• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masjid Agung Jami Malang dan Ambiguitas Arsitektural

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masjid Agung Jami Malang dan Ambiguitas Arsitektural"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural

Pudji Pratitis Wismantara

Lab Perancangan dan Kritik Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Abstrak

Upaya pelestarian karakter Nusantara dalam perancangan arsitektur masjid mampu memberikan kontribusi bagi penciptaan corak peradaban muslim Nusantara demi pembentukan kebaruan iden-titas yang memuat nilai-nilai universal Islam dan lokal Nusantara. Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, menganalisis tingkat kualitas ruang dan bentuk arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang dalam menumbuhkan karakter kontekstual dan keberlanjutan arsitektural. Kedua, merumuskan konstruksi identitas ruang dan bentuk arsitektur masjid ini dalam upaya membangun strategi rekontekstualisasi dan keberlanjutan arsitektur masjid Nusantara. Elemen arsitektural masjid yang dianalisis adalah seluruh unsur visual bentuk, yang dibaca dengan menggunakan metode pendekatan visual culture. Visual culture adalah upaya mempersepsi bersama objek arsitektur dan objek-objek visual lainnya secara langsung, dengan mengamati elemen fisik arsitekturalnya dan kemudian berupaya menggali makna di balik realitas fisiknya. Penelitian ini akan memberikan manfaat dalam membangun konstruk identitas arsitektur masjid yang bercorak ambigu sebagai upaya negosiasi antar keragaman identitas arsitektur yang saling terajut, yang menghasilkan kebaruan rancangan.

Kata-kunci : identitas masjid, visual culture, ambigu, kebaruan

Masjid Agung Jami’ Malang adalah salah satu masjid –meminjam istilah dari Hasan ud-Din Khan (1994)- tipe “Demakan” (Javanese Verna-cular), di mana memiliki wujud yang mengambil acuan dasar Masjid Demak, sebagai faktor kea-jegan (continuity), yang telah mengalami trans-formasi sebagai faktor perubahannya (change). Masjid Jami’ Malang mengambil keajegan atap piramida bersusun, dengan beberapa transfor-masi, sesuai dengan karakter tempat dan zaman saat membangunnya. Dalam suatu perkemba-ngan yang mutakhir, masjid ini menunjukkan perubahan karakter arsitektural menuju keba-ruan identitas, yang mendasarkan perwujudan-nya pada keberlanjutan rancangan, yang berwa-wasan universalitas Islam sekaligus lokalitas Nu-santara.

Menurur Hatmoko (1999), setidaknya ada dua aspek pembaharuan arsitektural, yaitu pengaje-gan dan pengembanpengaje-gan. Pengajepengaje-gan menunjuk-kan pengakaran pada tradisi setempat demi ke-berlanjutan identitas bangunan di masa kini dan mendatang. Pengembangan adalah proses

peru-bahan dan penyesuaian dengan kekinian dari suatu bangunan (wujud perlanggaman dan teknologi konstruksi) untuk mendapatkan kon-disi terbaik. Permasalahannya, apakah kebaruan karakter arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang masih merujuk pada karakter arsitektur Nusan-tara, yang di satu sisi tetap mempertahankan unsur yang setempat dan di sisi lain mengkom-binasikan dengan unsur-unsur yang pendatang? Apakah penyandingan kedua unsur (yang se-tempat dan yang pendatang) ini dalam wujud baru bisa selaras dan terpadu tanpa saling me-ngalahkan satu sama lain?

Tulisan ini berupaya mengungkapkan karakter idenritas Masjid Agung Jami’ Malang melalui jelajah dan kajian aspek arsitekturalnya. Tampi-lan Masjid Jami’ MaTampi-lang selama ini diyakini ba-nyak orang sebagai alternatif keberlanjutan arsi-tektur yang berwawasan Islam dan Nusantara. Hanya saja, penggunaan elemen kubah dan mi-naret sebagai penegasan identitas kemusliman dunia sangat mendominasi tampilan selubung luar bangunan masjid ini. Dengan demikian, di

(2)

sini muncul dua kutub yang saling tarik-menarik dan saling berebut pengaruh, yaitu kutub iden-titas kemusliman dunia dan kutub ideniden-titas lokal berwawasan Nusantara. Kutub manakah yang akan dimenangkan? Sasaran yang dicapai dari hasil jelajah dan kajian ini adalah menemukan sebuah strategi untuk pengembangan arsitek-tural masjid kiwari, sebagai upaya keberlanjutan arsitektural yang bersifat mengkini, kreatif dan inovatif.

