• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN ALIHFUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TAHUN 2014 (STUDI DI KOTA BANJAR PROVINSI JAWA BARAT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN ALIHFUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TAHUN 2014 (STUDI DI KOTA BANJAR PROVINSI JAWA BARAT)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN ALIHFUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON

PERTANIAN TAHUN 2014

(STUDI DI KOTA BANJAR PROVINSI JAWA BARAT)

Juliati Prihatini

Staf Pengajar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jl. Raya Bandung – Sumedang Km 20, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat

Email : julie_pri@yahoo.com

Abstract

Development of the converted from agriculture land to non agriculture land in Banjar City is not listed in RTRW, but there is LP2B in RTRW. LP2B is “Lahan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan”. LP2B is agriculture land protected by government which have area of 1.444 hectares from the total area of agriculture land which have area of 4.000 hectares. The remains of the agriculture land are not protected by the government, so people can converted their agriculture land. Agriculture, Food Security and Fishery Agency said that the total area of agriculture land is 3.318 hectares, about 5 hectares of that land converted into the non agriculture land become housing land. Although the area of agriculture land is reduce but by protected PL2B, it can be sufficient food in Banjar. Even Banjar City earn food supply from other region near Banjar City. The goals in this research are to know 1) The factors which influence to occur from agriculture land to non agriculture land, 2) The model of domination converted from agriculture land to non agriculture land. The result in this research show that the factors of converted agriculture land to non agriculture land in Banjar City are the increases amount of inhabitant factor, economic factor and regional development factor. The model of converted from agriculture land is protect LP2B as a long lasting land and apply the system of paddy plant called “jajar legowo”.

Keywords: converted land, society, economic, regional, jajar legowo

Abstrak

Perkembangan alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar tidak tercantum di RTRW, tetapi terdapat LP2B di RTRW. LP2B adalah lahan pengembangan pertanian berkelanjutan. Lahan LP2B merupakan lahan pertanian yang diproteksi yaitu seluas 1.444 ha dari total luas lahan pertanian sebesar 4.000 ha. Sisa dari lahan pertanian tidak diproteksi oleh Pemerintah sehingga warga bisa merubah fungsi dari lahan pertaniannya. Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan menyatakan bahwa luas lahan pertanian 3.318 ha, sekitar 5 ha dialihfungsikan menjadi lahan perumahan. Meskipun luas lahan pertanian berkurang, tetapi dengan memproteksi lahan LP2B sudah mencukupi kebutuhan pangan Kota Banjar. Bahkan Banjar mendapat pasokan pangan dari sekitar Kota Banjar. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui 1) faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian, 2) model pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non

(2)

pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar adalah faktor peningkatan jumlah penduduk, faktor ekonomi dan faktor pengembangan wilayah. Model pengendalian alihfungsi lahan pertanian adalah melindungi LP2B sebagai lahan abadi dan menerapkan sistem tanam padi yang dinamakan “jajar legowo”.

Kata kunci : alihfungsi, penduduk, ekonomi, wilayah, jajar legowo

PENDAHULUAN

Alihfungsi lahan adalah perubahan penggunaan lahan dari kegiatan pertanian ke non pertanian. Kota Banjar merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dimana sebagian lahan sawah telah beralihfungsi. Secara topografis, bentukan lahan di wilayah Banjar mempunyai kesuburan tanah cukup baik sehingga berpotensi untuk kegiatan usaha pertanian (Latifah, 20 Maret 2013 dalam www.harapanrakyat.com/2013/03/potensi-agribisnis-di-kota-banjar).

Tahun 2010 – 2014 jumlah penduduk Kota Banjar meningkat. Total jumlah penduduk di Kota Banjar tahun 2014 adalah 190.845 jiwa meningkat 8,2 % dari jumlah penduduk tahun 2010 yaitu 175.157 jiwa. Lusdiana (2010) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan dampak dari pertambahan jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain pemenuhan sandang, pangan, papan dan fasilitas dasar lainnya.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat di Kota Banjar dimungkinkan akan terjadi permintaan lahan untuk pemukiman. Hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian.

