• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab-3 RONA LINGKUNGAN HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab-3 RONA LINGKUNGAN HIDUP"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

Bab-

3

R

ONA

L

INGKUNGAN

H

IDUP

Sesuai dengan hasil telaahan kaitan komponen kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak dan jenis-jenis dampak potensial yang ditimbulkannya, maka berikut ini adalah komponen lingkungan yang relevan untuk ditelaah dalam studi ANDAL.

a) Komponen geo-fisik-kimia yang meliputi iklim dan kualitas udara ambien, kebisingan, kebauan dan getaran; fisiografi dan geologi; hidrologi dan kualitas air; hidrooceonografi; ruang, lahan dan tanah serta transportasi.

b) Komponen biologi meliputi biota darat dan biota air.

c) Komponen sosial meliputi kependudukan, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya d) Komponen kesehatan masyarakat meliputi sanitasi lingkungan dan tingkat

(2)

3.1. GEOFISIK KIMIA 3.1.1. Iklim

Menurut klasifikasi ikllim Schmidt dan Ferguson, daerah Banggai bertipe iklim B, dengan nisbah rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah (Q) adalah 5, atau termasuk wilayah cukup basah. Data curah hujan stasiun meterologi bandar Udara Bubung Luwuk menunjukkan bahwa musim hujan berlangsung dari bulan Maret sampai Juli dengan jumlah curah hujan berkisar dari 115 mm pada bulan Mei sampai 169 pada bulan Juli. Musim kemarau berlangsung dari bulan Agustus sampai Februari, dengan curah hujan berkisar dari 41 mm pada bulan Oktober sampai 85 mm pada bulan Desember. Hujan rata tahunan daerah penelitian adalah sebesar 1856,6 mm/tahun, seperti disajikan pada Tabel 3.1.

Suhu udara rata-rata bulanan berkisar dari 25,9oC pada bulan Juli sampai 28,3 oC pada bulan November. Suhu udara maksimum terendah 28,9 oC pada bulan Juli dan yang tertinggi 30,0 oC pada bulan Maret. Suhu udara berkisar dari 22,9oC pada bulan Juli sampai 24,5oC pada bulan Februari.

Wilayah studi merupakan daerah pesisir sehingga kelembaban nisbi udara cenderung tinggi. Kelelbaban udara rata-rata bulanan berkisar dari 73% pada bulan oktober yang bertepatan dengan musim kemarau sampai 81% pada bulan Juni dan Juli yang bertepatan dengan musim hujan.

(3)

Tabel 3.1. Hujan Rata Bulanan dan Tahunan Wilayah Studi

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah

1995 42.3 67.2 58.9 145.9 253.8 631.1 746.5 927.5 22.1 36.8 96.7 105.1 3134.0 1996 37.5 58.5 23.2 11.9 303.9 390.3 389.0 443.4 110.4 49.4 65.8 41.3 1924.7 1997 102.0 35.4 50.1 93.3 93.0 265.0 239.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 877.7 1998 0.0 0.0 27.3 69.5 103.0 340.2 173.3 0.0 85.6 33.7 60.3 26.4 919.3 1999 93.6 36.1 72.2 148.5 233.6 344.5 344.0 212.0 247.0 95.0 75.7 48.4 1950.5 2000 0.0 94.3 56.6 41.3 176.4 555.7 495.8 626.0 277.1 108.3 8.0 0.0 2439.6 2001 26.3 27.0 82.0 87.3 253.0 292.9 622.1 122.7 110.7 32.2 51.3 120.2 1827.7 2002 67.6 40.6 57.8 97.6 199.4 776.3 358.1 109.0 0.0 0.0 7.8 95.1 1809.5 2003 61.7 42.0 0.0 233.3 114.7 269.6 523.1 239.0 56.8 3.2 31.5 100.6 1675.6 2004 18.9 83.4 27.5 81.6 195.3 667.5 638.1 16.1 178.3 0.0 67.2 33.6 2007.5 Rata-rata tahunan 1856.6

(4)

3.1.2. Kualitas Udara dan Kebisingan 3.1.2.1. Kualitas udara

Untuk dapat mengetahui kualitas udara di wilayah studi diperlukan penelitian tentang kandungan SO2, CO, NO2, Oksidan (O3), debu TSP, PM10, dan kebisingan di wilayah studi agar dapat diketahui kemungkinan terjadinya dampak terhadap rencana kegiatan tersebut.

Pengukuran lapangan untuk kualitas udara dan kebisingan dilakukan pada 12 lokasi (titik) dan hasilnya disajikan pada berikut.

Tabel 3.2. Lokasi Pengambilan Sampel Udara dan Kebisingan

No. Lokasi LokasiKode 51MKoordinatUTM

1. Kilang LNG Padang A 0459960 9868722

2. Kilang LNG Uso B 0452733 9860862

3. Sumur Minahaki (MHK-AA) D 0424922 9839366

4. Block Station Sukamaju E 0430699 9849204

5. Block Station Donggi F 0418158 9829792

6. Sumur Maleoraja (MLR-1) G 0441848 9854068

7. Block StationMatindok H 0441232 9854564

8. Jalur pipa BS Donggi – BS Matindok J 0435108 9846652 9. Jalur pipa di unit XII desa Tirtasari K 0423358 9836670 10. Jalur pipa di unit II desa Arga Kencana L 0430323 9844042 11. Jalur pipa di pesawahan Kintom M 0446188 9856122

Sumber: Data Primer, 2007

Rekapitulasi hasil analisis kualitas udara rona lingkungan awal sekitar lokasi rencana kegiatan, disajikan pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.6. Dari tabel-tabel tersebut terlihat bahwa kondisi semua parameter kualitas udara ambien dan kebisingan di sekitar wilayah studi mempunyai angka di bawah baku mutu lingkungan.

(5)

Parameter yang diteliti, cara pengambilan sampel, dan metode analisis setiap parameter dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Kebisingan. Pengolahan data hasil analisis laboratorium, dilakukan dengan mengacu pada Kep.Ka. BAPEDAL No. Kep-107/KABAPEDAL/11/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta ISPU.

Hasil perhitungan ISPU dikonversi menjadi skala kualitas lingkungan yang mencerminkan kondisi rona lingkungan awal. Konversi ISPU menjadi skala kualitas lingkungan disajikan pada Tabel 3.3. Skala Kualitas Lingkungan (SKL) digunakan untuk memprakirakan besarnya dampak rencana kegiatan terhadap lingkungan hidup disekitarnya.

Tabel 3.3. Konversi ISPU menjadi Skala Kualitas Lingkungan

ISPU Kategori Skala KualitasLingkungan Kategori

1 – 50 Baik 5 Sangat baik

51 – 100 Sedang 4 Baik

101 – 199 Tidak sehat 3 Jelek

200 – 299 Sangat tidak sehat 2 Sangat jelek

> 300 Berbahaya 1 Sangat jelek sekali

Sementara itu kondisi kualitas udara ambien setiap lokasi pengambilan sampel dengan besaran skala kualitas lingkungan rona awal, disajikan pada Tabel 3.5.

(6)

Tabel 3.4. Data Kualitas Udara di Sekitar Wilayah Studi

Parameter Satuan KODE LOKASI Baku MutuPP No.41

tahun 1999

A B C D E F G H J K L M

Sulfur Dioksida (SO2) μg/m 3

(24 jam) ttd ttd ttd ttd ttd 0,31 ttd 0,14 - - - - 365

Karbon Monoksida (CO) (1 jam)ppm 0 0 0 0 0 0-1 0 0 - - - - 20

Nitrogen Oksida (NOx) μg/m 3 (24 jam) 2,42 1,93 0,65 0,32 2,01 3,86 3,23 2,74 - - - - 150 PM10 μg/m 3 (24 jam) 1,32 3,53 1,03 2,03 2,33 4,21 1,42 2,01 3,46 5,73 3,67 3,03 150 TSP (Debu) μg/m3 38,4 65,92 32,64 32,00 13,08 33,92 20,80 21,76 26,56 70,16 33,28 28,16 230 Keterangan :

Sumber: Data Primer, 2007 ttd = tidak terdeteksi

(7)

Tabel 3.5. Rona Lingkungan Awal Kualitas Udara di Sekitar Rencana Kegiatan No Lokasi SKL Keterangan 1. Kilang LNG Padang 5 Tingkat kualitas udara tidak berpengaruh pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan 2. Kilang LNG Uso 5

3. Sumur Minahaki (MHK-AA) 5

4. Block StationSukamaju 5

5. Block StationDonggi 5

6. Sumur Maleoraja (MLR-1) 5

7. Block StationMatindok 5

8. Jalur pipa BS Donggi – BS Matindok 5 9. Jalur pipa di unit XII desa Tirtasari 4 10. Jalur pipa di unit II desa Arga Kencana 5

11. Jalur pipa di persawahan Kintom 5

Rekapitulasi hasil analisis kualitas udara yang mencerminkan kondisi rona lingkungan hidup awal di wilayah studi disajikan pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Hasil Rekapitulasi Pengolahan Data Kualitas Lingkungan

No Lokasi Parameter Hasil

Analisis BML SKL

1. Kilang LNG Padang

Sulfur Dioksida (SO2) ttd 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 2,42 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 38,4 260g/m3 5

PM10 1,32 150g/m3 5

2. Kilang LNG Uso

Sulfur Dioksida (SO2) ttd 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 1,93 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 65,92 260g/m3 5

PM10 3,53 150g/m3 5

3. Sumur Minahaki

(MHK-AA)

Sulfur Dioksida (SO2) ttd 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 0,32 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 32,00 260g/m3 5

(8)

Tabel 3.6. Lanjutan

No Lokasi Parameter AnalisisHasil BML SKL

4. BS Sukamaju

Sulfur Dioksida (SO2) ttd 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 2,01 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 13,08 260g/m3 5

PM10 2,33 150g/m3 5

5. BS Donggi

Sulfur Dioksida (SO2) 0,31 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0-1 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 3,86 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 33,92 260g/m3 5

PM10 4,21 150g/m3 5

6. Sumur Maleoraja(MLR-1)

Sulfur Dioksida (SO2) ttd 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 3,23 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 20,8 260g/m3 5

PM10 1,42 150g/m3 5

7. BS Matindok

Sulfur Dioksida (SO2) 0,14 220g/m3 5

Karbon Monoksida (CO) 0 20 ppm 5

Nitrogen Oksida, NOx 2,74 92,5g/m3 5

TSP (Debu) 21.76 260g/m3 5

PM10 2,01 150g/m3 5

8. Jalur pipa BS Donggi –BS Matindok

Sulfur Dioksida (SO2) - 220g/m3

-Karbon Monoksida (CO) - 20 ppm

-Nitrogen Oksida, NOx - 92,5g/m3

-TSP (Debu) 26,56 260g/m3 5

PM10 3,46 150g/m3 5

9. Jalur pipa di unit XII

desa Tirtasari

Sulfur Dioksida (SO2) - 220g/m3

-Karbon Monoksida (CO) - 20 ppm

-Nitrogen Oksida, NOx - 92,5g/m3

-TSP (Debu) 70,16 260g/m3 4

PM10 5,73 150g/m3 5

10. Jalur pipa di unit IIdesa Arga Kencana

Sulfur Dioksida (SO2) - 220g/m3

-Karbon Monoksida (CO) - 20 ppm

-Nitrogen Oksida, NOx - 92,5g/m3

-TSP (Debu) 33,28 260g/m3 5

PM10 3,67 150g/m3 5

11. persawahan KintomJalur pipa di

Sulfur Dioksida (SO2) - 220g/m3

-Karbon Monoksida (CO) - 20 ppm

-Nitrogen Oksida, NOx - 92,5g/m3

-TSP (Debu) 28,16 260g/m3 5

PM10 3,03 150g/m3 5

(9)

3.1.2.2. Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Tingkat kebisingan suatu lokasi menunjukkan ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan desibel atau disingkat dengan notasi dB(A).