Upaya menjelajah dan mengkaji kebaruan iden-titas arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang seti-daknya memerlukan tiga langkah. Langkah per-tama adalah merumuskan karakter-dasar dan ruang-waktu arsitektural. Tiga aspek ini merupa-kan rumusan interpretif dari penulis, yang ber-sumber pada sejumlah teori atau wacana yang berpotensi untuk mendukung upaya pembaha-ruan atau rekontekstualisasi arsitektur. Langkah ke-dua, adalah melakukan jelajah atas masjid tersebut dengan menggunakan metode pende-katan visual culture. Visual culture adalah upaya mempersepsi bersama objek arsitektur dan objek-objek visual lainnya secara langsung, de-ngan mengamati elemen fisik arsitekturalnya dan kemudian berupaya menggali makna di balik realitas fisiknya Pangarsa, 2008). Langkah berikutnya adalah melakukan kritik interpretif atas identitas masjid. Kritik ini mendasarkan pa-da aspek intuisi dan menjadi sarana menemu-kan pengetahuan baru tanpa harus menggu-nakan langkah-langkah kaku logika, dengan tetap bertumpu pada evidensi objektif (Attoe, 1978). Pengenalan identitas secara mendalam mengenai Masjid Agung Jami’ Malang ini (yang bermuatan nilai kekinian universal Islam dan lokalitas Nusantara), bisa dijadikan titik pijak da-lam upaya pembaharuan dan pengembangan arsitektur masjid yang sesuai fitrah (selaras) alam dan (memanusiakan) manusia.

Genealogi Masjid Agung Jami’ Malang Masjid ini didirikan pada tahun 1853, berdenah bujursangkar dengan serambi di sekelilingnya (Wirjoprawiro, 1986). Tahun 1890 dibangun bangunan tambahan di sebelah barat masjid lama, sehingga ruang mihrab masjid lama di pindah ke bangunan baru. Antara tahun 1920

sampai 1930, di timur bangunan lama dibangun sebuah serambi bergaya klasik lokal beratap sosoran yang dilengkapi sepasang menara pen-dek berketinggian dua lantai yang berdenah segi delapan.

Gambar. 1. Masjid Agung Jami’ Malang tahun 1920-an, memiliki sebuah serambi bergaya klasik lokal beratap sosoran yang dilengkapi sepasang menara pendek berketinggian dua lantai yang berdenah segi delapan. Sumber: Dukut Imam Widodo (2004).

Gambar. 2. Masjid tahun 1950-an, menunjukkan tampilan baru serambi beratap kubah dan atap dak beton. Menara menjadi lebih langsing-tinggi dan beratap kubah. Sumber: Dukut Imam Widodo (2004).

Gambar. 3. Masjid tahun 1970-an, menunjukkan tampilan sebelumnya dengan penyederhanaan ornamentasi dan warna. Sumber: Zein Mudjiono Wirjoprawiro (1986).

(3)

Setelah era kemerdekaan, di tahun 1950-an masjid mengalami perluasan. Saat itu diadakan perubahan pada serambi menjadi bangunan berlanggam Timur Tengah (Pan Islamic), de-ngan diberi penampil gerbang beratap kubah dan atap dak beton. Menara pun mengalami pe-rubahan bentuk menjadi lebih langsing, tinggi dan dengan atap kubah. Unsur-unsur arsitek-tural seperti bentuk busur, kubah, dan menara pada masa itu dianggap mewakili “identitas uni-versal” arsitektur Islam.

Gambar. 4. Masjid Agung Jami’ Malang saat ini, bagian fasad depan masih tetap menunjukkan tampilan serambi beratap kubah beton dan atap dak beton. Menara lebih ditinggikan lagi, sehingga tetap berkarakter langsing, tinggi dan dengan atap kubah. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).