Alihfungsi lahan pertanian yang terjadi di Kota Banjar menyebabkan mata pencaharian petani disektor pertanian sudah tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kota Banjar yaitu 25.584 rumah tangga dari 167.137 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 16.133 rumah tangga pada tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 2,42 per tahun (Sumber : st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel).

Selain menurunnya jumlah pendapatan petani di sektor pertanian, alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan berbagai dampak antara lain terjadinya erosi. Oleh karena itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan hal yang penting dalam pengendalian alihfungsi lahan. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa ruang lingkup penataan ruang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Pasal 35 dinyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui beberapa kegiatan yaitu penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Penjelasan Pasal 35 undang – undang tersebut menyatakan bahwa kaitannya dengan alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang sebelumnya.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah perkembangan alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar?

(3)

2. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar?

3. Model pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian yang seperti apa yang dilakukan di Kota Banjar?

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjar melalui instansi terkait.

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji perkembangan alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji model pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Banjar untuk mengkaji upaya – upaya yang dilakukan oleh instansi terkait dalam pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian guna meminimalisir terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Pengendalian

Wasistiono (2003 : 18) menyatakan bahwa fungsi pengendalian mutlak diperlukan agar terhindar dari suasana tanpa kendali. Tanpa adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat akan terjadi suasana tanpa kendali. Hasibuan (2006 : 242) menyatakan bahwa tujuan pengendalian adalah :

1. Supaya proses pelaksanaan dilakukan sesuai dengan ketentuan – ketentuan dari rencana;

2. Melakukan tindakan perbaikan (corrective) jika terdapat penyimpangan – penyimpangan (deviasi);

3. Supaya tujuan yang dihasilkan sesuai dengan rencananya;

Pengendalian bukan hanya untuk mencari kesalahan – kesalahan serta memperbaikinya tetapi berusaha untuk menghindari kesalahan – kesalahan serta memperbaikinya jika terdapat kesalahan – kesalahan. Jadi pengendalian dilaksanakan sebelum proses, saat proses dan setelah proses yakni hingga hasil akhir diketahui.

Konversi Lahan

Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) menyatakan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan – lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif.

Faktor – Faktor Penyebab Alihfungsi Lahan

Kustiwan (1997) dalam Supriyadi (2004) menyatakan bahwa faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya alihfungsi lahan sawah yaitu :

1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.

(4)

2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Dampak dari Konversi Lahan Pertanian

Irawan (2005) menyatakan bahwa dampak konversi lahan pertanian pada umumnya sangat besar pada bidang sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria yaitu :

1. Perubahan pola penguasaan lahan 2. Perubahan pola penggunaan tanah 3. Perubahan pola hubungan agraria 4. Perubahan pola nafkah agraria 5. Perubahan sosial dan komunitas

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Metode penelitian ini adalah deskriptif dan berdesain kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005 : 54).

Sugiyono (2008 : 1) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data/peneliti (Sugiyono, 2013 : 308). Sumber data primer karena berasal dari informan langsung yang diwawancara sehingga memiliki sifat lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada jika data diperoleh dari sumber data sekunder (Usman, H. dan Purnomo Setiady Akbar, 2009 : 20). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Kepala BAPPEDA, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan masyarakat yang mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Sumber data sekunder tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data/peneliti tetapi sumber data sekunder ini diperoleh melalui orang lain atau referensi karya ilmiah (Sugiyono, 2013 : 309).

Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan informasi dan data yang diperlukan sebagai bahan analisis, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara (interview), pengamatan (observasi) dan dokumentasi.

(5)

Instrumen Penelitian

Gulo, W. (2000 : 123) menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang wawancara atau pengamatan atau daftar pertanyaan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi dari responden. Instrumen penelitian disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Instrumen Penelitian

NO KOMPONEN INDIKATOR INSTRUMEN DATA

1 Perkembangan Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terjadinya Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Banyaknya Alihfungsi Lahan Pertanian ke ke Non Pertanian Sekunder (Time Series)

2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian a.Faktor Internal b.Faktor Eksternal c.Faktor Kebijakan Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Dinamika Pertumbuhan Kota, Demografi, Ekonomi Regulasi Pemerintah Pusat dan Daerah

Primer dan sekunder

3 Model Pengendalian Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Model Pengendalian Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Seperti Apa yang Ada di Kota Banjar

Relevansi Perda Tentang Tata Ruang yang Telah Dibuat

Sekunder

Teknik Analisis Data

Nazir (2005) menyatakan bahwa tahap – tahap teknik analisis data adalah menyeleksi data, klasifikasi data dan interpretasi data. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang penulis lakukan adalah menginventarisir banyaknya lahan pertanian yang dialihfungsikan dari pertanian ke non pertanian di Kota Banjar; mengumpulkan data yang berkaitan dengan pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar dengan cara dokumentasi yang diperoleh dari instansi terkait. Setelah penulis mendapatkan data lalu menganalisis rumusan masalah seperti tersebut di atas.

