• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan kekayaan keanekaragaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan kekayaan keanekaragaman"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sumberdaya Hutan

Sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati sangat penting artinya bagi keberlangsungan kehidupan. Pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki. Ketergantungan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas masyarakat adat maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional (Nababan, 2003).

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem, mengingat hutan dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung (Indriyanto, 2006). Hutan juga merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia. Hutan dapat menyediakan barang dan jasa sebagai material dasar bagi pembangunan. Pada saat yang sama, hutan memiliki kekayaan hewan yang sering diburu manusia, dan hutan dijadikan sebagai wilayah tempat pengembangan areal pertanian.

Titik berat pandangan positif dan negatif terhadap hutan ini bervariasi di dalam kepentingan pembangunan. Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, perlu ditingkatkan kegiatan penanaman dan kelestarian penggunaan lahan untuk mengurangi masalah-masalah kerusakan hutan. Upaya meningkatkan kesadaran

(2)

masyarakat juga perlu dilakukan dengan melalui program-program yang relevan dengan keadaan sumberdaya dan kultur masyarakatnya (Awang, 2004).

Inti permasalahan pengelolaan sumberdaya alam adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam lingkungannya (Indriyanto, 2006).

Suaka Margasatwa (SM) Dolok Surungan Suaka margasatwa

Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Suaka margasatwa adalah suatu ekosistem. Pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem tersebut harus mempunyai dan menerapkan pengetahuan ekologi hutan sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan kelestariannya terjamin (Indriyanto, 2006). Adapun kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan Suaka Margasatwa adalah :

1. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya;

2. merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah

(3)

4. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu

5. mempunyai luasan yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

Suaka Margasatwa merupakan bagian dari hutan konservasi. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut Parthama dan Agustinus (2000), beberapa hal yang perlu dilakukan dalam kaitannya dengan peningkatan pengelolaan kawasan konservasi antara lain:

1. inventarisasi/pendataan keragaman hayati secara menyeluruh 2. memperlebar fokus pengelolaan kawasan konservasi

3. penyediaan dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Sumber Daya Manusia (SDM), dan dana

4. peningkatan efektifitas pengamanan kawasan konservasi melalui upaya menyeluruh yang melibatkan semua stakeholders

Sejarah kawasan

Suaka Margasatwa Dolok Surungan sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Dolok Surungan dengan luas 10.800 Ha dan Kawasan Hutan Dolok Sihobun seluas 13.000 Ha, sebagaimana yang ditetapkan Surat Keputusan Zelfbestuur tanggal 25 Juni 1924 Nomor 50. Pada tahun 1974, tepatnya tanggal 2 Februari 1974, berdasarkan Surat Menteri Pertanian No. 43/Kpts/Um/2/1974 ditetapkan kedua kawasan tersebut (Dolok Surungan dan Dolok Sihobun) menjadi kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan dengan luas 23.800 Ha.

(4)

Sejak berdirinya Departemen Kehutanan pada tahun 1984, pengelolaan SM Dolok Surungan beralih dari Dirjen PPA Departemen Pertanian ke Departemen Kehutanan. Untuk memudahkan pengelolaan, pengelolaan kawasan SM Dolok Surungan dibagi ke dalam satuan resort konservasi wilayah. Saat ini, SM Dolok Surungan dibagi menjadi 2 resort yang berkedudukan di Salipotpot (SM Dolok Surungan I) dan di Parsoburan (SM Dolok Surungan II).

Letak geografis

Suaka Margasatwa Dolok Surungan berada diantara 2° 22’ 34,74” LU dan 2° 4’ 29,36” LU, 99° 18’ 47,03” BB dan 99° 30’ 27,56” BB. Luas kawasan keseluruhan mencapai 23.800 ha. Kawasan ini berada di ± 50 Km sebelah tenggara Danau Toba dan berbatasan langsung di sebelah timur dengan Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu. Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan secara administratif pemerintahan terletak di Kabupaten Toba Samosir. Rute perjalanan untuk mencapai kawasan ini dapat ditempuh dengan jalur : Medan - Kisaran - Dolok Maraja - Salipotpot sejauh lebih kurang 235 km dengan waktu tempuh lebih kurang 7 jam.

