BAB II
TUNJAUAN TEORITIS
2.1 Pendapatan
2.1.1 Pengertian Pendapatan
Pendapatan adalah peningkatan jumlah aktiva atau penurunan jumlah kewajiban suatu badan usaha yang timbul dari penyerahaan barang dan jasa atau aktifitas usaha yang lainnya dalam suatu periode (IAI, 1991:17).
Pendapatan merupakan kenaikan kotor dalam asset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi, perdagangan, memberikan jasa atau aktivitas lain yang bertujuan meraih keuntungan (Antonio Muhammad Syafii ,2001:204).
Pendapatan adalah pendapatan uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan yaitu berupa pendapatan dari profesi yang dilakukan sendiri atau usaha perorangan dan pendapatan dari kekayaan (Mulyanto Sumardi, 1982:65).
Dari beberapa pendapat tentang definisi pendapatan di atas, yang dimaksud pendapatan adalah pendapatan yang diperoleh atau didapat dari usaha dagang.
2.1.2 Macam-macam pendapatan
Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers, pendapatan dapat digolongkan menjadi:
1. Pendapatan berupa uang, adalah semua penghasilan berupa uang yang sifatnya reguler dan diterima sebagai balas jasa atau kontra prestasi.
2. Pendapatan berupa barang, adalah semua pendapatan yang sifatnya reguler dan diterimakan dalam bentuk barang.
3. Lain-lain penerimaan uang dan barang. Penerimaan ini misalnya penjualan barang-barang yang dipakai, pinjaman uang hasil undian, warisan, penagihan piutang dan lain-lain. (Mulyanto Sumardi,1982:92).
Pendapatan dibedakan menjadi tiga yaitu: 1. Pendapatan pokok
Yaitu pendapatan yang tiap bulan diharapkan diterima, pendapatan ini diperoleh dari pekerjaan utama yang bersifat rutin.
2. Pendapatan sampingan
Yaitu pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan di luar pekerjaan pokok, maka tidak semua orang mempunyai pendapatan sampingan.
3. Pendapatan lain-lain
Yaitu pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain, baik bentuk barang maupun bentuk uang, pendapatan bukan dari usaha (Winardi, 1982:11).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh tiap-tiap individu dari bekerja atau berusaha yang dapat berupa uang, barang dan lain-lain penerimaan.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah sebagai berikut:
1. Kesempatan kerja yang tersedia
Semakin banyak kesempatan kerja yang tersedia berarti semakin banyak penghasilan yang bisa diperoleh dari hasil kerja tersebut.
2. Kecakapan dan keahlian
Dengan bekal kecakapan dan keahlian yang tinggi akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap penghasilan.
3. Motivasi
Motivasi atau dorongan juga mempengaruhi jumlah penghasilan yang diperoleh, semakin besar dorongan seseorang untuk melakukan pekerjaan, semakin besar pula penghasilan yang diperoleh.
4. Keuletan bekerja
Pengertian keuletan dapat disamakan dengan ketekunan, keberanian untuk menghadapi segala macam tantangan. Bila saat menghadapi kegagalan maka kegagalan tersebut dijadikan sebagai bekal untuk meniti ke arah kesuksesan dan keberhasilan.
5. Banyak sedikitnya modal yang digunakan.
Besar kecilnya usaha yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya modal yang dipergunakan. Suatu usaha yang besar akan dapat memberikan peluang yang besar pula terhadap pendapatan yang akan diperoleh (Bintari dan Suprihatin, 1984:35).
Modal atau Capital dalam pengertian ekonomi umum mencakup benda-benda seperti tanah, gedung-gedung, mesin-mesin, alat perkakas, dan barang produktif lainnya untuk suatu kegiatan usaha. Sehubungan dengan kegiatan operasi badan usaha, modal dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Modal Tetap (Fixed Capital)
Modal tetap yaitu semua benda-benda modal yang dipergunakan terus-menerus dalam jangka lama pada kegiatan produksi seperti misalnya tanah, gedung, mesin, alat perkakas, dan sebagainya.
