• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ataupun interaksi sosial. Kurniawan dalam (Darma, 2009: 1) menyatakan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ataupun interaksi sosial. Kurniawan dalam (Darma, 2009: 1) menyatakan dengan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan sosialisasi ataupun interaksi sosial. Kurniawan dalam (Darma, 2009: 1) menyatakan dengan menggunakan bahasa manusia dapat menyampaikan berbagai berita, pikiran, pengalaman, gagasan, pendapat, perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Berdasarkan peranannya sebagai media dalam berkomunikasi, pola interaksi yang menggunakan bahasa sebagai medianya yang digunakan untuk membicarakan suatu topik dalam rangka mencapai berbagai tujuan yang melibatkan pelaku interaksi itu sendiri, sekurang – kurangnya satu penutur dan satu mitra tutur disebut dengan istilah percakapan. Percakapan akan dianggap berhasil jika mitra tutur menangkap pesan yang disampaikan oleh penutur.

Penutur dan mitra tutur dituntut untuk saling bekerja sama dalam membangun sebuah percakapan yang baik dan lancar demi menghasilkan komunikasi yang efektif dan efisien. Maksud bekerja sama di sini adalah para peserta percakapan tidak saling memberikan informasi yang membingungkan, menipu, atau memberi informasi yang tidak relevan (Yule, 1996: 35). Oleh karena itu, agar sebuah percakapan dapat berjalan dengan baik setiap pemakai bahasa harus memperhatikan prinsip – prinsip yang berlaku dalam komunikasi. Untuk memahami maksud dan tujuan penutur, hendaknya mitra tutur memberikan

(2)

kontribusi yang benar, jelas dan runtut sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin didapat oleh penutur. Grice dalam (Thomas, 1995: 62) mengemukakan sebuah prinsip yang dikenal dengan prinsip kerja sama dan empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain; maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

Dalam fenomena berbahasa tidak jarang penutur tidak mematuhi prinsip kerja sama. Sikap tidak memenuhi prinsip kerja sama disebut dengan pelanggaran prinsip kerja sama. Seperti misalnya, jika informasi yang diberikan kurang maka mitra tutur tidak dapat memahami informasi dan apabila informasi yang diberikan berlebihan maka mitra tutur dapat memahami namun hal tersebut dianggap tidak efektif dan efisien demi menyampaikan maksud – maksud tertentu. Salah satu bentuk pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama terlihat dalam dialog di bawah ini:

Data 1

(1A) Penny: What is your name? ‘Siapa namamu?’ Howard: Howard Wolowitz,

‘Howard Walowitz’ (1B) Penny: What is your name?

‘Siapa namamu?’

Howard: Howard Wolowitz, department of engineering, Caltech department of applied physics. Co-designer of the International Space Station's Liquid Waste Disposal System. You may be familiar with some of my work. It's currently orbiting Jupiter's largest moon taking high-resolution digital photographs

‘Howard Walowitz, jurusan Teknik Mesin, Caltech departemen fisika terapan. Wakil designer Sistem Pembuangan Limbah Cair Stasiun Luar Angkasa Internasional. Kau mungkin mengetahui sebagian pekerjaanku. Saat ini mengorbitkan bulan terbesar Jupiter untuk mengambil foto digital resolusi tinggi’

(3)

Pada dialog (1A) terlihat Howard bersifat kooperatif dengan memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai, sedangkan tuturan (1B) dikatakan melanggar maksim kuantitas karena dalam hal ini Howard tidak kooperatif dengan memberikan informasi yang berlebihan yang belum dibutuhkan oleh lawan tutur yaitu informasi mengenai jurusan, departemen, jabatan dan pekerjaan. Alasan dari pelanggaran maksim kuantitas yang dilakukan Howard di sini karena ia mencoba untuk pamer dan menarik hati lawan tuturnya yaitu Penny yang merupakan gadis pirang yang cantik. Pada dasarnya pelanggaran ini terjadi karena kebiasaan dan sikap dari Howard sendiri sebagai fisikawan yang kerap mencoba menggoda dan tebar pesona kepada setiap gadis cantik yang dia temui. Sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran maksim kuantitas. Jadi di sini terlihat betapa pentingnya teori prinsip kerja sama yang disampaikan oleh Grice (1975) agar komunikasi berjalan lancar. Apabila dianalisis menggunakan prinsip kerja sama maka tuturan (1A) merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama sedangkan tuturan (1B) merupakan tuturan yang melanggar prinsip kerja sama dalam hal ini maksim kuantitas.

Pelanggaran prinsip kerja sama dapat ditemukan dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory. Serial komedi situasi ini bercerita tentang empat orang fisikawan muda bernama Leonard Hofstadter, Sheldon Cooper, Raj Koothrappali dan Howard Wollowitz. Selain berprofesi sebagai fisikawan mereka juga sangat menyukai video game, komik, film-film fiksi ilmiah. Kemudian adanya tetangga yang bernama Penny yaitu seorang gadis berambut pirang yang cantik yang juga merupakan seorang waiter di toko kue keju yang punya impian

(4)

menjadi seorang aktris. Setelah mengamati serial ini penulis menemukan banyak fenomena bahasa terkait pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dengan berbagai macam tujuan dan alasan.

