• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif ditandai dengan adanya abnormalitas perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun. Jumlah penderita gangguan autis didunia semakin hari semakin bertambah. Santrock (2009) mengindikasikan bahwa rata-rata dua sampai lima dari setiap 10,000 anak di Amerika Serikat menderita gangguan autis.Tahun 2002, di Inggris dilaporkan angka kejadian autis meningkat, dicurigai 1 diantara 10 anak mengalami gangguan autis. APA (2013) dalam DSM-V menuliskan bahwa frekuensi gangguan spectrum autisme (Autism Spectrum Disorder) lintas Amerika mencapai 1% dari populasi yang ada.

Badan Pusat Statistik Indonesia memperkirakan dari tahun 2010 sampai 2016 sekiranya terdapat 140.000 anak dibawah usia 17 tahun dengan gangguan autis. Mohammad Nelwansyah, Direktur Eksekutif Rumah Autis saat peringatan hari Autisme sedunia tanggal 2 April 2015 di Bekasi menyebutkan bahwa di Indonesia, pada tahun 2000-an prevalensi penderita autis sebesar 1:1000 kelahiran. Tahun 2008, angka prevalensi kejadian autis tersebut meningkat sampai 1,68:1000 kelahiran. Nelwansyah menambahkan penyebaran autis paling banyak terdapat di daerah dengan rasio kepadatan penduduk paling tinggi, yaitu Provinsi Jawa Barat. Kasus autis di Jawa Barat diperkirakan mencapai angka 25 ribuan (Kurnia, 2015). Berbeda dengan Provinsi Jawa Barat, Balai Pengembangan

(2)

Pendidikan Khusus Provinsi Jawa tengah (2012) mendata bahwa ada sebanyak 512 penyandang autis dari total keseluruhan 13.828 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB seluruh Jawa Tengah. Meningkatnya kesadaran tentang jumlah kasus penderita gangguan autis kemudian mendorong munculnya kesadaran untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana membantu anak autis.

Anak autis menunjukkan sifat-sifat kelainan dimulai sejak bayi antara lain: kegagalan untuk menerima antisipasi, keterlambatan atau penyimpangan dalam perkembangan bahasa yang ditandai dengan membeo dan pemakaian kata sebutan yang terbalik, pengulangan monoton bunyi atau ungkapan verbal, stereotipik, keinginan obsesif untuk mempertahankan kesamaan dan rasa takut akan perubahan, dan hubungan abnormal dengan orang. Sifat-sifat kelainan anak autis juga meliputi kontak mata yang buruk, tidak tanggap atau acuh, pengulangan gerakan-gerakan, sikap-sikap ritualitas serta tetap dalam kebiasaan. Kumpulan sifat kelainan anak autis biasanya disimpulkan menjadi tiga serangkai karakteristik kelemahan perilaku atau “The Triad of Impairments”yaitu gangguan kualitatif pada interaksi sosial, gangguan komunikasi dan bahasa, serta perilaku sterotipik (Kaplan & Saddock, 1997).

Kelemahan sosial anak autis beraneka ragam, meliputi kelemahan bicara, kaidah ilmu bahasa dan interaksi interpersonal (White, Keonig & Scahill, 2007). Ketidakmampuan kualitatif anak autis dalam interaksi sosial meliputi kurang respon pada emosi orang lain, interaksi timbal balik sosio-emosional yang rendah, kelemahan dalam membaca petunjuk-petunjuk sosial, kesulitan dalam memulai

(3)

interaksi, berbagi kesenangan serta menyimpulkan ketertarikan orang lain (Bellini, Peters, Benner & Hopf, 2007; Liberi, 2012).

Rao, Beidel & Murray (2008) menambahkan bahwa kelemahan interaksi sosial pada anak autis meliputi kurangnya orientasi pada stimulus sosial dan kontak mata yang tidak memadai, permasalahan memulai interaksi sosial, kesulitan mengartikan bahasa verbal maupun non verbal, respon emosional yang kurang tepat dan kurang empati pada kesukaran orang lain. Anak autis juga memiliki kesulitan untuk memahami bahwa orang lain memiliki perasaan dan tujuan yang berbeda dari dirinya sendiri. Kesulitan ini membuat anak autis sering tidak mampu untuk memprediksi atau memahami perilaku orang lain. Anak autis mengalami kesulitan untuk mengintepretasikan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan, serta melewatkan petunjuk sosial yang halus dari ekspresi wajah seseorang (seperti sebuah senyuman, kerlingan mata, atau wajah yang menyeringai). Ketidakmampuan untuk mengartikan bahasa tubuh dan ekspresi wajah sering kali membuat anak autis merasa bahwa dunia sosial adalah hal yang membingungkan serta menakutkan (Turkington, 2007).

