• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator volume, kerapatan tegakan (tegakan/Ha) dan luas bidang dasar (lbds). Penurunan kerapatan tegakan, lbds dan volume merupakan indikator terjadinya degradasi hutan. Analisis regresi antara kerapatan tegakan, lbds dan volume dengan peubah CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi dan LAI digunakan untuk mengidentifikasi apakah perubahan kerapatan tegakan, lbds dan volume dapat diduga dengan menggunakan indikator tajuk (CSI,CDI, VCR), kerapatan kanopi dan LAI. Pendekatan degradasi hutan di lapangan menggunakan perhitungan banyaknya tegakan pohon hidup yang masih tersisa atau banyaknya tegakan pohon yang telah mati (tunggak).

Hasil analisis regresi antara peubah kerapatan tegakan pohon yang mati di lapangan dan luas bidang dasarnya (lbds) dengan peubah tajuk tegakan yang hidup disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasinya relatif rendah pada semua peubah. Volume pada analisis ini tidak digunakan karena tidak dapat diukur pada tunggak.

Tabel 12 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon mati dan lbds dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi.

Koefisien determinasi, R2 (%) No Peubah Kerapatan tegakan pada kelas

diameter

Lbds pada kelas diameter > 5cm > 10cm > 20cm > 5cm > 10cm > 20cm 1 LAI 21 6 5 10 7 6 2 CSI 40 16 4 5 2 0 3 CDI 29 16 7 0 0 0 4 VCR 41 17 6 2 0 0 5 Kerapatan Kanopi 38 20 10 3 1 1

Koefisien determinasi rendah ini menunjukkan bahwa peubah indikator kanopi dari tegakan pohon hidup (LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi

(2)

tegakan pohon yang mati (tunggak). Hal ini disebabkan kurun waktu yang terlalu lama dari mulai tegakan ditebang dengan pengambilan data di lapangan sehingga pada kurun waktu yang lama tersebut telah terjadi pemulihan dari tajuk tegakan.

Pada penelitian dilakukan analisis regresi antara peubah tajuk dengan kerapatan tegakan yang hidup, lbds dan volumenya untuk mengidentifikasi perubahan kerapatan tegakan, lbds dan volume. Berdasarkan analisis regresi antara peubah kerapatan tegakan pohon hidup di lapangan, lbds dan volume dengan peubah lainnya maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13. Identifikasi indikator degradasi hutan di lapangan dapat menggunakan peubah yang koefisien determinasinya lebih besar dari 60%.

Tabel 13 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon hidup, lbds, volume dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi.

Koefisien determinasi, R2 (%) No Peubah Kerapatan tegakan pada kelas diameter Lbds pada kelas Diameter

Volume pada kelas diameter >5cm >10cm >20cm >5cm >10cm >20cm >5cm >10cm >20cm 1 LAI 51 38 37 45 41 36 33 31 29 2 CSI 58 58 79 55 53 45 40 38 36 3 CDI 58 57 66 43 39 31 29 26 22 4 VCR 63 62 80 54 51 42 38 36 33 5 Kerapatan Kanopi 67 49 59 52 46 57 38 35 32

Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon hidup dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi mempunyai koefisien determinasi >60% pada beberapa peubah. Pada kerapatan tegakan diameter > 5 cm, peubah VCR dan kerapatan kanopi yang mempunyai koefisien determinasi lebih besar dari 60%. Pada tegakan diameter > 10cm, koefisien determinasi terbaik adalah pada perubah VCR yaitu 62%. Pada tegakan diameter > 20 cm, mempunyai koefisien diterminasi yang lebih tinggi dari tegakan > 5 cm dan tegakan > 10 cm. Koefisien tertinggi adalah pada peubah indikator tajuk VCR yaitu 80%.

Berdasarkan analisisi regresi tersebut maka identifikasi kerapatan tegakan hutan terbaik menggunakan indikator tajuk dan kerapatan kanopi adalah pada

(3)

mempengaruhi kerapatan kanopi dengan T hitung yaitu 2,4 lebih tinggi dari T tabel 1,96. Pada peubah VCR juga mempunyai T hitung lebih tinggi yaitu 2,24.

