• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Makna Simbol Makam Syekh Burhanuddin Ulakan Kabupaten Padang Pariaman pada Pendidikan Berbasis Surau. Syafwandi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Makna Simbol Makam Syekh Burhanuddin Ulakan Kabupaten Padang Pariaman pada Pendidikan Berbasis Surau. Syafwandi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

731

Implementasi Makna Simbol Makam Syekh Burhanuddin Ulakan Kabupaten Padang Pariaman pada Pendidikan Berbasis Surau

Syafwandi

Abstract

The background of this research is a religious ritual in the village Sapa Ulakan Pariaman District of West Sumatra. Preliminary observations concluded that Sapa is a pilgrimage rituals performed in the tomb of Sheikh Burhanuddin Ulakan. Sapa ritual followed by a group of people who come from various villages in West Sumatra. Tomb of Sheikh Burhanuddin as the ritual center consists of a large building, has a style of Minangkabau architecture and architectural style dome, and a variety of other aesthetic elements attached to the building is believed to be a symbol that has been linked to the ritual system Sapa. This study aims to Interpret Meaning Symbol Tomb and mosque-based education concept developed Sheikh Burhanuddin at Surau Tanjung Medan Tower Ulakan, Pariaman District of West Sumatra. Data analysis was performed using Spradley model analysis. Based on the analysis and discussion, we concluded that the Tomb of Sheikh Burhanuddin is a symbol of the greatness of Sheikh Burhanuddin as traditional leaders and developers of Islam in Minangkabau. surau educational concept developed by Sheikh Burhanuddin based on the premise of Sheikh associated with kinship systems Minangkabau society. The concept Suarau Tower and Surau Ketek is a system developed as an effort to unite indigenous Sheikh Minang and Islam in Minangkabau. The unification of the two standpoints produce a philosophy known as the Indigenous Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah (jointed custom sara, sara jointed book of the Koran), the philosophy was used as a foothold in implementing learning both in the mosque and at school.

Keywords: The meaning of Symbols, Art, Gobah, and Education.

A. Pendahuluan

Basapa adalah satu bentuk ziarah makam yang terdapat di daerah Ulakan Pariaman, provinsi Sumatera Barat. Menurut Samad (2002; 189) Basapa adalah berbulan safar atau berziarah ke makam syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, ziarah dilaksanakan pada bulan Syafar yang diikuti oleh masyarakat yang berasal dari daerah Pariaman yang merupakan kaum atau murid-murid tarekat yang pada awalnya di kembangkan oleh syekh Burhanuddin.

Keberadaan Sapa Dalam konteks kebudayaan adalah bagian dari sistem berprilaku yang terdapat dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat, (1993:5) bahwa: Kebudayaan itu sedikitnya memiliki tiga wujud; (1) kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya, (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) benda-benda hasil karya manusia. Sehubungan dengan tiga wujud budaya seperti dikemukakan Koentjara, maka upacara Basapa di Ulakan Pariaman yang dilaksanakan oleh masyarakat dapat dilihat sebagai wujud aktivitas kelakuan berpola, sedangkan makam Syekh Burhanuddin serta masjid yang terdapat di komplek pemakaman dapat dipandang sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Fenomena ziarah yang dapat diamati pada saat berlangsung ritual sapa, berupa aktivitas peziarah terkait dengan makam Syekh Burhanuddin antara lain; Nazar; yaitu mengucapkan janji di hadapan seorang imam yang berada di dalam gobah, kemudian dibacakan doa oleh sang imam. Ada pula peziarah yang datang membawa beras, masuk kedalam gobah, disambut oleh sang imam, kemudian peziarah mengucapkan niat yaitu membayar nazar, berupa beras. Peziarah tadi menyerahkan beras yang telah dikemas dalam kantong plastik kepada sang imam, beras di dalam kantong plastik itu kemudian diletakan oleh sang imam di samping tembok kuburan Syekh, lalu Ia membacakan doa untuk si peziarah.