Salah satu contoh bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang ditemukan dalam The Big Bang Theory adalah sebagai berikut:

Data 2 (Season 2 Episode 13) (2A) Kripke Hi, Leonard.

‘Hai Leonard’ Leonard: Hi,Kripke

‘Hai Kripke’

Kripke : I Read about your latest proton decay experiment, 20 thousand data runs and no statistically significant results. Very impressive!

‘Aku membaca tentang percobaan penguraian proton terbarumu, 20000 data digunakan dan tidak ada hasil yang signifikan secara statistik. Mengesankan.’

(2B) Kripke Hi, Leonard. ‘Hai Leonard’ Leonard: Hi,Kripke

‘Hai Kripke’

Kripke : I Read about your latest proton decay experiment, 20 thousand data runs and no statistically significant results. Very bad!

‘Aku membaca tentang percobaan penguraian proton terbarumu, 20000 data digunakan dan tidak ada hasil yang signifikan secara statistik. Menyedihkan sekali.’

Dialog di atas terjadi antara Kripke dan Leonard. Kripke merupakan teman Leonard yang sering mengejek dan menyindir dirinya. Pada dialog di atas terdapat pelanggaran maksim kualitas. Tuturan (2A) yang diutarakan oleh Kripke melanggar maksim kualitas karena memberikan kontibusi yang tidak sebenarnya dan terkesan memiliki implikasi makna menyindir. Dikatakan demikian karena pada kenyataannya jika sesuatu pekerjaan telah dilakukan dan tidak ada hasil yang signifikan atau dengan kata lain stagnan hal tersebut sangat tidak menyenangkan

(5)

dan terkesan payah. Kalimat pada dialog (2A) merupakan gaya bahasa ironi. Maksim kualitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang benar dan sesuai dengan fakta (Nadar, 2009: 24). Tuturan Kripke akan mematuhi prinsip kerja sama maksim kualitas apabila ia mengatakan (2B). Dalam hal ini tuturan (2A) yang diutarakan Kripke tersebut bertujuan untuk menyindir hasil eksperimen dan penelitian Leonard yang stagnan dan tidak berkembang dengan signifikan, sehingga tuturan tersebut memiliki makna yang berbeda dari apa yang diutarakan.

Penjelasan di atas menunjukkan adanya realita fenomena pelanggaran prinsip kerja sama dan penulis tertarik untuk membahas tuturan pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan oleh para pemeran dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bagian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk – bentuk pelanggaran atas prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

2. Bagaimana fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

3. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk – bentuk pelanggaran atas prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory

2. Mendeskripsikan fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory

3. Mendeskripsikan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis.

a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam kajian ilmu pragmatik yaitu dapat menjelaskan bahwa adanya berbagai bentuk – bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi penelitian selanjutnya mengenai analisis bidang kajian pragmatik dengan objek penelitian yang berbeda.

(7)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan tambahan tentang bentuk – bentuk pelanggaran atas prinsip kerja sama, selanjutnya fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pelanggaran prinsip kerja sama telah beberapa kali dilakukan dengan pendekatan pragmatik. Beberapa di antaranya terpilih menjadi tinjauan pustaka dalam tesis ini, yaitu;

Penelitian yang ditulis oleh Dornerus (2005) dengan judul Kajian Komparatif Bagaimana Penulis Naskah Melanggar Maksim Dalam Desperate Housewives and That 70’s Show. Penelitian tersebut menganalisis maksim apa yang sering dilanggar dan mengapa maksim tersebut dilanggar. Hasil kesimpulannya menunjukkan bahwa maksim relevansi merupakan maksim yang paling sering dilanggar untuk menciptakan situasi yang dramatik. Kemudian pelanggaran terhadap maksim kuantitas dan maksim pelaksanaan juga terdapat dalam serial drama ini dengan tujuan menciptakan situasi humor.

Penelitian yang ditulis oleh Nugrahaeni (2010) yang mengkaji tentang bentuk – bentuk implikatur yang terdapat dalam seri keempat film Harry Potter dengan menggunakan teori implikatur dan prinsip kerja sama Grice (1975). Hasilnya pelanggaran prinsip kerja sama maksim kuantitas 26,9%, maksim

(8)

kualitas 14,2%, maksim relevan 41,3% dan maksim pelaksanaan 17,4% dari 63 tuturan yang ditemukan dalam naskah film.

