• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata Diklat TEKNIK PENGELOLAAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DEPARTEMEN KEHUTANAN PUSAT DIKLAT KEHUTANAN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mata Diklat TEKNIK PENGELOLAAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DEPARTEMEN KEHUTANAN PUSAT DIKLAT KEHUTANAN BOGOR"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Diklat

TEKNIK PENGELOLAAN

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN

HAYATI

O

LE

H

:

Ir.

S

U

P

R

A

Y

IT

N

O

DEPARTEMEN KEHUTANAN

PUSAT DIKLAT KEHUTANAN

BOGOR

Desember, 2008

(2)

TEKNIK KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

A. Batasan dan Pengertian

1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.

2. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.

3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah. 4. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi

tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

5. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum, status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.

6. Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi. 7. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut

species atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar habitatnya.

8. Pemanfaatan jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan.

(3)

9. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya.

10. Pembesaran adalah upaya memelihara dan membesarkan benih atau bibit dan anakan dari tumbuhan dan satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

11. Penandaan adalah pemberian tanda bersifat fisik pada bagian tertentu dari jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya baik dari hasil penangkaran atau pembesaran.

12. Sertifikasi adalah keterangan tertulis tentang ciri, asal-usul, kategori, dan identifikasi lain dari jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya baik dari penangkaran atau pembesaran.

13. Penangkapan satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis satwa liar di luar perburuan.

14. Pengambilan tumbuhan liar adalah kegiatan memperoleh tumbuhan liar dari habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis tumbuhan liar. 15. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri

dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

16. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

17. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.

18. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.

(4)

19. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara.

20. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.

21. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

22. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.

23. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

24. Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna

and Flora (CITES) adalah konvensi (perjanjian) internasional yang

bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar.

25. Ketentuan-ketentuan CITES adalah seluruh ketentuan yang mengikat negara pihak dari CITES yang berupa teks konvensi, resolusi dari Konferensi Para Pihak (resolutions of the Conference of the Parties) dan keputusan dari Konferensi Para Pihak (decisions of the Conference of the

Parties) serta rekomendasi dari komisi tetap CITES yaitu Standing Committee, Animals Committee, dan Plants Committee, yang diantaranya

dituangkan dalam Notifikasi Sekretariat CITES.

26. Jenis tumbuhan atau satwa liar adalah jenis yang secara ilmiah disebut

species atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik

di dalam maupun di luar habitat aslinya.

27. Appendiks I adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan

(5)

hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus.

28. Appendiks II adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan.

29. Appendiks III adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang oleh suatu negara tertentu pemanfaatannya dikendalikan dengan ketat dan memerlukan bantuan pengendalian internasional.

30. Spesimen adalah fisik tumbuhan dan satwa liar baik dalam keadaan hidup atau mati atau bagian-bagian atau turunan-turunan dari padanya yang secara visual maupun dengan teknik yang ada masih dapat dikenali, serta produk yang di dalam label atau kemasannya dinyatakan mengandung bagian-bagian tertentu spesimen tumbuhan dan satwa liar.

31. Inventarisasi populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan untuk mengetahui atau menduga populasi suatu jenis, di tempat tertentu, pada waktu tertentu dengan metoda yang secara ilmiah berlaku.

32. Monitoring populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan naik atau turunnya populasi akibat adanya pengambilan atau penangkapan pada populasi suatu jenis di tempat tertentu, yang dilakukan secara berulang dan teratur dengan metoda yang secara ilmiah berlaku.

33. Pengambilan spesimen tumbuhan liar adalah kegiatan memperoleh tumbuhan liar dari habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis tumbuhan liar.

34. Penangkapan spesimen satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis satwa liar di luar perburuan.

35. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan atau pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

(6)

36. Kuota adalah batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwa liar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim.

37. Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar adalah kegiatan mengedarkan spesimen tumbuhan dan satwa liar berupa mengumpulkan, membawa, mengangkut, atau memelihara, spesimen tumbuhan dan satwa liar yang ditangkap atau diambil dari habitat alam atau yang berasal dari hasil penangkaran, termasuk dari hasil pengembangan populasi berbasis alam, untuk kepentingan pemanfaatan.