Lokasi pengambilan sampel tingkat kebisingan sama dengan lokasi pengambilan sampel kualitas udara. Cara pengukuran dengan menggunakan alat Sound Level Meter, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan berpedoman pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Hasil pengukuran tingkat kebisingan, disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan

No Lokasi KebisinganTingkat

dB(A) BML SKL Keterangan lokasi

1. Kilang LNG Padang 60,1 70 4 Pinggir laut

2. Kilang LNG Uso 64,3 70 4 Pinggir laut, dekat pemukiman 3. Sumur Minahaki

(MHK-AA) 49,6 70 5 Area ladang

4. BSSukamaju 38,7 70 5 Hutan

5. BSDonggi 50,6 70 5 Persawahan

6. Sumur Maleoraja

(MLR-1) 48,3 70 5 Hutan

7. BSMatindok 38,6 55 5 Hutan

8. Jalur pipa BS Donggi –

BS Matindok 51,3 55 5 ± 200 m dari jalan utama 9. Jalur pipa di Unit XII

Desa Tirtasari 39,1 55 5 Hutan rakyat

10. Jalur pipa di Unit II

Desa Arga Kencana 56,0 55 5 Pinggir jalan utama,pemukiman 11. Jalur pipa di

persawahan Kintom 40,3 55 5 Persawahan

Sumber: Data Primer, 2007

Lokasi pengukuran kebisingan dilakukan pada jarak 25 meter dari permukiman terdekat. Dari hasil pengukuran yang disajikan pada tabel tersebut di atas terlihat semua lokasi tingkat kebisingan tidak melebihi ambang batas baku tingkat kebisingan dan secara umum kondisinya sangat baik dan baik atau memiliki skala kualitas lingkungan = 5 dan 4.

(10)

3.1.3. Fisiografi dan Geologi

Fisiograi daerah penelitian merupakan daerah dataran pantai yang memanjang dari Batui di barat daya sampai dengan Kanohan di timur laut, dengan lebar dataran pantai antara 100 meter sampai dengan 1000 meter, terutama pada Tanjung Maoloh dan Tanjung Mondono, dan dengan Selat Peleng di timur serta daerah perbukitan yang sejajar dengan garis pantai di barat dengan ketinggian antara 50 – 450 meter. Kelerengan daerah ini berkisar antara 5o di daerah datar – 40odi daerah perbukitan.

Sistem aliran sungai di daerah penelitian hampir seluruhnya paralel – sub paralel yang bermuara di Selat Peleng dengan aliran sungainya yang bersifat perenial atau airnya mengalir sepanjang tahun, seperti Sungai Batui, Sungai Tangkiang, Kali Kintom, Kali Mondono, dan Kali Nambu, dan ada juga yang intermiten, yaitu kali-kali yang tak bernama dengan panjang kurang dari 3 km. Pelapukan di daerah penelitian cukup intensif, terutama pada Formasi Kintom (Tmpk) dan Formasi Bongka (Tmpb) yang ketebalan soilnya mencapai 3 m.

Stratigrafi daerah penelitian, terdiri atas (dari yang berumur tua ke yang berumur muda): Formasi Nambo (Jnm), Formasi Salodik (Tems), Formasi Poh (Tomp), Formasi Bongka (Tmpb), Formasi Kintom (Tmpk), Satuan Terumbu Koral (Ql), dan Satuan Aluvium (Qa).

Formasi Nambo (Jnm) tersusun oleh napal pasiran dan napal yang mengandung fosil Belemnit, menandakan umur Jura. Formasi ini tersingkap di daerah timur laut daerah penelitian, di sebelah timur desa Babang, diantara formasi-formasi yang berumur Mio-Pliosen.

Formasi Salodik (Tems) tersusun oleh batugamping dengan sisipan napal yang berumur Eosen. Formasi ini tersingkap lebih kurang 15-an km dari garis pantai pada daerah perbukitan dengan ketinggian lebih dari 450 meter di atas permukaan laut. Di dunia perminyakan formasi ini dikatakan sebagai Group Salodik.

Formasi Poh (Tomp) terdiri atas napal bersisipan batugamping yang berumur Oligocene dan formasi ini tersingkap di sebelah barat Formasi Salodik dengan batas struktur.

Formasi Bongka (Tmpb) tersusun oleh konglomerat, batupasir, batulanau, napal dan batugamping yang berumur Miosen Atas – Pliosen. Formasi ini tersingkap di sebelah barat Kintom, Mondono dan Hoombola, pada daerah perbukitan dengan ketinggian 50 meter sampai dengan 500 meter.

(11)

Formasi Kintom (Tmpk) atau sering disebut sebagai Formasi Batui, tersusun oleh batugamping koral dengan sisipan napal dan batupasir yang berdasarkan kehadiran fosil Globigerinoides extremus maka formasi ini berumur Miosen Atas – Pliosen Awal. Formasi Kintom tersingkap di bagian barat Formasi Bongka, pada elevasi yang relatif lebih tinggi dibanding singkapan Formasi Bongka.

Satuan Terumbu Koral (Ql) terdiri atas terumbu koral dengan sisipan napal yang berumur Kuarter. Satuan ini terdapat di sepanjang pantai di sebelah utara Batui, sedangkan di selatan Batui terumbu koral (sekarang) tumbuh di lepas pantai.

Satuan Aluvium (Qa) terdiri atas lempung, pasir dan kerakal yang berumur Kuarter. Satuan ini tersingkap terutama di selatan Batui, sedangkan di utara Batui tersingkap setempat-setempat. Di Sungai Batui dijumpai endapan teras yang mencapai ketinggian hingga 30 meter. Hal ini menandakan bahwa di sebelah utara Batui telah terjadi pengangkatan yang lebih intensif di banding di daerah selatan Batui. Mungkin pengangkatan terjadi karena tumbukan antara pulau Sulawesi dengan Pulau Pelang yang merupakan bagian dari kontinen mikro Banggai-Sula. Struktur geologi daerah penelitian ditandai dengan pengangkatan akibat tumbukan antara Pulau Sulawesi dengan kontinen mikro Banggai-Sula dari sebelah timur. Struktur geologi yang berada di lengan timur Pulau Sulawesi terutama sesar naik, sesar dan perlipatan yang sejajar dengan arah pantai di samping terdapat beberapa sesar geser yang menyilang terhadap garis pantai. Secara garis besar, sesar-sesar ataupun perlipatan tersebut akan tampak jelas pada Formasi Bongka atau formasi-formasi yang lebih tua tetapi tidak begitu tampak pada Satuan Terumbu Koral ataupun Satuan Aluvium yang berumur Kuarter. Sesar-sesar tersebut hanya diduga dari kelurusan-kelurusan yang terdapat pada citra Landsat ataupun dari foto udara. Di lapangan tampak sebagai sesar-sesar minor saja. Karena sesar-sesar tersebut memotong endapan Kuarter, maka diduga bahwa sesar-sesar tersebut masih aktif.

(12)

AMBIL DI FILE GB 3.1.

Gambar 3.1. Peta Geologi Daerah Batui dan sekitarnya (diambil dari Surono dkk., 1993)

(13)

Kegempaan dan KemungkinanTsunami

Seperti di wilayah Indonesia yang lain dan dari peta kegempaan (seismicity) sejak tahun 1900, wilayah Sulawesi terdapat jalur kegempaan yang cukup padat terutama di sepanjang jalur sesar Palu-Koro, sesar Matano, tetapi boleh dikatakan tidak terdapat pada daerah Batui ke timur laut (lihat Gambar 3.2. Peta Kegempaan untuk magnitudo > 5 skala Richter). Mungkin di daerah tersebut pernah terjadi gempabumi dengan magnitudo < 5 skala Richter mengingat di daerah tersebut dijumpai sesar-sesar minor.

Tsunami bisa terjadi jika terdapat gempabumi dangkal (pada kedalaman antara 0-33 km) di dasar laut dengan magnitudo > 6,5 skala Richter dan mekanisme fokalnya menunjukkan telah terjadi sesar naik ataupun turun. Jika sudut kemiringan sesar naik ataupun turun kecil, maka kemungkinan tsunami terjadi juga semakin kecil, karena efek perubahan volume air laut juga semakin kecil. Mengingat gempabumi yang terjadi bermagnitudo < 5 skala Richter, maka kemungkinan terjaditsunami kecil, walaupun daerah tersebut termasuk daerah rawan tsunami (Badan Geologi, 2007).

Untuk kepentingan struktur bangunan di Indonesia telah disusun peta zonasi seismik (gempabumi) (Gambar 3.3) berdasarkan akselerasi gelombang gempanya pada batuan induk (SNI-1726-2002). Zona seismik di Indonesia yang terdiri dari 6 zona, zona 1 yang terrendah dan zona 6 adalah zona yang tertinggi. Daerah lengan timur Sulawesi termasuk di dalam zona 6 dengan nilai akselerasi = 0,30 g. Jika kilang akan dibangun di daerah datar yang terdiri dari Satuan Aluvium yang cukup tebal, maka nilai akselerasi yang aman untuk suatu bangunan adalah = 0,36 (Peak ground accelerationuntukmedium soil). Tetapi menurut peta terbaru yang diterbitkan oleh Badan Geologi pada tahun 2007, daerah Teluk Pelang di antara Batui dan Luwuk termasuk wilayah dengan akselerasi = 0,20 g dan jika terdapat pada Satuan Aluvium yang cukup tebal maka nilai akselerasi yang aman adalah = 0,28 g.

(14)

Ambil File GB 3.2.

Gambar 3.2. Peta Kegempaan Pulau Sulawesi sejak Tahun 1900 (USGS-NIEC, 2003)

(15)

AMBIL FILE GB 3.3.