2. Modal Bekerja (Working Capital)
Modal bekerja yaitu modal untuk membiayai operasi perusahaan seperti pembelian bahan dasar dan bahan habis pakai,membiayai upah dan gaji, membiayai persediaan, membiayai pengiriman dan transportasi, biaya penjualan dan reklame, biaya pemeliharan, dan sebagainya ( Sriyadi, 1991:111).
3. Sumber-sumber Pemenuhan Modal Kerja
Modal yang dibutuhkan oleh perusahaan dapat dipenuhi dari dua sumber : a. Sumber intern (internal sources) adalah modal yang dihasilkan oleh
perusahaan sendiri dari aktivitas operasional, terdiri dari : 1. Laba yang ditahan
2. Penjualan aktiva tetap
3. Keuntungan penjualan surat-surat berharga/efek di atasharga normal
b. Sumber Ekstern (external sources) adalah modal yang berasal dari luar aktivitas perusahaan yang merupakan utang atau modal sendiri bagi perusahaan, pihak-pihak luar sebagai sumber pemenuhan modal adalah:
1. Suplier 2. Bank-bank 3. Pasar modal
2.2 Peranan Perbankan dalam Kegiatan Ekonomi Masyarakat
Kegiatan perbankan yang utama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas. Menghimpun dana berarti mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat. Pembelian dana dari masyarakat tersebut dilakukan oleh bank dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam bentuk simpanan. Jenis simpanan yang dipilih masyarakat dapat berupa giro, tabungan, sertifikat dan deposito berjangka.
Bank dapat memberikan rangsangan terhadap masyarakat agar masyarakat tertarik untuk menyimpan uangnya. Rangsangan tersebut berupa balas jasa untuk masyarakat yang sudah mau menananmkan dananya pada bank. Balas jasa yang dilakukan dapat berupa bunga, bagi hasil, hadiah, pelayanan atau balas jasa lainnya. Semakin tinggi balas jasa yang diberikan maka ketertarikan masyarakat untuk menanamkan modal akan semakin tinggi sehingga keuntungan yang didapatkan oleh bank semakin tinggi.
Setelah bank melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, maka kegiatan perbankan yang kedua adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kegiatan penyaluran dana ini dikenal juga dengan istilah alokasi dana. Pengalikasian dana dapat diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan kredit. Pengalokasian dana dapat pula dilakukan dengan memberikan berbagai asset yang dapat menguntungkan bank (Kasmir : 2008). Dengan kata lain alokasi dana adalah menjual kembali dana yang diperoleh dari penghimpunan dana dalam bentuk simpanan. Penjualan dana ini dilakukan dengan tujuan agar perbankan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin. Dalam pengalokasian dananya pihak perbankan harus dapat memilih dari berbagai alternative yang ada.
Oleh karena itu, baik faktor-faktor sumber dana maupun alokasi dana memegang peranan yang sama pentingnya dalam perbankan.
2.2.1 Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari suatu kata dalam bahasa latin yang berbunyi Credere yang berarti kepercayaan. Dalam pengertian seseorang memperoleh kredit, maka berarti ia telah memperoleh kepercayaan. Jadi dapat diartikan, bahwa dalam suatu pemberian kredit, di dalamnya terkandung adanya kepercayaan orang atau badan yang memberikannya kepada orang lain atau badan yang diberinya, dengan ikatan perjanjian harus memenuhi segala kewajiban yang dijanjikan untuk dipenuhi pada waktu yang akan datang (Hadi Widjaja, 1991:4).
Kredit adalah pemberian yang kontra prestasinya akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kredit adalah penyediaan yang ditulis antara lain disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjaman antara pihak bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban utang setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan (Hadi Widjaja, 1991:6).