Lokasi dan Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banjar Provinsi Jawa Barat pada bulan Februari – November 2017.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

(6)

Alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian per 31 Desember 2016 di Kota Banjar disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian per 31 Desember 2016

di Kota Banjar Jenis Lahan Luas Lahan per 31

Desember 2015 (ha) Beralihfungsi

Sisa Lahan per 31

Desember 2016 (ha) Berkurang (ha)

Lahan Sawah 3.318 Menjadi

Perumahan

3.313 5

Sumber: Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Banjar Tahun 2016

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Husein Husaeni (BAPPEDA) menyatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar adalah peningkatan jumlah penduduk, faktor ekonomi dan faktor pengembangan wilayah.

Berdasarkan pernyataan tersebut, berarti semakin besar jumlah penduduk akan besar pula kebutuhan ekonomi yang dibutuhkan yang pada gilirannya akan semakin pula memperluas pengembangan wilayah pemukiman dan tempat berusaha, yang berarti akan semakin banyak alihfungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor pemukiman dan usaha ekonomi.

Model Pengendalian Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kota Banjar

Untuk memproteksi LP2B (Lahan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan) seluas 1.444 ha agar tidak dialihfungsikan, maka Pemerintah Kota Banjar akan menerapkan Peraturan Daerah (PERDA) untuk lahan abadi/lestari. Perda ini sudah dalam bentuk draft, tinggal menunggu finalisasi.

Agus Kostaman (Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Banjar) menyatakan bahwa model pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Banjar adalah dengan cara intensifikasi pertanian yaitu mengoptimalkan sistem tanam jajar legowo pada tanaman pertanian terutama padi sawah.

Perkembangan Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kota Banjar

Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa selama kurun waktu 1 tahun yaitu 31 Desember 2015 – 31 Desember 2016 luas lahan sawah di Kota Banjar berkurang 5 ha dari 3.318 ha menjadi 3.313 ha. Berkurangnya 5 ha lahan tersebut karena dialihfungsikan untuk perumahan (Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Banjar, Tahun 2016). Terjadinya alihfungsi lahan tersebut karena merupakan konsekuensi bahwa Kota Banjar sekarang menjadi sebuah kota yang cirinya didominasi oleh pembangunan non pertanian. Hal ini dikaji dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) tetapi belum ada legalitasnya, jadi masih dalam proses untuk legalisasi sehingga ditetapkan dengan menggunakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

Husein Husaeni (BAPPEDA) menyatakan bahwa sebenarnya besaran angka untuk alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar tidak ada pada RTRW, yang tercantum hanyalah LP2B (Lahan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan) yaitu dari ± 4.000 ha lahan pertanian, sebesar ± 1.444 ha diproteksi untuk tetap digunakan sebagai lahan

(7)

pertanian, sisanya diperbolehkan untuk dialihfungsikan. Lebih lanjut Husein Husaeni menyatakan bahwa kaitannya dengan perkembangan alihfungsi lahan pertanian, BAPPEDA tidak memiliki data karena pembangunannya bersifat sporadis. Jadi ketika warga membangun rumah menggunakan lahan pertanian, tidak ada yang menghitung dan mencatat lahan pertanian yang digunakan.

Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan mengasumsikan bahwa jika lahan selain LP2B dialihfungsikan ke non pertanian, kebutuhan pangan untuk Kota Banjar masih tercukupi dari lahan pertanian LP2B. Selain itu selama tahun 2016 Kota Banjar memiliki Kelompok Lumbung Pangan berjumlah 115 kelompok.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar adalah faktor peningkatan jumlah penduduk, faktor ekonomi dan faktor pengembangan wilayah.