Faktor biologis turut menyumbang dalam perkembangan interaksi sosial anak autis. Mereka memiliki kelemahan koherensi sentral yang disebabkan oleh hemisfer kiri pada otak lebih berkembang daripada hemisfer kanan. Keadaan ini membuat anak autis mengalami kegagalan mengambil makna yang tersirat dari sebuah kalimat (Liberi, 2012).

Anak autis mendapat konsekuensi secara langsung dan tidak langsung terkait dengan kelemahan interaksi sosial ini. Kelemahan interaksi sosial

(4)

mengisyaratkan luaran yang berkembang semakin buruk seperti, pencapaian akademis yang rendah, kecemasan, depresi dan bentuk-bentuk lain dari psikopatologis (White, Keonig & Scahill, 2007; Bellini, Peters, Benner & Hopf, 2007). Turkington (2007) menambahkan bahwa kelemahan interaksi sosial membuat individu mengalami kesulitan dalam menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial yang bermakna. Dampaknya adalah anak autis menghindari situasi sosial sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mempelajari fungsi penting perkembangan mental. Interaksi dini yang dialami anak mempengaruhi keseluruhan proses-proses perkembangan mental dalam kehidupan mereka. Kekurangan interaksi sosial terutama pada usia dini beresiko membuat anak mengalami kerugian dalam perkembangan bahasa, pemikiran dan perilaku. Misalnya seksualitas, yang sering kali dipelajari anak dalam kesempatan sosialiasi non formal dengan teman sebaya tetapi tidak dipelajari oleh anak dengan gangguan autis yang mengalami eksklusi sosial. Keadaan ini membuat anak autis tidak mendapatkan ketrampilan dari interaksi sosial untuk memunculkan perilaku seksual yang tepat (Cross, 2009; Huitt & Dawson, 2011; Realmuto & Rubble, 1999).

Interaksi sosial yang negatif juga dapat menyebabkan penolakan oleh teman sebaya, isolasi sosial, penarikan diri individu, depresi, perasaan kesepian dan bahkan pemikiran untuk bunuh diri.Penelitian menunjukkan bahwa jika anak mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosial pada usia dini mereka lebih mungkin beresiko memunculkan perilaku maladaptif seperti perilaku antisosial,

(5)

kriminalitas dan penggunaan zat terlarang di kemudian hari (Huitt & Dawson 2011; Turkington, 2007).

Tinjauan literatur yang telah dipaparkan diatas sejalan dengan temuan dilapangan oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan murid autis, orang tua murid autis, serta guru di SLB Yayaysan Bina Asih (YBA) Surakarta pada bulan Agustus tahun 2015. Salah seorang murid autis mengatakan bahwa dia tidak memiliki teman di rumah. Peneliti menanyakan alasan kenapa dia tidak memiliki teman, kemudian dia menjawab bahwa teman-temannya sering kali mengejek dia dan tidak mau berteman dengannya serta tidak mau bermain bersamanya.

Peneliti kemudian melakukan wawancara kepada orang tua salah satu murid autis untuk mendapatkan gambaran perilaku sosial anak dirumah. Sang Ibu mengatakan bahwa aktivitas yang sering dilakukan anaknya dirumah saat waktu senggang adalah memainkan permainan di gadget (telefon genggam, tablet) serta komputer. Anak saat memainkan permainan bersikap acuh terhadap anggota keluarga. Anak akan marah dan bahkan tantrum saat gadget (telefon genggam, tablet) yang sedang dimainkannya diambil atau direbut.