Pengertian kredit secara yuridis dapat dilihat pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal I Ayat 11 tentang perbankan, bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesapakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat 12 tentang perbankan, Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2.2.2 Unsur-unsur kredit
1. Unsur kepercayaan
Yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benarbenar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu.
2. Unsur Waktu
Yaitu Adanya jangka waktu pengembalian pinjaman, yakni suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang.
3. Unsur Risiko
Yaitu suatu tingkat risiko yang mungkin dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima dikemudian hari.
4. Prestasi
Yaitu obyek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa (Thomas Suyatno, 1991:15).
2.2.3 Tujuan kredit
Tujuan utama pemberian kredit antara lain : 1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut.
2. Membantu usaha nasabah
Yaitu membantu usaha nasabah yang memerlukan dana baik dana untuk investasi maupun untuk modal kerja.
3. Membantu pemerintah
Keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarkan pemberian kredit adalah penerimaan pajak dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan bank.
a. Membuka kesempatan kerja yaitu kredit pembangunan usaha baru atau perluasan usaha.
b. Meningkatkan jumlah barang dan jasa.
c. Menghemat devisa Negara (Thomas Suyatno, 1991:16)
2.2.4 Fungsi Kredit
Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan antara lain:
1. Meningkatkan daya guna uang
a. Para pemilik uang dapat langsung meminjamkan kepada para pengusaha yang memerlukan untuk meningkatkan usaha atau produksinya.
b. Para pemilik uang dapat menyimpan uangnya pada lembaga keuangan, uang tersebut dipinjamkan kepada perusahaan untuk meningkatkan usahanya.
2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Kredit perbankan yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang.
3. Meningkatkan daya guna uang dan peredaran uang
Kredit oleh para pengusaha dapat mengubah bahan baku menjadi barang jadi sehingga daya guna uang meningkat.
4. Alat stabilitas perekonomian
Arus kredit diarahkan pada sektor-sektor produktif, tujuannya untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
5. Meningkatkan kegairahan usaha
Pemberian kredit akan meningkatkan kegairahan berusaha apalagi bagi nasabah yang usahanya pas-pasan.
6. Meningkatkan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik terutama dalam hal pendapatan. (Thomas Suyatno, 1991:17)
2.2.5 Jenis- jenis Kredit
Jenis-jenis kredit dapat dibedakan menurut: 1. Kredit menurut jangka waktu
Kredit menurut jangka waktu adalah kredit yang diberikan kepada peminjam dengan melihat lamanya waktu pengembalian.
Kredit menurut jangka waktu ada tiga macam : a. Kredit jangka pendek
Yaitu kredit yang mempunyai jangka waktu sampai dengan satu tahun. Yang termasuk dalam kredit jangka pendek diantaranya kredit modal kerja untuk perdagangan, untuk industri serta kredit musiman. b. Kredit jangka menengah
Yaitu kredit yang mempunyai jangka waktu satu sampai tiga tahun. Yang termasuk dalam kredit jangka menengah diantaranya kredit investasi dan kredit modal kerja permanen.
c. Kredit jangka panjang
Yaitu kredit yang mempunyai jangka waktu diatas tiga tahun. Yang termasuk kredit jangka panjang diantaranya kredit investasi.
2. Kredit menurut tujuan penggunaannya
Dilihat dari tujuannya penggunaan kredit dibagi tiga yaitu: 1. Kredit modal kerja
Yaitu kredit yang disediakan untuk membantu modal kerja dalam usaha meningkatkan kelangsungan hidup perusahaan.
2. Kredit investasi
Yaitu Pemberian kredit jangka menengah atau jangka panjang dengan tingkat bunga yang relatif rendah, bertujuan untuk menambah modal perusahaan.
3. Kredit perdagangan
Sesuai dengan namanya kredit ini digunakan untuk keperluan perdagangan pada umumnya yang berarti meningkatkan utility of place dari suatu barang.