Faktor Peningkatan Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kota Banjar tahun 2013 – 2015 meningkat yaitu tahun 2013 sebanyak 187.183 orang; tahun 2014 sebanyak 190.845 orang dan tahun 2015 sebanyak 196.563 orang (Kota Banjar Dalam Angka Tahun 2016). Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka permintaan lahan untuk pemukiman juga bertambah. Dengan adanya peluang tersebut, tahun 2012 PT Mitra Shapphire Sejahtera mengajukan izin lokasi untuk pembangunan Perumahan Shapphire Regency Banjar seluas 13.000 m2.

Perumahan Shapphire Regency Banjar berlokasi di Desa Mekarsari Kecamatan Banjar Kota Banjar. Lokasi perumahan tersebut merupakan lahan sawah tadah hujan, dimana produksi padi yang dihasilkan relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan produksi padi dari lahan sawah irigasi. Oleh karena itu lahan sawah tadah hujan milik masyarakat dijual kepada PT Mitra Shapphire Sejahtera lalu dialihfungsikan menjadi Perumahan Shapphire Regency Banjar. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Husein Husaeni (BAPPEDA) yang menyatakan bahwa alihfungsi lahan pertanian dapat dilakukan sepanjang lahan pertanian tersebut tidak produktif termasuk lahan sawah tadah hujan.

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian, dimana masyarakat menjual lahannya karena asumsi mereka bahwa lahan tersebut tidak produktif sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Disamping itu adanya tawaran harga yang tinggi terhadap lahan sehingga masyarakat termotivasi untuk menjual lahan yang dimilikinya. Agar masyarakat tidak menjual lahan pertanian atau mengalihfungsikan lahan pertaniannya ke non pertanian maka perlu dilakukan sosialisasi kebijakan RTRW.

Husen Husaeni (BAPPEDA Kota Banjar) menyatakan bahwa dari total luas daerah Kota Banjar 13.000 ha, sebesar ± 4.000 ha merupakan lahan pertanian dan sebesar 1.444 ha dijadikan lahan pertanian yang diproteksi (LP2B/Lahan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan) yaitu lahan pertanian yang dipertahankan selama 10 – 20 tahun kedepan. Hal

(8)

ini disebabkan akses pada lahan tersebut tidak terjangkau sehingga diperkirakan akan tetap digunakan sebagai lahan pertanian.

Walaupun belum ada payung hukumnya untuk LP2B yaitu Perda, tetapi tercantum pada RTRW. Lahan seluas 3.652 m2 boleh dialihfungsikan menjadi lahan non pertanian karena lahan tersebut merupakan lahan masyarakat, sehingga tidak mudah untuk membuat masyarakat mempertahankan lahan pertaniannya. Selain itu karena Banjar sudah menjadi kota, maka konsekuensinya adalah dominasi pembangunan non pertanian.

Lahan milik warga seluas 3.652 m2 di Dusun Gardu Desa Banjar Kecamatan Banjar Kota Banjar dialihfungsikan menjadi pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Petani menjual lahan pertaniannya kepada pihak lain karena adanya tawaran harga yang tinggi, dan dengan harapan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja lokal dapat direkrut menjadi tenaga kerja pada kegiatan proyek selain mendapatkan uang ganti rugi dari hasil menjual lahannya. Selain itu masyarakat sekitar SPBU mendapatkan usaha baru yaitu membuka warung untuk berjualan, sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.

Untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan SPBU maka Pemrakarsa/Konsultan melengkapinya dengan Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan yang menyatakan bahwa untuk jenis kegiatan/usaha yang luasnya < 5 ha maka jenis kegiatan/usaha tersebut wajib dilengkapi dengan Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Faktor Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dimaksudkan agar pusat kegiatan tidak bertumpu pada satu lokasi saja yaitu di Pusat Kota Banjar. Dalam kondisi demikian sehingga Kota Banjar dan Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan bahwa Kecamatan Langensari dijadikan pusat kegiatan atau kota kedua di Kota Banjar, karena struktur morfologinya yang datar sehingga bisa menunjang dilakukannya kegiatan di Kecamatan Langensari.