Menilik kegiatan upacara Basapa yang dilaksanakan di Ulakan Pariaman tersebut dapat dilihat beberapa fakta yang berhubungan dengan konsep sosiologi khususnya Interaksionisme simbolis seperti yang dikemukakan oleh Mead dalam Ritzer (2008; 382) bahwa persoalan inti dari

(2)

732

interaksionisme simbolik adalah perbuatan yang melibatkan satu orang atau beberapa orang yang kemudian saling berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Dalam hal Basapa di Ulakan Pariaman ditemukan bentuk interaksi yang terjadi melibatkan aktor-aktor antara lain peziarah, pemandu ziarah, tokoh agama, serta masyarakat Ulakan pada umumnya. Interaksi tersebut melibatkan simbol-simbol komunikasi berkaitan dengan konsep ziarah atau basapa seperti nazar, mambaia niek, zikir, dan lain sebagainya. Menurut Cassirer (1987:39-41) manusia hidup dalam suatu dunia simbolis. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini. Semuanya merupakan bermacam-macam benang yang menyusun jaring-jaring simbolis, tali temali rumit dalam pengalaman manusia. Bahwa pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu, tidaklah dapat ditolak. Simbol berhubungan dengan kebudayaan karena simbol dibuat oleh masyarakat untuk keperluan masyarakat itu sendiri.

Dalam konteks semiotika seperti yang dikemukakan Peirce dalam Zoest (1993; 25) bahwa Simbol (Lambang) adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Berdasarkan pengamatan sementara di lapangan, bangunan makam syekh Burhanuddin memiliki struktur, dan elemen seni, yang diperkirakan berhubungan dengan aturan-aturan tertentu. Arah makam syekh Burhanuddin menghadap ke arah Barat merupakan bagian dari aturan Islam tentang arah kuburan.

Teori dasar yang digunakan dalam disertasi ini adalah teori seni rupa (estetika), antropologi budaya, semiotika dan teori sosiologi. Teori keindahan Surajiyo (2005;103) mengkaji persoalan sifat dasar dari keindahan, apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamatinya. Teori ini melahirkan dua kelompok teori yaitu teori objektif dan tepri subjektif. Pengertian seni dari kacamata arkeologi dikemukakan oleh Sediawati (2006;126) menyatakan bahwa kesenian adalah sebuah sistem dengan komponen; perangkat nilai-nilai dan konsep-konsep. Fungsi seni menurut Soedarso SP (2006;4) untuk pendidikan, hiburan, sarana pemujaan. Implementasi atau refleksi kesenian di Minangkabu dapat dilihat pada arsitektur; seprti rumah adat, atau rumah gadang, rangkiang, balai adat, masjid dan surau. Menurut Hasan (2004; 17-24) Rumah Adat Bagonjong Duo adalah milik keluarga bukan milik kaum, berfungsi sebagai rumah tinggal. Rumah gadang Bagonjong Empat adalah milik kaum keturunan ninik mamak menyandang gelar sako Datuak Pangulu Andiko.

Keberadaan simbol dalam konsep kebudayaan seperti yang dijelaskan Baker (1995;247) tidak hanya memberikan komunikasi dalam satu unsur saja, melainkan seluruh realitasnya yang konkret dan kompleks mengkomunikasikan seluruh subjek. Mead dalam Ritzer (2008; 395) mengatakan bahwa kata-kata, artefak fisik, dan tindakan fisik dapat menjadi simbol. Arnold Rose dalam Wirawan (2012;132) menjelaskan bahwa melalui simbol-simbol manusia berkemampuan menstimuli orang lain, melalui komunikasi simbol-simbol manusia dapat mempelajari arti dan nilai-nilai. Paul Tillich dalam Bagus (2005;1087) memakai istilah ‘simbol‘ dalam arti religius, simbol berpartisipasi dalam realitas yang ditunjuknya. Daeng (2000;81) mengutip J.van Baal (1987:44) mengatakan bahwa mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Berdasarkan pendapat dapat disimpukan bahwa budaya merupakan sebuah sistem makna yang memiliki subsistem yang saling terkait dan saling bekerjasama, dan menjadi penunjuk arah bagi masyarakat dalam mencapai tujuan mereka masing-masing. Keberadaan seni sebagai simbolisme dalam kehidupan manusia merupakan ciri khas bagi manusia, manusia membutuhkan simbol, memakai simbol, dan memanfaatkanya untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.