(16)

1. Kondisi Geologi pada Rencana Jalur Pipa

Secara umum rencana jalur pipa berada pada morfologi pantai dimana ketinggiannya tidak berbeda jauh dengan ketinggian muka air laut, namun ada beberapa ruas yang lokasinya sangat dekat dengan perbukitan. Satuan batuan di wilayah ini antara lain adalah satuan batupasir, satuan konglomerat, satuan batugamping-konglomerat karbonatan dan endapan pasir lempungan. Sedangkan struktur geologi yang dijumpai pada rencana jalur pipa ini terdiri atas sesar-sesar minor yang secara umum berarah barat laut-tenggara.

Di daerah Batui (km 57), rencana jalur pipa akan melewati singkapan dimana pada bagian atas merupakan tanah lapukan setebal 0,5 meter, kemudian pada bagian bawah batugamping konglomeratan dengan tebal 1,5 meter, kemudian batu pasir dengan tebal lebih dari 1,5 meter. Batugamping konglomeratan berwarna putih kecoklatan, ukuran butir kerikil – kerakal, tersusun oleh matrik dan fragmen dengan matrik dominan, berukuran butir pasir terdiri dari material karbonat; fragmen berukuran 1 – 20 cm terdiri dari koral (5 – 20 cm) dan fragmen batuan beku dan metamorf (2 mm – 1 cm). Sedangkan batupasir berwarna putih kecoklatan dan bersifat non karbonatan.

Selanjutnya jalur pipa di daerah Kasambang melewati singkapan batugamping konglomeratan setebal 5,80 meter di km 53 dengan sisipan paleosoil. warna putih kecoklatan, ukuran butir kerikil–kerakal, tersusun oleh matrik dan fragmen dengan matrik dominan, berukuran butir pasir terdiri dari material karbonat; fragmen berukuran 1 – 20 cm terdiri dari koral (5 -20 cm) dan fragmen batuan beku dan metamorf (2 mm – 1 cm). Makin ke atas fragmen makin dominan dan berubah menjadi paleosoil. Sementara ke arah utara makin banyak dijumpai fosil jejak. Paleosoil warna coklat kehitaman, ukuran butir lempung-pasir, tebal 30 cm.

Sedangkan pada km 50 jalur pipa akan melewati singkapan batugamping dengan warna lapuk abu-abu cerah, warna segar putih kecoklatan, ukuran butir pasir, grainsupported, tersemenkan kuat (grainstone), mengalami karstifikasi lanjut dengan tebal singkapan 8m. Pada satu meter bagian atas mengalami pelarutan yang paling tinggi.

Pada barat jalan Batui - Kintom, ± 700 m dari tugu km 42 ke arah Luwuk rencana jalur pipa melewati singkapan batugamping pada tebing setebal 12 -15 m. Pada bagian bawah (±3 m) dan atas (9 m), tersusun oleh batugamping warna putih, ukuran butir 2 mm – 8 cm, fragmen dominan forambesar, gastropoda, pelecypoda dan pecahan koral (rudstone). Di antaranya tersusun oleh batugamping setebal 3 m, warna putih, ukuran butir 2 mm – 20 cm dan tersusun oleh tubuh utuh koral berbentuk bulat (framestone).

(17)

Kondisi geologi regional daerah Batui dan sekitarnya (Lampiran 5) yang memungkinkan terjadinya gempabumi. Untuk mengurangi kerusakan akibat adanya gempa tersebut, pembangunan jaringan pipa akan dilakukan pada struktur yang lentur sehingga dapat mengakomodasi adanya getaran yang ditimbulkan dari gempa tersebut. Selain itu rencana peletakan pipa juga mempertimbangkan jalur patahan sesar yang ada di wilayah itu (Lampiran 5).

2. Kondisi Geologi pada Rencana Lokasi Kilang a. Rencana Lokasi Kilang di Kawasan Uso

Terletak di sebelah barat jalan Batui-Luwuk (0464548; 9874633). Morfologi hampir sama dengan kondisi di Desa Solan yakni berupa dataran aluvial pantai lebar kurang lebih 750 m. Dataran aluvial pantai ini tersusun atas endapan aluvial dan koluvial yang berasal dari daerah perbukitan di sebelah baratnya. Material penyusun bentuklahan ini pada umumnya terdiri dari pasir lempungan dengan warna coklat kehitaman, ukuran butir lempung-pasir, dengan fragmen batuan penyusunnya berasal dari rombakan batuan beku dan metamorf, dan tidak mengandung gamping. Ke arah pantai endapan berubah menjadi kerakal dengan komposisi rombakan batuan andesit, kuarsit, serpentinit dan gabro.

Topografi datar, dan dijumpai muka air tanah sangat dangkal yakni sekitar 3,5 m dari permukaan tanah. Berdasarkan pengamatan dari sumur penduduk, pada kedalaman ± 2,6 m dijumpai lapisan konglomerat, dengan ukuran butir kerikil sampai kerakal. Ketinggian lokasi berkisar 1 – 15 m dari permukaan laut.

Geologi dan litologi yang berupa pasir kerikil agak kompak ini pada umumnya mempunyai nilai daya dukung berkisar antara 200-400 kg/m2. Daerah ini cukup untuk pendirian lokasi LNG. Dengan kondisi dan data tersebut dapat diperkirakan berapa beban konstruksi yang masih dapat diterima oleh batuan. Perlu dipertimbangkan sistem pembangunan konstruksi pada daerah ini, misal dengan menggunakan pondsi tapak ataupun pondasi rakit. Hal ini untuk mengantisipasi adanya penurunan akibat pemadatan (compaction) dalam jangka panjang yang akan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan serius atau mempengaruhi fungsi struktur. Daerah rencana tapak LNG ini termasuk daerah yang rawan bencana tsunami, sehingga perlu diperhatikan tindakan preventif dan antipasinya.

(18)

Mengingat daerah yang datar dan elevasi rendah, penimbunan tanah (land fill) dapat dilakukan di daerah ini untuk meninggikan elevasi permukaan tanah, sehingga mengurangi resiko terlanda banjir dari sungai maupun dari pasang air dari laut. Bangunan penahan pasang air laut ataupun tsunami perlu dibangun mengingat jarak lokasi ini dari pantai dekat.

b. Rencana Lokasi Kilang di Desa Padang

Calon lokasi kilang ini di sekitar 200 meter ke arah barat dari tugu km 47 mengikuti aliran sungai (0456009; 9862490) berada pada teras sungai berupa endapan konglomerat – batupasir yang belum kompak. Konglomerat berwarna abu-abu putih, struktur gradasi normal, memotong lapisan batupasir-konglomerat di bagian bawahnya, ukuran butir 2 mm – 10 cm, rounded, kemas tertutup, tersusun atas kuarsit, batuan beku dan karbonat/batugamping. Batupasir warna coklat, ukuran pasir sedang-kasar,

rounded, non karbonatan. Pada tubuh sungai terdapat endapan berukuran kerakal. Selain itu pada daerah ± 400 meter dari tugu km 47 ke arah utara dijumpai kontak morfologi dataran dengan perbukitan (0456369; 9862435). Pada dataran tersusun oleh endapan pasir warna coklat kehitaman berukuran dominan pasir sedang-kasar, tersusun oleh fragmen batuan beku dan metamorf. Pada pantai endapan berubah menjadi endapan kerakal. Lebar dataran ± 80 meter, makin ke arah selatan lebar dataran < 80 meter. Perbukitan dengan tinggi 5 – 15 meter dan slope 20 – 30o tersusun oleh lempung pasiran dengan fragmen batugamping berukuran 2 – 20 cm. Batugamping berupa packstone, grainstone, dan rudstone atau framestone yang telah mengalami pelarutan intensif. Selain itu dibeberapa tempat dapat teramati batugamping konglomeratan dengan warna coklat muda, struktur gradasi normal walau tidak tegas, ukuran butir matrik pasir dan fragmen 2 – cm.

Di sekitar tugu perbatasan Kintom-Batui (0458817;9863580) pada tepi barat jalan Batui-Luwuk dijumpai singkapan batugamping warna putih, tersusun oleh massa dasar berukuran pasir dan fragmen > pasir (tersusun oleh koral yang dominan berbentuk nodular). Batugamping sudah mengalami karsifikasi intensif. Strike/dip N 68oE/9o, jumpai pula adanya kekar dengan arah 80o/195 dan 80o/46.

Distribusi keruangan formasi geologi daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Peta Geologi Lampiran 5.

(19)

3.1.4. Hidrologi

Pada wilayah studi terdapat beberapa sungai besar yang mengalir sepanjang tahun berurutan dari barat daya ke timur laut yaitu S. Toili, S. Sinorang, S. Kayowa/Matindok, S. Bakung, S. Batui, S. Omolu, S. Tangkiang dan S. Kintom. Semua sungai mengalir kea rah barat laut menuju muaranya di tenggara. Selain sungai-sungai tersebut terdapat juga sungai-sungai kecil yang merupakan anak sungai dari sungai besar atau sungai sendiri yang bermuara langsung ke laut seperti S. Bakiriang. Sedikit dijumpai rwa permanen kecuali rawa belakang (back swamp) di Suaka Margasatwa Bakiriang. Sistem drainase dan jaringan irigasi persawahan di Kecamatan batui dan Toili teratur dan tertata dengan baik, bahkan jaringan atau saluran-saluran irigai tersier dibangun sesuai dengan aturan irigasi teknis dan setengah teknis.

Pada perbukitan dan pegunungan diantara Kecamatan Batui, Toili dan Toili Barat dapat diperoleh air bawah tanah yang cukup dengan kedalam aquifer diperkirakan tidak terlalu dalam (shallow groundwater). Wujud sumberdaya air tersebut adalah pada atau hamparan lahan sawah yang sangat luas dengan irigasi teknis di dataran dan pelelbaban di ketiga kecamatan tersebut.

3.1.4.1. Kualitas Air

Kualitas air yang diamati adalah kualitas air laut, kualitas air sungai dan kualitas airtanah di sekitar wilayah studi. Data kualitas air laut diambil dari 6 titik (lokasi) sampling, kualitas air sungai diambil dari 6 titik (lokasi) sampling dan kualitas airtanah diambil dari 3 titik (lokasi) sampling pada daerah sekitar rencana kegiatan. Parameter yang dianalisis meliputi:

Parameter yang langsung diukur di lapangan(in situ measurement), yaitu pH, suhu, DO. Parameter yang diukur di laboratorium seperti COD, BOD, kesadahan, klorida, nitrat, nitrit,

sulfida, amoniak, serta logam-logam

Berikut ini disajikan hasil analisis kualitas air yang meliputi kualitas air tanah, air laut dan air sungai.