Wawancara peneliti dengan guru kelas didapatkan keterangan tentang gambaran kemampuan interaksi sosial murid autis dengan berbagai macam klasifikasi dari cukup sampai buruk. Kemampuan interaksi yang cukup menurut guru ditunjukkan oleh siswa autis yang senang bercerita dengan teman sekelasnya. Siswa tersebut sekalipun sudah memiliki inisiatif untuk memulai interaksi tetapi dia masih mengalami kegagalan untuk memilih topik pembicaraan yang disukai lawan bicara, kesulitan untuk mempertahankan pembicaraan serta kurang mampu

(6)

memberikan timbal balik atau feedback yang tepat dari pembicaraan orang lain. Kemampuan interaksi sosial yang buruk ditunjukkan oleh siswa autis non verbal dengan gambaran perilaku: kontak mata yang sedikit dan tidak bertahan lama, tidak mempunyai inisiatif untuk melakukan interaksi dengan teman sekelas, tidak bergabung atau mendekat pada sekelompok teman yang sedang bermain serta melakukan perilaku berulang yaitu mengemut jari-jari tangan.

Anggapan bahwa anak autis tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan interaksi sosial tidaklah tepat. Bauminger & Kasari (2000) menolak anggapan tersebut dengan menuliskan bahwa remaja autis sering kali memunculkan keinginan untuk berinteraksi dengan teman sebaya serta mengekspresikan kurangnya dukungan sosial dan kesepian lebih dari pada teman sebaya yang lainnya. Anak autis sangat ingin terlibat secara sosial tetapi mereka tidak memiliki keterampilan untuk berinteraksi secara efektif.

Berbagai pemaparan diatas menjelaskan tentang pengaruh negatif dari kelemahan dalam interaksi sosial anak autis serta keinginan mereka untuk berinteraksi, kemudian menjadi penting untuk mencari cara menjembatani antara keinginan berinteraksi dan kelemahan interaksi sosial agar dapat membantu individu mengembangkan hubungan sosial yang bermakna. Mengajarkan keterampilan interaksi sosial akan membantu anak autis untuk mengembangkan interaksi sosial yang sehat dan bermakna sekaligus mengurangi sifat emosional dan berbagai permasalahan perilaku lainnya (Liberi, 2012). Dilatarbelakangi oleh urgensi tersebut, peneliti bermaksud untuk menghadirkan penelitian berupa pengembangan interaksi sosial anak autis.

(7)

Sekolah biasanya dipandang memiliki tanggung jawab untuk memberikan program pengembangan interaksi sosial karena kelemahan interaksi sosial berdampak signifikan pada hubungan sosial dan dapat mengganggu performansi akademis. Bagaimanapun juga, mengajarkan program pengembangan interaksi sosial di sekolah tidaklah mudah dan memiliki beberapa hambatan seperti, personil sekolah (guru, terapis, kepala sekolah, pegawai administrasi dan sebagainya) yang mempunyai keterbatasan dalam waktu, sumber daya manusia, keterbatasan pelatihan dan juga ketrampilan (Bellini, Peters, Benner & Hopf, 2007).

Metode ABA (Applied Behaviour Analysis) merupakan salah satu intervensi yang diberikan pada anak autis untuk pengembangan interaksi sosial (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012; Rahmawati, 2012; Adjeng & Hatta, 2015). Terapis dalam metode ABA mengarahkan dan membentuk perilaku anak autis dengan menggunakan instruksi terstruktur, terarah, sistematis serta menggunakan imbalan sebagai penguatan perilaku. Metode ABA memiliki tingkat keberhasilan sebesar 47%, tetapi dalam pelaksanaannya membutuhkan kedisiplinan yang tinggi serta teknik dasar yang harus dipatuhi. Teknik dasar metode ABA salah satunya adalah one on one yaitu satu orang terapis untuk satu orang anak autis, bahkan tidak jarang untuk anak pemula menggunakan terapis dan asisten terapis. Terapi metode ABA sebenarnya bersifat home-base, yaitu pelaksanaan terapi di rumah subjek akan tetapi terapi juga bisa dilakukan di sekolah lalu dilanjutkan dirumah (Handojo, 2008).

(8)

SLB YBA merupakan sekolah yang memiliki hambatan dalam program pengembangan interaksi sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu keterbatasan jumlah tenaga pendidik. Sistem pembelajaran murid autis di SLB YBA dilakukan oleh 1 guru dan 1 guru bantu untuk 4 siswa autis murni, 1 siswa cerebral palsy, 1 siswa down syndrome dan 1 siswa slow learner dalam satu kelas. Keadaan tersebut diperparah dengan lemahnya kemandirian siswa autis dimana saat guru sibuk menangani satu siswa autis, siswa yang lain melakukan perilaku berulang mengemut tangan, mengemut mainan serta menyobek-nyobek kertas.Kondisi pembelajaran di SLB YBA tidak memenuhi syarat teknik dasar penerapan strategi pembelajaran dengan metode ABA yaitu one on one. SLB YBA, oleh karenanya, membutuhkan strategi pembelajaran lain sebagai alternatif pengembangan interaksi sosial serta dapat mengatasi permasalahan akibat keterbatasan tenaga pendidik.