38. Ekspor adalah kegiatan membawa atau mengirim atau mengangkut dari wilayah Republik Indonesia ke luar negeri spesimen tumbuhan dan satwa liar yang diambil atau ditangkap dari habitat alam atau merupakan hasil penangkaran, termasuk hasil pengembangan populasi berbasis alam di wilayah Republik Indonesia baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial;

39. Impor adalah kegiatan memasukkan ke wilayah Republik Indonesia spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar dari luar wilayah Indonesia baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial;

40. Re-ekspor adalah kegiatan pengiriman kembali ke luar negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar yang sebelumnya diimpor atau diintroduksi dari laut masuk ke wilayah Republik Indonesia baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial;

41. Introduksi dari laut (Introduction from the Sea) adalah kegiatan memasukkan spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam Appendiks CITES ke wilayah Republik Indonesia dari habitatnya di wilayah laut yang bukan merupakan yurisdiksi dari negara manapun;

42. Asosiasi pemanfaat tumbuhan dan satwa liar adalah perhimpunan nirlaba beranggotakan perusahaan-perusahaan dan unit-unit usaha pemegang izin usaha peredaran atau penangkaran tumbuhan dan satwa liar yang

(7)

memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan komersial baik untuk kepentingan di dalam negeri maupun ke luar negeri.

43. Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang konservasi sumberdaya alam hayati.

44. Otoritas Keilmuan (Scientific Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan berdasar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di dalam memberikan pendapat ilmiah dalam rangka pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar secara berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

45. Otoritas Pengelola (Management Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan berdasar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di dalam mengatur dan mengelola pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam-Departemen Kehutanan.

46. Specimen adalah fisik tumbuhan dan satwa liar baik dalam keadaan hidup atau

mati atau bagian-bagian atau turunan-turunan dari padanya, yang secara visualmaupun dengan teknik yang ada masih dapat dikenali, serta produk yang di dalam label atau kemasannya dinyatakan mengandung bagian-bagian tertentu specimen tumbuhan dan satwa liar.

B. Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati

1. Memulihkan Populasi Spesies Langka Dan Terancam Punah Secara In Situ dan Eks Situ.

Akibat kerusakan habitat dan perburuan liar banyak spesies saat ini populasinya dalam kondisi kritis, yang apabila tidak ada campur tangan pengelolaan yang intensif maka peluang untuk menjadi punah dalam waktu dekat menjadi besar. Populasi jenis-jenis ini ini harus dipulihkan ke tingkat aman dan secara alami dapat bertahan hidup dalam jangka panjang di habitatnya. Pemulihan populasi dilaksanakan untuk mengeliminasi faktor-faktor penghambat maupun penyebab turunnya populasi dan mempromosikan peningkatan faktor-faktor yang mendukung

(8)

meningkatnya populasi. Faktor-faktor di atas dapat berupa faltor alami maupun faktor kegiatan manusia, termasuk faktor peran pemerintah dan organisasi non pemerintah.

Dengan memanipulasi faktor-faktor di atas, maka diharapkan populasi dapat berkembang kembali secara alami (in situ). Namun apabila dipandang perlu maka untuk memulihkan populasi dapat dibantu melalui pelepasan kembali ke alam hasil penangkaran maupun hasil operasi penegakan hukum yang telah direhabilitasi atau dikondisikan untuk dapat dilepas kembali ke alam. Selain itu kegiatan-kegiatan seperti memindahkan populasi yang terisolasi dan populasinya kecil ke habitat yang lebih memadai juga perlu dilakukan untuk memperbaiki ketahanan genetik dari populasi jenis yang bersangkutan.

Saat ini banyak spesies yang populasinya di alam telah berada dalam kondisi kritis. Dari spesies-spesies tersebut, banyak diantaranya merupakan speseis yang prestisius atau merupakan fleagship species dan mengundang perhatian internasional, sehingga pelaksanaan pemulihan populasi menjadi sangat penting. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah gajah (Elephas maximus), Orang Utan (Pongo pigmaeus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), dan satwa endemik Indonesia lainnya.

2. Mengelola Dan Mengendalikan Pemanfaatan Spesies Terancam Punah Dan Spesies Yang Populasinya Melimpah Di Alam maupun Di Dalam Penangkaran.

Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan spesies berkelanjutan (sustainable utization). Pemanenan secara berkelanjutan ini dilaksanakan dalam arti pemanfaatan dapat dilakukan dalam bentuk pemanenan dari alam berdasarkan kuota dan pemanfaatan dari jasa yang ditimbulkan oleh spesies tersebut.