A. Kualitas airtanah

Untuk mengetahui kualitas airtanah (air sumur) yang dipakai penduduk di sekitar lokasi rencana kegiatan, maka dilakukan pengukuran terhadap kualitas air sumur. Jumlah pengambilan sampel airtanah dilakukan sebanyak 3 titik/lokasi (ASP-1, ASP-2 dan ASP-3). Lokasi pengambilan sampel dan hasil pengukuran disajikan pada Tabel 3.8.

(20)

Cara pengukuran dan perhitungan kualitas airtanah mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Men.Kes/Per/IX/1990 tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih.

Tabel 3.8. Hasil Analisis Laboratorium Kualitas Air Sumur

No. Parameter Satuan Baku Mutu*) ASP-1 LokasiASP-2 ASP-3

1 Bau - Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau

2 Rasa - Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa

3 Suhu °C Suhu udara3oC 27,5 28 27,5

4 pH mg/L 6,5-9,0 8,75 8,58 8,56

5 Warna Skala TCU 50 5 7,5 5,0

6 Kekeruhan Skala NTU 25 0,139 0,238 0,217

7 Besi (Fe) mg/L 1,0 0,009 0,002 0,002 8 Kesadahan (CaCO3) mg/L 500 256,10 214,73 226,55 9 Flourida (F-) mg/L 1,5 0,348 0,409 0,409 10 Klorida (Cl-) mg/L 600 15,74 23,61 31,48 11 Mangan (Mn) mg/L 0,5 0,182 0,001 0,002 12 Nitrat/NO3-(sbg N) mg/L 10 0,144 0,280 0,234 13 Nitrit/NO2-(sbg N) mg/L 1,0 0,007 0,023 0,006 14 Sulfat mg/L 400 5,745 9,38 30,422

15 Zat Organik (KMnO4) mg/L 10 4,79 7,03 6,12

Keterangan:

ASP-1 Air Sumur P. Sutrisno, Unit II Ds. Arga Kencana (Jalur pipa) ASP-2 Air Sumur P. Rahmat, Uso (LNG)

ASP-3 Air Sumur P. Kades, Padang (LNG)

*) Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990

Penduduk di beberapa lokasi penelitian menggunakan air sumur sebagai air bersih yang digunakan untuk memasak. Dari hasil analisis pada tabel tersebut di atas dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tidak ada parameter yang melebihi ambang batas baku mutu. Hasil analisis kualitas air tanah kemudian dikonversikan ke dalam skala kualitas lingkungan (SKL) yang disajikan pada Tabel 3.9.

(21)

Tabel 3.9. Rekapitulasi Skala Kualitas Lingkungan Airtanah Kode

Sampel Lokasi Parameter Hasil Analisis BML SKL

ASP-1 Air Sumur P. Sutrisno,Unit II Ds. Arga Kencana (Jalur pipa)

Bau Tak berbau Tak berbau 5

Rasa Tak berasa Tak berasa 5

pH 8,75 6,5-9,0 4 Kekeruhan 0,139 ppm 25 ppm 5 Klorida (Cl-) 15,74 ppm 600 ppm 5 Nitrat/NO3-(sbg N) 0,144 ppm 10 ppm 5 Nitrit/NO2-(sbg N) 0,007 ppm 1,0 ppm 5 Sulfat 5,745 ppm 400 ppm 5

ASP-2 Air Sumur P. Rahmat,Uso (LNG)

Bau Tak berbau Tak berbau 5

Rasa Tak berasa Tak berasa 5

pH 8,58 6,5-9,0 4 Kekeruhan 0,238 ppm 25 ppm 5 Klorida (Cl-) 23,61 ppm 600 ppm 5 Nitrat/NO3-(sbg N) 0,280 ppm 10 ppm 5 Nitrit/NO2-(sbg N) 0,023 ppm 1,0 ppm 4 Sulfat 9,38 ppm 400 ppm 5

ASP-3 Air Sumur P. Kades,Padang (LNG)

Bau Tak berbau Tak berbau 5

Rasa Tak berasa Tak berasa 5

pH 8,56 6,5-9,0 4 Kekeruhan 0,217 ppm 25 ppm 5 Klorida (Cl-) 31,48 ppm 600 ppm 5 Nitrat/NO3-(sbg N) 0,234 ppm 10 ppm 5 Nitrit/NO2-(sbg N) 0,006 ppm 1,0 ppm 5 Sulfat 30,422 ppm 400 ppm 5

(22)

B. Kualitas air laut

Untuk mengetahui kualitas air laut di sekitar lokasi wilayah studi, maka dilakukan pengukuran terhadap kualitas air laut. Cara pengukuran, perhitungan dan evaluasi kualitas air laut berpedoman pada Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan. Lokasi pengukuran lapangan untuk kualitas air laut yang dilakukan pada 6 lokasi (titik) disajikan pada Tabel 3.10. Hasil analisis kualitas air laut disajikan pada Tabel 3.11.

Tabel 3.10. Lokasi Pengambilan Sampel Kualitas Air Laut

No Lokasi Kode 51MKoordinatUTM Keterangan

1 Pelabuhan Khusus Padang–1

AL-1 0459678 9868600 Sebelah kanan rencana Pelabuhan Khusus Padang 2 Pelabuhan Khusus

Padang–2 AL-2 0459660 9868722 Rencana Pelabuhan KhususPadang 3 Pelabuhan Khusus

Padang–3 AL-3 0459640 9869056 Sebelah kiri rencanaPelabuhan Khusus Padang 4 Pelabuhan Khusus

Uso–1 AL-4 0452750 9860741 Sebelah kanan rencanaPelabuhan Khusus Uso 5 Pelabuhan Khusus

Uso–2 AL-5 0452733 9860862 Rencana Pelabuhan KhususUso 6 Pelabuhan Khusus

Uso–3 AL-6 0452711 9861195 Sebelah kiri rencanaPelabuhan Khusus Uso

Dari hasil analisis tersebut di atas, terlihat bahwa di semua lokasi pengambilan sampel air laut parameter sulfida, kadmium, tembaga dan timbal melebihi ambang batas baku mutu, kecuali untuk paramater sulfida di lokasi Pelabuhan Khusus Uso-2 dan parameter tembaga di kokasi Pelabuhan Khusus Uso-1. Untuk mendapatkan skala kualitas lingkungan, hasil analisis tersebut kemudian dikonversi terhadap pedoman skala kualitas lingkungan (Canter dan Hill 1979). Kondisi kualitas air laut selengkapnya disajikan pada Tabel 3.12. Hasil analisis kualitas air laut tersebut kemudian dikonversi kedalam skala kualitas lingkungan seperti yang tertera dalam tabel berikut.

(23)

Tabel 3.11. Hasil Analisis Laboratorium Kualitas Air Laut

No. Parameter Satuan Baku

Mutu

Lokasi

AL- 1 AL-2 AL-3 AL-4 AL-5 AL-6

FISIKA :

1 Padatan Tersuspensi Total mg/l 80 12,9 9,7 10,9 7,0 13,5 12,6

2 Suhu oC Alami 29,5 30,0 29,5 29,5 29,5 29,0 3 Kebauan - Tdk berbau Tdk berbau Tdk berbau Tdk berbau Tdk berbau Tdk berbau Tdk berbau

4 Sampah - Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil

5 Lapisan Minyak - Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil

KIMIA 1 pH - 6,5-8,5 7,7 7,5 7,6 7,0 7,3 7,4 2 Salinitas ‰ Alami 34,5 34,2 34,6 30,2 28,9 29,9 3 DO mg/l 5,4 5,2 5,0 5,1 5,3 5,5 4 NH3 mg/l 0,3 ttd ttd ttd ttd ttd ttd 5 H2S mg/l 0,03 0,084 0,328 0,247 0,198 0,019 0,166 6 Deterjen mg/l 1 0,98 0,88 0,73 0,78 0,29 0,88 7 Minyak Lemak mg/l 5 5,00 4,00 2,40 2,40 2,30 2,60 LOGAM TERLARUT 8 Cd mg/l 0,01 0,115 0,119 0,101 0,097 0,103 0,099 9 Cu mg/l 0,05 0,071 0,067 0,075 0,049 0,054 0,062 10 Pb mg/l 0,05 0,424 0,517 0,517 0,363 0,363 0,301 11 Zn mg/l 0,1 0,016 0,036 0,069 0,052 0,031 0,040 12 Hg mg/l 0,003 ttd ttd ttd ttd ttd ttd

Sumber : Data Primer, 2007

BM = Baku Mutu Air Laut (Kep.Men.LH. N0. 51 Tahun 2004 Lampiran III Untuk Biota Laut)

(24)

Tabel 3.12. Rekapitulasi Skala Kualitas Lingkungan Air Laut Kode

Sampel Lokasi Parameter yangmelebihi BML BML SKL

AL-1 Pelabuhan Khusus Padang – 1 Kadmium = 0,115 Tembaga = 0,071 Timbal = 0,424 Sulfida = 0,084 0,01 ppm 0,05 ppm 0,05 ppm 0,03 ppm 4 4 4 4

AL-2 Pelabuhan Khusus Padang – 2 Kadmium = 0,119 Tembaga = 0,067 Timbal = 0,517 Sulfida = 0,328 0,01 ppm 0,05 ppm 0,05 ppm 0,03 ppm 4 4 4 4

AL-3 Pelabuhan Khusus Padang – 3 Kadmium = 0,101 Tembaga = 0,075 Timbal = 0,517 Sulfida = 0,247 0,01 ppm 0,05 ppm 0,05 ppm 0,03 ppm 4 4 4 4 AL-4 Pelabuhan Khusus

Uso-1 Kadmium = 0,097 Timbal = 0,363 Sulfida = 0,198 0,01 ppm 0,05 ppm 0,03 ppm 4 4 4 AL-5 Pelabuhan Khusus

Uso-2 Kadmium = 0,103 Tembaga = 0,054 Timbal = 0,363 0,01 ppm 0,05 ppm 0,05 ppm 4 4 4

AL-5 Pelabuhan Khusus Uso-3 Kadmium = 0,099 Tembaga = 0,062 Timbal = 0,301 Sulfida = 0,166 0,01 ppm 0,05 ppm 0,05 ppm 0,03 ppm 4 4 4 4

Sumber: Data Primer, 2007

C. Kualitas air sungai

Untuk mengetahui kualitas air permukaan (air sungai) pada lokasi penelitian, maka dilakukan pengukuran terhadap kualitas air permukaan. Cara pengukuran, perhitungan dan evaluasi kualitas air sungai berpedoman pada Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan Kep.Men LH No. 37 Tahun 2003 tentang Metode Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan.