2.2.6 Jaminan Kredit
Menurut Kasmir : 2008 adapun jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut:
1. Dengan jaminan
a. Jaminan benda berwujud (misalnya: tanah, bangunan, kendaraan bermotor, dll)
b. Jaminan benda tidak berwujud (misalnya: sertifikat saham, sertifikat tanah, sertifikat obligasi, dll)
c. Jaminan orang, yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit tersebut macet maka yang memberikan jaminan itulah yang menanggung resikonya.
2. Tanpa Jaminan
Kredit tanpa jaminan mksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan dengan jaminan barang tertentu. Biasanya diberikan kepada perusahaan yang memang benar-benar bonafid dan professional sehingga kemungkinan kredit macet sangat kecil.
1.1.7 Prosedur dalam pemberian kredit
Secara umum prosedur pemberian kredit menurut Kasmir adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan berkas-berkas 2. Penyelidikan berkas pinjaman 3. Wawancara I
4. On the spot 5. Wawancara II 6. Keputusan kredit
7. Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya 8. Realisasi kredit
2.3 Profil Praktek Rentenir dalam Masyarakat
Oleh karena sulitnya ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pinjaman dari pebankan, maka tidak jarang masyarakat akhirnya meminjam uang dari rentenir. Kegiatan rentenir saat ini masih sangat banyak terjadi di daerah-daerah. Pemahaman tentang rentenir haruslah lebih diperbaiki saat ini sebab pemahaman terdahulu cenderung memahaminya dengan negatif, padahal pada prakteknya sekarang ini praktek kerja rentenir bahkan memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat. Bahkan tidak jarang banyak daerah yang melestarikan kegiatan rentenir tersebut.
Ada perbedaan istilah nama yang diberikan oleh masyarakat pada rentenir antara lain: tengkulak, bank titil, pelepas uang, pengijon, dll. Namun perbedaan nama tersebut tidak membedakan cara kerja peminjaman uang yang mereka lakukan.
2.3.1 Pengertian Rentenir
Secara awam dapat didefenisikan bahwa rentenir adalah orang yang meminjamkan uang kepada nasabahnya dalam rangka memperoleh profit melalui penarikan bunga yang cukup tinggi.
Satu hal yang perlu diperhitungkan adalah bahwa rentenir adalah agen kapitalis yang seluruh aktivitasny untuk mencari profit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rentenir memiliki dua wajah, yaitu rentenir sebagai “lintah darat” karena menarik bunga yang tingi, tetapi sekaligus sebagai “agen perkembangan”
pada sisi yang lain karena menopang dinamika perdagangan dan mencukupi kelangkaan uang tunai masyarakat (Ridwan mohammad : 2006).
Jadi rentenir adalah sosok sumber daya yang sangat diperlukan bagi para pedagang untuk mendukung aktivitasnya baik secara langsung ataupun tidak. Secara langsung kredit dari rentenir itu untuk kegiatan produksi, sedangkan secara tidak langsung kredit itu digunakan untuk konsumsi baik yang wajar hingga yang konsumtif (Heru Nugroho , 2001 : 18).
2.3.2 Sejarah Kegiatan Rentenir
Data Biro Pusat Statistik 2000 menunjukkan data bahwa hanya sebagian kecil usaha kecil dan rumah tangga yang memanfaatkan bank untuk menutupi kekurangan modal usahanya. Hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan antara lembaga keuangan perbankan dengan usaha kecil. Salah satu sebab kesenjangan tersebut adalah lembaga keuangan perbankan merupakan lembaga keuangan yang dikelola secara modern, sedangkan usaha kecil khususnya pedagang kecil sebagian besar dikelola secara tradisional tanpa memiliki pembukuan yang baik.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank atau non bank yang bersifat formal beroperasi di pedesaan, pada umumnya tidak menjangkau golongan ekonomi lemah ke bawah. Ketidakmampuan tersebut terutama dari sisi penanggulangan resiko dan biaya operasi, juga dalam identifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha.