Pemanfaatan dalam bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang dikenal dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Untuk

(9)

melaksanakan ini Indonesia menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan yang berdasar pada :

a. Prinsip pemanfaatan tidak merusak (non detriment findings) b. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle)

Prinsip-prinsip tersebut selalu mendasari pengembangan kebijakan pengelolaan spesies yang berkelanjutan.

Salah satu dasar ilmiah pelaksanaan prinsip non detriment findiings dan prinsip precautionary adalah pemanenan berdasarkan teori Maximum Sustainable Yield (MSY). Indikator MSY dikembangkan berdasarkan konsep ekologi yang dikenal dengan Daya Dukung (Carryng Capacity). Daya dukung pada dasarnya mempresentasikan jumlah individu dari suatu spesies yang dapat ditopang hidupnya oleh suatu habitat. Dengan demikian apabila daya dukung suatu kawasan terlampaui, maka populasi dari suatu spesies akan terbatasi oleh keadaan kurangnya sumberdaya, seperti: makanan, air minum, energi dan sebagainya.

Dengan demikian konsep MSY merupakan jumlah maksimum spesies atau biomas kelompok individu yang dapat diambil dari suatu ekosistem tanpa mengakibatkan populasinya jatuh. Angka maksimum tersebut merupakan surplus produksi yang dapat dipanen dan dapat dipakai untuk menetapkan laju pemanenan, yang ditetapkan dalam bentuk kuata pemanenan yang tetap (fixed quota harvest).

Kuota yang ditetapkan secara tetap umumnya lebih memudahkan bagi pemanfat karena pemanfaat tahu apa dan berapa yang dapat dipanen sehingga suplai dapat dikontrol. Selain itu fixed quota lebih mudah di monitor. Untuk lebih menjamin pemanfaatan spesies dari alam secara berkelanjutan maka dalam penetapan quota tetap terlebih dahulu dilakukan penelitian secara ilmiah yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

3. Mengembangkan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pengendalian Pemanfaatan Jenis

(10)

Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar habitat adalah unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Karena itu pelibatan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan konservasi sangat penting. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar.

Pola pendekatan atau konsep pengelolaan kolaborasi, perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan konservasi spesies. Konsep pengelolaan kolaboratif ini diharapkan merupakan jawaban bagi permasalahan pemanfaatan keanekaragaman hayati hutan. Dengan pengelolaan kolaboratif masyarakat menjadi bagian yang setara dengan pemangku kepentingtan lainnya, mempunyai kekuatan dalam proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumberdaya alam serta mendapatkan keuntungan yang adil dan sesuai dengan perannya di dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati.

4. Mengendalikan Populasi Jenis Dan Mengelola Habitat

Dalam kondisi habitat yang terbatas dan populasi berkembang dengan baik karena pengelolaan yang baik maka populasi dapat lebih besar dari kemampuan habitat untuk mendukungnya. Namun demikian untuk jenis-jenis yang secara global maupun nasional terancam bahaya kepunahan, populasi seperti itu perlu dikendalikan dengan hati-hati dan perhitungan yang cermat. Pemanenan harus didasarkan pada kaidah non detriment findings dan precautionary principle

Perburuan mungkin dapat dibuka secara lokal untuk musim-musim tertentu dan dengan metoda tertentu pula dalam pengelolaan spesies-spesies yang terancam punah. Selain itu perburuan perlu juga dikembangkan bagi spesies-spesies eksotik, yang walaupun dilindungi namun di suatu daerah tertentu merupakan jenis asing yang dapat

(11)

mengganggu keberadaan jenis asli, misalnya: Rusa timor dan Monyet ekor panjang di Irian.

Kegiatan ini selain secara ekologis membantu lingkungan secara ekonomis dapat membantu masyarakat sekitar untuk mengembangkan sosial ekonominya. Bahkan apabila dikelola dengan cara profesional dapat menjadi obyek yang mendatangkan pendapatan bagi pemerintah. 5. Mempertahankan Keanekaragaman Genetik Dan Kemurnian Jenis