(25)

Pengambilan sampel air permukaan untuk penelitian ini dilakukan di sungai-sungai terdekat yang mungkin terpengaruh oleh kegiatan di BS, GPF, Kilang LNG, dan jalur pipa. Lokasi sampling air sungai disajikan pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13. Lokasi Pengambilan Sampel Air Sungai

No Lokasi Koordinat Kode Keterangan

51M UTM

1 S. Santoa 0459028 9867862 AS-1 Padang – Tangkiang (LNG) 2 S. Kayowa 0446081 9851570 AS-2 Dekat GPF

3 S. Singkoyo 0424354 9039188 AS-3 Dekat BS Minahaki 4 Anak S. Tumpu 0430819 9849442 AS-4 Dekat BS Sukamaju 5 Anak. S. Singkoyo atas AS-5 Dekat BS Maleoraja 6 S. Toili 0429083 9844590 AS-6 Jalur pipa

Hasil penelitian dibandingkan terhadap Kriteria Kualitas Air Kelas II, PP No. 82 Tahun 2001, disajikan dalam Tabel 3.14. Dari tabel tersebut kemudian untuk mendapatkan Skala Kualitas Lingkungan, dikonversi terhadap pedoman Skala Kualitas Lingkungan menurut Canter dan Hill (1979). Analog dengan perhitungan kualitas udara, hanya dihitung skala kualitas lingkungan berdasar parameter yang tidak memenuhi baku mutu lingkungannya yang sesuai.

(26)

Tabel 3.14. Hasil Analisis Kualitas Air Permukaan/Air Sungai (sesuai PP No. 82 Tahun 2001 Kelas II)

No Parameter BakuMutu Lokasi

AS-1 AS-2 AS-3 AS-4 AS-5 AS-6

1 pH 6-9 7 6,5 6,5 6,5 6,7 7,0 2 Suhu Deviasi 3 27,5 28,5 28,0 27,5 27,5 28,0 3 DO 4 mg/L 6,1 6,9 6,1 6,4 6,0 6,6 4 BOD 3 mg/L 0,2 0,4 0,1 1,3 1,1 0,6 5 COD 25 mg/L 1,1 2,5 0,5 8,1 5,0 2,2 6 Total fosfat 0,2 mg/L ttd ttd ttd ttd ttd ttd 7 NO3 10 mg/L 1,64 2,12 1,30 1,01 4,61 1,84 8 Nitrit (NO2) 0,06 mg/L ttd ttd ttd ttd ttd ttd 9 NH3 - ttd ttd ttd ttd ttd ttd 10 Kobalt (Co) 0,2 mg/L 0,01 0,05 0,01 0,02 0,01 0,05 11 Barium (Ba) - ttd 1,60 ttd ttd 1,20 ttd 12 Boron (Bo) 1 mg/L < 1 < 1 < 1 < 1 < 1 < 1 13 Kadmium (Cd) 0,01 mg/L Ttd 0,011 0,008 0,003 0,010 0,001 14 Khrom (VI) 0,05 mg/L ttd ttd ttd ttd ttd ttd 15 Tembaga (Cu) 0,02 mg/L 0,006 0,011 0,008 0,003 0,010 0,001 16 Besi (Fe) - 0,01 Ttd 0,42 0,37 0,06 0,25 17 Timbal (Pb) 0,03 mg/L ttd ttd ttd ttd 0,024 ttd 18 Mangan (Mn) - 0,027 0,031 0,047 0,127 0,039 0,015 19 Seng (Zn) 0,05 mg/L 0,04 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 20 Khlorida (Cl) 600 mg/L 21 81 26 41 25 23 21 Fluorida (F) 1,5 mg/L 0,09 0,11 0,10 0,17 0,08 0,05 22 Sulfat (SO4) - 11 41 Ttd 18,4 Ttd ttd

23 Minyak dan Lemak ppm 2,60 1,70 2,60 2,20 2,50 2,40

Sumber : Data primer, 2007

Dari tabel di atas terlihat bahwa kondisi semua sungai masih dibawah baku mutu, hanya parameter minyakk dan lemak di semua sungai melebihi baku mutu lingkungan kualitas air permukaan kelas II sesuai dengan PP No.82 tahun 2001. Dengan demikian, keenam sungai yang diteliti mempunyai Skala Kualitas Lingkungan (SKL) = 4.

(27)

3.1.4.2. Kuantitas Air

A. Kuantitas/debit air sungai

Terkait dengan kebutuhan akan air bersih untuk keperluan proyek pengembangan gas matindok yang cukup besar, perlu kiranya dikaji mengenai ketersediaan air permukaan, dalam hal ini debit air sungai yang ada di daerah penelitian. Dari data sekunder yang ada (BAPPEDA Kabupaten Banggai, 2006), beberapa sungai besar dengan data debit sesaat yang berada di wilayah penelitian, adalah: Sungai Singkoyo (64 m3/dtk), Sungai Mansahang (41 m3/dtk), Sungai Toili (40 m3/dtk), Sungai Batui (85,2 m3/dtk), Sungai Sinorang (24 m3/dtk), Sungai Mendono (60 m3/dtk), Sungai Tangkiang (60 m3/dtk). Debit keseluruhan sungai-sungai tersebut diperkirakan sekitar 1.895,78 x 106m3/tahun. Sungai-sungai tersebut nantinya akan terpotong oleh rencana kegiatan pemasangan jalur pipa maupun rencana pembangunan kilang LNG. Pada saat penelitian dilakukan dengan kondisi land cover di upper cathment area sebagai kawasan hutan, sifat semua aliran sungai tersebut adalah permanen dengan debit harian yang tinggi. Dari sekian banyak sungai di daerah penelitian, data debit yang dipantau secara periodik adalah Sungai Batui. Data yang digunakan berupa data hasil pengukuran dan pencatatan tinggi muka air sungai serta perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaaan Umum, Direktorat Jendral Sumber Daya Air, Kabupaten Palu tahun 1995-2004. Luas daerah aliran sungai Batui sekitar 240 km2. Penentuan besarnya debit aliran sungai didasarkan pada hasil perhitungan persamaan garis lengkung (rating curve) Q = 50,978(H-0.010)2,750 yang diperoleh dari

perhitungan lengkung aliran (rating curve) mulai dari hasil pencatatan debit 1990 sampai dengan 2004. Tabel 3.15 menyajikan hasil perhitungan debit aliran Sungai Batui yang diukur dikampung Sambang 57 km dari kota Luwuk kejurusan Toili. Lokasi stasiun pencatat tinggi muka air otomatis (AWLR) tersebut terletak pada koordinat 01014’29’’S, 122o31’00’’BT.

(28)

Tabel 3.15. Debit Harian Rata-rata Sungai Batui, Kabupaten Banggai

Bulan Debit aliran (m

3/detik) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Januari 25.30 36.60 10.00 5.17 5.23 5.05 14.80 7.46 16.82 41.67 Februari 31.40 33.30 11.10 2.32 6.20 7.75 6.27 5.33 14.77 26.83 Maret 29.84 25.20 18.00 3.72 10.45 9.16 9.15 18.24 17.82 27.79 April 40.57 36.40 24.70 11.30 14.70 15.40 14.70 13.64 20.30 55.71 Mei 51.30 54.60 15.10 25.60 30.30 16.60 15.50 24.64 21.17 58.43 Juni 47.55 86.70 28.80 33.50 42.80 69.50 14.20 44.67 57.00 73.82 Juli 50.23 64.70 78.80 26.70 10.90 59.50 11.09 19.34 62.67 192.91 Agustus 30.33 87.20 7.72 61.20 17.60 17.40 10.56 3.35 66.00 26.65 September 25.99 30.60 3.76 15.40 7.32 7.57 7.54 1.56 41.60 77.31 Oktober 20.50 36.30 2.62 9.77 10.50 9.78 5.12 0.15 23.27 9.19 Nopember 48.30 22.80 2.38 6.40 15.98 13.10 8.77 1.38 40.22 9.27 Desember 30.27 17.70 12.50 6.64 19.30 15.76 5.13 2.33 42.22 23.23 Jumlah 431.58 532.1 215.48 207.72 191.28 246.57 122.83 142.09 423.86 622.81 Rt Hrn 35.97 44.34 17.96 17.31 15.94 20.55 10.24 11.84 35.32 51.90

Sumber: Departemen Pekerjaaan Umum, Direktorat Jendral Sumber Daya Air, Kabupaten Palu tahun 1995-2004

Kebutuhan air untuk kegiatan uji hidrostatik sekitar 20.000 m3. Apabila diperhitungkan dari debit sungai Batui rata-rata harian saja maka akan diperoleh debit sungai sebesar 94.093 m3/hari. Dengan melihat cadangan kuantitas (debit) air sungai tersebut, maka apabila pelaksanaan uji hidrostatik menggunakan air sungai sebesar 20.000 m3 dan hanya sekali, pemboran sumur (420 m3/sumur), operasional BS (@BS membutuhkan 25 m3/hari 2 BS membutuhkan 50 m3/hari)), maka sangat klebil pengaruhnya terhadap penurunan debit sungai. Apalagi dalam pengambilan dan pemanfaata air tersebut memperhatikan kondisi debit sungai saat aliran stabil dan dilakukan diwaktu musim penghujan. Dengan demikian dapat dikatagorikan bahwa kualitas lingkungan dari segi kuantitas air sungai adalah sangat baik (skala 5).

(29)

B. Debit aliran permukaan

Besarnya debit aliran permukaan (run-off) dihitung dengan menggunakan rumus empiris seperti disajikan berikut ini. Besarnya debit air permukaan Q = 0,0028 C.I.A

Catatan : Q = debit aliran permukaan (m3/detik) C = koefisien aliranpermukaan

I = intensites hujan (mm/jam) A = luas daerah (Ha)

Dengan menggunakan rumus empiris tersebut diperlukan adanya data tentang penggunaan lahan daeah penelitian yang akan menentukan besarnya koefisien aliran permukaan. Tabel 3.16 berikut menyajikan berbagai penggunaan lahan didaerah penelitian beserta luas masing-masing penggunkaan lahan, koefisien aliran permukaan masing-masing jenis penggnaan lahan dan koefisiein rata-rata daerah penelitian.

Tabel 3.16. Koefisien Aliran Permukaan

No Penggunaan Lahan Luas (Ha)(A) C. C*A C rata-ratatimbang

1 Belukar 1908.21 0.21 400.7241

2 Permukiman 1871 0.4 748.4

3 Hutan 17,094.65 0.1 1709.465

4 Perkebunan 4,385.02 0.29 1271.6558 0.189501

5 Sawah 8,895.36 0.18 1601.1648

6 Sawah tadah hujan 1,373.57 0.22 302.1854

7 Tegalan 7,196.87 0.29 2087.0923

8 Hutan suakat 271.5 0.1 27.15

Total 42996.18 8147.8374

Berdasarkan pada nilai masing-masing koefisien aliran permukaan dari masing-masing penggunaan lahan beserta luasnya, maka dapat dihitung besarnya koefisien aliran permukaan yakni 0,189501.