Candrawati (2011) menulis sebuah tesis dengan judul Implikatur dan Presuposisi dalam Film Before Sunrise dan Before Sunset. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implikatur percakapan karena pelanggaran maksim terbagi atas empat kategori yaitu: 1) implikatur percakapan karena pelanggaran maksim kuantitas terdiri dari implikatur percakapan menolak, merahasiakan, keraguan, membela diri dan menyalahkan. 2) implikatur percakapan karena pelanggaran maksim kualitas terdiri dari merendah, mengurangi rasa bersalah, gurauan dan mengejek; 3) implikatur percakapan karena pelanggaran maksim relevansi seperti untuk menolak memberi jawaban, menyetujui dan menghindar; 4) implikatur percakapan karena pelanggaran maksim pelaksanaan seperti meminta pemahaman, mengolok-olok, memberi pujian, dan memprotes.

Wirawati (2013) dalam tesisnya yang berjudul pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam seri House M.D.: Suatu telaah Sosiopragmatik, menganalisis tuturan yang diujarkan oleh dokter Gregory House. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tuturan – tuturan House banyak mengandung pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan dan maksim pelaksanaan. Dari keempat maksim tersebut maksim kualitas merupakan maksim yang paling banyak dilanggar oleh House. Kemudian juga ditemukan pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Kemudian ditemukan mengenai aspek – aspek sosial yang

(9)

berpengaruh pada tuturan House yang dianalisis berdasarkan teori SPEAKING Hymes. Aspek – aspek sosial lawan tutur seperti aspek usia, aspek jenis kelamin, aspek tingkat sosial dan aspek etnisitas tidak diperhatikan oleh House dalam tuturannya. Dalam tuturannya, beberapa tujuan dari tuturan House yang tampak adalah memberikan penjelasan, menghina dan menyuruh.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa terdapat persamaan yaitu mengenai topik dan juga memiliki perbedaan pada sumber data yang digunakan. Dalam penelitian ini data bersumber dari serial komedi situasi. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang fokus terhadap serial dengan genre drama. Beberapa penelitian terkait sangat membantu penulis dalam menentukan judul penelitian dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terkait sumber data penelitian yang diambil dari serial komedi situasi The Big Bang Theory. Penelitian ini membahas mengenai bentuk – bentuk pelanggaran atas prinsip kerja sama pada serial komedi situasi The Big Bang Theory, fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory dan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama tersebut. Di samping itu penelitian ini menggunakan sumber data yang diambil dari season 1, season 2, dan season 3. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat membantu pemahaman pembaca mengenai pragmatik melalui prinsip kerja sama.

(10)

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pragmatik

Istilah dari Pragmatik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Charles Morris (1938) via Levinson (1983: 1) yang memasukkan pragmatik sebagai salah satu bagian dari semiotika atau ilmu tanda. Semiotika diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis merupakan studi tentang hubungan antara bentuk kebahasaan, bagaimana menyusun bentuk kebahasaan tersebut dalam suatu tatanan (urutan) dan tatanan mana yang tersusun dengan baik Yule (1996: 4). Semantik merupakan studi hubungan antara tanda dengan segala sesuatu yang diacu oleh tanda tersebut dan pragmatik merupakan studi hubungan antara tanda tersebut dengan penafsir atau penggunanya. Pengguna atau penafsir tanda tersebut dalam hal ini adalah manusia, baik yang memproduksi tanda maupun yang memahami dan menangkap tanda. Dalam memproduksi atau menangkap tanda, pengguna selalu melakukan penafsiran berdasarkan konteks, latar belakang, dan hubungan antar pengguna dengan tanda itu.

Dalam perkembangannya banyak ahli pragmatik menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara pragmatik dan semantik. Wijana (1996: 2) menyatakan bahwa pragmatik dan semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual. Sematik mempelajari makna secara internal sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Dengan demikian dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik juga mengkaji makna yang bersifat terikat konteks sedangkan makna yang ditelaah dalam ilmu semantik merupakan makna yang

(11)

bebas konteks. Bila diamati lebih jauh makna dalam kajian semantik adalah makna linguistik (linguistics meaning) sedangkan makna dalam kajian pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning).

Kemudian definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para pakar pragmatik lainnya seperti Yule (1996: 3) yang mendefinisikan bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh petutur dalam konteks tertentu. Mey (1993: 42) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Thomas (1995: 22) mendefinisikan pragmatik sebagai makna dalam interaksi (meaning in interaction). Definisi ini merupakan pandangan bahwa makna bukan merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan kata – kata itu sendiri melainkan makna tersebut melibatkan konteks ujaran dan menginterpretasikan makna dalam sebuah ujaran. Menurut Kushartanti (2005: 104) pragmatik mengkaji makna yang dipengaruhi hal – hal di luar bahasa. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksud dengan konteks dan bagaimana konteks tersebut berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Levinson (1983) memberikan lima definisi dari ilmu pragmatik. Dari kelima definisi tersebut, dua buah yang paling sesuai karena keterkaitan pragmatik dengan konteks, ialah:

1. Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa.