Anak autis, sekalipun memiliki kriteria spesifik yang mendefinisikan mereka, tetapi manifestasi individual adalah sesuatu yang kompleks dan multidimensional. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang paling baik dan paling efektif untuk diajarkan pada anak autis. Memang benar tidak ada satu model pembelajaran terbaik, namun ada satu model pembelajaran yang banyak diterapkan secara luas untuk membantu anak autis, yaitu pembelajaran visual (Rao & Gagie, 2006). Grandin (1995) menjelaskan bahwa kebanyakan anak autis merupakan pemikir visual sama seperti dirinya. Anak autis memiliki gaya belajar visual daripada auditori dan lebih memilih

(9)

alternatif cara berkomunikasi dengan menggunakan gambar daripada huruf tertulis.

Salah satu strategi pembelajaran yang menggunakan bantuan visual, oleh karenanya disebut pembelajaran visual adalah pictorial activity schedule. McClannahan dan Krantz (1999) mendefinisikan pictorial activity schedule sebagai sebuah strategi bantuan visual yang menggunakan petunjuk-petunjuk visual seperti foto, gambar, dan kata-kata tertulis sehingga mengajarkan peserta didik untuk mengikuti urutan tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas secara mandiri. Aktivitas yang dirangkai menjadi pictorial activity schedule dapat beraneka macam tema, misalnya tema memasak, mengajarkan anak autis untuk merebus telur kemudian tema motorik, mengajarkan meronce kalung, serta tema sosial,mengajarkan bermain puzzle bersama teman dan tema lainnya. Pictorial activity schedule dapat menjadi salah satu strategi pembelajaran yang diterapkan di SLB YBA untuk membantu anak autis mempelajari jenis keterampilan baru seperti keterampilan interaksi sosial langkah demi langkah.

Pictorial activity schedule dapat juga digunakan untuk mendorong kemandirian anak autis, karenanya dapat mengatasi permasalahan kemandirian siswa autis di SLB YBA akibat keterbatasan tenaga pendidik. Kemandirian merupakan hal yang penting karena anak autis yang telah diajarkan aktivitas dan ketrampilan sering kali gagal untuk memperlihatkan respon tersebut secara spontan. Mereka sangat bergantung pada caregiver, guru atau orang tua untuk memberi inisiatif agar melakukan sebuah tugas atau aktivitas. Tanpa prompt atau bantuan dari orang dewasa, anak autis hanya akan melakukan perilaku

(10)

berulangnya seperti rocking (menggerakkan badan kedepan dan kebelakang), flapping (bertepuk tangan), menyobek-sobek kertas, mengemut jari-jari tangan seperti yang terjadi pada siswa autis di SLB YBA. Pictorial activity schedule dapat membantu kemandirian anak autis karena instruksi dalam bentuk visual bertahan lebih lama daripada instruksi dalam bentuk verbal.

Krantz dan McClannahan pada tahun 1998 meneliti penggunaan pictorial activity schedule dalam rangka mengembangkan interaksi sosial anak autis. Penelitian tersebut dilakukan pada 3 anak laki-laki autis yang diberi pictorial activity schedule dengan 6 variasi aktivitas untuk dilakukan. Krantz dan McClannahan menyisipkan perintah visual bagi anak autis dalam setiap jadwal aktivitas untuk mengucapkan kata “Lihat!” dan “Lihat aku” pada orang dewasa sebagai cara untuk menginisiasi interaksi sosial. Ketiga anak autis yang pada kondisi baseline (awal) sama sekali tidak memunculkan interaksi sosial, setelah diberi pictorial activity schedule dengan sisipan perintah untuk mengucapkan kata “Lihat!” dan “Lihat aku” mengalami peningkatan interaksi sosial menjadi rata-rata 10 interaksi perhari.