(30)

Dengan diketahui data tentang :

Koefisien aliran permukaan rata-rata (C) = 0,18951 Dengan diketahui Luas daerah Penelitian (A) = 42.996,18 Ha. Intensitas hujan + 1856,6 mm/tahun atau (I) = 2,1488 mm/jam

Besarnya debit air permukaan Q = 0,0028 C.I.A

= 0,0028 * 0,189501 * 42996,18 = 22,8134 m3/detik

Perubahan debit air permukaan akibat pembukaan lahan dan pematangan lahan untuk berbagai kegiatan, diperkirakan akan terjadi penambaha debit aliran permukaan.

Luas daerah yang akan dibuka untuk lokasi pemboran sumur pengembangan sebanyak 17 (sumur) dibagi kedalam 10 klaster. Setiap klaster membutuhkan lahan seluas 4 Ha, jadi kebutuhan lahan untuk sumur pengembangan (A) = 40 Ha

Koefisien run rata-rata timbang (C) = 0,64 Dengan diketahui luas daerah yang dibuka (A) = 17.00 Ha. Intensitas hujan + 1856,6 mm/tahun atau (I) = 2,1488 mm/jam Besarnya debit air permukaan Q = 0,0028 C.I.A

= 0,0028 * 0,64 * 2,1488* 40,00 = 0,154 m3/detik

Namun demikian pelaksanaan pembukaan lahan untuk lokasi sumur dari 10 klaster tersebut tidak serentak, sehingga penambahan besarnya debit aliran permukaan menjadi lebih kecil lagi dari hasil perhitungan tersebut.

Demikian pula besarnya debit aliran permukaan yang akan terjadi pada pembukaan lahan di lokasi-lokasi rencana pembangunan BS, GPF,trunk line, flow line, pembangunan jalan baru dan kilang LNG membutuhkan luas lahan 537 Ha. Dengan demikian besarnya debit aliran permukaan:

Koefisien run rata-rata timbang (C) = 0,64 Dengan diketahui luas daerah yang dibuka (A) = 537 Ha.

Intensitas hujan + 1856,6 mm/tahun atau (I) = 2,1488 mm/jam Besarnya debit air permukaan Q = 0,0028 C.I.A

= 0,0028 * 0,64 * 2,1488* 537 = 2,07 m3/detik

Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan tidak serentak dalam satu periode yang sama, melainkan dilakukan secara bertahap. Dengan demikain besarnya penambahan debit aliran permukaan akan lebih kecil untuk masing-masing pelaksanaan pembukaan lahan dari masing-masing kegiatan daripada hasil perhitungn tersebut.

(31)

C. Kuantitas air tanah

Keberadaan air tanah suatu daerah sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan karakteristik formasi geologi daerah yang bersangkutan. Daerah penelitian tersusun dari beberapa formasi batuan, yaitu: Formasi Batuan Volkanik Tua, Volkanik Recent, Batu Gamping dan Sedimen Napal. Formasi-formasi tersebut mempunyai kemampuan untuk imbuh air tanah dari hujan yang terjadi dengan kecepatan yang berbeda. Berdasarkan data sekunder potensi air tanah dari Bappeda Kabupaten Banggai (2006), potensi air tanah dalam tahunan adalah sebesar 387 x 106 m3/tahun atau 1,06 x 106/hari. Dengan memperhatikan cadangan kuantitas (debit) air tanah dalam tersebut, maka apabila digunakan untuk keperluan operasional kilang LNG (75 m3/hari), maka kecil sekali pengaruhnya terhadap penurunan debit air tanah.

Pada awalnya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan air tawar yang besar untuk operasional LNG Plant, maka penyediaan air tawar diusahakan dari 3 alternatif berikut sumber pasokan air tawar yaitu dari air tawar diambil dari air permukaan (air sungai), air tawar diambil dari air tanah dalam atau air tawar dari penyulingan air laut. Dengan mempertimbangkan ketersediaan/kuantitas debit air tanah dalam yang ada (= 1,06 x 106m3/hari) sudah akan dapat memenuhi untuk operasional LNG plant, maka kebutuhan air tawar akan diperoleh baik dari air sungai maupun aier tanah.

3.1.5. Kondisi Hidro-Oseanografi 3.1.5.1. Bathimetri

Kedalaman perairan di sekitar lokasi rencana kegiatan adalah 20 m dicapai pada jarak kurang lebih 50 m hingga 100 m dari garis pantai. Jarak 100 m dari garis pantai kedalaman laut relatif curam dengan kedalaman mencapai 100 m. Di beberapa pantai dijumpai karang baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Di daerah Sekitar Tanjung Batui terdapat karang di beberapa tempat, namun tidak pada sepanjang garis pantai.

Topografi garis pantai sepanjang lokasi studi secara umum dapat dikatakan landai. Ketinggian lokasi pantai berkisar antara 1 sampai 5 m di atas muka air laut. Jalan raya berjarak kurang lebih 200 sampai 500 m dari garis pantai, kecuali di dua tanjung yaitu Tanjung Kanali dan Tanjung Uling yang berjarak kurang lebih 500 m sampai 1000 m.

(32)

Gambar 3.4. Peta Batimetri Wilayah Studi dan Calon Lokasi Rencana Pelabuhan

3.1.5.2. Pasang surut

Pasang surut di perairan pantai calon lokasi kilang dan Pelabuhan Khusus mempunyai fase dan tinggi yang hampir sama. Beda tinggi air pasang dan air surut berkisar antara 100-120 cm. Tipe pasang surut daerah tersebut adalah semidiurnal dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari.

(33)

800 1000 1200 1400 1600 1800 10:30 17:30 0:30 7:30 14:30 21:30 4:30 11:30 Waktu (jam) T in g g im u k a a ir (m m ) manual tide g

Gambar 3.5. Penggambaran Muka air Pasang Surut di Tanjung Kanali

3.1.5.3. Studi gelombang

Kondisi gelombang di lokasi studi relatif kecil dan sangat tenang. Gelombang terlihat antara 0,1 m sampai 0,5 m terjadi di sekitar sore hari.

Berdasarkan data angin dari bandara Bubung, kecepatan angin rata-rata harian 3-6 knot, dengan arah dominan dari Barat. Kecepatan angin maksimum harian berkisar antara 3 sampai 27 knot dengan arah dominan dari Selatan. Mawar angin berdasarkan pencatatan jam-jaman antara tahun 2000-2004 Stasiun Meteorologi Bandara Bubung seperti gambar berikut.

(34)

Gambar 3.6. Mawar Angin Maksimum di Wilayah Studi

Dari data angin dan data panjang seret gelombang (fecth) dari masing-masing arah dapat dihitung tinggi dan periode gelombang dengan menggunakan persamaan SMB seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil hitungan data gelombang digambarkan dalam bentuk grafis berupa mawar gelombang seperti pada Gambar 3.7.

Berdasarkan hasil hitungan tersebut gelombang maksimum yang terjadi sebesar 1.5 m. Gelombang tersebut terjadi pada saat angin musim Timur dan Tenggara atau terjadi pada bulan April sampai bulan Agustus. Berdasarkan persyaratan (OCDI, 1991) untuk ketenangan kolam labuh (calmness of basin) untuk ukuran kapal sedang dan besar maka ketinggian gelombang kritis untuk cargo yang diizinkan adalah 0,5 m, sehingga diperlukan bangunan pemecah gelombang.

(35)

Gambar 3.7. Mawar Gelombang Maksimum

3.1.5.4. Arus

Data arus di daerahsurf zonediambil di perairan pantai Sekitar Tanjung Batui. Pengukuran arus digunakan cara float tracking. Sementara untuk peramalan arus di laut dalam (offshore zone)

akibat pasang surut dilakukan pengukuran di 2 (dua) titik masing-masing pada kedalaman berbeda (0,2d; 0.6d; 0,8d) dengan interval pengambilan setiap 1 jam selama 25 jam. Pengambilan arus pasang surut dilakukan di lokasi yang hampir sama dengan pengambilan lokasi arus di daerah surf zone, hanya pada kedalaman –20 m. Pada kedalaman tersebut, gelombang belum pecah. Secara umum arus di daerah studi relatif kecil berkisar antara 0,1 sampai 0,9 m/det. Hasil pencatatan arus digambarkan dalam bentuk mawar arus seperti gambar berikut.

(36)

Gambar 3.8. Mawar Arus Pasang Surut

3.1.5.5. Sedimen melayang dan sedimen pantai

Kondisi sedimen melayang di lokasi studi secara umum terlihat sangat jernih yang berarti tidak mengandung sedimen. Dari indikasi tersebut dapat dinyatakan bahwa lokasi studi sedikit mengalamai sedimentasi, kecuali daerah-daerah yang merupakan muara sungai.

Pada sedimen pantai terlihat adanya pasir halus yang mengandung lempung. Diduga sedimen tersebut merupakan endapan dari sungai. Untuk daerah Sekitar Tanjung Batui dijumpai sedimen berupa pasir kasar.

3.1.6. Ruang, Lahan dan Tanah 3.1.6.1. Tata Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 (Perda No 2 Tahun 2004) telah memberikan arahan pemanfaatan kawasan, baik kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Untuk kawasan budidaya pertambangan dideliniasikan pada kawasan yang terindentifikasi mengandung bahan tambang.

(37)

Berdasarkan potensinya, rencana penataan kawasan pertambangan, terutama Bahan Galian A di Propinsi Sulawesi Tengah adalah sebagai berikut:

a. Minyak dan gas bumi, di Kecamatan Batui serta Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai; Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali serta Kabupaten Banggai Kepulauan

b. Nikel di Kolondale Kecamatan Petasia, Bungku Barat, Bungku Tengah; dan Bungku Selatan di Kabupaten Morowali;

c. Batubara, di Kabupaten Poso, Buol, Donggala serta Banggai Kepulauan

d. Galena di SUngai Lewara Hulu, Gunung Gawalise Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala.

Berdasakan RTRWP tersebut, maka wilayah studi yang terletak di Kecamatan Batui telah direncanakan untuk kawasan pertambangan minyak dan gas bumi, sehingga rencana kegiatan sudah sesuai dengan RTRWP yang ada.

Dalam skala kabupaten berdasarkan Hasil Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banggai Tahun 2003-20013 (Bappeda Kab. Banggai, 2003) menunjukkan bahwa wilayah rencana kegiatan yaitu Kecamatan Toili Barat, Toili, Batui dan Kintom termasuk dalam Wilayah Pengembangan Selatan (Gambar 3.9). Rencana struktur ruang wilayah untuk masing-masing ibukota kecamatan di wilayah kegiatan PPGM akan dikembangkan berbeda-beda, dimana ibukota Kecamatan Toili direncanakan akan menjadi Kota Pusat Kegiatan Lokal (KPKL), ibukota Kecamatan Batui akan diakembangkan menjadi Kota Pusat Kegiatan Sub Wilayah (KPKSW), dan ibukota Kecamatan Kintom akan dikembangkan menjadi Kota Pusat Kegiatan Khusus (KPKK).