(12)

2. Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa yang mengaitkan kalimat – kalimat dengan konteks – konteks yang sesuai bagi kalimat itu (Levinson, 1983: 2-3)

Parker (1986: 11) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Parker menegaskan bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa secara internal namun secara eksternal. Oleh karena itu pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks dan hal ini menjadikan konteks sebagai hal yang penting dalam memaknai suatu ujaran.

Penggunaan bahasa dalam bentuk percakapan merupakan kajian ilmu pragmatik. Menurut Richard dan Leech dalam (Novita, 2009: 121) pragmatik adalah studi tentang pemakaian bahasa dalam komunikasi, terutama hubungan antara ujaran dengan konteks situasi. Dalam hal ini konteks memegang peranan yang sangat penting pada setiap peristiwa bahasa sehingga konteks menjadi dasar untuk memahami maksud dan menentukan makna suatu tuturan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan mengatakan kalimat itu (Kaswantipurwo, 1990: 14). Maka Pragmatik dapat dikatakan sebagai kajian tentang makna kontekstual yang mana artinya sangat tergantung konteks saat tuturan berlangsung. Pentingnya konteks ini akan menentukan maksud penutur dalam berinteraksi.

(13)

1.6.2 Prinsip Kerja Sama

Supaya sebuah percakapan dapat berjalan dengan baik setiap pemakai bahasa harus memperhatikan prinsip – prinsip yang berlaku dalam komunikasi. Prinsip ini disebut dengan prinsip kerja sama. Untuk memahami maksud dan tujuan penutur, hendaknya mitra tutur memberikan kontribusi sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin didapat oleh penutur. Dalam menganalisis data yang terdapat pada penelitian ini, penulis menggunakan konsep prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice.

Grice dalam (Thomas, 1995: 62) merumuskan prinsip kerja sama sebagai berikut: Make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged (‘berikanlah kontribusi anda dalam percakapan sesuai dengan kebutuhan, pada tingkat percakapan tersebut berlangsung, sesuai dengan maksud dan tujuan di mana anda terlibat’). Selanjutnya prinsip kerja sama ini dijabarkan ke dalam empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain; maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Namun pada kenyataannya, terkadang penutur ataupun mitra tutur seringkali melanggar prinsip kerja sama ini demi menyampaikan maksud – maksud tertentu. Ketika pelanggaran ini terjadi maka ada makna tersembunyi yaitu makna yang tidak diungkapkan lewat tuturan tapi dikomunikasikan dalam percakapan tersebut. Di sinilah pragmatik mengambil peranannya di dalam komunikasi antar manusia.

(14)

Grice dalam Nadar (2009: 24) mengembangkan prinsip kerja sama yang dikenal dengan empat maksim yang kemudian dijabarkan sebagai berikut:

Maksim Kuantitas

Di dalam maksim kuantitas, setiap peserta tutur diharapkan dapat memberikan informasi cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi tersebut tidak boleh melebihi informasi yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang diperlukan mitra tutur dan mengandung informasi yang berlebihan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice.

Contoh: Data 3

(3A) Tetangga saya hamil.

(3B) Tetangga saya yang perempuan hamil.

Tuturan dalam (3A) dikatakan mematuhi maksim kuantitas. Disamping lebih ringkas, jika tidak menyimpangkan nilai kebenaran. Setiap orang tentu tahu bahwa hanya wanita yang mungkin melahirkan. Dengan demikian elemen ‘yang perempuan’ dalam tuturan (3B) sifatnya berlebihan dan justru menerangkan hal – hal yang sudah jelas dan melanggar maksim kuantitas (Wijana, 1996: 46).

Maksim Kualitas

Maksim percakapan ini menghendaki setiap peserta tutur mengatakan sesuatu yang nyata sesuai fakta sebenarnya dalam bertutur. Fakta tersebut harus didukung dan berdasarkan pada bukti yang jelas. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar; jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Contoh:

(15)

Data 4

(4) Husband: How much did that the new dress cost, honey? ‘Berapa harga pakaian baru itu sayang?’

Wife : Thirty-five pounds (wrong information) ‘Tiga puluh lima pounds’

(Joan Cutting, 2002: 40)

Di dalam percakapan (4) di atas, si istri tidak ini mengatakan hal yang sebenarnya ketika suaminya bertanya berapa harga baju baru yang dia beli. Si istri menjawab pertanyaan suaminya itu dengan menyebutkan harga yang lebih rendah daripada harga yang sebenarnya. Si Istri berusaha untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya, karena dia khawatir kalau suaminya akan marah kepadanya kalau dia tahu bahwa harga baju barunya itu sangat mahal.