Seiring dengan kemajuan penelitian, intervensi menggunakan pictorial activity scheduletidak terbatas diberikan pada anak autis saja tetapi juga secara general kepada anak anak dengan disabilitas intelektual (Spriggs, 2007). Hal ini terbukti dari penelitian Koyama dan Wang (2011) yang mengulas penggunaan pictorial activity schedule, terdapat sekitar 59% penggunaan pada anak autis, 20% anak dengan kerusakan kognitif, 7% anak dengan gangguan perkembangan, 7% lain-lain dan 7% tidak terspesifikasikan. Pictorial activity schedule, akan tetapi

(11)

memang pertama didesain oleh Krantz dan McClannahan untuk diterapkan khususnya pada anak autis. Hal ini dikarenakan pictorial activity schedule sesuai dengan karakteristik anak autis yang merupakan pemikir visual dan memahami informasi dengan baik apabila informasi tersbut disusun berpola, berurutan.

Pictorial activity schedule telah digunakan secara luas di luar negeri dan telah teruji memberikan manfaat yaitu meningkatkan perilaku melakukan aktivitas, menurunkan perilaku merusak, mengajarkan ketrampilan, meningkatkan pengetahuan pada jadwal pribadi serta meningkatkan pelaksanaan tugas secara mandiri. Perilaku melakukan aktivitas mengacu pada keadaan dimana anak autis melakukan aktivitas yang telah direncanakan atau tugas yang dideskripsikan dalam pictorial activity schedule. Peningkatan angka perilaku melakukan aktivitas menjadi penting, karena tingkat perilaku melakukan aktivitas berkorelasi positif dengan perkembangan ketrampilan komunikasi dan sosial serta berkorelasi negatif dengan perilaku stereotipik (Koyama & Wang, 2011). Pictorial activity scheduletelah banyak berkembang dan sampai sekarang sudah tersedia dalam bentuk aplikasi software. Boardmaker and Writing with Symbols 2000 merupakan paket software yang banyak digunakan untuk membuat pictorial activity schedule secara online dan mandiri untuk dapat langsung dikerjakan secara virtual oleh anak autis. Pictorial activity schedule, sekalipun telah banyak diterapkan diluar negeri, akan tetapi belum ada kajian ilmiah tentang penerapannya di Indonesia. Peneliti, oleh karenanya tertarik untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pictorial activity schedule terhadap anak autis.

(12)

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk mengembangkan interaksi sosial anak autis yang menjadi siswa di SLB Yayasan Bina Asih dengan menggunakan pelatihan pictorial activity schedule. Ketertarikan tersebut peneliti kemas dalam judul penelitian “Pengaruh Pelatihan Pictorial Activity Schedule terhadap Pengembangan Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan masalah penelitian, bagaimana pengaruh pelatihanpictorial activity schedule terhadap pengembangan interaksi sosial anak autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihanpictorial activity schedule terhadap pengembangan interaksi sosial anak autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbanganinformasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu psikologi klinis serta pendidikan.

(13)

a. Dapat memberikan bahan pertimbangan kepada guru, orang tua dan caregiveranak autis, mengenai cara mengembangkan interaksi sosial dengan menggunakan bantuan visual.

b. Dapat memberikan informasi kepada guru, orang tua dan caregiver autis tentangstrategi pembelajaran baru pictorial activity schedule.

c. Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai referensi peneliti lain yang sejenis.

Referensi

Dokumen terkait

dengan metode u ṣū l al-fiqh yang saling bersinergi dengan prinsip ke- maslahatan dan mengingat pula kehadiran maq āṣ id al-shar ī ‘ah di setiap penetapan hukum

3.1 Proses perumusan konsep didasari dengan latar belakang kota Surakarta yang dijadikan pusat dari pengembangan pariwisata Solo Raya karena memiliki potensi

Sistem dapat mendukung sebagai surat perintah penyerahan barang kepada pembawa surat tersebut, yang ditujukan kepada bagian yang menyimpan barang milik perusahaan atau

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan penulis dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan

dan Madura digunakan di banyak tempat, sehingga umum bagi masyarakat di Kabupaten Jember menguasai dua bahasa daerah tersebut dan juga saling mempengaruhi

?ada hipoglikemia sedang& penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh +ukup bahan bakar untuk beker'a dengan baik" anda-tanda gangguan

Rata – rata nilai kalor yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 3714,16 kal /gr, tidak memenuhi standar mutu briket buatan Inggris, jepang, Amerika Serikat dan Indonesia, rata