Selama ini konservasi terhadap keanekaragaman genetik hampir terlupakan. Kebijakan yang mengarah pada konservasi genetik baik in-situ maupun ex-situ kondisinya sangat tersebar dan bersifat sektoral yang dilaksanakan oleh berbagai instansi tanpa ada koordinasi dan strategi yang jelas. Sebagai contoh spesies kayu-kayu komersial banyak yang sudah terancam punah sementara itu konservasi terhadap keungulan-keunggulan genetiknya belum dilaksanakan. Sedangkan habitat huta alam akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sehubungan dengan itu harus segera dikembangkan strategi yang jelas bagi konservasi genetik jenis-jenis kayu komersial dan jenis lain yang sedang mengalami ancaman degradasi genetik. Kebijakan konservasi genetik harus diarahkan pada tahapan berikut :

a. Penetapan jenis-jenis target, yaitu jenis-jenis komersial, jenis-jenis langka, dan jenis-jenis untuk mendukung budidaya pertanian, peternakan, perikanan, serta untuk mendukung tanaman obat.

b. Inventarisasi jenis-jenis target, baik di dalam maupun di luar kawasan KPA dam KSA

c. Konservasi in situ dan ex situ jenis-jenis target melalui berbagai kemungkinan kegiatan.

6. Mengendalikan Akses Terhadap Sumberdaya Genetik Untuk Menunjang Budidaya Dan Menjamin Kepemilikan Sumberdaya

Kebijakan pengendalian akses terhadap sumberdaya genetik telah dimanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity – CBD). Sumberdaya genetik di sini juga termasuk

(12)

pengetahuan lokal (tradisional) dan jasad renik (micro organisme). Selama ini banyak sekali sumberdaya genetik Indinesia yang dikembangkan di luar negeri dan kembali ke Indonesia dalam bentuk produk genetik bermutu tinggi yang harus dibeli, apabila Indonesia menginginkan untuk menggunakannya. Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan kebijakan yang melindungi sumberdaya genetik nasional dan mempromosikan masyarakat peneliti dan pengembang nasional untuk mengembangkan sumberdaya genetik tumbuhan dan hewan. Hak-hak Negara dan Warga Negara Indonesia yang mempunyai sumberdaya harus dipertahankan melalui kebijakan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional. 7. Mempertahankan Keterwakilan Tipe Tipe Ekosistem Di Luar Kawasan

Konservasi

Pada level ekosistem Indonesia telah mencanangkan 20 juta hektar kawasan konservasi. Namun demikian kawasan konservasi tersebut belum meliputi seluruh tipe ekosistem yang ada. Tipe-tipe ekosistem dataran rendah masih banyak yang belum terwakili di dalam jaringan kawasan konservasi yang ada.

Sedangkan ekosistem dataran rendah tersebut merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, namun saat ini merupakan yang paling terancam keberadaannya karena konversi hutan dan lahan. Kondisi kerusakan hutan dataran rendah saat ini telah diperparah dengan maraknya illegal loging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan konservasi, serta kejadian kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung setiap tahun dengan luasan sangat besarsehingga keanekaragaman hayati Indonesia sangat terancam.

Menurut Word Bank apabila kondisi pengelolaan hutan masih tetap seperti sekarang ini, maka hutan dataran rendah di Sumatera akan habis dalam kurun waktu 10 tahun dan di Kalimantan dalam waktu 15 tahun. Untuk itu perlu segera diinventarisasi daerah-daerah di dataran rendah termasuk lahan basah yang masih dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Apabila penetapan menjadi kawasan konservasi sudah tidakm

(13)

memungkinkan maka perlu disusun strategi pengelolaan dan penggunaan lahan sehingga kawasan-kawasan tersebut dapat berfungsi sebagai ekosistem esensial yang perlu dilindungi.

8. Mengembangkan Jaringan Sistem Kawasan Ekosistem Esensial Dan Pendekatan Pengelolaannya

Agar proses-proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan dapat berfungsi secara alami maka perlu dikembangkan konsep pengelolaan bio region dimana pengelolaan lahan diarahkan pada satu kesatuan wilayah bio-geografi secara terintegrasi. Dengan konsep ini maka diperlukan konsep pengembangan wilayah dan penggunaan lahan yang sesuai. Pada tahap pertama diperlukan identifikasi dan inventarisasi ekosistem esesnsial penyangga kehidupan di luar KPA dan KSA. Setelah itu perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang terintegrasi untuik dibakukan ke dalam kebijakan nasional.