Hingga saat ini, bangunan masjid Jami’ Malang ini terdiri dari tiga massa bangunan yang berderet dengan orientasi barat-timur. Bangu-nan yang letaknya paling barat, beratap tajug bertumpang dua, adalah bangunan perluasan yang dibangun di masa Hindia Belanda tahun 1890. Bangunan di sebelah timurnya adalah ba-ngunan masjid awal, yang berlanggam dan ber-konstruksi setempat, beratap tajug tumpang tiga yang dibangun tahun 1853. Sedangkan se-rambi depan yang terletak paling timur, pada mulanya dibangun di tahun 1950-an beratap kubah, dan di tahun 1999 ditambahkan lantai mezanin yang dinaungi kubah.

Ruang dalam masjid merupakan gabungan dari dua bangunan yang dibangun pada masa yang berbeda. Ruang bagian barat diatapi tajug yang berstruktur cukup modern: empat sakaguru yang menopang kuda-kuda yang disambung de-ngan sistem klem (sambungan yang memakai

gabungan plat baja) yang menghasilkan ruang yang luas di antara keempat sakaguru kayu. Sementara ruang bagian belakang, struktur atapnya masih tradisional, memakai empat sa-kaguru dan enam belas sakarewa yang disam-bung dengan sistem purus.

Jelajah Masjid Agung Jami’ Malang

Secara visual, tampilan fasad bagian depan masjid Jami’ Malang merujuk pada hasil reno-vasi di tahun 1950-an yang mengedepan-kan langgam Pan Islamic berupa penonjolan bentuk busur lengkung pada ambang pintu, ornamen geometri dan atap kubah. Unsur-unsur arsitek-tural di atas hingga saat ini masih dianggap mewakili “identitas universal” arsitek-tur Islam, sebagaimana diyakini oleh banyak orang. Secara keseluruhan, masjid ini bisa dilihat seba-gai arsitektur masjid Nusantara (yang setempat) berlanggam Jawa yang dibungkus atau “ditope-ngi” oleh selubung arsitektur masjid berlanggam Pan Islamic sebagai identitas universal Islam (yang pendatang). Jadi bisa dikatakan adanya penempelan antara langgam Jawa (yang setem-pat) di satu sisi dengan langgam Pan Islamic (yang pendatang) di sisi yang lain, dan bukan peleburan.

Ruang utama berupa ruang dalam masjid, tem-pat utama peribadahan shalat atau khotbah yang dilingkupi oleh dinding berpintu banyak, berlanggam Jawa, memiliki sifat sakral, tertutup, dan dapat dikategorikan sebagai arsitektur per-lindungan. Sedangkan ruang tambahan beru-pa serambi dan mezanin di lantai atasnya, ber-fungsi sebagai tempat kegiatan sosial masjid dan limpahan kegiatan peribadahan di dalam masjid, berlanggam Pan Islamic, memiliki sifat profan, terbuka, dan bisa dikategorikan sebagai arsitektur pernaungan. Kedua jenis ruang ini dipisahkan oleh unsur pemisah berupa dinding berpintu banyak, berlanggam Indische Empire, yang juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang luar dan ruang dalam, ruang sakral dan ruang profan.

(4)

Gambar 5. Masjid berlanggam Jawa dan dibungkus atau “ditopengi” selubung fasad berlanggam Pan Islamic. Keberadaan atap tajugnya semakin tenggelam oleh dominasi atap dan menara berkubah. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).

Dari penjelasan di atas dapat ditunjukkan bahwa ruang utama masjid yang berlanggam Jawa (yang setempat) tidak diserentakkan kehadiran-nya dengan ruang serambi dan mezanin masjid yang berlanggam Pan Islamic. Unsur dinding ber-pintu banyak yang berlanggam Indische Empire difungsikan sebagai unsur penyekat atau pemisah kedua ruang tadi yang memang senga-ja tidak disandingkan.

Dengan demikian, hasil dari pengembangan dan pembaharuan rancangan masjid ini memiliki pe-maknaan identitas langgam yang ambigu. Lang-gam Jawa yang tertampilkan pada bangu-nan utama masjid beserta atap tumpang tajugnya bisa dilihat sebagai unsur arsitektur utama yang diletakkan di ranah yang bersifat sakral. Pada ruang dalam khas Jawa yang ditunjukkan oleh unsur sakaguru (kolom utama), suasana tertu-tup, tenang, hening, dilingkupi oleh dinding dan kemiringan atap tajug. Sementara, jika dilihat dari luar, masjid ini secara visual menampakkan wujud langgam Pan Islamic yang dominan, dan nyaris tak terlihat langgam Jawa yang diselubu-nginya. Jika kita berada di ruang dalam masjid, kita merasakan berada di ruang yang beriden-titas Jawa. Sementara jika kita berada di seram-bi masjid, kita merasakan identitas ruang Timur Tengah.