Simbol sebagai sebuah karya seni dalam pandangan semiotika dapat dipandang sebagai tanda, Van Zoes (1993;13) menyatakan bahwa persyaratan sebuah tanda adalah dapat ditangkap atau dikenali, hal yang paling penting dalam mengenali tanda adalah bahwa semua cara itu mengacu atau menuju pada satu tanda yang sama. Keberadaan sebuah simbol dapat diketahui melalui sistem tanda. Menurut Peirce dalam Zoes (1993;43) sistem tanda berhubungan dengan masalah selcksi tertentu dalam pengenalan tanda, berhubungan dengan bagian materinya. Selain itu simbol jaga dapat dikenali melalui Jalinan tipe tanda, Peirce dalam Zoes (1993; 46) menjelaskan bahwa jalinan tipe tanda adalah penempatan tanda dalam sebuah sistem tanda.

Piliang (2003;262) menjelaskan tentang relasi antar tanda bahwa ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal yaitu; Pertama, metafora (metaphor); sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan

(3)

733

makna untuk sebuah sistem yang lainnya; penggunaan metafora kepala batu untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Semiotik sebagai metoda pengkajian sistem budaya, memiliki tiga dimensi analisis yaitu; dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik.

Penelitian ini dilakukan dengan metode etnografi model Spradly, sedangkang lokasi penelitian adalah kompleks pemakaman syekh Burhanuddin yang terletak di Ulakan Tapakis kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Objek penelitian adalah; Gobah Syekh Burhanuddin, di dalamnya terdapat makam Syekh, makam sahabat, dan murid Syekh, beserta seluruh properti yang terdapat di dalam gobah.

B. PEMBAHASAN

Basapa adalah sebuah ritual berupa ziarah yang dilaksanakan di makam Syekh Burhanuddin bertempat di Ulakan Tapakais kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin merupakan seorang tokoh pengembang Tarekat Syatharriyah di Minangkabau (1056-1104 H./1646-1692 M). Ritual Sapa dilaksanakan setiap tahun yaitu pada hari Rabu setelah tanggal 10 Syafar.Penetapan hari Basapa dihubungkan dengan hari kematian Syekh Burhanuddin yaitu hari Rabu tanggal 10 Syafar tahun 1111 H.

Sistem ritual terkait dengan Sapa antara lain; Masjid Agung Syekh Burhanuddin, Suarau Nagari, Surau Gadang Tanjung Medan, Surau Pondok Ketek, dan Gobah Syekh Burhanuddin

Gambar 1: Proses Pelaksanaan Ritual Sapa ke Makam Syekh Burhanuddin Ulakan Tapakis (Gambar; Syafwandi 2015)

Gobah terdiri dari tiga buah bagunan yaitu; bangunan utama, bangunan gobah, dan makam Syekh Burhanuddin, ketiganya terletak pada lokasi yang sama.

Gambar 2: Bangunan Utama, Gobah, dan Makam Syekh Burhanuddin (Gambar; Syafwandi 2016)

(4)

734

Gambar 3: Konstruksi atap kubah, motif hias, dan kaligrafi pada gobah Syekh Burhanuddin (Gambar; Syafwandi 2016)

Gambar 4: Motif Hias Corak Ragam Hias Minangkabau (Gambar; Syafwandi 2016)

Gambar 5: Asmaul husna, Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Asma%27ul_husna

Makam yang terdapat di dalam gobah terdiri atas tiga buah makam yaitu; makam Syekh Burhanuddin, makam Idris Khatib Majo Lelo, dan makam Syekh Abdurrahman.