Husen Husaeni (BAPPEDA) menyatakan bahwa diarahkannya Kecamatan Langensari menjadi pusat kegiatan agar aktivitas kota tidak hanya terkonsentrasi di pusat kota. Hal ini dimaksudkan untuk mengendalikan perkembangan di pusat kota, tetapi tidak dibatasi dan juga untuk mendorong pemerataan pembangunan, sehingga Kecamatan Langensari didorong pembangunannya dan dijadikan kota kedua. Meskipun wilayah lain mungkin ada yang merasa iri tetapi itu sudah menjadi arah kebijakan pembangunan di Kota Banjar dan juga kebijakan Provinsi.

Nurdin Saefudin (Kantor Pertanahan Kota Banjar) menyatakan bahwa Kecamatan Langensari dijadikan sebagai kota kedua setelah Kota Banjar, karena Kecamatan Langensari memiliki kriteria yaitu (1) lokasinya strategis berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Ciamis dan (2) tipologinya datar, tidak menyulitkan untuk pembangunan sehingga diharapkan lebih merata kegiatan di Wilayah Kota Banjar.

Pengembangan wilayah Kota Banjar di Kecamatan Langensari terlihat dari dibangunnya Pusat Kegiatan Olahraga yaitu dengan mengalihfungsikan lahan pertanian seluas 16,7 ha milik masyarakat Desa Langensari yang dijual kepada Pemrakarsa Pembangunan Gedung Pusat Olahraga Kota Banjar dari luas wilayah Desa Langensari 497 km2. Oleh karena areal lahan yang dijadikan Pusat Kegiatan Olahraga Kota Banjar adalah

(9)

merupakan kawasan terpadu dan untuk mengantisipasi dampak negatif penting yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut, sehingga pemrakarsa/konsultan pembangunan Pusat Kegiatan Olahraga Kota Banjar wajib melengkapi Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012 tentang jenis kegiatan/usaha yang wajib dilengkapi AMDAL, dimana pembangunan Pusat Kegiatan Olahraga Kota Banjar seluas 16,7 ha termasuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Dokumen AMDAL karena luas lahan ≥ 5 ha. Melalui studi AMDAL diharapkan rencana usaha dan/atau pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimalkan dampak negatif penting dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup.

Dwi Yanti Estriningrum (Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjar) menyatakan bahwa pembangunan Pusat Kegiatan Olahraga Kota Banjar diarahkan di Desa Langensari diperkirakan akan memiliki dampak positif yaitu :

1. Pola pergerakan ditingkat kota maupun regional tidak akan terfokus di pusat kota tetapi lebih terarah ke Kecamatan Langensari dan sekitarnya sejalan dengan keinginan Pemerintah Kota Banjar untuk menjadikan Kecamatan Langensari sebagai prioritas dalam pengembangan kotanya.

2. Menumbuhkan multiplier effect pembangunan lainnya yang akan mendukung dan meningkatkan peran Kecamatan Langensari sebagai Sub Pusat Pelayanan Kota di Kota Banjar.

Model Pengendalian Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kota Banjar

Model pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian yang diterapkan di Kota Banjar adalah :

Mempertahankan LP2B (Lahan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan) yaitu lahan

pertanian abadi/lestari seluas ± 1.444 ha.

Payung hukum untuk mendukung LP2B terdapat pada RTRW dan RTRW tersebut legalitasnya sudah ada sehingga jelas payung hukumnya. Jadi meskipun sarana dan prasarana yang digunakan untuk mendukung kebijakan RTRW dalam hal pengendalian alihfungsi lahan pertanian yaitu LP2B belum ada payung hukumnya, tetapi LP2B tersebut tercantum pada RTRW yang sudah memiliki legalitas.

LP2B merupakan lahan pertanian yang kemungkinan sulit berubah menjadi lahan non pertanian, karena akses menuju ke jalan tersebut sulit dijangkau (bukan lahan pertanian pinggir jalan), maka tanpa adanya sosialisasi pengendalian alihfungsi lahan pertanianpun, diperkirakan lahan LP2B tidak akan berubah sampai 10 – 20 tahun ke depan. Mengenai pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian dilakukan sosialisasi RTRW yang didalamnya terdapat LP2B. Hanya saja tidak ada sosialisasi khusus untuk LP2B karena belum ada pengesahan Perdanya dan belum ada peraturan – peraturan yang mendukungnya.