Ketidakmampuan penanggulangan ini menjadi penyebab terjadinya kekosongan pada segmen pasar keuangan di daerah pedesaan. Dampaknya sekitar 70 – 90 % kekosongan ini diisi oleh lembaga keuangan non formal, termasuk yang ikut beroperasi adalah para rentenir dengan pembebanan tingkat suku bunga yang sangat tinggi dan memberatkan dalam pengembaliannya (Muhammad, 2000:65).
2.3.3 Praktek Rentenir
Di Indonesia pemerintah secara langsung maupun tidak langsung sudah sejak lama mencoba mendekatkan sumber daya uang kepada masyarakat pedesaan. Adanya lembaga keuangan formal memperlihatkan adanya keinginan untuk membantu kekurangan dana yang banyak dialami penduduk pedesaan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya (Khudzaifah : 1997).
Akan tetapi mengingat banyaknya masalah yang dihadapi, maka sejak lama pula berbagai program perbankan yang disponsori pemerintah itu belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Sumber kredit tidak resmi, yang pelan-pelan akan dihapuskan pemerintah, karena dianggap menjerat kehidupan masyarakat dalam realitasnya tetap dapat bertahan bahkan terus mangalami perkembangan seiring dengan perkembangan pasar. Sumber kredit informal ini misalnya rentenir yang umumnya meminjamkan dananya dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Situasi kekurangan uang menyebabkan penduduk pedesaan memiliki beban hutang yang sangat berat. Meskipun para rentenir dicemooh dengan berbagai caci maki atas profesinya oleh pihak luar yang terkait dengan
kredit itu, tetapi rentenir tidak dianggap musuh oleh nasabahnya. Banyak orang menganggap bahwa rentenir tersebut sebagai orang yang berjasa bukan hanya dalam membantu kebutuhan dagangnya tetapi juga kebutuhan hidup lainnya (Khudzaifah : 1997).
Dalam praktek rentenir ini kepercayaan sangat menentukan terjadinya suatu transaksi. Jaminan dan prosedur peminjaman tidaklah dipentingkan. Oleh karena itu masyarakat yang berpendapatan rendah lebih menyukai bertransaksi dengan rentenir.
2.3.3.1 Praktek Rentenir
Pada umumnya praktek memberikan pinjaman ini bukan merupakan pekerjaan pokok mereka. Munculnya praktek ini disebabkan karena lembaga keuangan formal belum mampu menjangkau kebutuhan masyarakat bawah atau para nasabahnya secara efektif. Di samping itu rentenir memiliki karakteristik khusus yang pada umunya tidak dimiliki oleh lembaga kredit formal. Menurut Ng. Beoy Kui karakteristik tersebut antara lain :
1. Dana modal diperoleh kapan saja dan dimana saja
2. Prosedur yang sederhana dan tidak diperlukan pengisisan formulir permohonan
3. Terdapa kaitan yang erat antara kebutuhan nasabah dalam pemenuhan kebutuhan input, kredit dan pemasaran hasil
5. Biaya transaksi yang ditanggung peminjam relatif rendah
6. Pencairan dana dengan cepat sesuai dengan kebutuhan mendadak
7. Penggunaan dana leluasa, tidak terbatas untuk kegiatan ekonomi (produksi)
8. Merupakan sumber penghasilan dan infestasi yang menguntungkan bagi pemilik uang yang enggan menitipkan uangnya di lembaga formal
2.3.3.2 Citra Universal Rentenir
Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa pekerjaan rentenir ibarat menikmati kesusahan orang lain, lintah darat, tidak punya perasaan, kejam, pemeras dan citra buruk lainnya. Akan tetapi, walaupun citra buruk dibangun oleh berbagai kebudayaan, profesi ini tidak surut bahkan ada kecenderungan semakin berkembang sejalan dengan berkembangnya perdagangan. Buktinya pemerintah sampai saat ini sangat kewalahan mengatasi rentenir yang sudah berkembang.