Maksim Relevansi

Maksim ini menyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur hendaknya masing – masing dapat memberikan kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan dapat tercapai secara efektif. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Contoh: Data 5

(5) Husband: How much did the new dress cost, honey? ‘Berapa harga pakaian baru itu, sayang?’ Wife: I know. Let’s go out tonight

‘Aku tahu. Mari kita keluar malam ini’

(16)

Pada contoh dialog (5), ketika suami bertanya kepada istrinya tentang berapa harga baju baru yang dia beli itu, istrinya menjawab dengan jawaban yang tidak relevan dengan apa yang ditanyakan oleh suaminya tersebut.

Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan ini mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara langsung, tidak kabur, hindari ungkapan yang membingungkan, hindari ungkapan taksa (ambigu), hindari ungkapan yang berkepanjangan dan berlebihan serta ungkapkan sesuatu secara runtut. Orang yang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal – hal tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama maksim pelaksanaan. Contoh:

Data 6

(6) A: Saya ini pemain gitar solo

B: Kebetulan saya orang Solo. Coba hibur saya dengan lagu – lagu daerah solo

Bila konteks pemakaian dicermati, solo yang bermakna tunggal ditafsirkan nama kota di Jawa Tengah, karena di dalam pragmatik konsep ketaksaan (ambiguity) tidak dikenal (Wijana, 1996: 51).

Untuk menjelaskan maksim – maksim tersebut, Grice (1975:47) dalam Nadar (2009, 25-26) membuat ilustrasi sebagai berikut:

1) Quantity. If you are assisting me to mend a car, I expect your contribution to be neither more or less than is required; if, for example, at a particular stage I need four screws, I expect you to hand me four, rather than two or six.

(17)

‘Kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi anda sesuai kebutuhan, tidak lebih, tidak juga kurang. Misalnya, jika pada saat tertentu saya memerlukan empat sekrup, saya ingin anda memberikan kepada saya empat sekrup bukannya dua atau enam’.

2) Quality. I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I need sugar as an ingredient in the cake you are asking me to make, I do not expect you to hand me salt; if I need a spoom, I do not expect a trick spoon made of rubber.

‘Kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh – sungguh, bukan palsu. Kalau saya memerlukan gula sebagai bahan pembuat kue yang anda minta saya membuatnya saya tidak mengharapkan anda memberikan garam kepada saya; Kalau saya memerlukan sendok, saya ingin sendok sungguhan bukan sendok mainan yang terbuat dari karet’.

3) Relation. I expect a partner’s contribution to be appropriate to immediate needs at stage of the transaction; If I am mixing ingredient for a cake, I do not expect to be handed a good book, or even an oven cloth (though it might be an appropriate contribution at a later stage )

‘Relasi. Saya menginginkan kontribusi pasangan saya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada setiap tahapan transaksi; seandainya saya sedang membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku, atau

(18)

lampin walaupun kontribusi barang – barang ini mungkin sesuai untuk tahapan berikutnya’.

4) Manner. I expect a partner to make it clear what contribution he is making, and to execute his performance with reasonable dispatch.

‘Pelaksanaan. Saya mengharapkan pasangan saya menjelaskan kontribusi apa yang diberikannya dan melaksanakan tindakannya secara beralasan’.

Oleh karena itu agar proses komunikasi dapat berjalan lancar maka setiap penutur diharapkan berkerjasama dengan memberikan kontribusi yang informatif, benar, relevan dan tidak berbelit – belit. Namun dalam fenomena berbahasa, terkadang penutur ataupun mitra tutur seringkali melanggar prinsip kerja sama ini demi menyampaikan maksud – maksud tertentu. Berikut merupakan penjelasan dari beberapa ahli:

Cutting (2008: 36) menyatakan penjelasan tujuan pelanggaran prinsip kerja sama ini adalah sebagai berikut:

When speakers appear not follows the maxims but expect hearers to appreciate the meaning implied. Just as with an indirect act, the speaker implies a function different in literal meaning of form, when flouting a maxim, the speaker assumes that the hearer knows their words should not be taken at face value and that they can infer the implicit meaning. Cutting (2008:36).

(19)

‘Penutur tidak mematuhi maksim tetapi mengharapkan lawan tutur untuk memahami makna tidak langsung hanya dengan sebuah tindakan tak langsung, penutur menyiratkan fungsi yang berbeda dalam bentuk makna literal, ketika melanggar sebuah maksim, penutur menganggap bahwa lawan tutur mengetahui tuturannya untuk menyelamatkan muka dan lawan tutur dapat menyimpulkan makna yang implisit.’ Cutting (2008: 36).

Dapat diketahui dari penjelasan di atas bahwa pelanggaran prinsip kerja sama maksim yang dilakukan oleh penutur merupakan sebuah tindakan yang mengandung makna implisit. Makna inilah yang merupakan pesan yang sebenarnya yang ingin disampaikan penutur. Implikatur percakapan merupakan makna yang disampaikan oleh penutur dan diperoleh sebagai hasil dari kesimpulan mitra tutur (Grice dalam Cutting, 2008: 35).