Pelaksanaan pengendalian alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Banjar dilakukan dalam bentuk koordinasi secara horizontal yaitu menjalin kerjasama dan koordinasi dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yaitu BAPPEDA dan Dinas Perindustrian & Perdagangan. Selain itu terdapat Dewan Ketahanan Pangan yang tugasnya adalah memantau ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan dan keamanan pangan. Koordinasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk RAKOR (Rapat Koordinasi) setiap 3 bulan sekali.

(10)

Intensifikasi Pertanian yaitu mengoptimalkan sistem tanam jajar legowo pada tanaman

pertanian (padi sawah). Hal ini untuk memotivasi petani agar tidak mengalihfungsikan lahan pertaniannya ke non pertanian.

Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam yang berselang seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Legowo juga diartikan sebagai cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan kosong (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, 2013).

Satu unit legowo merupakan baris tanaman bisa dua atau lebih dan baris kosongnya yaitu setengah lebar bagian kanan dan kiri. Terdapat dua sistem legowo yaitu legowo 2 : 1 dan legowo 4 : 1. Legowo 2 : 1 artinya per unit legowo terdapat dua baris tanam, sedangkan legowo 4 : 1 artinya per unit legowo terdapat empat baris tanam. Petani di Kota Banjar menerapkan baik legowo 2 : 1 dan legowo 4 : 1.

a. Sistem tanam legowo 2:1 akan menghasilkan jumlah populasi tanaman per ha sebanyak 213.300 rumpun, serta akan meningkatkan populasi 33,31% dibanding pola tanam tegel (25x25) cm yang hanya 160.000 rumpun/ha. Dengan pola tanam ini, seluruh barisan tanaman akan mendapat tanaman sisipan.

Gambar 1. Jajar Legowo 2 : 1

b. Sistem legowo 4 : 1

Terdapat dua tipe pada sistem tanam legowo 4 : 1 yaitu : Tipe 1

Sistem tanam legowo 4 : 1 tipe 1 merupakan pola tanam legowo dengan keseluruhan baris mendapat tanaman sisipan. Pola ini cocok diterapkan pada kondisi lahan yang kurang subur. Dengan pola ini, populasi tanaman mencapai 256.000 rumpun/ha dengan peningkatan populasi sebesar 60% dibanding pola tegel (25x25)

(11)

Gambar 2. Jajar Legowo 4 : 1 tipe 1

Tipe 2

Sistem tanam legowo 4 : 1 tipe 2 merupakan pola tanam dengan hanya memberikan tambahan tanaman sisipan pada kedua barisan tanaman pinggir. Populasi tanaman 170.667 rumpun/ha dengan persentase peningkatan hanya sebesar 6,67% dibanding pola tegel (25x25) cm. pola ini cocok diterapkan pada lokasi dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Meskipun penyerapan hara oleh tanaman lebih banyak, tetapi karena tanaman lebih kokoh sehingga mampu meminimalkan resiko kerebahan selama pertumbuhan.

Gambar 3. Jajar Legowo 4 : 1 tipe 2

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (2013) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan sistem tanam yang lain, sistem tanam jajar legowo (padi sawah) ini memiliki beberapa keuntungan yaitu :

1. Memberikan kemudahan kepada petani dalam hal melakukan pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama & penyakit.

2. Dengan meningkatnya jumlah populasi tanaman sehingga produktivitas (produksi per satuan luas) tanaman meningkat hingga 10 – 15 %.

3. Sistem tanam jajar legowo ini juga memberikan peluang pada kombinasi usaha pertanian dan perikanan atau pertanian dan ternak.

Sistem tanam jajar legowo di Kota Banjar disosialisasikan tahun 2014, kemudian pelaksanaannya tahun 2015. Ketika tahun 2014 dilakukan sosialisasi, petani tidak langsung menerapkan karena kebanyakan petani ingin melihat teknis pelaksanaannya lebih dulu, berhasil atau tidak karena berkaitan dengan biaya sarana produksi yang dikeluarkan.