Pengembangan jaringan ekosistem esensial perlu diarahkan di daerah-daerah dataran rendah, yang mempunyai keterwakilan KPA dan KSA sengat rendah, namun memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

9. Mengembangkan Sistem Informasi Melalui Pengelolaan Penelitian, Pengembangan Sistem Inventarisasi Serta Monitoring Populasi Dan Habitat dan Ekosistem Esensial

Pengembangan sistem informasi merupakan misi yang sangat mendesak untuk dilaksanakan karena sistem informasi yang baik dan berdasar kaidah-kaidah ilmiah merupakan dasar yang sangat relevan bagi penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam konservasi sumberdaya alam hayati. Selama ini sistem informasi untuk pengambil kebijaksanaan di bidang konservasi sangat didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan intuisi yang mungkin tidak selalu benar. Dalam kondisi dimana informasi yang akurat sangat kurang, prinsip kehati-hatian sangat relevan untuk dilakukan.

Pengembangan sistem informasi yang termutakhirkan setiap saat dapat mengumpulkan data dan informasi yang berserak akan sangat bermanfaat untuk mengetahui pada bagian mana masih kekurangan informasi.

(14)

Didukung dengan pengembangan riset dan studi melalui kerjasama dengan institusi ilmiah, maka sistem informasi yang handal akan dapat diperoleh.

10. Menyempurnakan dan Mengembangkan Peraturan Perundang-undangan Sistem peraturan perundang-undangan merpakan dasar melakukan

tindakan sehari-hari agar strategi dan kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati dapat sesuai dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati. Beberapa peraturan perundang-undangan perlu segera disempurnakan karena sudah tidak sesusai dengan perkembangan jaman dan beberapa hal masih belum diatur secara baik dalam sistem peraturan perundangan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 memerlukan revisi terutama pada pengaturan yang berhubungan dengan pembagian status hukum spesies, pengenaan sanksi terhadap aturan bagi setiap status spesies, pengaturan mengenai pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat dan sebagainya. 11. Mengembangkan Jaringan Kerja Dengan Stake Holders

Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah saja tetapi harus dilaksanakan oleh seluruh unsur masyarakat termasuk pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat sekitar habitat maupun masyarakat luas. Kerjasama ini perlu dikembangkan ke arah kerjasama mengenai tekniknis-teknis konservasi, perbaikan sistem administrasi pemerintahan yang ramah terhadap lingkungan, penegakan hukum, sistem informasi, dan sebagainya. Selain itu pengembangan jaringan kerja perlu diarahkan bagi pembinaan masyarakat sekitar habitat dalam pengembangan sosial ekonomi yang berdampak pada semakin efektifnya konservasi.

Kerjasama antar pemerintah perlu dilakukan di tingkat pelaksana, misalnya dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Karantina dalam rangka meningkatkan kontrol peredaran tumbuhan dan satwa liarserta pelaksanaan CITES yang lebih efektif.

(15)

Kerjasama dengan organisasi non pemerintah juga perlu dilakukan karena pemerintah tidak akan dapat melaksanakan pekerjaan konservasi sendiri. Banyak sekali kegiatan dan kewenangan yang dalam tahap tertentu dapat dilimpahkan kepada organisasi-organisasi non pemerintah, sedangkan organisasi non pemerintah sering mempunyai akses terhadap pendanaan yang cukup memadai sehingga kerjasama perlu ditingtkatkan.

12. Mengoptimalkan Pelaksanaan Konvensi Yang Berhubungan Dengan Keanekaragaman Hayati

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi atau mengikatkan diri dalam beberapa konvensi dan perjanian internasional yang berhubungan dengan konservasi keanekaragaman hayati, diantaranya: CITES, CBD, Ramsar, MoU IOSEA Marine Turtle dan sebagainya. Dengan ratifikasi dan penandatanganan konvensi tersebut Indonesia terikat pada komitmen-komitmen yang dihasilkan darim keputusan di dalam konvensi yang sering berdampak langsung pada pelaksanaan konvensi tersebut di dalam negeri. Konvensi CITES bahkan mengharuskan negara anggota untuk mengembangkan sistem legislasi nasional yang dapat melaksanakan konvensi secara efektif, selain penegakan terhadap legislasi yang sudah dikembangkanya. Untuk itu pengembangan kebijakan dan legislasi nasional yang diturunkan dari keputusan-keputusan di tingkat internasional akan menjadi penting untuk dilakukan.