Gambar 6: Denah Makam Syekh Burhanuddin (Gambar; Syafwandi 2016) Kategori Simbol Berdasarkan Objek Benda No. Jenis

Objek

Objek Simbol Bentuk simbol 1 Bangunan Bangunan

Utama

(5)

735

2 Bangunan Gobah Atap kubah bawang

Hiasan Kaligrafi, dan Motif Hias Minangkabu 3. Bangunan Makam Makam Tiga buah makam

Batu Nisan

Idris Khatib Majo Lelo, sebelah kanan Syekh Burhanuddin, tengah

Syekh Abdurrahman, sebelah kiri Batu alam bertuliskan Arab Melayu Kategori Simbol berdasarkan Objek Sosial

No. Jenis Objek

Objek Simbol Bentuk simbol 1. Suara Tahlil Doa Dilafalkan

Zikir Doa Dilafalkan

Sedekah Doa Diserahkan kepada para imam, khatib, dan guru

2. Suara Uang Janji Diserahkan kepada Imam MASB Kambing Janji Diserahkan kepada Imam MASB Ayam Janji Diserahkan kepada Imam MASB Beras Janji Diserahkan kepada Imam MASB

1. Makna Simbol Makam Syekh Burhanuddin Ulakan

Secara simbolik balai adat dan surau merupakan lambang masyarakat adat Minangkabau. dalam konteks seni rupa, keberadaan simbol pada gobah Syekh terletak pada konstruksi atap balai adat dan atap surau, keduanya memiliki konstruksi atap gonjong, yang merupakan ciri khas atap rumah adat Minangkabau. keberadaan atap gonjong dua yang berada pada posisi paling tengah memiliki makna tersendiri dalam pandangan seni rupa, ia berada pada sentral, merupakan pusat perhatian baik secara objektif maupun secara subjektif. Dari sudut pandang subjektif, nilai estetika atap gonjong terlihat pada filosofinya, bahwa atap gonjong merupakan simbol kebesaran masyarakat Minangkabau berdasarkan kedudukanya di dalam lembaga adat. Dari sudut pandang mungkin dengan patuik, dan teori golden section dikatakan bahwa gonjong dua merupakan perujudan dari sesuatu yang ilahiah; berkaitan dengan keagamaan, dan keyakinan. Oleh karena itu atap gonjong sebagai simbol rumah adat Minangkabau berhubungan dengan sesuatu yang sakral, sesuatu yang suci, jika dikaitkan dengan keagamaan maka gonjong merupakan sesuatu yang tanpa noda.

Bangunan gobah dalam konteks seni rupa merupakan bentuk dengan membawa bentuk kubah bergaya arsitektur masjid merupakan lambang rumah ibadah umat Islam, sedangkan makam dalam konteks seni rupa memiliki gaya arsitektur Minangkabau.

Keberadaan Balai adat, surau, masjid, dan makam dalam pandangan masyarakat Minangkabau sebagai syarat berdirinya sebuah nagari yaitu; balabuah batapian, babalai ba munsajik, bapandam bapakuburan (berlebuh bertepian, berbalai bermasjid, berpandan berpekuburan). Oleh karena itu makam Syekh Burhanuddin sebagai sebuah simbol, melambangkan perkampungan alam Minangkbau. Begitu pula seorang Syekh Burhanuddin, dengan predikat pembawa dan pengembang agama Islam di Minangkabau, seorang guru tarekat syatharriyah di Minangkabau, seorang yang telah mengagas sistem pendidikan Surau di Minangkabau, orang yang menggagas sumpah satie, kata-kata Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di bukit Marapalam, serta banyak lagi hal yang telah diperbuat Syekh di Alam Minangkabau ini, oleh karena itu seorang Syekh Burhanuddin sudah sangat pantas dipandang sebagai seorang ‗nan badagiang taba’ yaitu niniak mamak atau pemimpin orang Minangkabau.