Hasil analisis regresi antara lbds tegakan pohon hidup dan volume dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi mempunyai koefisien determinasi rendah < 60%. Berdasarkan nilai koefisien determinasi yang rendah maka identifikasi degradasi hutan menggunakan lbds dan volume tidak dapat diduga dengan menggunakan indikator tajuk, LAI dan kerapatan kanopi.

Hasil analisis regresi digunakan untuk pembuatan kelas masing masing peubah untuk diuji akurasinya dengan klasifikasi citra. Pembuatan kelas menggunakan persamaan regresi linier dan non linier yang terbaik (Tabel 14 dan Gambar 28). Klasifikasi yang digunakan adalah semua indikator lapangan untuk digunakan dalam uji akurasi klasifikasi citra. Langkah ini diambil untuk dapat menguji akurasi pada semua indikator walaupun berdasarkan regresi linier hanya indikator kerapatan kanopi dan VCR yang mempunyai koefisien determinasi yang tinggi.

Tabel 14 Model persamaan regresi untuk klasifikasi indikator lapangan

Model Pendugaan Persamaan R2 (%)

1 Volume y = 0.1978x2 - 3.6854x + 50.199 53 2 Kerapatan tegakan y = 1.8187x1.5458 91 3 Lbds y = 0.0084x2 - 0.0533x + 2.7384 56 4 LAI y = 0.0004x2 + 0.0181x + 0.3527 56 5 CSI y = 18.966x1,4036 99 6 CDI y = 14.35x1,3695 99 7 VCR y = 16.75x1,3887 99

(4)

Kerapatan kanopi (%) (a) (b) (c) (d) (e) (f) Kerapatan kanopi (%)

Kerapatan kanopi (%) Kerapatan kanopi (%)

Kerapatan kanopi (%) Kerapatan kanopi (%)

Kerapatan kanopi (%)

(g)

Gambar 28 Grafik hubungan kerapatan kanopi dengan a) volume, b) kerapatan tegakan, c) lbds, d) LAI, e) CSI, f) CDI, g) VCR.

(5)

tinggi pada diameter > 20 cm.

Tabel 15 Kriteria klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan kerapatan kanopi, kerapatan tegakan, lbds, volume, LAI, indikator tajuk.

No Klasi fikasi Kera patan Kanopi (%) Lbds m2/Ha Kerapatan Tegakan > (N/Ha) Vol ume m3/Ha LAI

Indikator Tajuk /Ha

CSI CDI VCR 1 NH 0-10 0 -3 0-64 0-30 0-0,6 0-480 0-336 0-410 2 H1 11-30 3- 9 64- 351 31-118 0,7-1,3 481 -2245 337- 1513 411-1885 3 H2 31-50 10- 20 352-774 119-360 1,4-2,3 2246-4599 1514-3045 1886-3832 4 H3 51-70 21- 40 774-1304 361-495 2,3-3,6 4599-7375 3046-4827 3833-6114 5 H4 >71 >41 >1305 >496 > 3.7 >7375 >4828 >6115

Keterangan: H4 hutan kerapatan sangat tinggi, H3 hutan kerapatan tinggi, H2 hutan kerapatan sedang, H1 hutan kerapatan rendah, NH = non hutan.

4.1.2 Identifikasi Tingkat Degradasi di Lapangan

Berdasarkan hasil analisis regresi pada sub bab sebelumnya maka identifikasi degradasi di lapangan hanya dapat menggunakan indikator kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan dari pohon-pohon yang berdiameter > 5 cm. Peubah yang dapat digunakan untuk menduga kerapatan tegakan diameter > 5 cm adalah kerapatan kanopi dan VCR. Berdasarkan model penduga maka klasifikasi tingkat degradasi hutan diperoleh seperti terlihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Tingkat degradasi hutan di lapangan

No Tingkat Degradasi Pengurangan Tegakan (N/Ha) > 5cm Kerapatan Kanopi (%) Indikator Tajuk/Ha VCR 1 Ringan 2-201 1-20 265-1929 2 Sedang 202-568 21-40 1930-3594 3 Berat 569-1053 41-60 3595-5258 4 Deforestasi >1054 > 61 >5259

(6)

pengurangan jumlah tegakan 2/Ha sampai dengan 201 batang/Ha atau kerapatan kanopi 1 sampai dengan 20%. Gambar 29 menunjukkan kenampakan kelas degradasi hutan ringan di lapangan.