Topografi

SM Dolok Surungan berada pada ketinggian ± 350 - 2173,7 mdpl dengan puncak tertinggi di Dolok (bukit) Surungan. Kontur dan topografi dominan di dalam kawasan dan kawasan penyangga di sekitarnya bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Topografi yang cukup landai berada di sebelah timur sampai ke kawasan penyangga kawasan di wilayah administratif Kabupaten Labuhan Batu. Dalam satuan Daerah Aliran Sungai (DAS), SM Dolok Surungan termasuk ke

(5)

dalam DAS Asahan dan DAS Kualuh. Dalam rentang satuan DAS Asahan, wilayah SM Dolok Surungan berada pada wilayah hulu DAS yang bermuara di Tanjung Balai.

Fauna dan flora

Kawasan SM Dolok Surungan merupakan kawasan konservasi terluas ketiga setelah Taman Hutan Raya Bukit Barisan (51.600 Ha) dan Kawasan SM Barumun (40.330 Ha). SM Dolok Surungan memberikan manfaat yang penting karena merupakan habitat bagi hidup dan berkembang biaknya satwa liar yang dilindungi seperti tapir (Tapirus indicus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus sp), dan siamang (Hylobathes sp), dan satwa lainnya.

Jenis flora yang banyak ditemukan di SM Dolok Surungan adalah jenis-jenis tumbuhan dan pepohonan hutan dataran rendah sampai pegunungan. Disebelah utara, jenis-jenis Dipterocarpaceae masih banyak ditemukan terutama jenis meranti-merantian dan keruing. Disebelah tengah dan selatan, jenis-jenis Fagaceae dari kelompok beringin dan Quercus spp cukup dominan sesuai dengan ketinggiannya. Di wilayah puncak-puncak kawasan, jenis endemik Toba yaitu

Pinus merkusii atau tusam banyak dijumpai. Jenis-jenis pohon buah juga banyak

dijumpai di sekitar kawasan. Berdasarkan informasi masyarakat, diketahui bahwa dahulu jenis-jenis durian, manggis, petai (pote-lokal), dan langsat secara alami sudah tumbuh dan banyak dijumpai di dalam kawasan.

(6)

Masyarakat Sekitar Hutan dan Ketergantungan Terhadap Hutan

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan umumnya juga dikenal dengan istilah masyarakat desa hutan. Masyarakat desa hutan sebagai satu kesatuan hidup manusia mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan komunitas lain. Adapun perbedaan karakter tersebut, antara lain: jenis lingkungan tempat tinggal, sistem kemasyarakatan, dan sistem kebudayaan. Masyarakat desa hutan sesuai dengan julukannya tinggal di lingkungan sekitar hutan dan dalam hutan. Masyarakat desa hutan relatif bersifat tertutup, terisolasi, dan terpencil dengan kehidupan komunitas lain. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budayamenjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya. Budaya masyarakat desa hutan terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Hutan dan fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi hutan (produksi, lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran masyarakat dapat didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya (Awang, 2004).

(7)

Mengingat pentingnya fungsi hutan di satu pihak dan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan akan lapangan pekerjaan baru di lain pihak, maka antara kehutanan dan masyarakat sebenarnya ada kebutuhan saling bergantung. Bila dalam proses, hubungan saling bergantung itu terganggu, maka terjadi kegiatan-kegiatan distruktif yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Pengenalan masalah yang dihadapi oleh kehutanan bertitik tolak dari tujuan pengelolaan dan hambatan-hambatan yang dijumpai. Hal ini dapat dipelajari dari adanya kenyataan-kenyataan yang dapat mengganggu tujuan pengelolaan atau mengancam kelestarian hutan (Simon, 2004).

Dalam beradaptasi dengan lingkungan, manusia selalu berupaya untuk memanfaatkan sumber-sumber alam yang berguna menunjang hidupnya. Manusia mempunyai ikatan dengan alam, karena secara langsung maupun tidak langsung alam memberikan penghidupan dan kehidupan bagi manusia. Adanya ikatan antara manusia dengan alam memberikan pengetahuan, pikiran, bagaimana mereka memperlakukan alam lingkungan. Oleh karena itu, mereka menyadari betul akan segala perubahan dalam lingkungannya, dan mampu mengatasinya demi kepentingan. Salah satu cara ialah dengan mengembangkan etika, sikap kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Sumintarsih, et all, 1993).