Gambar 6. Tampilan ruang dalam Masjid Agung Jami’ Malang saat ini. Sumber: dokumentasi pribadi (2008). Unsur dinding beserta pintu berjalusi yang ber-langgam Indische Empire di kedua sisinya (sisi dalam dan sisi luar bangunan) menunjukkan perpaduan yang selaras dan menyatu dengan kedua ruang yang dipisahkannya. Pada ranah ruang dalam masjid yang berlanggam Jawa, ke-beradaan dinding beserta pintu berjalusi ini nunjukkan keterpaduannya dengan semakin me-ngokohkan identitas Jawa yang lebih kaya. Se-baliknya, di ranah serambi, identitas Pan Isla-mic menunjukkan dominasi yang kuat karena keterpaduannya dengan dinding dan pintu ini yang mencitrakan kemegahan.

Kajian Kritis

Masjid Agung Jami’ Malang menunjukkan ada-nya keterpisahan secara tegas antara langgam Jawa pada ruang dalamnya dengan langgam Pan Islamic pada ruang luarnya. Sehingga seca-ra visual masjid ini merupakan masjid Jawa yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Timur Tengah. Dinding masif beserta pintu berjalusi berlanggam Indische Empire menjadi unsur pemisah antara kedua ruang tadi. Adanya kombinasi antara dinding dan pintu berjalusi yang berlanggam Indische Empire de-ngan ruang dalam yang berlanggam Jawa dan ruang luar yang berlanggam Pan Islamic, sema-kin menegaskan fungsi dinding masif ini sebagai penyelaras antara ruang dalam dan ruang luar yang berbeda karakternya masing-masing. Wujud pengembangan pada dua massa bangu-nan utama masjid Jami’ Malang beserta ruang

(5)

dalamnya bisa dikategorikan sebagai presser-vasi. Mengingat bangunan ini bersejarah dan bernilai arsitektur tinggi, maka titik tolak tinda-kan pengembangannya adalah memelihara dan melestarikan sesuai kondisi bangunan dan ling-kungan yang bersangkutan dari kerusakan. Pre-servasi dilakukan dengan merujuk pada kondisi seperti aslinya, dengan tingkat perubahan kecil.

Gambar 7. Ruang dalam masjid sebelah timur, merupakan bagian awal Masjid yang dibangun di tahun 1870an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008). Pengembangan pada fasad masjid mengacu pada perluasan bagian serambi di tahun 1950-an, dengan perubahan tampilan menjadi bangu-nan berlanggam timur tengah (Pan Islamic), dengan diberi penampil gerbang beratap kubah dan atap dak beton. Wujud pengembangan ini bisa dikategorikan sebagai renovasi. Renovasi ini dilakukan mengingat bagian serambi ini me-merlukan adaptasi fungsi berupa penambahan lantai mezanin di atasnya. Renovasi dilakukan dengan merubah sebagian atau beberapa bagi-an, terutama bagian dalam bangunan untuk me-nampung fungsi lama dengan persyaratan baru.

Gambar 8. Ruang dalam masjid sebelah barat, merupakan pengembangan awal Masjid yang dibangun di tahun 1920an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).

Gambar 9. Bagian serambi masjid, merupakan pengembangan mutakhir masjid yang rancang kembali di tahun 1990an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008). Pengembangan dan pada pembaharuan arsitek-tur yang berperan dalam menciptakan identitas atau memori suatu kawasan sekaligus mengha-dirkan konteks kekiniannya. Usaha pengemba-ngan pada rancapengemba-ngan arsitektur mensyaratkan adanya kombinasi antara unsur-unsur yang se-tempat dan unsur-unsur yang pendatang, yang lama dan yang baru tanpa harus menghapuskan atau mengabaikan salah satu unsur.

(6)

Gambar 10.. Hasil pemetaan ruang pada Masjid Jami’ Malang. Setidaknya ada modifikasi antara unsur klasik dan modern, sekaligus setempat dan pendatang. Sumber: hasil analisis (2016).

Gambar 11. Ambiguitas Masjid Jami’ Malang, muncul karena pertemuan antara dua entitas yang saling bertolak belakang: klasik dan modern, setempat dan pendatang, sakral dan profan, terlindung dan ternaung. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, dan karena itulah bersifat komplementer.

Pada kasus Masjid Agung Jami’ Malang, bangu-nan utama berupa ruang dalam masjid yang berlanggam kombinasi Jawa-Indische Empire, pengembangan yang dilakukan berupa presser-vasi. Preservasi ini dimanfaatkan untuk meles-tarikan dan mengembalikan kondisi bangunan bersejarah sesuai dengan aslinya. Sementara, pada serambi masjid yang berlanggam kombi-nasi Pan Islamic-Indische Empire, pengemba-ngan yang dilakukan berupa renovasi. Renovasi ini digunakan untuk merubah sebagian atau beberapa bagian rancangan serambi dengan tetap mengacu pada langgam awal yang telah

ditentukan. Serambi ini selanjutnya berfungsi sebagai selubung yang “menopengi” atau mem-bungkus bangunan utama masjid. Sehingga ter-jadi pemisahan dalam penghadiran ruang da-lam masjid dengan serambi. Dinding berlang-gam Indische Empire yang memisahkan kedua bagian bangunan ini berfungsi sebagai pemba-tas yang tampilan agregatnya selaras dengan dua ruang yang dipisahkannya.

Pembaharuan Arsitektur Nusantara mengandung dua aspek yang saling melengkapi, yaitu aspek ajeg [continuity, “al-muhafazhah”] dan aspek perubahan [change, “al-akhdzu”] (Wismantara, 2014). Dalam khazanah peradaban muslim Nusantara, dikenal kaidah populer yang sering dikutip KH. Achmad Siddiq, yang berbunyi, “Al-muhafazhah ala-l-qadimi-sh-shalih wal akhdzu bi-l-jadid-l-ashlah” (Baso, 2015). Terjemahan bebas kaidah ini, adalah mempertahankan atu yang lama yang baik, dan mengambil sesu-atu yang baru yang lebih baik.

Sesuai dengan kaidah di atas, pembaharuan Arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang ini juga meniscayakan adanya dua prinsip, yaitu muhafazhah” (pelanggengan tradisi) dan “al-akhdzu” (penggerakan tradisi). Menurut Baso (2016), kedua prinsip ini harus berjalan seim-bang, tak boleh saling berbenturan, dan tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Pengunggulan prinsip akhdzu” dengan pengesampingan “al-muhafazhah”, akan berakibat pada hilangnya orientasi dan identitas suatu tradisi kulturalnya, sehingga dapat menimbulkan kondiri kehilangan arah atau mudah terbawa arus tradisi budaya asing. Pengedepanan prinsip “al-muhafazhah” dan penanggalan “al-akhdzu”, akan berakibat pada timbulnya sikap kemapanan, kejumudan (konservatif) yang justru akan menjauhkan diri dari semangat zaman yang berorientasi kekinian. Dengan berpegang pada dua prinsip pembaha-ruan ini, pengembangan arsitektur masjid akan selalu kontekstual dan relevan dengan semangat dan dinamika zaman, dengan tetap berangkat dari tradisi masing-masing lokalitas.

Prinsip “al-muhafazhah” pada Masjid Agung Jami’ Malang dapat dijumpai pada penggunaan unsur-unsur yang setempat, seperti

(7)

memperta-hankan keaslian kesan bentuk dan suasana ruang masjid Jawa (tipe Demakan) pada bagian bilik masjid. Prinsip “al-akhdzu” pada masjid ini dapat ditemui pada penggunaan teknologi dan bahan baru yang berupaya “menemani” tekno-logi dan bahan lama. Memasukkan unsur lang-gam Eropa dan Pan-Islamic dan menyatukannya dengan langgam lokal Jawa-Demakan, juga merupakan upaya mendialogkan antara unsur yang lama dan yang baru ke dalam satu kesa-tuan arsitektural yang utuh.