Gobah, Surau Gadang Tanjung Medan, dan Syekh Burhanuddin merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari konsep ziarah. Gobah adalah tempat Syekh dimakamkan, SGTM adalah tempat tinggal dan tempat Syekh mengembangkan ajaran Islam Tarekat Syatharriyah. Ketika Syekh hidup, para murid datang ke SGTM, ketika Syekh telah meninggal para murid datang ke gobah dengan

(6)

736

menggunakan konsep Basapa. Jadi dimanapun Syekh berada maka kesanalah para murid berkunjung. Oleh karena itu Gobah dan SGTM disebut tempat atau tampaik dalam bahasa Minangkabau.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang guru, yang selalu menjadi pusat perhatian, menjadi tempat kedatangan bagi setiap murid-muridnya. Perhatian itu bukan hanya ketika Syekh masih hidup, akan tetapi juga pada saat Syekh sudah meninggal, Syekh masih dikunjungi oleh murid-muridnya. Syekh Burhanuddin dikunjungi oleh murid-muridnya hampir disepanjang waktu, dan menjadi puncak kunjungan pada hari kematian Syekh yaitu pada hari Rabu setelah tanggal 10 Syafar setiap tahun.

Syekh Burhanuddin adalah seorang guru agama Islam, seorang guru tarekat syatharriyah, seorang niniak mamak, dan Syekh adalah seorang sahabat. Ia menghabiskan semua hidupnya untuk kemajuan Islam dan semua orang terutama di Minangkabau, Ia berjuang bagi masyarakat Minangkabau, Ia membuat sumpah setia terhadap Masyarakat Minangkabau dengan Islam yaitu sumpah Satia Bukit Marapalam, Ia membangun sebuah sistem pendidikan berbasis surau di Minangkabau. Oleh karena itu Syekh Burhanuddin menjadi sosok yang selalu dinginkan oleh orang banyak, makamnya dikunjungi orang sepanjang hari. Syekh Burhanuddin seolah-olah menjadi magnit sehingga orang selalu ingin berkunjung ke makamnya. Dengan demikian benarlah kiranya jika dikatakan bahwa Syekh Burhanuddin memiliki sosok keramat; kata keramat dalam hal ini diterjemahkan sebagai sosok yang suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan. Kata keramat juga dapat diartikan sebagai orang bertuah yaitu sosok yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada orang lain. Sosok Syekh Burhanuddin itulah kemudian yang menjadi mitos dan dijadikan landasan bagi para murid-muridnya dalam membentuk dan memaknai Basapa sebagai ritual keagamaan berhubungan keberadaan Syekh Burhanuddin.

Berziarah makam dalam konsep Sapa adalah manjalang guru berarti mengunjungi guru ke rumahnya yaitu ke gobah Syekh Burhanuddin. Dalam hal ini yang menjadi rumah guru atau Syekh Burhanuddin adalah Gobah. Namun demikian, yang menjadi inti dalam Basapa atau berziarah adalah mengunjungi guru, atau lebih tepatnya mengunjungi Syekh Burhanuddin.

J.van Baal (1987) mengatakan bahwa mitos merupakan cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Paul Tillich dalam Bagus (2005) memakai istilah ‘simbol‘ dalam arti religius, simbol berpartisipasi dalam realitas yang ditunjuknya. Berdasarkan fakta Sapa di Ulakan, keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai seorang guru, adalah abadi. Secara faktual diketahui bahwa Syekh telah meninggal pada tahun 1692 M. Namun demikian, secara subjektif terutama bagi para peziarah atau murid-murid Syekh Burhanuddin, beranggapan bahwa walaupun Syekh sudah meninggal akan tetapi Sang Guru masih hidup di dalam ingatan mereka. Ingatan berarti daya batin yang dimiliki oleh seseorang dalam mengingat atau menyimpan pengalaman tentang sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. Dalam konteks Basapa yang menjadi pengalaman batin itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Syekh Burhanuddin.