Penutur berasumsi mitra tutur mengerti bahwa kata – kata tidak dimaknai begitu saja tetapi mitra tutur diharapkan dapat menangkap makna implisit yang terkandung dalam tuturan tersebut dengan kata lain pelanggaran prinsip kerja sama percakapan tersebut menimbulkan implikatur. Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur dan jika prinsip kerja sama dipatuhi akan menimbulkan efek yang kurang menyenangkan bagi lawan tutur.

Cutting (2008: 36) menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dikatakan pelanggaran flouting yaitu ketika penutur tidak mematuhi prinsip kerja sama, tapi mengharapkan mitra tutur dapat menangkap maksud yang disiratkan atau maksud yang tidak tampak pada permukaan tuturan. Hal ini dipertegas oleh Grice dalam Thomas (1995: 65):

(20)

Flouting maxim happen when speaker blatantly fails to observe a maxim, not with any intention of deceiving or misleading, but because the speaker wishes to prompt the hearer to look for a meaning which is different from, or in addition to, the expressed meaning. This additional meaning he called ‘conversational implicature.

‘Pelanggaran maksim terjadi ketika penutur secara sengaja tidak mematuhi sebuah maksim, tidak dengan maksud mencuranginya atau menyesatkannya, tetapi karena penutur berkeinginan untuk mendorong lawan tutur mencari maksud tertentu dan makna yang berbeda selain makna yang diungkapkan. Makna tambahan ini yang disebut implikatur percakapan’.

1.6.3 Fungsi Pragmatis

Pelanggaran prinsip kerja sama yang muncul dari suatu tuturan memiliki fungsi pragmatis karena pelanggaran tersebut berkaitan dengan konteks komunikasi. Maka fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama ini berkaitan dengan fungsi tindak tutur.

Searle dalam Leech (1993: 164) menggolongkan fungsi tindak tutur menjadi lima, yaitu:

1. Asertif (assertive) yaitu bentuk tindak tutur yang mengikat penutur

pada kebenaran atas apa yang diungkapkannya dalam tuturan itu. Di antaranya adalah menyatakan (stating), membual (boasting), mengeluh (complaining), mengklaim (claiming), melaporkan, dan berpendapat.

(21)

2. Direktif (directive) merupakan bentuk tuturan yang dimaksudkan

penutur agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan seperti menyuruh / meminta (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menyarankan (suggesting), menasehati (advising), merekomendasi (recommending) dan menuntut.

3. Ekspresif (expressive) adalah tindak tutur yang diberikan penutur

untuk memberikan evaluasi tentang hal yang ada dalam tuturannya. Seperti berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan bela sungkawa (condoling).

4. Komisif (commisive) adalah tindak tutur yang mengikat penutur

untuk melaksanakan apa yang disebutknnya di masa depan, dalam tuturannya seperti berjanji (promising), ancaman, dan menawarkan sesuatu.

5. Deklaratif (declarative) merupakan tindak tutur yang menciptakan

suatu hal seperti status, keadaan, kenyataan seperti mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, dan memaafkan.

1.6.4 Konteks

Dalam kajian pragmatik dibutuhkan konteks untuk mengkaji makna yang terdapat dalam suatu tuturan. Hal ini ditekankan oleh (Wijana, 1996: 2) bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks dan untuk menganalisis bagaimana makna dapat dijelaskan melalui pengetahuan dan faktor lain yang mempengaruhi sebuah tuturan. Menurut Hymes (1992: 192-193) dalam Chaer &

(22)

Loenie Agustina (2004: 48-49) dan dalam Suwito (1992) mengungkapkan konsep tutur dengan melibatkan komponen – komponen berikut, konteks dibentuk dari delapan unsur yang dikenal dengan akronim SPEAKING:

1. Setting atau latar, sesuatu yang mengacu pada tempat, ruang, waktu dan kondisi fisik lainnya.

2. Participant atau partisipan, mengacu pada orang – orang yang terlibat dalam komunikasi.

3. End atau hasil mengacu pada maksud, tujuan dan hasil komunikasi. 4. Act sequences atau pesan mengacu pada bentuk dan isi pesan. 5. Keys mengacu pada nada, cara yaitu cara ketika berkomunikasi

seperti serius, santai, formal dan lainnya.

6. Instrumental atau sarana, mengacu pada sarana yang digunakan dalam pemakaian bahasa seperti lisan dan tulisan.

7. Norms atau norma, yang mengacu pada perilaku partisipan dalam berinteraksi

8. Genre atau jenis yang mengacu pada tipe – tipe teks seperti dongeng, iklan dan lainnya.

Poedjosoedarmo (1985) dalam Nadar (2009: 7-11) mengemukakan secara komprehensif dengan menggunakan memoteknik O,O,E, MAU BICARA untuk komponen tutur sebagai berikut:

1. O1 adalah orang pertama yang merupakan pribadi penutur. Sedikit banyaknya tuturan akan ditentukan oleh pribadi penutur dan latar

(23)

belakang penutur menyangkut jenis kelamin, golongan, profesi, kelompok etnik dan aliran kepercayaannya.