Gambar 29 Visualisasi kelas degradasi hutan ringan (tunggak 2 sampai dengan 201 batang/Ha) di lapangan

Kelas degradasi ringan dapat pula diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR yaitu antara 265 sampai dengan 1929/Ha. Nilai VCR merupakan gabungan antara indikator CSI dan CDI. CSI merupakan gabungan indikator diameter tajuk, tebal tajuk dan kerapatan tajuk. CDI merupakan gabungan indikator persentase kerusakan tajuk dan persentase cahaya matahari masuk ke celah tajuk.

(7)

hutan sedang di lapangan. Kelas degradasi sedang dapat diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR antara 1930/Ha sampai dengan 3594/Ha.

Gambar 30 Visualisasi kelas degradasi hutan sedang (tunggak 202 sampai dengan 568 batang/Ha) di lapangan

Degradasi berat dapat diidentifikasi dengan menggunakan nilai penurunan jumlah tegakan antara 569/Ha sampai dengan 1053/Ha atau kerapatan tajuk antara 41 sampai dengan 60%. Gambar 31 menunjukkan kelas degradasi hutan berat di lapangan. Kelas degradasi berat mempunyai pengurangan nilai VCR antara 3595/Ha sampai dengan 5258/Ha. Sedangkan kelas degradasi sangat berat mengalami penurunan jumlah tegakan lebih besar dari 1054/Ha atau kerapatan tajuk lebih besar dari 60%. Kelas degradasi sangat berat dapat diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR lebih besar dari 5259/Ha.

(8)

Gambar 31 Visualisasi kelas degradasi hutan berat (tunggak 569 sampai dengan 1053 batang/Ha) di lapangan

4.2 Hasil Klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief

Proses pengolahan data akhir klasifikasi menghasilkan peta kelas kerapatan hutan yaitu non hutan, kerapatan rendah, kerapatan sedang, kerapatan tinggi dan sangat tinggi. Proses pemotongan citra dilakukan untuk menghasilkan peta tahun 2003, 2007 dan 2008 daerah penelitian. Gambar 32 sampai dengan dengan 34 adalah peta kerapatan hutan tahun 2003 sampai dengan 2008 berdasarkan klasifikasi FCD. Gambar 35 sampai dengan 37 adalah hasil klasifikasi maximum likelihood. Gambar 38 sampai dengan 40 merupakan hasil klasifikasi fuzzy dan Gambar 41 sampai dengan 43 adalah hasil klasifikasi belief.

(9)

Gambar 32 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

(10)

Gambar 33 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

(11)

Gambar 34 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

(12)

ambar 12. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2003

Gambar 13. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2007

Gambar 35 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

(13)

Gambar 14. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2008

Gambar 36 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

(14)

Gambar 37 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

(15)

Gambar 16. Peta Klasifikasi Fuzzy tahun 2007

Gambar 38 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

(16)

Gambar 17. Peta Klasifikasi Fuzzy tahun 2008

Gambar 39 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

(17)

Gambar 40 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

(18)

Gambar 17. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2003

Gambar 18. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2007

Gambar 41 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

(19)

Gambar 42 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

(20)

Gambar 20. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2008

Gambar 43 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

(21)

dan analisis Kappa dengan berbagai indikator lapangan maka dapat dilihat pada Tabel 17.

Pada klasifikasi FCD dapat dilihat bahwa untuk klasifikasi kerapatan hutan dapat menggunakan kerapatan kanopi dan kerapatan tegakan diameter > 5cm. Akurasi kerapatan kanopi adalah lebih besar dari 85%. Pengunaan indikator kerapatan tegakan diameter > 5cm mempunyai akurasi sedang yaitu 61%. Penggunaan indikator LAI, CSI, CDI, VCR, lbds dan volume tidak dapat digunakan karena mempunyai akurasi yang rendah.