Kearifan Tradisional

Masyarakat desa hutan memiliki rasionalitas pemikiran dan keragaman kearifan budaya dalam rangka mengelola serta memanfaatkan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan secara garis besar mempunyai fungsi utama, yaitu fungsi

(8)

ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Fungsi ekonomi hutan bagi masyarakat adalah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan. Fungsi sosial budaya hutan bagi masyarakat adalah sebagai mediasi hubungan dengan sang pencipta. Sedangkan fungsi lingkungan hutan bagi masyarakat adalah sebagai pelindung dan penjaga kelangsungan hidup masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (hukum adat) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara mengenai pengelolaan sumberdaya alam. Kearifan lingkungan masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan dekat dengan lokasi hutan pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Kearifan lingkungan tersebut sering juga disebut kearifan tradisional yang berarti pengetahuan yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya, yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Tanjung, et all, 1992). Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Menurut Nababan (2003), prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat, antara lain:

(9)

1. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya;

2. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property

resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat;

3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (pemerintahan) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;

4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas;

5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di masyarakat.

Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Mempelajari kearifan lokal, tidak berarti mengajak kita kembali pada periode jaman batu. Akan tetapi hal ini justru penting, tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumberdaya alam disekitarnya, tetapi juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi di masa mendatang. Cantoh bentuk-bentuk kearifan dapat dilihat pada tabel 1 (Sardjono, 2004).

(10)

Tabel 1. Contoh bentuk kearifan tradisional No Bentuk Kearifan Lokal Contoh 1. Kepercayaan dan/atau Pantangan

- pantangan untuk menebang pohon yang masih produktif atau memotong rotan terlalu rendah

- manusia berkaitan erat dari unsur dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan - keberhasilan penanaman berkaitan dengan gejala

lingkungan seperti tumbuhan, binatang, ataupun bulan 2. Etika dan

Aturan

- menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali

- tidak melakukan perladangan pada lahan yang sama secara terus menerus

- tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan /atau menggunakan bom

- mengutamakan berburu binatang yang menjadi hama 3. Teknik dan

Teknologi

- membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angina pada saat berladang agar api tidak menjalar dan menghanguskan kebun/tanaman petani lain

- menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang, kegelapan warna tanah, diameter pohon dan warna kehijauan warna tumbuhannya - membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga,

pertaian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah, lain-lain

4. Praktek dan Tradisi Pengelolaan Hutan/lahan

- menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama

- melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman (konservasi eksitu)

- mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga

(11)

Hutan dalam perspektif budaya masyarakat desa hutan tidak hanya sebatas sebagai tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup saja. Hutan dalam perspektif antropologi ekologi memiliki fungsi sosial, budaya, dan religiusitas. Karenanya terdapat ikatan erat antara hutan dengan masyarakat setempat yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat memiliki nilai-nilai kearifan tradisional yang terbentuk dari interaksi berulang-ulang antara masyarakat dengan sumberdaya hutan. Akibatnya, terbangunlah suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat desa hutan yang menyatu dengan ekosistem hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Partisipasi lokal dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dalam upaya konservasi kawasan hutan sangat diperlukan, baik melalui dukungan maupun keterlibatan masyarakat terhadap program pengelolaan. Partisipasi tersebut akan berhasil apabila masyarakat memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam berpartisipasi. Selain itu, insentif yang cukup untuk merangsang masyarakat berpartisipasi dan dukungan dari lembaga terhadap kegiatan masyarakat juga diperlukan (Awang, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan masalah-masalah tersebut maka diperlukan suatu metode pembelajaran dan media pembelajaran yang efektif untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keaktifan

No Aktivitas Satuan Poin 16 Moderator pada Kegiatan Internal Unpad (level program studi) Kegiatan 20 17 Moderator pada Kegiatan Internal Unpad (level fakultas) Kegiatan 30

Menurut Kardinan (2001) Senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan dapat digunakan sebagai Bioinsektisida. Adapun senyawa aktif dalam Bioinsektisida nabati tersebut dapat bersifat

Dimana korelasi linier positif yaitu jika nilai variabel X mengalami kenaikan sehingga variabel Y akan ikut naik atau jika nilai variabel X mengalami penurunan sehingga

1) Saluran media secara personal yang dilakukan oleh pihak YGO Event Management dengan para partisipasi acara, yaitu anak – anak SMA dan pengurus

Dalam group ini, mereka boleh tanya apa sahaja dan anda beri bantuan kepada para agen affiliate ini agar mereka senang untuk mempromosi program

Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya,

Pemeriksaan diagnostik kontras radiologi #$%&IVP adalah ilmu yang mempela!ari  prosedur atau tata cara pemeriksaan gin!al, ureter, dan buli&buli menggunakan sinar&'