13. Mengembangkan Potensi SDM Di Bidang Pengelolaan Konservasi Spesies, Genetik, Ekosistem Esensial dan Penegakan Hukum

Dalam memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan era perdagangan bebas dan teknologi informasi, serta prediksi terjadinya krisis hidupan liar dalam jangka 50 tahun akan datang, maka diperlukan sumber daya manusia yang profesionalbagi pengelolaan konservasi termasuk penegakan hukumnya. Profesionalisme sumber daya manusia untuk pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati perlu dikembangkan melalui sistem rekrutmen dan mutasi yang terarah dengan pola pelatihan yang berkesinambungan mulai dari pelatihan konservasi bagi pegawai baru,

(16)

pelatihan bagi pejabat struktural, pelatihan bagi pejabat fungsional konservasi dan pelatihan bagi petugas penegak hukum mengenai konservasi dan kejahatan dalam bidang hidupan liar (wildlife crime) serta pelatihan bagi pegawai lain dan masyarakat.

Dalam jangka panjang mungkin diperlukan senacam pusat pendidikan dan latihan khusus untuk konservasi seperti yang ada di Amerika Serikat dengan national Conservation Training Centre yang digunakan untuk pelatihan seluruh pegawai yang berhubungan dengan konservasi.

C. Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

1. Penetapan Golongan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan berdasarkan dua golongan, yaitu: a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;

b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: mempunyai populasi yang kecil; adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

2. Pengelolaan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Serta Habitatnya

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ). Dalam mendukung kegiatan pengelolaan in situ dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.

(17)

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: Identifikasi; Inventarisasi; Pemantauan; Pembinaan habitat dan populasinya; Penyelamatan jenis; Pengkajian, penelitian dan pengembangannya.

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: Pemeliharaan; Pengembangbiakan; Pengkajian, penelitian dan pengembangan; Rehabilitasi satwa; Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

Dalam pengelolaan in situ Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa. Pemerintah melaksanakan inventarisasi untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa. Inventarisasi meliputi survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.

Pemerintah melaksanakan pemantauan untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu ke waktu.

Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya. Pembinaan habitat dan populasi dilaksanakan melalui kegiatan:

a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;

b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon sumber makan satwa;

c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa; d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;

e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;

f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa penggangggu.

Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya. Penyelamatan jenis

(18)

tumbuhan dan satwa dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.

Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba. 3. Pemeliharaan Dan Pengembangbiakan (Pengelolaan Ex-Situ)

Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

Pemeliharaan meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi. Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat: a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;

b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;

c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.

Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah. Kegiatan pengembangbiakan dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.

Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat: a. menjaga kemurnian jenis;

b. menjaga keanekaragaman genetik; c. melakukan penandaan dan sertifikasi; d. membuat buku daftar silsilah (studbook).

Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya dilakukan sebagai uapaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis

(19)

tumbuhan dan satwa secara lestari. Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.

Rehabilitasi satwa di luar habitatnya d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.

Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:

a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik; b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,

menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya dengan syarat :

1) habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;

2) tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman genetik yang tinggi;

3) memperhatikan keberadaan penghuni habitat. 4. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Sarwa Liar

Bentuk kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar yang dapat dilaksanakan berupa: Pengkajian, penelitian, dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, dan pemeliharan untuk kesenangan.

(20)

1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau tidak dilindungi. 2) Penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk

kepentingan pengkajian, penelitian dan pengembangan harus dengan izin Menteri

3) Pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar Indonesia yang dilakukan di luar negeri dapat dilakukan setelah memperoleh rekomendasi otoritas keilmuan (LIPI). 4) Hasil pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan

satwa liar yang dilindungi wajib diberitahukan kepada Pemerintah. b. Penangkaran

Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi. Penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan :

1) pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol, penetasan telur dan atau perbesaran anakan yang diambil dari alam.

2) Jenis tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan penangkaran diperoleh dari habitat alam atau sumber-sumber lain yang sah menurut peraturan pemerintah ini. Satwa liar yang dilindungi yang diperoleh dari habitat alam untuk keperluan penangkaran dinyatakan sebagai satwa titipan negara.

Hasil penangkaran tumbuhan yang dilindungi dinyatakan sebagai tumbuhan yang tidak dilindungi dan dapat digunakan untuk keperluan perdagangan. Hasil penangkaran satwa liar yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya. Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil

(21)

penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi.

c. Perburuan

Perburuan adalah sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan berburu. Sedangkan berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru. Kegiatan perburuan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru Perburuan satwa buru diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem dan pada dasarnya satwa yang dapat diburu adalah satwa liar yang tidak dilindungi. Satwa buru tersebut digolongkan menjadi : burung, satwa kecil,satwa besar. Menurut jenisnya perburuan satwa buru digolongkan mejadi :

1) berburu untuk keperluan olah raga dan trophy

2) berburu tradisional, yaitu kegiatan perburuan yang dilaksanakan oleh pemburu tradisional dengan menggunakan alat berburu tradisional. 3) berburu untuk keperluan lain-lain, yaitu perburuan yang dilakukan

oleh pemburu atau petugas yang ditunjuk berdasarkan surat perintah dari Menteri Kehutanan, diantaranya :

a) tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan b) pengendalian hama penyakit

c) pengendalian populasi

d) penanggulangan gangguan satwa yang membahayakan kehidupan upah manusia

e) kepentingan khusus antara lain hadiah pemerintah RI kepada negara lain.

Lokasi berburu dapat dilakukan di beberapa lokasi, yaitu :

1) Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan perburuan secara teratur.

(22)

2) Kebun buru adalah lahan di luar kawasan hutan yang diusahakan oleh badan usaha dengan sesuatu alas hak untuk kegiatan perburuan.

3) Areal buru adalah areal di luar taman buru dan kebun buru yang didalamnya terdapat satwa buru yang dapat diselenggarakan perburuan.

Untuk dapat melaksanakan perburuan di taman buru, kebun buru dan areal buru, pemburu memerlukan: 1) akta buru dan/atau 2) surat izin berburu dan/atau 3) surat perintah berburu,

d. Perdagangan

Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi, dan diperoleh dari hasil penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam

Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi menteri, kekecualian dari ketentuan di atas adalah perdagangan dalam skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar areal buru dan di sekitar taman buru sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan tentang perburuan satwa (PP 13 Tahun 1994;SK Dirjen PHPA No.99/Kpts/DJ-VI/1996)

e. Peragaan

Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat berupa koleksi hidup atau koleksi mati termasuk bagian-bagiannya serta hasil daripadanya. Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga-lembaga pendidikan formal. Peragaan yang dilakukan oleh orang atau Badan di luar lembaga sebagaimana dimaksud harus dengan izin Menteri.

Lembaga, badan atau orang yang melakukan peragaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan.

(23)

f. Pertukaran

Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tujuan untuk : mempertahankan atau meningkatkan populasi, memperkaya keanekaragaman jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis yang bersangkutan. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang telah dipeliharan oleh lembaga konservasi dan poertukarannya hanya dapat dilakukan oleh dan antara lembaga konservasi dan pemerintah.

Pertukaran tersebut di atas hanya dapat dilakukan antara satwa dengan satwa dan tumbuhan dengan tumbuhan atas dasar keseimbangan nilai konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dipertukarkan. nBeberapa jenis tumbuhan dan satwa liar, hanya dapat dipertukarkan dengan izin dari Presiden, yaitu :

1) Tumbuhan liar : dari genus jenis Raflesia

2) Satwa liar jenis : Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi), Babi rusa ( Babyrousa babyrussa), Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Biawak komodo (Varanus komodoensis), Cendrawasih (seluruh jenis dari famili Paradiseidae), Elang jawa, elang garuda (Spizaetus bartelsi), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Lutung Mentawai (presbytis potenziani), Orang utan (Pongo pygmaeus), Owa jawa (Hylobates moloch)

g. Budidaya Tanaman Obat

Pemanfaatan jenis tumbuhan liar yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dengan tetap memelihara kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar.

h. Pemeliharaan Untuk Kesenangan

Setiap orang dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat dilakukan terhadap jenis

(24)

yang tidak dilindungi. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan diperoleh dari hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam.

5. Lembaga Konservasi

Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau satwa liar secara ex-situ (diluar habitat aslinya), baik yang berbentuk lembaga pemerintah maupun lembaga pemerintah. Termasuk didalamnya adalah Kebun Binatang, Museum Zoologi dan Taman Satwa Khusus. Sedangkan Lembaga Konservasi Tumbuhan meliputi Kebun Botani dan Taman Tumbuhan Khusus. Lembaga-lembaga berikut ini tidak tergolong dalam lembaga konservasi, yaitu: Museum Zoologi Bogor, Herbarium Bogoriensis, Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Purwodadi-Malang, Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Eka Karya-Bedugul-Bali, karena lembaga-lembaga tersebut pengelolaan dan tanggung jawabnya dibawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga Konservasi bertujuan untuk memelihara dan atau mengkoleksi

dan atau membiakkan jenis tumbuhan dan atau satwa liar di luar habitat aslinya, untuk menghindari bahaya kepunahan. .Fungsi utamanya yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya serta sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

a. Bentuk Lembaga Konservasi

Bentuk Lembaga Konservasi ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 479/Kpts-II/1998 tentang Lembaga Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 8 Juni 1998, yaitu : Kebun Binatang, Taman Safari, Taman Satwa, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Pusat Penyelamatan Satwa, Pusat Rehabilitasi Satwa, Museum Zoologi, Kebun Botani, Taman Tumbuhan Khusus, Herbarium.