Tabel 17 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief

Demspter Shafer menggunakan 4 kelas kerapatan hutan

No Indikator Lapangan Hasil Uji Akurasi (%) FCD Maximum

Likelihood Fuzzy Belief Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa 1 Kerapatan Kanopi 86 79 71 60 67 51 65 49 2 LAI 53 37 49 32 47 27 51 35 3 CSI 59 43 60 45 54 36 45 25 4 CDI 60 45 59 40 59 40 56 40 5 VCR 59 42 60 42 59 39 52 32 6 Kerapatan Tegakan > 5cm 61 46 57 40 49 31 45 27 7 Lbds > 5cm 58 46 50 37 45 29 47 32 8 Volume 39 30 35 25 35 27 31 21

Pada klasifikasi maximum likelihood maka klasifikasi kerapatan hutan hanya dapat menggunakan indikator kerapatan kanopi dengan akurasi sedang yaitu 71%. Penggunaan indikator LAI, CSI, CDI, VCR dan Lbds tidak dapat digunakan karena mempunyai akurasi yang rendah. Penggunaan klasifikasi fuzzy mempunyai akurasi sedang pada indikator kerapatan kanopi yaitu 67%, sedangkan pada indikator lainnya adalah rendah. Berdasarkan akurasinya maka klasifikasi kerapatan hutan menggunakan klasifikasi fuzzy dan maximum likelihood relatif kurang baik.

(22)

hutan. Akurasi klasifikasi ini menunjukkan bahwa akurasinya dibawah 60% untuk semua indikator lapangan kecuali indikator kerapatan kanopi. Akurasi tertinggi hanya didapatkan pada indikator kerapatan kanopi 65%. Penggunaan kerapatan hutan lainnya diantaranya LAI, CSI, CDI, VCR dan Lbds mempunyai akurasi yang rendah.

Pada indikator lapangan menggunakan indikator tajuk (crown indikator) yaitu CSI, CDI dan VCR, klasifikasi FCD mempunyai akurasi yang rendah.

Crown indicator merupakan indikator tegakan yang tidak hanya mencerminkan

dimensi horizontal tajuk tetapi juga vertikal dan kualitas tajuk. Berdasarkan indikator ini maka FCD tidak dapat digunakan untuk mendeteksi kualitas tajuk. Sedangkan untuk dimensi horizontal tajuk yaitu menggunakan kerapatan kanopi mempunyai akurasi yang tinggi yaitu 86%. Hal ini berarti bahwa apabila kerapatan tajuk digunakan sebagai indikator degradasi hutan sehingga klasifikasi FCD dapat diterapkan dengan baik.

Indikator lain yang sering digunakan dalam klasifikasi kerapatan hutan adalah dengan LAI. Indek luas daun (LAI) merupakan total luas daun yang pada tegakan. LAI biasanya digunakan dalam pendugaan biomasa dan untuk identifikasi degradasi hutan. Klasifikasi FCD mempunyai akurasi yang rendah (53%) untuk klasifikasi LAI sehingga tidak dapat diterapkan untuk mendeteksi LAI.

Indikator kerapatan hutan dapat pula didekati dengan luas bidang dasar. Klasifikasi FCD untuk mendeteksi luas bidang dasar ini menunjukkan akurasi yang rendah yaitu 58%. Hal ini dapat dikatakan bahwa FCD tidak dapat digunakan untuk mendeteksi degradasi hutan dengan menggunakan klasifikasi kerapatan berdasarkan luas bidang dasar.

Tingkat akurasi pada masing-masing kelas kerapatan hutan dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan Tabel 18 maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan kelas kerapatan hutan pada klasifikasi FCD berpengaruh terhadap tingkat akurasinya. Hal ini dapat dilihat pada user accuracy pada kelas hutan kerapatan rendah (H1), kerapatan sedang (H2) dan kerapatan sangat tinggi (H4) mempunyai

(23)

hutan

FCD Maximum Likelihood Fuzzy Belief User’s Accuracy Produser Accuracy User’s Accuracy Produser Accuracy User’s Accuracy Produser Accuracy User’s Accuracy Produser Accuracy 1 NH 100 86 100 85 85 85 85 85 2 H1 83 71 86 86 40 40 54 75 3 H2 62 83 62 71 28 28 0 0 4 H3 92 92 88 84 80 91 83 77 5 H4 80 80 75 30 100 25 100 20