Tahun 2015 semua kecamatan di Kota Banjar menerapkan sistem tanam padi sawah dengan cara sistem tanam jajar legowo, kecuali Kecamatan Purwaharja khususnya Kelurahan Karangpanimbal karena di kelurahan tersebut tidak ada lahan sawah. Sistem tanam jajar legowo ini di Kota Banjar dilaksanakan secara bertahap, dimana setiap tahun ada program dari Pemerintah Kota Banjar 1000 ha. Untuk menerapkan sistem tanam jajar legowo, Pemerintah Kota Banjar melalui Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan memberikan bantuan benih sebanyak 25 kg per hektar, dimana satu lubang tanam diisi 2 rumpun padi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

(12)

1. Besaran angka alihfungsi lahan pertanian tidak ada pada RTRW, yang tercantum hanya LP2B seluas 1.444 ha dari luas lahan pertanian 4.000 ha.

2. Luas lahan pertanian di Kota Banjar berkurang 5 ha dari luas 3.318 ha menjadi 3.313 ha, dimana luas lahan 5 ha tersebut dialihfungsikan menjadi perumahan (Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Banjar).

3. Kaitannya dengan perkembangan alihfungsi lahan pertanian, BAPPEDA tidak memiliki data karena pembangunannya bersifat sporadis. Jadi ketika warga membangun rumah menggunakan lahan pertanian, tidak ada yang menghitung dan mencatat lahan pertanian yang digunakan.

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

1. Faktor Peningkatan Jumlah Penduduk 2. Faktor Ekonomi

3. Faktor Pengembangan Wilayah

Model Pengendalian Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kota Banjar

1. Kota Banjar mempertahankan lahan LP2B seluas 1.444 ha sebagai lahan abadi/lestari

2. Kota Banjar menerapkan intensifikasi pertanian yaitu optimalisasi sistem tanam jajar legowo (terutama untuk tanaman padi sawah)

Saran

1. Pengendalian laju pertambahan penduduk, baik aspek kelahiran maupun mutasi antar daerah

2. Menerapkan pemberian insentif bagi yang tidak mengalihfungsikan lahan pertaniannya dan sebaliknya disinsentif bagi yang mengalihfungsikan lahan pertaniannya

DAFTAR PUSTAKA

Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. Skripsi. Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo

Hasibuan, Malayu. 2006. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta : Bumi Aksara Irawan, Bambang. 2005. “Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya

dan Faktor Determinan”. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Lusdiana, Herdi. 2010. Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Akibat Industri di Kabupaten Sukabumi Bagian Utara. Skripsi Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Geografi. Fakultas Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Nazir, Mohammad. 2005. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi lahan Pertanian. Skripsi. Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Sugiyono. 2008.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

(13)

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Pengantar Statistika. Jakarta : Bumi Aksara

Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan. Bandung: Fokusmedia Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 2013

Lativah, Eva. 2013. Potensi Agribisnis di Kota Banjar

(www.harapan.rakyat.com/2013/03/potensi-agribisnis-di-kota-banjar) diakses pada tanggal 23 Maret 2013

st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel diakses pada bulan Maret 2013 Kota Banjar Dalam Angka Tahun 2016

Gambar

Tabel 1. Instrumen Penelitian
Tabel  2. Alihfungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian per 31 Desember 2016   di Kota Banjar
Gambar 1. Jajar Legowo 2 : 1  b.  Sistem legowo 4 : 1
Gambar 2. Jajar Legowo 4 : 1 tipe 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2010) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa konversi lahan mengakibatkan : (1) penurunan luas lahan

Penelitian tentang Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian Di Wilayah Kabupaten Jember ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

Hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di kabupaten karanganyar diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor

bahwa besaran tarif retribusi jasa usaha pada jenis retribusi rumah potong hewan telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Banjar Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 9

Pada saat Peraturan Wali Kota ini mulai berlaku, Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 42 Tahun 2007 tentang Tata Kearsipan Pemerintah Daerah Kota Banjar (Berita Daerah

Pada saat Peraturan Wali Kota ini mulai berlaku, maka Keputusan Wali Kota Banjar Nomor: 146/Kpts.80-Tapem/2017 tentang Batas Kelurahan Mekarsari Kecamatan Banjar Dengan

bahwa batas wilayah Kelurahan Banjar Kecamatan Banjar telah ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota Banjar Nomor: 146/Kpts.78-Tapem/2017 tentang Batas Kelurahan Banjar

Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai Aparatur Sipil Negara Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota