizing individual purposes with that of society.”20

Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas, dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu dengan individu, individu dengan negara atau pemerintah, sehingga

(32)

menampakkan teori harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya seperti :

LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.21

Kusnu Goesniadhie. S, berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.

Wicipto Setiadi, pengharmonisan adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).22

21 LM. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif (Yogyakarta:

Kansius, 1980), 88.

22 Wicipto Setiadi, “Proses Pengharmonisan sebagai Upaya untuk Memperbaiki

(33)

Juniarso Ridwan, merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.23

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofi, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.24

Beberapa pendapat para ahli tersebut diatas tentang harmonisasi hukum, yang menjadi teori harmonisasi hukum untuk menghindari disharmoni hukum, maka tampak unsur-unsur yang membangun atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum seperti adanya :

a. penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum.

b. dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, kesebandingan kegunaan dan keadilan.

c. kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.

d. keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keserasian, dan kecocokan peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal.25 Disharmonis hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya. Dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya disharmonisasi biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman perilaku. Jika terjadi disharmoni antara norma-norma

23 Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

(Bandung: Nuansa, 2009), h.219-220

24 Ibid, 223.

25 I Gede Artha, “Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas dan Upaya Hukumnya bagi

(34)

hukum, penyelesaiannya adalah dengan penerapan asas-asas hukum atau kembali pada asas hukumnya.

Secara umum dalam instrumen penyelesaian disharmonisasi hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman dimasa lalu memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu, yang akhirnya diperoleh sekedar petunjuk yang kabur.26

Hubungan antara teori perundang-undangan dengan teori harmonisasi hukum sebagai kerangka teoritik dalam tesis ini, untuk dapat memberi analisis bahwa kebijakan suatu kepastian hukum uang giral, dan untuk mengetahuinya hanya dapat dilihat dalam sahnya berlaku kebijakan tersebut.

C.Teori Interpretasi Hukum

Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap

26 Sidharta, “Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

(35)

hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.

Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping hal itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-Undang Dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare27, Undang-undang Dasar dapat diubah melalui (i) formal amandement, (ii) judicial interpretation, dan (iii) constitutional usage and conventions28.

Para pakar hukum telah menguraikan adanya beberapa teori penafsiran yang berbeda. Utrecht mengemukaan mengenai penafsiran undang-undang sebagai berikut29:

1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)

Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun

27 Sir Kenneth Clinton Wheare, CMG (26 Maret 1907-7 September 1979) adalah

seorang akademisi Australia, yang menghabiskan sebagian besar karirnya di Universitas Oxford di Inggris. Dia adalah seorang ahli pada konstitusi Persemakmuran Inggris. (en.wikipedia.org)

28 Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, Terj. B. Arief

Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ Parahyangan, 2001), 25.

29 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Terj. Moh. Saleh Djindang, (Jakarta:

(36)

belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturanperaturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, yang pertama ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan.30

2. Penafsiran Historis (historis interpretatie)

Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, dilakukan dengan menafsirkan menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie) dan menafsirkan menurut sejarah penetapan suatu ketentuan (wetshistorische interpretatie). Penafsiran menurut sejarah, menurut Utrecht, merupakan

penafsiran luas atau mencakup penafsiran menurut sejarah penetapan. Kalau penafsiran menurut sejarah penetapan dilakukan dengan cara mencermati laporan-laporan perdebatan dalam perumusannya, suratsurat yang dikirim berkaitan dengan kegiatan perumusan, dan lain-lain, sedangkan penafsiran menurut sejarah hukum dilakukan menyelidiki asal naskah dari sistem hukum yang pernah diberlakukan, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.31

Bagi hakim, menurut Scolthen, makna penafsiran historis berdasarkan kebutuhan praktik. Pada umumnya yang penting bagi hakim ialah mengetahui maksud pembuat naskah hukum yang ditetapkan. Hukum bersifat dinamis dan perkembangan hukum mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, makna yang dapat diberikan kepada suatu kata dalam naskah hukum positif sekarang berbeda dengan maknanya pada

(37)

waktu ditetapkan. Oleh sebab itu pula, penafsiran menurut searah hakikatnya hanya merupakan pedoman saja32. Akan tetapi, penafsiran historis tidak hanya menelaah risalah sebagai story perumusan naskah, tetapi juga menelaah sejarah sosial, politik, ekonomi, dan social event lainnya ketika rumusan naskah tersebut dibahas.

3. Penafsiran sistematis

Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri (systematische interpretative). Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, di mana keduanya mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain. Jika misalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan lainnya, harus dijadikan acuan33.

4. Penafsiran sosiologis

Menurut Utrecht34, setiap penafsiran undang-undang harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis agar keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Utecht mengatakan bahwa hukum merupakan gejala sosial, maka setiap peraturan memiliki tugas sosial yaitu kepastian hukum dalam masyarakat. Tujuan

32 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum..., 210-211. 33 Ibid, 212-213.

34 Ernst Utrecht (Surabaya, 1922 – Amsterdam, 1987) adalah seorang ilmuwan

(38)

sosial suatu peraturan tidak senantiasa dapat dipahami dari kata-kata yang dirumuskan. Oleh karena itu, hakim harus mencarinya. Penafsiran sosiologis merupakan jaminan kesungguhan hakim dalam membuat keputusan, oleh karena keputusannya dapat mewujudkan hukum dalam suasana yang senyatanya dalam masyarakat.35

5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri.36 Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin mengetahui apa yang dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama adalah lihat penjelasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-undang selalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam Tambahan Lembaran Negara, sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam Lembaran Negara.

Sementara itu, Visser’t Hoft37 mengemukakan 7 (tujuh) model penafsiran hukum, yaitu38:

1. Penafsiran Gramatikal atau Interpretasi Bahasa

Menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.

35 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum..., 216. 36 Ibid, 217.

37 Willem Adolph Visser 't Hooft (20 September 1900 - 4 Juli 1985) adalah seorang

teolog Belanda yang menjadi sekretaris jenderal pertama dari World Council of Churches pada tahun 1948 dan memegang posisi ini sampai pensiun pada tahun 1966. (en.wikipedia.org).

(39)

2. Penafsiran Sistematis

Makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari makna kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang ada kaitannya dan melihat pula kaidah-kaidah lainnya. Menurut Visser’t Hoft, dalam sebuah sistem hukum yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka merujuk pada pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang merupakan hal yang biasa. Perundang-undangan adalah sebuah sistem. Ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya saling berhubungan dan sekaligus keterhubungan tersebut dapat menentukan suatu makna. Akan tetapi, dalam tatanan hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk pada sistem dimungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat diasumsikan atau diandaikan.39

3. Penafsiran Sejarah Undang-Undang

Penafsiran dengan cara merujuk pada sejarah penyusunannya, membaca risalah, catatan pembahasan oleh komisikomisi dan naskah-naskah lain yang berhubungan dengan pembahasan termasuk surat menyurat yang berhubungan dengan penyusunan suatu undang-undang.40

4. Penafsiran Sejarah Hukum

Penafsiran dengan cara menentukan arti suatu rumusan norma hukum dapat memperhitungkan sejarah isi norma atau pengertian hukum dengan

(40)

cara mencari keterkaitan dengan pendapat penulis-penulis, atau konteks kemasyarakatn masa lalu.41

5. Penafsiran Teleologis

Maksudnya yaitu menafsirkan dengan cara mengacu kepada formulasi norma hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Fokus perhatian dalam menafsirkan adalah fakta bahwa pada norma hukum mengandung tujuan atau asas yang menjadi dasar sekaligus mempengaruhi interpretasi.

6. Penafsiran Antisipatif

Menurut Visser’t Hoft. Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara merujuk RUU yang sudah disiapkan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa yang akan datang (forward looking). Dengan perkataan lain, hakim dapat saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap norma hukum yang dilakukannya didasarkan atas penelahaan dari sudut pandang hukum baru.42

7. Penafsiran Evolutif-Dinamis

Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan pandangan masyarakat dan situasi kemasyarakatan. Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat mendobrak perkembangan setelah diberlakukannya hukum tertentu. Salah satu cirri penting penafsiran ini ialah pengabaian maksud pembentuk undang-undang. Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari suatu norma sama sekali tidak berperan lagi.43

41 Ibid.

(41)

35

BAB III

UANG GIRAL SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN

A.Sejarah Perkembangan Uang

Pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai

buah-buahan. Karena jenis kebutuhannya masih sederhan dan belum membutuhkan

bantuan orang lain. Mereka hidup mandiri, dan kala itu disebut prabarter, yaitu

manusia belum mengenal adanya transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli.

Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradaban manusia

semakin maju, kegiatan dan interaksi manusia pun semakin tajam. Kebutuhan

manusia pun juga bertambah. Pada saat ini mulai muncul ketidakmampuan

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Muncullah kegiatan bercocok tanam

dan berkembang lagi sejak saai itu manusia mulai menggunakan berbagai cara

dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya. Terjadilah tukar menukar kebuthan dengan cara barter,

kemudian periode ini disebut zaman barter.

Pertukaran barter menandai adanya keinginan yang sama pada saat yang

bersamaan dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun ketika

kebutuhan semakin kompleks semakin menciptakan double coincidence of

wants. Ketika seseorang membutuhkan beras sedangkan hanya memiliki garam

dan pihak yang lain tidak membutuhkan garam yang dibutuhkan daging.

(42)

alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar demikian disebut

uang yang pertama kali dikenal dalam perdaban Sumeria dan Babylonia1.

Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti perjalanan

sejarah. Dari inilah uang kemudian dikategorikan dalam tiga jenis yaitu uang

barang, uang kertas dan uang giral atau uang kredit.

1. Uang Barang (CommodityMoney)

Uang barang adalah alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau

bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai

uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga

kondidi utama, agar suatu barang bisa dijadikan uang antara lain2:

a. Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas.

b. Daya Tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama.

c. Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai

tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam

melakukan transaksi.

Dalam sejarah, pemakaian uang barang yang pernah disyartakan

barang yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti

garam. Namun kemudian uang komoditas atau uang barnag ini dinilai

banyak kelemahan. Di antaranya, uang barang tidak memiliki pecahan,

sulit untuk disimpan dan sulit untuk diangkut. Kemudian pilihan sebagai

uang jatuh pada logam-logam mulia seperti emas dan perak. Kenapa

1 Septi Wulan Sari, “Perkembangan dan Pemikiran Uang” dalam An-Nisbah, 3 (Oktober

2016), 40.

2 Mustafa Edwin Nasution dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta:

(43)

dipilih karena memiliki nilai yang lebih tinggi, langka, dan dapat diterima

secara umum sebagai alat tukar. Dan kelebihannya, emas dan perak dapat

dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil. Selain itu juga logam mulia ini

juga tidak mudah rusak atau susut.3

Penggunaan logam mulia tersebut sebagai alat pembayaran ternyata

mengalami pasang-surut, antara lain sebagai akibat terbatasnya

ketersediaan dan/atau mahalnya biaya penambangan logam tersebut.4

Dalam perkembangan selanjutnya, selain kedua logam tersebut, tembaga

juga sangat diminati mengingat logam tersebut lebih mudah didapat

sehingga lebih murah harganya. Keberadaan beberapa uang logam tersebut

secara bersamaan di tengah masyarakat menimbulkan konsekuensi logis,

yaitu semakin diminatinya uang dengan kualitas rendah (tembaga)

dibandingkan dengan uang dengan kualitas baik (emas dan perak). Apabila

terus berlanjut, hal ini dapat menyebabkan hilangnya uang dengan kualitas

baik dari peredaran.

2. Uang kertas (TokenMoney)

Dalam perkembangannya, penggunaan logam-logam berharga

tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan sistem

pembayaran, khususnya untuk transaksi yang berjumlah besar, karena

selain oleh adanya kesulitan dan biaya pengangkutan, risiko mungkin akan

timbul, misalnya perampokan. Untuk mengatasi hal ini, lembaga-lembaga

3 Septi Wulan Sari, “Perkembangan ... ”, 45.

4 Solikin dan Suseno, Uang: Pengertian, Penciptaan dan Peranannya dalam

(44)

swasta atau pemerintah mulai menyimpan sertifikat-sertifikat berharga

yang mewakili logam tersebut.5

Ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih keuntungan dari

kepemilikan mereka atas emas dan perak. Pihak-pihak ini adalah bank,

sebagai orang yang meminjamkan uang dan pandai emas atau toko

perhiasan. Dengan adanya ini, pandai emas dan bank mengeluarkan surat

(uang kertas) dengan nilai yang besar dari emas dan perak yang

dimilikinya. Karena kertas ini didukung oleh kepemilikan atas emas dan

perak, masyarakat umum menerima uang kertas ini sebagai alat tukar.6

Pada awal penggunaannya, sertifikat tersebut didukung sepenuhnya

oleh nilai logam yang disimpan di tempat penyimpanan atau yang dikenal

sebagai bank. Setelah beberapa waktu digunakan dan diterima secara luas,

sertifikat tersebut tidak bergantung secara penuh pada dukungan logam

dengan nilai penuh, misalnya hanya didukung 40% oleh simpanan emas.

Dengan demikian, nilai yang tercantum pada sertifikat yang bersangkutan

(nilai nominal) tidak sama dengan nilai jaminan fisik logam yang disimpan

(nilai intrinsik).7 Apabila nilai nominal suatu mata uang lebih besar

dibandingkan dengan nilai intrinsiknya, uang tersebut dikenal dengan uang

fiat. Dalam hal ini uang diakui sebagai tanda setuju. Termasuk di antara

uang fiat adalah uang kertas yang kita kenal selama ini.

Ada beberapa keuntungan penggunaan uang uang kertas, diantaranya

biaya pembuatan rendah, pengirimannya mudah, penambahan dan

5 Solikin dan Suseno, Uang... (Jakarta: PPSK BI, 2002) 6.

(45)

pengurangan lebih mudah dan cepat, serta dapat dipecah-pecahkan dalam

jumlah berapapun.

Namun kekurangan uang kertas juga cukup signifkan, antara lain

uang kertas ini tidak bisa dibawa dalam jumlah yang besar dan karena

dibuat dari kertas, sangat mudah rusak.

Di Indonesia uang barang (logam) dan uang kertas dikenal dengan

istilah uang kartal. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib

diterima oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli sehari-hari.

Menurut Undang-undang Bank Sentral No. 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1,

Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang logam

dan kertas.

3. Uang Giral (DepositMoney)

Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial

melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral

merupakan simpanan nasabah di bank yang dapt diambil setiap saat dan

dapat dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan pembayaran.

Artinya cek dan giro yang dikeluarkan oleh bank mana pun bisa digunakan

sebagai alat pembayaran barang, jasa dan utang8.

Menurut UU No. 7 tentang Perbankan tahun 1992, definisi uang

giral adalah tagihan yang ada di bank umum, yang dapat digunakan

sewaktu-waktu sebagai alat pembayaran. Di Indonesia, bank yang berhak

menciptakan uang giral adalah bank umum selain Bank Indonesia. Uang

(46)

giral bukan merupakan alat pembayaran yang sah. Artinya, masyarakat

boleh menolak dibayar dengan uang giral.

Dalam perkembangannya, simpanan giro begitu populer sehingga

jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang digunakan pada

waktu itu. Sejalan dengan perkembangan tersebut, simpanan tabungan

(savings deposit) juga mulai dikenal. Bahkan, pada tahun 1950-an,

perubahan praktik perbankan telah mendorong semakin besarnya jumlah

simpanan tabungan dibandingkan dengan simpanan giro.

Perkembangan dan inovasi sistem perbankan yang pesat selanjutnya

mengarahkan penggunaan uang sebagai suatu komoditas yang tidak

berbentuk secara konkrit (intangible money). Hal ini terkait dengan

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat

meningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta mengurangi waktu dan

biaya yang diperlukan untuk melakukan transaksi dengan menggunakan

cek. Sejak tahun 1990-an hingga kini terdapat kecenderungan masyarakat

untuk menggunakan “uang eloktronis” (electronic money atau E-money),

seperti internet banking, debit cards, dan automatic teller machine (ATM)

cards. Evolusi uang tidak berhenti di sini. “Uang elektronis” juga muncul

dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips pada sebuah kartu.

Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu dengan “mengisi” chips

dengan sejumlah uang tertentu yang dikehen-daki, dan selanjutnya

menggunakannya untuk melakukan transaksi.9

(47)

Beberapa keuntungan dan kelebihan penggunaan uang giral sebagai

alat pembayaran adalah10:

a. Kalau hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa diuangkan oleh

yag tidak berhak.

b. Dapat dipindahtangankandengan cepat dan ongkos yang rendah.

c. Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan

nilai transaksi.

Namun dibalik kelebihan sistem ini sesungguhnya tersimpan bahaya

besar. Kemudian perbankan menciptakan uang giral ditambah dengan

instrumen bunga bank membuka peluang terjadinya uang beredar yang

lebih besar daripada transaksi riilnya. Inilah yang kemudian menjadi

pertumbuhan ekonomi yang semu.11

B.Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)

Menurut peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 6/30/PBI/2004

pengertian Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu yaitu alat

pembayaran yang berupa Kartu ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, Kartu

Prabayar, dan lain-lain.12

1. Kartu ATM

Kartu ATM adalah kartu pembayaran yang merupakan gabungan

antara kartu ATM dan kartu debit, sehingga memiliki lebih banyak fungsi

dibandingkan kartu ATM biasa. Kartu ATM, kartu debet dan kartu kredit

10 Mustafa Edwin Nasution dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 242. 11 Septi Wulan Sari, An-Nisbah, 46.

(48)

dikelompokkan sebagai alat pembayaran dengan menggunakan kartu atau

APMK. Sementara itu, kartu prabayar kini tidak lagi digolongkan sebagai

APMK melainkan uang elektronik (e-Money). Saat ini, penyelenggaraan

APMK diatur dalam PBI Nomor 1/11/PBI/2009 jo. PBI Nomor

14/12/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK Kartu ATM

adalah jenis APMK yang dapat digunakan untuk melakukanpenarikan

tunaidan/atau pemindahan dana, yakni kewajiban pemegang kartu

dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan

pemegang kartu pada bank atau lembaga selain bank (LSB) yang

berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Kartu ATM yaitu alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk penarikan uang tunai dan pemindahan dana dimana pemegang kartu harus memenuhi kewajiban dengan mengurangi dana dalam rekening secara otomatis pada Bank yang menghimpun dana. Kartu ATM dapat digunakan melalu mesin ATM dan dapat dipergunakan untuk bertransaksi ditempat perbelanjaan, kartu ATM ini berfungsi juga kartu Debet.13

2. Kartu Kredit

Kartu kredit yaitu alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat

digunakan untuk pembayaran yang timbul dari kegiatan ekonomi. Kartu

kredit ini untuk bertransaksi dalam perbelanjaan. Pemegang kartu kredit

ini memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang

(49)

disepakati oleh penerbit kartu kredit, pelunasan ini dapat dilakukan secara

sekaligus maupun secara angsuran.14

3. Kartu Debet

Kartu debet adalah jenis APMK yang dapat digunakan untuk suatu

kegiatan melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari

ekonomi, pemegang kartu termasuk transaksi pembelanjaan untuk

dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan

pemegang kartu pada bank atau lembaga selain bank berwenang untuk

menghimpun dana dari pemegang kartu sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Kartu debet adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang digunakan untuk pembayaranyang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi. Kartu debet ini sebagai alat transaksi pembayaran, pemegang kartu ini memiliki kewajiban untuk dipenuhi. Sebagai alat pembayaran kartu ini mengurangi secara langsung dana yang disimpan pemegang kartu pada Bank yang berwenang menghimpun dana.15

Lembaga selain bank (LSB) yang akan melakukan kegiatan sebagai

prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara

penyelesaian akhir di wilayah Republik Indonesia harus berbadan hukum

Indonesia dan telah mendapatkan izin dari BI. Prinsipal, penerbit, acquirer,

penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir yang telah

memperoleh izin dari BI hanya dapat bekerja sama dengan prinsipal,

penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan penyelenggara penyelesaian

akhir yang telah memperoleh izin dari BI.

14 R.Serfianto, dkk., Untung dengan Kartu ..., 84.

(50)

Penerbit wajib menerapkan prinsip perlindungan nasabah dalam

menyelenggarakan kegiatan APMK yang antara lain dilakukan dengan

menyampaikan informasi tertulis kepada pemegang kartu atas APMK yang

diterbitkan. Informasi tersebut wajib menggunakan bahasa Indonesia yang

jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah

dibaca oleh pemegang kartu. Penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet wajib

memberikan informasi tertulis kepada pemegang kartu, paling kurang

meliputi hal- hal sebagai berikut. Prosedur dan tata cara penggunaan kartu,

fasilitas yang melekat pada kartu, dan risiko yang mungkin timbul dari

penggunaan kartu tersebut.