Pola pemanfaatan ruang, menurut skenario moderat, setiap wilayah kecamatan lokasi proyek juga berbeda-beda (Gambar 3.10). Di bagian wilayah Kecamatan Toili Barat yang menjadi tapak proyek pengembangan gas Matindok akan dimanfaatkan untuk pengembangan pemukiman, lokasi perusahaan, tanaman pangan, kawasan lindung, dan sebagian kecil untuk cadangan pemanfaatan lain-lain. Di bagian wilayah wilayah Kecamatan Toili yang menjadi tapak proyek pengembangan gas Matindok akan dimanfaatkan untuk pengembangan lokasi perusahaan, tanaman pangan, pemukiman dan sebagian kecil untuk cadangan pemanfaatan lain-lain. Sementara itu bagian wilayah Kecamatan Batui yang menjadi lokasi tapak proyek pengambangan gas Matindok akan dimanfaatkan untuk hutan suaka (Suaka Margasatwa Bakiriang), kawasan lindung, tansmigrasi, pemukiman, tanaman pangan, lokasi industri dan perkebunan.

(38)

Gambar 3.9. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Banggai

(39)
(40)

3.1.6.2. Penggunaan Lahan

Pemanfaatan lahan yang telah ada di sekitar areal rencana kegiatan antara lain adalah jalan provinsi yang menghubungkan Luwuk dengan Baturube dan sekitarnya. Sepanjang jalan tersebut terdapat konsentrasi pemukiman penduduk, pertanian, perkebunan rakyat, perkebunan besar, arela transmigrasi di Toili dan Toili Barat dan pertambangan migas yang dikelola oleh JOB – Medco E & P Tomori Sulawesi. Di daerah sekitar lapangan pengambang terdapat daerah konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang dan sebelah selatan berbatasan dengan perairan Selat Peleng.

A. Pemukiman

Berikut ini adalah jarak pemukiman penduduk terdekat yang terkait langsung dengan rencana kegiatan.

a. Jarak terdekat lokasi sumur pemboran (di Kecamatan Toili Barat, Kecamatan Toili dan Kecamatan Batui) ke pemukiman adalah sekitar 100 m.

b. Jarak terdekat lokasi GPF (BS) (di Kecamatan Toili Barat dan Kecamatan Batui) ke pemukiman sekitar 500 m.

c. Jarak terdekat lokasi pemasangan saluran gas (BS ke Junction di Senoro selanjutnya disalurkan ke konsumen dan Kilang LNG) ke pemukiman sekitar 100 m.

d. Rencana pembangunan kilang LNG (di sekitar Tanjung Batui/Nonong, Kecamatan Batui) berada di lokasi yang di dalamnya terdapat pemukiman terdekat sekitar 50 m.

Penduduk di sekitar rencana kegiatan, sebagian bertempat tinggal di sekitar jalan provinsi yang menghubungkan Luwuk – Baturube.

B. Pertanian/Perkebunan Rakyat

Kegiatan pertanian/perkebunan rakyat yang diusahakan masyarakat sekitar rencana kegiatan berupa tanaman semusim seperti padi sawah dan palawija, tanaman buah-buahan di pekarangan seperti kelapa, pisang mangga, jambu, nangka, rambutan dan tanaman industri seperti kelapa sawit, tanaman cokelat dan kelapa.

Pada lahan-lahan yang jauh dari pemukiman, umumnya pola tanam berupa perladangan yang dimulai dengan tebang-bakar tetapi cenderung tidak berpindah. Lahan hail pembukaan tersebut umumnya digunakan untuk penanaman padi ladang sampai 2 kali tanam, tanaman jagung, tanaman cokelat dan kelapa. Apabila tanaman cokelat atau tanaman kelapa sudah tidak produktif akan diremajakan lagi. Selain coklat dan kelapa yang cukup dominan, juga kelapa sawit mulai diusahakan oleh sebagin masyarakat yang mempunyai permodalan cukup memadai.

(41)

Dari uraian di atas dan Peta Penggunaan Lahan Daerah Penelitian (lihat Lampiran 5), luas masing-masing jenis penggunaan lahan adalah: belukar 1.908,21 Ha, beting karang 291,54 Ha, permukiman 1.871,29 Ha, hutan 17.094,65, perkebunan 4.385,02, sawah, 8.895,36, sawah tadah hujan 1.373,57 Ha, tegalan/ladang 7.196,87 Ha dan hutan suaka 271,50 Ha.

3.1.6.3. Tanah

Tanah merupakan hasil kerja dari proses-proses yang dipengaruhi oleh iklim dan organisme pada bahan induk tanah yang terletak pada posisi topografi tertentu selama waktu yang tertentu pula. Pengertian bahan induk tanah berbeda dengan batuan induk yang umumnya berada dalam kondisi yang masih segar dan relatif keras. Bahan induk tanah berasal dari lapukan batuan induk yang mungkin berada langsung di bawah atau berada jauh dari lokasi dimana bahan induk tanah terletak. Hal ini dimungkinkan apabila bahan induk tanah tersebut merupakan meterial endapan yang dapat saja berasal jauh dari lokasi asalnya. Pengertian mengenai asal mula dari bahan induk ini membawa kepada pengertian bahwa waktu pembentukan tanah selalu lebih muda dan seringkali jauh lebih muda daripada waktu pembentukan batuan yang ada di bawahnya. Waktu pembentukan tanah dimulai sejak bahan induk tanah terbentuk atau terendapkan untuk kasus-kasus bahan induk tanah yang merupakan material sedimen.

Iklim mempengaruhi proses pembentukan tanah melalui suhu dan curah hujan yang keduanya secara bersama-sama mempengaruhi kelembaban tanah. Iklim mempengaruhi reaksi-reaksi kimia yang berlangsung di dalam tanah. Reaksi kimia akan belangsung intensif pada kondisi suhu yang relatif panas dan tersedia kelembaban yang cukup. Pada kondisi panas dan kering, maka hampir tidak ada reaksi kimia yang berlangsung, yang terjadi di dalam tanah adalah proses-proses fisika yang berupa penghancuran batuan. Dengan demikian pada daerah yang beriklim berbeda akan mempunyai ciri tanah yang berbeda pula. Variasi iklim di daerah penelitian tidak terlalu tinggi secara global, namun demikian pada skala-skala lokal pengaruh relief terhadap suhu terasa nyata.

Organisme tanah mempengaruhi proses pembentukan tanah melalui organisme makro dan mikro yang ada di dalam dan di permukaan tanah. Peranan organisme makro terutama pada kegiatannya yang dapat memindahkan material tanah dari satu lapisan ke lapisan yang lain.

(42)

Disamping itu, sisa-sisa organik dapat memicu perkembangan tanah terutama pada ketersediaan bahan organik dalam tanah. Kegiatan organisme mikro dalam tanah juga mengeluarkan zat-zat tertentu yang dapat memacu terjadinya sebuah reaksi kimia. Ketersediaan rongga-rongga dalam tanah sebagai akibat dari aktivitas binatang tanah dalam membuat rumah memperbesar kapasitas infiltrasi air permukaan.

Bahan induk tanah menentukan kesuburan tanah dalam hal jumlah mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tanaman. Namun demikian, pada tanah-tanah yang tua atau telah berkembang lanjut pengaruh bahan induk tanah tidak lagi begitu nyata karena hampir semua hara tanaman sudah tercuci dan hilang melalui limpasan permukaan maupun keluar melalui aliran airtanah. Pengaruh bahan induk tanah pada sifat-sifat fisik, kimia, biologi, dan morfologi tanah di wilayah kajian. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan cenderung membentuk tanah yang berstruktur mantap dan konsistensi keras dalam keadaan kering. Bahan induk yang banyak mengandung besi tanahnya akan berwarna merah apabila dalam kondisi drainase baik dan berstruktur remah-granuler.

Relief berpengaruh pada proses pembentukan tanah dikarenakan pengaruhnya pada besar kemungkinan air yang ada dipermukaan lahan untuk meresap ke dalam profil tanah. Pada daerah dengan relief kasar, sebagian air yang ada di permukaan lahan akan menjadi aliran permukaan. Sebaliknya pada daerah dengan relief halus atau rata air persentase air untuk meresap ke dalam profil tanah akan menjadi besar dengan catatan muka airtanah tidak terlalu berdekatan dengan permukaan tanah. Air perkolasi untuk selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya horison-horison tanah sebagai akibat adanya transport material dan unsur-unsur tertentu yang mudah larut dari lapisan tanah atas ke lapisan tanah bawah. Limpasan permukaan pada sisi yang lain dapat dipandang sebagai pembawa material baru dari tempat yang lain atau menghilangkan material yang ada dipermukaan tanah. Apabila limpasan permukaan lebih dominan, maka proses pembentukan tanah akan selalu terganggu sehingga tanah selalu dalam keadaan baru.

1. Kesuburan tanah

Satuan-satuan tanah yang ada di sekitar area PPGM diklasifikasikan berdasar sistem Soepraptohardjo (1961). Adapun kelompok satuan tanah yang ada adalah kelompok Aluvial, Regosol, Litosol, Latosol, Grumusol, dan Lateritik. Masing-masing kelompok terdiri atas

(43)

satuan-satuan tanah yang lebih rinci. Masing-masing satuan tanah tersebut beserta persebaran, potensi penggunaan, tingkat kesuburan dan bahayanya diuraikan lebih lanjut berdasarkan hasil survey lapangan dan analisa laboratorium. Pada analisa tingkat kesuburan tanah, parameter yang digunakan adalah tekstur, pH, Bahan Organik, Nitrogen (total dan tersedia), Phospor tersedia, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa, Unsur Basa (K, Na, Mg, Ca), dan Permeabilitas Tanah.

Tanah aluvial tersebar pada dataran-dataran alluvial. Pada dataran aluvial yang relatif baru tanahnya masih menampakan adanya perlapisan bekas proses pengendapan dengan periode yang berbeda. Macam-macam tanah aluvial di sekitar PPGM berasosiasi dengan Hidromorf Kelabu dan Grumusol. Pada dataran aluvial yang sudah tua, tanah aluvial telah mengalami perkembangan sehingga pada beberapa tempat berubah menjadi tanah Grumusol. Lokasi pengambilan sampel terdapat pada dua daerah yaitu Kini-kini dan Minakarya. Kedua daerah ini termasuk ke dalam bentuklahan dataran alluvial yang setiap tahunnya pada bulan ke tujuh tergenang air. Tingkat permeabilitas yang masuk pada klasifikasi agak lambat (0,88 cm/jam), menyebabkan proses pengatusan air genangan membutuhkan waktu hingga satu minggu.