2. O2 adalah orang kedua atau lawan tutur. O2 merupakan faktor terpenting yang menentukan bentuk tuturan. Yang perlu diperhatikan antara lain anggapan orang pertama tentang seberapa tinggi tingkat sosial orang kedua dan seberapa akrab hubungan antara kedua orang tersebut. Anggapan terhadap keintiman relasi antara O1 pada O2 akan menentukan corak bahasa yang dituturkan.

3. E adalah warna emosi O1, yaitu suasana emosi O1 pada waktu yang bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi O1 akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya yang tidak teratur, kurang jelas dan kurang beraturan.

4. M adalah maksud dan tujuan tuturan. Maksud dan kehendak O1 juga sangat menentukan bentuk tuturannya. Contoh orang yang ingin meminjam uang kepada seseorang akan cendenrung menggunakan wacana yang berbelit – belit.

5. A adalah adanya O3 dan barang – barang lain sekitar adegan percakapan. Suatu tuturan dapat berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur.

6. U merupakan urutan tutur. Orang (O1) yang memulai suatu percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya dari pada mitra tuturnya.

(24)

7. B merupakan bab yang dibicarakan, pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan juga mempengaruhi warna suasana bicara. Jika beberapa orang membicarakan masalah ilmiah, sejarah, agama dan bab – bab yang serius akan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa formal. 8. I merupakan instrument atau sarana tutur. Sarana tutur seperti

telegram, handy talki, telepon juga mempengaruhi bentuk tuturan yang biasanya akan digunakan dengan ringkas, dan langsung pada pokok pembicaraan.

9. C merupakan cita rasa tutur. Cita rasa tutur juga mempengaruhi bentuk ragam tutur yang dilontarkan. Kapan akan digunakan ragam bahasa santai, ragam bahasa formal dan ragam bahasa indah tentu tergantung pada berbagai faktor. Suasana perkawinan yang megah tentu akan diisi dengan pidato yang indah pula. Sebaliknya ragam bahasa santai tentu tidak akan digunakan dalam situasi yang serba tergesa – gesa atau pada saat penuturnya diburu waktu.

10. A adalah adegan tutur yaitu faktor – faktor yang terkait dengan tempat, waktu dan peristiwa tutur. Percakapan yang dilakukan di masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya tentu akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan di pasar.

11. R adalah register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk wacana seperti pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim seperti sapaan, salam, introduksi, isi pidato dan penutup.

(25)

12. A adalah aturan atau norma kebahasaan lain. Aturan kebahasaan atau norma akan mempengaruhi bentuk tuturan. Ada sejumlah norma yang harus dipatuhi misalnya kejelasan dalam berbicara. Di samping itu juga terdapat aturan yang berisi anjuran untuk tidak bertanya tentang gaji, umur, dan hal lain yang bersifat pribadi. Keberadaan norma tersebut akan menentukan bentuk tuturan.

Selain konteks SPEAKING yang dikemukakan oleh Hymes dan OOE MAU BICARA yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo di atas, Bonvillaian (1997: 78) juga mengemukakan teori konteks yang lebih sederhana lagi, yaitu dengan menggunakan empat aspek konteks.

1. Setting

Latar maksudnya adalah tempat untuk tindakan atau ruang bahasa untuk peristiwa tutur. Latar bagi komunikasi bisa diklasifikasikan sepanjang rangkaian kesatuan formalitas atau informalitas. Walaupun penutur dalam seluruh komunitas membuat perbedaan tentang formal / informal yang relatif. Latar formal, seperti, di sekolah, di kantor, dll, sementara latar informal seperti di dalam rumah atau di dalam keluarga.

2. Partisipan

Partisipan di dalam sebuah peristiwa tutur termasuk penutur, lawan tutur dan pendengar. Individu biasanya mengubah peran selama peristiwa yang diberikan. Dalam percakapan dua pihak (arah), masing-masing penutur atau lawan tutur ketika mereka saling bertukar giliran berbicara secara bergantian. Hanya dalam kesempatan yang paling formal, seperti upacara keagamaan, pidato, atau

(26)

perkuliahan, satu orang menguasai seluruh hak untuk berbicara. Bahkan dalam peristiwa, pendengar memiliki peran komunikatif untuk dimainkan dengan membuat respons / tanggapan yang tepat terhadap pidato.

3. Topik

Topik adalah kejadian / peristiwa komunikatif tentang sesuatu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bonvillain bahwa penutur memilih topik berdasarkan kontribusi ketertarikan individu dan pilihan untuk memahami makna dari sebuah tuturan, partisipan harus mengetahui topik perrcakapan yang sedang dibicarakan.