Hak dan kewajiban pemegang kartu, paling kurang meliputi hal-hal

sebagai berikut. Hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pemegang

kartu dalam penggunaan kartunya, termasuk segala konsekuensi/ risiko yang

mungkin timbul dari penggunaan kartu. Misalnya, tidak memberikan PIN

kepada orang lain dan berhati-hati saat melakukan transaksi melalui mesin

ATM; Hak dan tanggung jawab pemegang kartu apabila berbagai hal yang

mengakibatkan kerugian bagi pemegang kartu dan/atau penerbit, baik yang

disebabkan adanya pemalsuan kartu, kegagalan sistem penerbit dan sebab

lainnya. Jenis dan besarnya biaya yang dikenakarn. Tata cara dan

konsekuensi jika pemegang kartu tidak lan berkeinginan menjadi pemegang

kartu. Tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan

kartu dan perkiraan waktu penanganan pengaduan tersebut.16

(51)

Batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat ditransfer

antarpenerbit kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar maksimum

Rp5.000.000 per rekening dalam satu hari dengan ketentuan sebagai

berikut:17

1. Batas paling banyak nilai nominal dana berlaku untuk transfer dana

antarpenerbit melalui ATM, yakni rekening pengirim dan rekening

penerima berada pada penerbit yang berbeda.

2. Batas paling banyak nilai nominal dana tidak berlaku untuk transfer

dana intrapenerbit kartu ATM, yakni rekening pengirim dan rekening

penerima berada pada penerbit yang sama.

3. Sementara itu, batas paling banyak nilai nominal dana untuk penarikan

tunai melalui mesin ATM dengan kartu ATM atau kartu kredit

ditetapkan maksimum Rp10.000.000 per rekening dalam satu hari.

Penerbit wajib meningkatkan keamanan APMK guna mencegah dan

mengurangi tingkat kejahatan di bidang APMK, serta sekaligus untuk

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi yang terkait

dengan penyelenggaraan APMK, yang digunakan untuk memproses

transaksi APMK. Peningkatan keamanan kartu dilakukan dengan

menggunakan teknologi chip (integruted cireul) yang mempunyai

kemampuan untuk menyimpan dan/atau memproses data, sehingga pada

kartu dapat ditambahkan aplikasi untuk kepentingan pengamanan

pemrosesan data transaksi Peningkatan keamanan mesin electronie data

(52)

capture (EDC) pada pedagang, keamanan mesin ATM, dan keamanan pada

sstem pendukung dan pemroses transaksi (back end system) yang berada

pada penerbit, acquirer, dan/atau third party processor lainnya, dilakukan

dengan cara menyediakan mesin dan sistem yang d

Referensi

Dokumen terkait

Dan pada konsentrasi limbah cair garam 30˚ Be dengan konsentrasi 50 persen diperoleh kndungan NaCl murni sebesar 15,478 persen, namun untuk kontrol yang

Ujaran dosen pada data nomor (20) melanggar maksim hubungan karena pertanyaan tersebut menyiratkan teguran agar para mahasiswa memperhatikan penjelasan yang

mengedepankan kompetisi dan kompetensi ASN dalam promosi dan pengisian jabatan. Hal ini menempatkan pegawai ASN sebagai sebuah profesi yang harus memiliki standar

Contoh: untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap materi tertentu, alat evaluasi yang berbentuk isian (objektif), setelah dianalisis dan dibandingkan ternyata lebih baik

Memasuki gua bawah tanah, melompati bebatuan di antara lahar, bergelayutan dari pohon satu ke pohon lain, bergulat dengan ular sambil mencari kunci untuk membuka

Komponen utama pembelajaran CTL mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1) Konstruktivisme

Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan informan atau narasumber dan observasi secara langsung mengenai pelaksanaan penanaman

Faktor ekstrenal, yaitu lingkungan keluarga ; ada kaitan yang positif antara keyakinan orang tua dengan keyakinan anak terhadap kemampuannya, iklim kelas ; konsep diri