Dalam kajian estetika dan seni rupa pengalaman batin berkaitan dengan Syekh Burhanuddin dapat dipandang sebagai pengalaman estetik yaitu proses kejiwaan, yang ada di dalam diri pengamat. Pengalaman estetik adalah keindahan yang menghanyutkan, tidak membosankan, dan tanpa pamrih, memerlukan sebuah proses, dan memerlukan waktu. Soehardjo (2009;26),

Pada setiap bulan Syafar peziarah datang berziarah ke makam Syekh Burhanuddin. peziarah mengawali sapa dengan berkunjung ke Surau Gadang Tanjung Medan mendengarkan ceramah agama sesuai dengan ajaran Syekh Burhanuddin, mendengarkan kisah-kisah hidup Syekh, baik kisah suka maupun duka yang pernah dialami Syekh selama hidupnya. Selanjutnya para peziarah berkunjung pula ke Surau Pondok Ketek, melaksanakan ibadah dan doa untuk Syekh, dan melihat berbagai properti milik Syekh seperti pakaian dan karya-karya Syekh berupa kitab-kitab berkaitan dengan agama Islam. Selanjutnya peziarah berkunjung ke Gobah, yaitu ke makam Syekh, melakukan doa, zikir dan tahlil. Surajiyo (2005;101) objek estetika adalah pengalaman akan keindahan, emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya. Sutrisno (1993;14-15) menyatakan bahwa konsep pengalaman estetik tersebut memiliki kemiripan dengan konsep pengalaman religius sejati. dapat berkembang dalam diri setiap orang,

Wirawan (2012;116) menjelaskan tentang dramaturgi yang didefinisikan oleh Margaret Poloma, bahwa dramaturgi merupakan pendekatan yang menggunakan bahasa dan khayalan teater

(7)

737

untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari suatu interaksi sosial. Pengetahuan tentang seluk beluk Syekh dan berbagai pengalaman hidup Syekh pada akhirnya berubah menjadi sebuah mitos dan simbol-simbol, yang dijadikan landasan keyakinan dalam menuntut ilmu tarekat sytharriyah.

2. Konsep Pendidikan Berbasis Surau Syekh Burhanuddin Ulakan

Dalam pandangan Syekh Burhanuddin, untuk mengembangkan agama Islam di Minangkabau diperlukan sebuah tempat khusus. Sehingga setiap orang dapat belajar secara langsung, berhadapan dengan guru. Konsep pendidikan ini kemudian melahirkan sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan surau. Konsep surau ini dari tradisi masyarakat Minangkabau yang telah menggunakan surau sebagai tempat tinggal pemuda dan sekaligus sebagai pusat pembinaan pemuda di tiap-tiap nagari di Minangkabau.

Surau pertama yang dibangun oleh Syekh Burhanuddin adalah Surau Gadang Tanjung Medan terletak di desa Tanjung Medan nagari Ulakan. surau yang digagas oleh Syekh Burhanuddin memiliki visi misi sebagai pusat islamisasi dan pusat pengembangan tarekat syatharriyah di Minangkabau. Tujuan utama pendidikan surau adalah menciptakan Insan kamil yaitu sosok manusia ideal, dalam wacana tasawuf konsep insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhan).

Strategi pendidikan yang digunakan Syekh Burhanuddin pada awalnya adalah pendekatan sosial, berpartisipasi secara aktif, masuk ke dalam suasana semua lapisan masyarakat; menjadi bagian dari masyarakat, tidak merusak nilai adat dan budaya yang ada dalam masyarakat.

Kebaradaan surau gadang dan surau ketek juga dapat dipandang sebagai sebuah strategi untuk mempercepat proses Islamisasi dengan melibatkan perangkat dan kewenangan adat. Surau gadang adalah surau Syekh atau guru, surau ketek merupakan surau milik kaum. Murid surau gadang ditugaskan membangun surau ketek atau surau kaum, dan dijakdikan sebagai pusat pengembangan agama Islam dalam kaum. Murid yang ditugaskan membangun surau ketek sekaligus berperan sebagai guru

C. Simpulan

Makam Syekh Burhanuddin sebagai sebuah simbol memiliki makna terkait dengan kebesaran seorang Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan agama Islam di Minangkabau. Ziarah makam yang dikemas dengan konsep Sapa dapat dipandang sebagai sebuah strategi pembelajaran bagi setiap murid-murid syatharriyah. Surau Gadang dan Surau Ketek adalah simbol penyebaran agama Islam di wilayah Minangkabau dengan filosofi adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah.