Keterangan: NH = Non Hutan, H1 = Kerapatan Rendah, H2 = Kerapatan Sedang, H3= Kerapatan Tinggi, H4 = Kerapatan Sangat Tinggi

Akurasi klasifikasi menggunakan user’s acuracy yang mempunyai akurasi rendah hanya pada kelas kerapatan hutan sedang yaitu 62%. Hal ini berarti bahwa klasifikasi menggunakan FCD kurang baik digunakan pada kelas kerapatan sedang atau rendah. Oleh sebab itu maka klasifikasi FCD pada kelas kerapatan hutan tinggi dapat digunakan secara baik. Akan tetapi apabila menggunakan dua indikator akurasi yaitu producer’s acuracy dan user’s acuracy maka hanya pada klas kerapatan tinggi yang mempunyai akurasi lebih besar dari 85%. Hal ini dapat diartikan bahwa algoritma yang dibangun oleh FCD kurang dapat meminimalkan efek latar belakang tanah dalam mempengaruhi nilai spektral pada kelas kerapatan hutan sedang dan rendah. Akan tetapi pada kelas kerapatan tinggi algortima yang dibangun oleh metode FCD terbukti dapat mengurangi efek latar belakang tanah.

Berdasarkan Tabel 18 maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan

producer’s accuracy dan user’s accuracy maka hanya pada kelas hutan kerapatan

rendah yang dapat diklasifikasi dengan baik oleh klasifikasi maximum likelihood. Pada kerapatan hutan, sedang dan sangat tinggi mempunyai tingkat akurasinya yang rendah.

Hal ini disebabkan pada kelas kerapatan hutan sedang terdapat kesalahan yang tinggi akibat dari heterogenitas dari tutupan hutan yang bercampur antara tanah dan vegetasi hutan. Pada hutan yang mempunyai kerapatan tinggi mempunyai akurasi yang rendah dikarenakan pengaruh tutupan kanopi hutan yang

(24)

tinggi dimungkinkan tegakan dibawah 20 cm tidak dapat direkam oleh sensor satelit. Pada kerapatan hutan sedang terdapat beberapa kelas yang masuk pada kelas pertanian lahan kering sehingga berakibat tingkat akurasinya menjadi rendah

Pada klasifikasi fuzzy hanya dapat digunakan pada kerapatan hutan yang sangat tinggi karena mempunyai user’s accuracy lebih besar dari 85%. Sedangkan pada kelas hutan yang kerapatannya lebih rendah maka akurasinya lebih rendah dari 85%. Hal ini disebabkan karena pada saat penentuan piksel

training area merupakan training area yang bercampur sehingga pada hasil

klasifikasinya terdapat beberapa kelas yang masuk ke kelas lainnya. Penentuan fungsi keanggotaan juga menentukan kualitas dari hasil klasifikasi ini.

Pada klasifikasi belief, kerapatan hutan yang sangat rendah dan rendah mempunyai tingkat akurasi yang rendah. Pada kerapatan hutan sedang dan tinggi mempunyai akurasi yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada user’s

accuracy yang kelas H1, H2 dan H3 yang mempunyai akurasi dibawah 85%.

4.4 Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 3 Kelas Degradasi Hutan

Uji akurasi tingkat degradasi hutan menggunakan analisis temporal. Peta klasifikasi dari tahun 2003-2008 dianalisis menggunakan post classification

analysis untuk menghasilkan peta degradasi hutan tentative. Kelas perubahan

degradasi hutan dapat diklasifikasikan menjadi 3 seperti terlihat pada Tabel 19. Kelas deforestasi adalah pengurangan kerapatan dari hutan kerapatan sangat tinggi ke tutupan bukan hutan. Kelas degradasi berat adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan sangat tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi sedang adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan sangat tinggi ke kerapatan sedang dan hutan kerapatan tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi ringan adalah pengurangan kerapatan hutan sangat tinggi ke kerapatan hutan tinggi, kerapatan tinggi ke kerapatan sedang dan kerapatan sedang ke kerapatan rendah.

(25)

1 Ringan Turun 1 Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Tinggi - Hutan Kerapatan Tinggi Ke

Kerapatan Sedang

- Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah

2-201

2 Sedang Turun 2 Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Sedang - Hutan Kerapatan Tinggi Ke

Hutan Kerapatan Rendah

202-568

3 Berat Turun 3 Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah 569-1053 4 Sangat Berat/ Deforestasi Turun 4 Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Non Hutan

>1054

Berdasarkan uji akurasi klasifikasi citra sebelumnya maka akurasi metode klasifikasi yang lebih besar dari 60% adalah klasifikasi FCD dengan indikator kerapatan tegakan. Uji akurasi tingkat degradasi hutan akan dilakukan dengan metode tersebut. Berdasarkan uji akurasi antara klasifikasi FCD dengan penurunan kerapatan tegakan diameter > 5cm maka dihasilkan akurasi 68% (Tabel 20). Uji akurasi deteksi degradasi hutan secara temporal menggunakan peubah kerapatan kanopi dan VCR tidak dapat dilakukan di lapangan karena tidak dapat diidentifikasi langsung.

Tabel 20. Hasil uji akurasi 3 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD.

No Kelas degradasi Accuracy Klasifikasi (%) User’s Producer’s 1 Ringan 66 73 2 Sedang 50 33 3 Berat 100 40 Overall Accuracy 68 % Akurasi Kappa 54%

(26)

Hasil klasifikasi uji akurasi pada sub bab sebelumya dengan menggunakan 4 kelas degradasi hutan menghasilkan akurasi yang rendah pada peubah lbds dan volume. Padahal peubah tersebut merupakan peubah yang berperan dalam identifikasi degradasi dalam MRV REDD, sehingga dilakukan reklasifikasi dari 4 kelas menjadi 3 kelas. Pemilihan 2 kelas untuk direklasifikasi menggunakan kriteria separabilitas yang terkecil. Nilai separabilitas yang rendah pada training

area menunjukkan keterpisahan yang tidak baik sehingga perlu direklasifikasi.

Nilai separabilitas yang rendah adalah antara kelas H4 dan H3, sehingga kelas ini digabung menjadi satu kelas yaitu hutan kerapatan tinggi (H3).

Hasil klasifikasi FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief tahun 2008 setelah direklasifikasi menjadi 3 kelas diuji dengan 3 kelas kerapatan hutan di lapangan. Kriteria masing-masing indikator kelas kerapatan hutan hasil reklasifikasi dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Kriteria klasifikasi volume, kerapatan tegakan, lbds, kerapatan kanopi, LAI, indikator tajuk. Menggunakan 3 kelas kerapatan hutan

No Klasi fikasi Kerapatan Kanopi (%) Lbds m2/Ha Kerapatan Tegakan > (N/Ha) Vol ume m3/Ha LAI

Indikator Tajuk /Ha

CSI CDI VCR 1 NH 0-10 0 -3 0-64 0-30 0-0,6 0-480 0-336 0-410 2 H1 11-30 3- 9 64- 351 31-118 0,7-1,3 481 -2245 337- 1513 411-1885 3 H2 31-50 10- 21 352-774 119-360 1,4-2,3 2246-4599 1514-3045 1886-3832 4 H3 > 51 > 40 >775 > 361 > 2,4 > 4599 > 3046 >3833 Keterangan: H3 hutan kerapatan tinggi, H2 hutan kerapatan sedang, H1 hutan kerapatan rendah, NH = nn hutan.

Hasil uji akurasi dengan 3 kelas kerapatan hutan dapat dilihat pada Tabel 22. Hasil klasifikasi pada indikator lbds dan volume menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum direklasifikasi. Akurasi klasifikasi FCD untuk lbds meningkat menjadi 71 persen, reklasifikasi sebelumnya hanya 58%, sedangkan pada volume akurasiya meningkat menjadi 71% dari sebelumnya 39%. Klasifikasi

maximum likelihood menggunakan lbds meningkat dari 35% menjadi 69%,

sedangkan pada volume meningkat dari 50% menjadi 67%. Klasifikasi fuzzy pada lbds meningkat dari 45% menjadi 69%, sedangkan pada volume meningkat

(27)