(25)

1) Kebun Binatang.

a) sebagai lembaga konservasi ex-situ yang melakukan usaha perawatan/pemeliharaan dan koleksi berbagai jenis satwa, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan CITES dalam rangka upaya pelestarian.

b) Sebagai tempat penangkaran jenis satwa liar dalam rangka pelestarian, khususnya untuk jenis yang terancam punah.

c) Sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian serta sarana rekreasi yang sehat.

2) Museum Zoologi

a) Sebagai tempat koleksi berbagai jenis satwa liar dan atau bagian-bagiannya dalam bentuk mati, seperti tulang atau rangka, kulit, gading, cula, gigi dan lain-lainnya, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang.

b) Sebagai tempat penelitian dan pengembangan dalam bidang zoologi.

c) Sebagai pusat penelitian atau riset dan informasi dalam bidang zoologi.

3) Taman Satwa Khusus, antara lain mempunyai kriteria:

a) Sebagai tempat mengkoleksi satu atau berbagai jenis, suku atau kerabat, marga satwa yang bersifat khusus.

b) Sebagai sarana informasi, pendidikan dan rekreasi khusus. 4) Kebun Botani, antara lain mempunyai kriteria:

a) Sebagai tempat mengkoleksi berbagai jenis tumbuhan alam hidup, dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan CITES, baik dalam bentuk taman yang tertutup atau terbuka. ketentuan CITES, baik dalam bentuk taman yang tertutup atau terbuka.

(26)

b) Sebagai tempat untuk memelihara berbagai jenis tumbuhan alam dalam tempat yang luas dan memadai untuk perkembangbiakannya.

c) Sebagai tempat untuk melakukan kegiatan penangkaran jenis tumbuhan alam dalam upaya pelestarian, khususnya untuk jenis yang terancam punah.

d) Sebagai sarana pendidikan, penelitian dan pengembangan dalam bidang botani.

e) Sebagai sarana rekreasi yang sehat.

5) Museum Botani, antara lain mempunyai kriteria:

a) Sebagai tempat untuk mengkoleksi berbagai jenis tumbuhan dan atau bagian-bagiannya dalam bentuk mati atau specimen , seperti batang, daun, kulit kayu, buah, bunga, biji, akar, dan lain-lainnya, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang. b) Sebagai sarana penelitian dan pengembangan dalam bidang

botani.

c) Sebagai pusat penelitian atau riset dan informasi dalam bidang botani.

6) Taman Tumbuhan Khusus, antara lain mempunyai kriteria:

a) Sebagai tempat mengkoleksi satu atau berbagi jenis, suku atau kerabat, marga tumbuhan alam yang bersifat khusus.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Tingkat Bagi Hasil Mudharabah dan Margin Murabahah Secara Simultan Terhadap Profitabilitas pada Baitul Maal wat Tamwil Al-Idrisiyyah Cisayong

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan rata-rata nilai kepercayaan diri pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebesar 2,092, yang berarti pendampingan psikologi

Dari analisa dengan menggunakan metode konsep nilai hasil berdasarkan waktu (Time-Based) dan berdasarkan progress (Progress-Based) dapat diketahui biaya actual yang

Alhamdulillah, segala puji syukur kita kehadirat Allah Swt yang telah memberi nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan, sehingga penulis

Mengacu kepada Rencana shortcut jalan KA dari Departemen Perhubungan antara Stasiun Lebeng – stasiun Kalisabuk ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perjalanan

Dari uraian latar belakang tersebut di atas, bisa diangkat beberapa permasalahan menarik yang bisa dijadikan sebagai langkah awal penelitian yaitu: - Apakah

by invoicing foreign sales in home currency share exchange rate risk. by pro-rating the currency of the invoice between foreign and

saksi korban dianggap sebagai pembuat masalah lalu saksi korban menjawab bahwa lahan tersebut adalah lahan bebas, siapa saja boleh ke lahan tersebut dan