2.3.4 Mekanisme Transaksi Kredit
Perbankan memiliki hubungan yang formal dengan para nasabahnya. Apabila seseorang akan mengajukan kredit kepada perbankan, maka mereka harus datang ke kantor perbankan dengan hari dan jam yang telah ditentukan. Dalam hal ini tidak menjadi persoalan sejauh pengambilan kredit oleh para nasabahnya memang akan digunakan untuk tujuan produktif sebagaiman diinginkan oleh pemerintah. Akan tetapi bagi warga yang akan membutuhkan dana untuk keperluan konsumtif, hal ini yang biasanya menimbulkan masalah. Pemenuhan kebutuhan hidup adalah sesuatu yang pribadi, karena hal itu menyangkut
kehormatan dan harga diri keluarga. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akhirnya masyarakat yang tidak memiliki usaha pokok enggan berhubungan dengan perbankan yang disponsori oleh pemerintah.
Rentenir banyak berhubungan dengan masyarakat yang secara sosial tidak memiliki usaha pokok. Meskipun rentenir memiliki kantor yang tetap, akan tetapi lembaga ini tidak menggunakan kantornya untuk menerima masyarakat yang berhutang. Kantor yang ada hanya sebagai pos para pegawainya untuk melayani nasabah-nasabah dari rumah ke rumah. Mereka akan langsung datang dari rumah ke rumah dengan berbagai pendekatan kepada masyarakat. Hubungan antara rentenir dengan nasabah dengan demikian akan menjadi intim. Rentenir yang beroperasi sering pula memperhatikan lingkungan sosialnya, menunjukkan sikap kedermawanannya, dan mengikuti kegiatan sosial lainnya.
Ikatan batin antara rentenir dan para nasabah di atas membuat urusan perkreditan, khususnya persoalan pengembalian kredit menjadi sederhana dalam arti bahwa proses mekanisme transaksi pengembalian kredit menjadi lancar. Meskipun bunga yang dibebankan kepada nasabah relatif cukup tinggi, akan tetapi para nasabah membayar kembali kredit itu sebagai kewajiban sosial mereka. Dari sinilah letak mengapa tunggakan kredit pada rentenir menjadi sangat kecil.
Rentenir datang membawa uang yang dibutuhkan oleh nasabah ke rumah nasabah masing-masing. Merekapun menagih angsuran ke rumah-rumah para nasabah. Kunjungan untuk menagih ke rumah telah disetujui bersama antara nasabah dengan rentenir. Sementara itu, rentenir akan mengurungkan
penagihannya bahkan akan menawarkan pinjaman baru manakala ia melihat nasabah menghadapi kekurangan uang. Dengan demikian, nasabah yang sebagian besar pedagang kecil merasa selalu dipercaya oleh rentenir. Karena merasa dipercaya, merekapun selalu akan berusahan memenuhi kewajibannya dengan mengangsur setiap hari. Bunga yang tinggi atau yang rendah, bukan menentukan kemauan masyarakat menjalin hubungan dengan rentenir. Faktor yang paling menentukan dalam hubungan ini adalah kejujuran dari rentenir, di samping kemudahan dalam memperoleh pelayanan itu.
Walaupun telah banyak usaha yang telah dilakukan perbankan untuk pengembangan usaha kecil, akan tetapi mereka belum mampu melayani sebagian besar golongan miskin di pedesaan. Bahkan kehadiran rentenir semakin hari semakin dibutuhkan oleh masyarakat.
2.4 Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Ada dua defenisi usaha kecil yang di kenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No.9 tahun 1995 tentang usaka kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp. 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp. 200 juta. Kedua, menurut Biro Pusat Statiskit (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu:
1. Industri rumah tangga dengan pekerja 1- 4 orang
3. Industri menengah dengan pekerja 20 – 99 orang
4. Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih
Kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk dapat maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi ketahanan dan keamanan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Ini artinya bahwa UKM harus dapat tumbuh dengan baik, sehingga masalah mengenai pengangguran, rendahnya minat investasi dan ekonomi biaya tinggi dapat berkurang secara nyata.