Daftar Rujukan

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta; Kreasi Wacana

Edi Sedyawati. 1987. Peranan Arkeologi dalam Studi Sejarah Kesenian Indonesia (Estetika dalam Arkeologi Indonesia). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI)

Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta; PT Rajagrafindo Persada,

George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2008. Sociological Theory; diterjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta; Kreasi Wacana.

Hans J. Daeng. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Hasan M. Ambary. 1987. Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Estetika Dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta; Ikatan Ahli Arkelogi Indinesia

Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Risieri Frondizi. 2001. Filsafat Nilai. Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wjaya dengan Dengan judul asli What is Value. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soedarso SP. 2006. Trilogi Seni. Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni Yogyakarta; BP ISI Yogyakarta

Soehardjo.2009. Pengantar Estetika. Malang. Departemen Pendidikan Nasional Universrtas Negeri Malang. Fakultas Sastra Jurusan Seni Dan Desain

(8)

738

Spradley, James. P. 1997. Metodologi Etnografi; penerjemah, Misbah Zulfa Elizabeth; penyunting, Amirudin. Yogyakarta; Tiara Wacana

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta; PT. Bumi Aksara. Sutrisno, Mudji. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta; Kanisius

Sutrisno, Mudji. SJ dan Christ Verhaak SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta; Kanisius Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika; Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan

Denganya. Jakarta; Yayasan Sumaber Agung

Wirawan. 2012. Teoro-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta; Kencana Prenada Media Group

Yasraf Amir Piliang. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta; Jalasutra

Sumber Internet

http://kamusbahasaindonesia.org/massal.php KamusBahasaIndonesia.org http://palantaminang.wordpress.com/rumah-gadang/

Zulfikri, Rangkayo Mulie; http://palantaminang.wordpress.com/rumah-gadang/ https://id.wikipedia.org/wiki/Rasio_emas

https://blogminangkabau.wordpress.com/2008/07/15/yang-tersimpan-dalam-sumpah-satie-bukik-marapalam/

Gambar

Gambar 1: Proses Pelaksanaan Ritual Sapa ke Makam Syekh Burhanuddin Ulakan Tapakis  (Gambar; Syafwandi 2015)
Gambar 3: Konstruksi atap kubah, motif hias, dan kaligrafi pada gobah Syekh Burhanuddin  (Gambar; Syafwandi 2016)

Referensi

Dokumen terkait

Proses Pelaksanaan Sistem A’bage Assele Pada Masyarakat Desa Kampala Kecamatan Arungkeke Kabupaten Jeneponto ada dua cara: Pertama jikalau seluruh dana yang dibutuhkan

Perancangan aplikasi augmented reality berbasis android bertujuan untuk membantu pengguna terutama calon mahasiswa baru dalam mendapatkan informasi tentang

Kedua, iman juga bisa dijabarkan dalam konteks kehidupan masyarakat Islam, dan ketiga, iman adalah perjuangan yang berlangsung terus-menerus untuk membumikan keesaan Tuhan

Jual beli hak atas tanah seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.pemenuhan terhadap semua persyaratan

Tingkat jumlah pemberian pakan buatan yang berbeda pada pendederan benih ikan kerapu sunu memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap sintasan, konversi

Latifa Martharini (2012) Analisis Pengaruh Rasio Camel Dan Total aset Terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada Perbankan (Studi Pada Bank Umum Yang Terdaftar

Hasil penelitian ini didukung teori yang dikemukan oleh Aaker (dalam Alinegoro, 2014) bahwa: (1) ketika konsumen memiliki kesadaran terhadap suatu merek, maka

2017) hal 117- 129.. Bisri menjelaskan bahwa model kolaboratif antara guru dengan orang tua berdampak positif terhadap pembentukan karakter anak. Melalui model kolaboratif