Dataran aluvial bagian bawah mempunyai muka airtanahsangat dangkal dekat dengan permukaan tanah. Keberadaan airtanah yang dangkal menyebabkan tanah selalu dalam keadaan jenuh air sehingga semua basa atau logam yang ada dalam tanah dalam keadaan tereduksi (valensi rendah). Dalam keadaan yang demikian, tanah menjadi berwarna kelabu. Reaksi tanah dalam keadaan tereduksi, bereaksi masam sehingga beberapa unsur logam di dalam tanah dapat bersifat meracun bagi tanaman. pH tanah bervariasi dari agak masam hingga netral. Tekstur geluh lempungan dengan kapasitas tukar kation yang tinggi. Tingkat kejenuhan basa dari kedua lokasi pengambilan sampel (61,05 % dan 72,25%) menunjukkan bahwa daerah ini adalah daerah subur dan sangat sesuai untuk daerah persawahan, sehingga kualitas lingkaungan dari segi kesuburan tanah adalah tinggi (skala 4).

Tanah Regosol, seperti halnya tanah aluvial merupakan tanah yang belum berkembang. Umumnya tanah Regosol berasal dari bahan induk yang baru diendapkan atau karena ada proses-proses geomorfologi yang bekerja intensif sehingga proses pembentukan tanah tidak berlangsung. Regosol di sekitar daerah PPGM berkembang di tepian pantai dengan luasan

(44)

yang relatif sempit. Pada umumnya Regosol di dataran pantai tidak produktif karena terlalu porus yang diakibatkan oleh tekstur tanahnya yang pasiran. Tanah regosol tidak dimanfaatkan sebagai daerah pertanian di daerah ini mengingat tingkat kesuburan yang sangat rendah dan luasannya yang sempit. Dengan demikian kesuburuan tanah ditinjau dari kualitas lingkungannya, tanah ini masuk kategori kualitas sangat rendah (skala 1). Litosol merupakan tanah yang tipis dengan solum < 50 cm dan mengalami kontak langsung dengan batuan induk yang keras yang ada di bawahnya. Litosol mungkin terbentuk pada batuan-batuan dasar yang keras sehingga produksi bahan induk tanah terbatas. Namun, Litosol dapat juga terbentuk dari satuan-satuan tanah yang lain yang telah mengalami pengikisan lanjut. Tanah Litosol terdapat di kompleks perbukitan denudasional berupa perbukitan-perbukitan sisa di Kayoa (jalur pipa). Berdasarkan analisa laboratorium, daerah perbukitan ini memiliki tanah yang cenderung masam (pH H2O 5,42) sedangkan pada daerah lembah memiliki pH mencapai 5,96 (agak masam). Dengan demikian tingkat keasaman tanah menjadi faktor pembatas dalam tingkat kesuburan tanah daerah ini, dan dapat disimpulkan bahwa kesuburan tanah jenis Litosol ini adalah rendah dan dikategorikan kedalam skala kualitas lingkungan rendah (skala 2).

Sebagian lembah di daerah Kayoa ini dipergunakan sebagai lahan pertanian sawah yang kerap mengalami genangan. Genangan ini diakibatkan oleh tertutupnya limpasan air dari atas bukit oleh tanggul saluran irigasi. Kondisi tersebu memperparah kondisi tanah sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu. Hal tersebut dapat diamati dari pengamatan langsung di lapangan bahwa padi di daerah ini relatif kurus dan berwarna kuning. Potensi tanah Litosol sangat terbatas dan disarankan untuk penggunaan non pertanian atau bahkan seyogyanya dibiarkan alami apabila tidak tersedia cukup modal. Latosol merupakan tanah yang telah berkembang dibawah pengaruh iklim yang basah dengan membetuk profil tanah yang dalam. Latosol terbentuk pada bahan induk volkanik yang terletak pada kondisi relief yang memungkinkan terbentuknya drainase baik. Pembentukan Latosol di hasilkan oleh air perkolasi yang membawa material halus dari lapisan tanah permukaan ke lapisan tanah bawah permukaan. Oleh karena terbentuk di bawah kondisi drainase dakhil (internal drainage) yang baik maka Latosol dicirikan oleh warna tanah yang seragam kemerahan dari atas hingga bawah dengan struktur tanah

(45)

bawah permukaan tiang berukuran halus-sedang. Latosol mempunyai kemasaman yang agak rendah (5.5 - 6.0) sebagai akibat dari pengaruh iklim yang basah yang telah melarutkan sebagian basa-basa yang ada di dalam bahan induk tanah. Latosol terdapat di kompleks Maleoraja dan Matindok dengan batuan induk berupa batupasir dan konglomerat. Latosol merupakan tanah yang potensial untuk pengembangan pertanian, namun juga menyimpan potensi erosi yang besar sebagai akibat dari posisinya pada lereng-lereng perbukitan dan pegunungan. Dalam hal pengendalian banjir, kapasistas infiltrasi Latosol juga baik yang dapat menjamin tersedianya mata air pada lereng bawah dan kaki sepanjang tahun.

Variasi Latosol pada tingkat macam tanah di daerah Matindok dan Maleoraja adalah Latosol Coklat Kekuningan. Latosol Coklat Kekuningan cenderung berwarna pucat merupakan tanah yang telah terlapuk lanjut yang perkembangan tanahnya akan mengarah untuk terbentuknya jenis tanah Oksisols. Meskipun tanah ini telah mengalami proses pelindian akan tetapi kejenuhan basa masih dapat dipertahankan. Hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa kejenuhan basa tanah lebih dari 35%. Kandungan bahan organik juga relatif cukup tinggi di daerah lereng atas perbukitan (3,49%). Pada daerah lembah antar perbukitan kandungan bahan organik mangalami peningkatan prosentase sebagai akibat dari akumulasi endapan material dari lereng-lereng bukit dan pula daerah ini telah dikembangkan sebagai daerah perkebunan yang cukup subur. Daerah perkebunan lembah ini sangat tercukupi akan kebutuhan airnya. Daerah lembah ini juga berasosiasi dengan dataran banjir Sungai Kayoa. Sehingga ada kemungkinan ada periode ulang banjir yang menggenangi daerah lembah ini. Dengan demikian dapat disimpulkan kompleks perbukitan Maleoraja dan Matindok ini mempunyai kesuburan tanah sedang dan dikategorikan kedalam kualitas tanah skala sedang (skala 3).

Gambar 3.11.

Pembukaan Lahan Dengan Cara Pembakaran Hutan Di Maleoraja

(46)

Meskipun demikian aspek konservasi harus tetap diperhatikan mengingat terjalnya kemiringan lereng yang nantinya akan berdampak pada erosi dan tanah longsor. Di daerah ini terdapat beberapa pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan. Kondisi ini jika dibiarkan terus menerus akan menurunkan kualitas lahan, ditambah lagi dengan tidak diterapkannya sistem konservasi tanah yang mantab akan mendorong terjadinya degradasi lahan.

Satuan tanah lateritik terdapat di kompleks perbukitan Minahaki dan Dongin. Tanah jenis ini terbentuk di daerah dengan curah hujan tinggi ditambah temperatur yang tinggi. Temperatur tinggi bisa diakibatkan oleh proses intrusi kala umur geologi. Temperatur yang tinggi akan mempercepat proses mineralisasi bahan organik yang dapat mengimbangi proses humifikasi, sehingga terbentuk CO2 dan H2O. Zat-zat ini selanjutnya mempercepat dekomposisi batuan-batuan, dan juga seilikat Al dan Fe dengan melarutkan ion basa K, Ca, Na, dan Mg. Tanah ini terbentuk dari batuan induk berupa batu pasir dan konglomerat dari Formasi Bongka dengan umur pembentukan kala Mieosen-Pliestosen. Umur batuan tersebutlah yang menunjukkan bahwa tanah di daerah ini berumur tua dengan tingkat pelapukan yang intensif. Warna tanah sangat homogen 10 R 4/6. Ketebalan tanah lebih dari 1,5 meter. Berdasarkan hasil laboratorium tanah di daerah Dongin dan Minahaki memiliki kejenuhan basa yang sangat rendah (kurang dari 35%). Meskipun mempunyai tekstur lempung-lempung debuan, tanah ini tetap memiliki kelas permeabilitas yang agak cepat-cepat. Kondisi ini disebabkan oleh struktur tanah yang kuat berupa granuler-remah yang terbentuk dari ikatan Fe dan Al. Tanah tipe ini sangat peka terhadap erosi dan tanah

Gambar 3.12. Tanah Latosol di Matindok

(47)

longsor. Dengan demikian tingkat kesuburan daerah ini sangat rendah, dan dikategorikan kedalam skala kualitas lingkungan rendah (skala 2).

Grumusol merupakan tanah lempungan yang mempunyai daya kembang kerut(swelling and shrinking) tinggi sebagai akibat dari adanya tipe lempungsmectite. Lempung tipe ini adalah spesifik terbentuk di bawah iklim tropik. Grumusol berkembang dari sembarang bahan induk yang dapat menghasilkan lempung dalam jumlah yang tinggi (>35%) dan dibawah suasana basa dimana unsur Ca merajai dalam kompleks pertukaran kationnya. Ketersediaan unsur Ca dalam kompleks jerapan ini dapat berasal dari mineral penyusun bahan induk yang didominasi oleh Ca-plagioklas dan atau mendapat imbuhan dari pelarutan Ca atas batuan induk yang ada di sekitarnya. Grumusol merupakan tanah yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian apabila kecukupan air. Pada kondisi kering tanah Grumusol akan mengalami retak-retak dengan lebar lebih dari 1 cm dan kedalaman retakan lebih dari 50 cm. Pada beberapa tempat retakan dapat mencapai 10 cm dan kedalaman lebih dari 1 m. Retakan-retakan ini seringkali menimbulkan akibat yang kurang baik pada bangungan-bangunan keteknikan seperti rumah, jalan, dan bahkan jembatan. Persebaran Grumusol di daerah kajian terdapat di kompleks perbukitan Sukamaju. Batuan induk daerah ini adalah batu napal dan lanau dengan kadar Ca yang tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan reaksi tanah dalam suasana basa. Kandungan bahan organik sangat rendah (0,6%) diakibatkan proses erosi yang intensif (Gambar 3.14). Tingkat kejenuhan basa sangat tinggi mencapai 89,45%.

Gambar 3.13.

Tanah Lateritik dengan Warna 10 R 4/6, di Daerah Minahaki

Gambar

Gambar 3.4. Peta Batimetri Wilayah Studi dan Calon Lokasi Rencana Pelabuhan
Gambar 3.16. Fluktuasi arus lalulintas di Ruas Kintom-Batui arah ke Kintom
Gambar 3.17. Fluktuasi Arus Lalulintas di Ruas Kintom-Batui Arah ke Batui
Gambar 3.18. Fluktuasi arus lalulintas di Ruas Batui-Toili arah ke Batui
+7

Referensi

Dokumen terkait