2.4.1 Analisis Usaha Kecil Menengah
Masalah ekonomi biaya tinggi hanya dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, apabila keberadaan pemerintahan yang bersih dan jujur dan bertanggung
jawab (good governance) diupayakan secara sunguh-sungguh dan
berkesinambungan. Apabila ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka akan berdampak secara langsung terhadap penurunan terhadap ekonomi biaya tinggi, baik yang terjadi di pemerintahan maupun yang dilakukan oleh para pengusaha, termasuk pengusaha dengan skala kecil dan menengah. Paling tidak biaya untuk perijinan, restribusi dan pajak serta sejenisnya dapat mengurangi beban para pengusaha kecil dan menengah. Kemudian masalah masih tingginya pengangguran, dapat dikurangi secara nyata apabila kemudahan bagi pengembangan UKM nyata-nyata terlaksana dengan baik. Semakin banyak
jumlah UKM serta semakin berkualitas dan berkembang UKM, maka akan berpeluang untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan bahwa jumlah UKM tercatat 42,3 juta atau 99,90 % dari total jumlah unit usaha.UKM menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja.Kontribusi UKM dalam pembentukan PDB sebesar 56,70 %. Kemudian sumbangan UKM terhadap penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor sebesar Rp 75,80 triliun atau 19,90 % dari total nilai ekspor. Dengan berbagai spefikasinya, terutama modalnya yang kecil sampai tidak terlalu besar, dapat merubah produk dalam waktu yang tidak terlalu lama dan manajemennya yang relatif sederhana serta jumlahnya yang banyak dan tersebar di wilayah nusantara, menyebabkan UKM memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap berbagai gejolak ekonomi.
Berbagai permasalahan mikro yang terdapat pada kebanyakan UKM, dapat menghambat UKM untuk dapat berkembang dengan baik, terutama dalam mengoptimalkan peluang yang ada. Kondisi tersebut memberikan isyarat bahwa UKM sepantasnya diberikan bantuan sesuai dengan kebutuhannya. Sehubungan dengan permasalahan secara umum yang dialami oleh UKM, Badan Pusat Statistik (2003) mengidentifikasikan sebagai berikut:
1. Kurang permodalan
2. Kesulitan dalam pemasaran 3. Persaingan usaha ketat 4. Kesulitan bahan baku
6. Keterampilan manajerial kurang
7. Kurang pengetahuan manajemen keuangan
8. Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
2.4.2 Strategi Pengembangan UKM
Menurut Suhendar Sulaeman strategi yang diterapkan dalam upaya mengembangkan UKM di masa depan terlebih dalam menghadapi pasar bebas di tingkat regional dan global, sebaiknya memperhatikan kekuatan dan tantangan yang ada, serta mengacu pada beberapa hal sebagai berikut:
1. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan
2. Mempermudah perijinan, pajak dan restribusi lainnya
3. Mempermudah akses pada bahan baku, teknologi dan informasi
4. Menyediakan bantuan teknis (pelatihan, penelitian) dan pendampingan dan manajemen (SDM, keuangan dan pemasaran) melalui BDSP (Busines Development Services)
5. Secara rutin BDSP (Busines Development Services) melakukan pertemuan, lokakarya model pelayanan bisnis yang baik dan tepat
6. Mendorong BDSP (Busines Development Services) untuk masing-masing memiliki keahlian khusus (spesialis), seperti: di bidang pengembangan SDM, keuangan, pemasaran. Ini terutama diperlukan bagi upaya pelayanan kepada usaha menengah yang pasarnya regional dan global
7. Menciptakan sistem penjaminan kredit yang terutama disponsori oleh pemerintah pusat dan daerah