4. Tujuan

Tujuan partisipan bervariasi sesuai dengan peranan masing-masing dalam tuntutan. Penutur memilih perkataan, nada suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh (gerak – gerik) untuk menyempurnakan tujuan mereka.

1.7 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini disebut kualitatif karena bertujuan untuk memahami fenomena kebahasaan dalam serial komedi situasi The Big Bang Theory dan disebut deskriptif karena data berupa verbal lisan ditranskripkan, dianalisis dan dideskripsikan. Dalam menyelesaikan rumusan masalah metode yang digunakan meliputi metode pengumpulan data, analisis data dan penyajian hasil analisis data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari serial komedi situasi The Big Bang Theory season 1 yang berjumlah 17 episode, season 2 yang berjumlah 23 episode dan season 3 yang berjumlah 20 episode. Penulis memilih

(27)

serial komedi situasi The Big Bang Theory karena serial komedi ini menceritakan tentang kehidupan empat fisikawan dengan gadis cantik bernama Penny. Dalam berinteraksi beberapa karakter melanggar prinsip kerja sama dengan berbagai alasan dan tujuan. Penulis menemukan banyak pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam serial ini. Kemudian penulis menganalisis pelanggaran prinsip kerja sama atas maksim, fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran prinsip kerja sama dalam serial tersebut. Dari tuturan serial tersebut tidak semua yang akan dijadikan data sebagai bahan untuk analisis dalam penelitian ini, namun yang akan diambil beberapa data yang dianggap mewakili data secara keseluruhan yang dikumpulkan dari serial season 1, season 2. dan season 3.

1.7.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode simak di mana menurut Mahsun (2005: 92) metode ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa dan dalam kaitannya dalam penelitian ini penulis menyimak penggunaan bahasa yang telah dilengkapi dengan subtitle Indonesia dan Inggris dalam video tersebut. Kemudian terkait dengan teknik lanjutannya yang dilakukan teknik catat dengan mencatat pada kartu data tuturan yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga menjadi sebuah transkrip dengan mengklasifikasikan data berdasarkan bentuk pelanggaran prinsip kerja sama maksim, mengklasifikasikan data berdasarkan fungsi pragmatis pelanggaran

(28)

prinsip kerja sama dan mencari faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama.

1.7.2 Penganalisisan Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 15). Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui pengamatan bentuk pelanggaran prinsip kerja sama maksim. Kemudian mengamati fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama dan faktor yang mempengaruhi pelanggaran prinsip kerja sama.

1.7.3 Penyajian Analisis Data

Selanjutnya penyajian hasil analisis data disajikan secara informal yang mana penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menyajikan menggunakan deskripsi khas verbal dengan kata – kata.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini dipaparkan dalam lima bab yang terdiri dari:

1. Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

2. Bab II merupakan pembahasan rumusan masalah pertama, yaitu mengenai pelanggaran prinsip kerja sama pada serial komedi situasi The Big Bang Theory.

(29)

3. Bab III merupakan pembahasan rumusan masalah kedua yaitu pembahasan mengenai fungsi pragmatis pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat pada serial komedi situasi The Big Bang Theory.

4. Bab IV merupakan pembahasan rumusan masalah ketiga, yaitu pembahasan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi pelanggaran prinsip kerja sama yang ditemukan pada serial komedi situasi The Big Bang Theory.

5. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran peneliti untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada kelas B sebanyak 10 siswa (50%) termasuk dalam kategori sangat tinggi, sebanyak 7 siswa (35,00%) termasuk dalam kategori tinggi dan sebanyak 3 siswa (15,00%)

PENGARUH PEMBELAJARAN D ENGAN MENGGUNAKAN MULTIMED IA MOD EL TUTORIAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PAD A MATERI AJAR MOD ELING KOMPETENSI D ASAR MEMBUAT GAMBAR 3

Berdasarkan simpulan hasil penelitian formulasi strategi pengembangan bisnis yang dilakukan pada usaha Rumah Tempe Indonesia (RTI), maka saran yang dapat diberikan

hematokrit pada penderita PJB sianotik secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan PJB non-sianotik tetapi tidak ada hubungan antara jumlah ekskresi protein dengan

Untuk memperoleh data yang sebanyak-banyaknya kemudian disajikan dalam bentuk skripsi dengan pendekatan kualitatif yang berisi kutipan-kutipan data, maka peneliti

dari 233 peserta didik di Mts Ma’arif Al -Mukarrom tahun pelajaran 2017/2018 memiliki kondisi lingkungan keluarga yang cukup harmonis tetapi kondisi lingkungan

Secara formal, CFG didefinisikan : CFG G = (V,T,P,S) , dimana V adalah daftar variabel produksi T , adalah daftar simbol atau terminal yang dipakai dalam CFG

Orientasi masa pada kawasan Podomoro City secara umum mengikuti pola penataan masa yang ada, dimana masa dengan pola mengelompok selalu berorientasi pada