FCD Maximum

Likelihood Fuzzy Belief Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa 1 Kerapatan Kanopi 86 77 84 74 73 54 63 43 2 LAI 60 37 60 39 57 33 59 40 3 CSI 76 58 71 52 63 40 53 29 4 CDI 78 63 76 60 69 47 67 48 5 VCR 74 56 71 51 63 38 57 34 6 Kerapatan Tegakan > 5cm 72 50 67 45 63 40 55 32 7 Lbds > 5cm 71 55 67 50 69 53 57 37 8 Volume 71 56 69 52 65 47 51 29

4.6 Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 2 Kelas Degradasi hutan

Uji akurasi tingkat degradasi menggunakan 2 kelas degradasi hutan menggunakan analisis temporal. Peta klasifikasi dari tahun 2003-2008 dianalisis menggunanan post classification analysis untuk menghasilkan peta degradasi hutan . Kelas perubahan degradasi hutan dapat diklasifikasikan menjadi 2 seperti terlihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Klasifikasi degradasi hutan menggunakan 2 kelas degradasi hutan

No Kelas Kriteria Penurunan Degradasi Kelas Kerapatan tegakan diameter > 5cm (N/Ha) 1 Ringan Turun 1 Tingkat

- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Kerapatan Sedang

- Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah

2-568

2 Berat Turun 2 Tingkat

- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah

569-1053 3 Deforestasi Turun 3

Tingkat

- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Non Hutan

-

(28)

ke non hutan. Kelas degradasi berat adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi ringan adalah pengurangan kerapatan hutan tinggi ke kerapatan hutan sedang dan kerapatan sedang ke kerapatan rendah.

Hasil uji akurasi degradasi hutan menggunakan 2 kelas dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil uji akurasi menggunakan 2 kelas menunjukkan overall accuracy yang meningkat dari 68% menjadi 74%, sehingga metode reklasifikasi ini mampu meningkatkan akurasi.

Tabel 24 Hasil uji akurasi 2 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD.

No Kelas degradasi Accuracy Klasifikasi (%) User’s Producers 1 Ringan 66 73 2 Berat 90 100 Overall Accuracy 74 % Akurasi Kappa 63 %

4.7 Degradasi Hutan Menggunakan 2 Kelas Degradasi Hutan

Berdasarkan hasil uji akurasi maka dapat disimpulkan bahwa metode klasifikasi yang dapat digunakan adalah klasifikasi FCD. Hasil klasifikasi FCD tersebut digunakan untuk menganalisis degradasi hutan. Tabel 25 dan Tabel 26 menunjukkan degradasi hutan berdasarkan klasifikasi FCD.

Tabel 25 Matrik perubahan tutupan hutan plot lapangan tahun 2003 dan 2007 (Ha)

Tahun 2007 Klas H3 H2 H1 NH Jumlah Ta hun 2003 H3 16,2 11,4 2,0 0,8 30,4 H2 0,8 0,8 0,8 0,0 2,4 H1 0,8 0,0 0,0 0,0 0,8 NH 0,0 1,6 1,6 4,1 7,3 Jumlah 17,8 13,8 4,4 4,9 41

Plot lapangan seluas 50 x 50 meter mewakili 3 x 3 piksel citra Landsat (0,8Ha) sehingga perhitungan luas total 51 plot dikalikan 0,8 Ha adalah 41 Ha. Berdasarkan Tabel 25 maka pada plot terjadi penurunan luas pada hutan kerapatan tinggi pada tahun 2003 adalah seluas 30,4 Ha dan luas pada tahun 2007 menjadi 17,8 Ha. Pada hutan kerapatan sedang terjadi peningkatan dari luas

(29)

Ta hun2007 H3 15,4 2,4 0,0 0,0 17,8 H2 9,7 2,4 1,6 0,0 13,8 H1 0,0 0,8 3,6 0,0 4,4 NH 0,0 0,8 0,8 3,3 4,9 Jumlah 25,1 6,4 6 3,3 41

Berdasarkan Tabel 26 maka pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, plot penelitian terjadi peningkatan luas pada hutan kerapatan tinggi dari 17,8 Ha menjadi 25,1 Ha. Luas hutan kerapatan sedang menurun dari tahun 2003 adalah seluas 13,8 Ha menjadi 6,7 Ha pada tahun 2007. Peningkatan luas hutan terjadi pada hutan kerapatan rendah dari luas awal tahun 2007 adalah 4,4 Ha menjadi 6 Ha. Gambar 44 menunjukan perubahan luas hutan dari tahun 2003 sampai dengan 2008

Gambar 44. Perubahan kelas kerapatan hutan plot lapangan tahun 2003 sampai dengan 2008

Pada Gambar 44 dapat dilihat bahwa pada hutan kerapatan tinggi terjadi kecenderungan luas yang menurun. Hal ini diakibatkan antara pertumbuhan kelas

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 2003 2007 2008 Ha Tahun H3 H2 H1 1 NH

(30)

hutannya akibat adanya penebangan. Hutan kerapatan sedang terjadi peningkatan akibat adanya penebangan skala kecil menjadi hutan kerapatan sedang. Hutan kerapatan rendah terjadi kecenderungan penambahan luas. Hal ini disebabkan antara pertumbuhan kelas kerapatan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penebangan yang terjadi.

Tabel 27 Luas degradasi hutan plot lapangan tahun 2003 sampai dengan 2008

No Kelas Degradasi

2003-2007 2007-2008

Luas Ha % Total Plot Luas Ha % Total Plot

1 Ringan H3 ke H2 11,4 28 2,4 6

H2 ke H1 0,8 2 1,6 4

Sub Total 12,2 30 4 10

2 Berat H3 ke H1 2 5 0 0

Total Luas 14,2 35 4 10

Penambahan luas hutan pada kerapatan rendah dan sedang bukan berarti tidak adanya penebangan pada kelas hutan tersebut. Untuk lebih detilnya tentang pengurangan luas hutan pada masing-masing kelas hutan dapat dilihat pada Tabel 27.

Gambar 45. Proporsi luas degradasi hutan plot lapangan, a) tahun 2003 sampai dengan 2007 , b) tahun 2007 sampai dengan 2008 terhadap luas total degradasi hutan plot lapangan pada tiap kelas kerapatan hutan.

Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa total degradasi hutan dari tahun 2003 sampai dengan 2007 yaitu seluas 14,2 Ha. Persentase masing-masing degradasi hutan dapat dilihat pada Gambar 45. Pada Gambar 45a dapat dilihat bahwa

H3 ke H2 60% H2 ke H1 40% H3 ke H1 0% H3 ke H2 80% H2 ke H1 6% H3 ke H1 14% (a) (b) 79

(31)

dapat dilihat pada Gambar 45. Pada Gambar 45b dapat dilihat bahwa persentase terbesar degradasi hutan terlihat pada kelas hutan kerapatan tinggi (H3) menjadi kelas hutan kerapatan sedang (H2). Hal ini dapat disimpulkan bahwa periode 2003 sampai dengan 2008 penebangan kayu pada kawasan ini terjadi tidak secara tebang habis tetapi hanya tebang pilih pada hutan kerapatan tinggi. Gambar 46 merupakan peta degradasi hutan daerah penelitian.

(32)

Gambar 46 Peta degradasi hutan Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya dari tahun 2003 sampai dengan 2008

Referensi

Dokumen terkait

Wanita dan pria (ibu dan bapak) sebenarnya memainkan peranan yang sangat penting, keduanya memiliki peran clan tanggung jawab yang sama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat..

2) Apabila berkas-berkas tersebut telah lengkap, maka akan dilakukan klarifikasi. Akan tetapi bila belum lengkap, maka akan dikembalikan kepada pemohon untuk

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pada bagian ini merupakan bagian yang melakukan pengujian dan pemeriksaan kualitas produk club can ukuran 125 gram yang di produksi pada mesin press mulai dari awal bahan masuk

Buton Utara surat izin belajar/pernyataan mengikuti studi lanjut 365 15201002710242 DARWIS SDN 5 Wakorumba Utara Kab... Peserta Nama Peserta

Kesimpulannya adalah perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan

Dari tabel di atas, Hasil Uji F dapat diketahui bahwa nilai F hitung sebesar 13,151 dengan tingkat probabilitas sebesar 0,000 yang artinya lebih kecil dari 0,05 maka model

a. Kesadaran di kalangan remaja terhadap budaya asli Indonesia sebagai negara yang menganut adat ketimuran perlahan telah luntur dimana secara khusus pada peserta didik