Salah satu ciri yang menonjol pada Masjid Agung Jami’ Malang adalah kemunculan karak-ter ambigu. Menurut Ratna (2008), ambigu me-miliki arti taksa, hakikat tanda dengan banyak makna. Ambigu memiliki kesejajaran dengan konotasi, merupakan ciri khas karya seni. Ambi-guitas masjid ini, misalnya ditunjukkan oleh per-paduan yang saling melekat antara unsur yang lama dan yang baru, yang setempat dan yang pendatang, serta yang ajeg (al-muhafazhah) dan yang berubah (al-akhdzu) tanpa saling mengalahkan satu sama lainnya.

Jika kita berada di bagian serambi masjid, akan terasakan kesan dan suasana arsitektur berlang-gam Pan-Islamic yang bersifat profan, baru, dan ternaung. Jika kemudian kita masuk ke dalam bilik masjid, akan terasakan kesan dan suasana arsitektur berlanggam Jawa-Demakan yang ber-sifat sakral, lama, dan terlindung. Perwujudan total masjid ini memperlihatkan eksistensi mas-jid Jawa-Demakan sebagai unsur utama atau esensial, yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Pan-Islamic sebagai unsur tambahan atau bungkus.

Penutup

Penjabaran pengembangan dan pembaharuan arsitektur masjid di atas, memberikan keabsah-an dalam pembentukkeabsah-an identitas masjid ykeabsah-ang berwawasan Nusantara. Keunggulan pengem-bangan pada kasus di atas memberi kontribusi mempertemukan “secara dialogis” unsur-unsur yang saling kontradiktif tanpa harus menjadi salah satu di antaranya, dan mengembangkan-nya menjadi wujud baru yang kaya dan bersifat ambigu. Ambiguitas Masjid Agung Jami’ Malang, muncul karena pertemuan antara dua entitas

yang saling bertolak belakang: klasik dan mo-dern, setempat dan pendatang, sakral dan profan, terlindung dan ternaung, serta orientasi vertikal dan horisontal. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, dan karena itulah bersifat komplementer. Masjid ini bisa dibaca sebagai masjid Jawa-Demakan yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Pan-Islamic. Kecenderungan (fitrah) manusia, selalu merindukan kebaharuan (Pangarsa, 2010). Kebaruan itu adalah pencapaian harkat dan derajat manusia menuju yang lebih sempurna, ke arah Allah Yang Maha Sempurna. Pada saat ini, konservasi arsitektur justru harus diletakkan dalam konteks kebaharuan. Saat ini masaya-rakat muslim dihadapkan pada kondisi moder-nitas, di mana kita dihadapkan pada berbagai pilihan yang kita bawa dari masa lalu, dengan kemungkinan baru di masa depan. Dengan demikian, pencarian ekspresi dan wujud arsi-tektur baru, harus mencerminkan upaya (ijtihad) kita dalam menafsirkan kondisi kebaruan kita. Daftar Pustaka

Attoe, Wayne (1978). Architecture and Critical Imagination. Old Woking. England: John Wiley & Sons, Ltd.

Baso, Ahmad (2015). Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid 1. Tangerang: Pustaka Afid

Baso, Ahmad (2016). Islam Pasca Kolonial. Tangerang: Pustaka Afid.

Hatmoko, Adi Utomo (1999). “Weaving Heritage Sites into Larger Context”, Procedding of International Seminar on Vernacular Settlement, Faculty of Engineering University of Indonesia, 1999.

Khan, Hasan ud-Din (1994). “An Overview of Contemporary Mosques”, Martin Frishman & Hasan ud-Din Khan (eds.), Mosque: History, Architectural Development and Regional Diversity. London: Thames & Hudson.

Pangarsa, Galih W. (2010). Materialisme pada Masjid Nusantara. (E-book Engine on arsiteknusantara. blogspot.com), Malang: @You Publish. [10 Agustus 2015]

Pangarsa, Galih W. (2008). Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto. Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Ratna, Nyoman Kutha. (2006). Postkolonialisme

Indonesia: Relevansi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(8)

Widodo, Dukut Imam (2004). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayu Media.

Wirjoprawiro, Zein Mudjiono (1986). Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu.

Wismantara, Pudji Pratitis (2014). Eksistensi & Rekontekstualisasi Arsitektur Masjid Nusantara. Malang: UIN Maliki Press.

Gambar

Gambar  5.  Masjid  berlanggam  Jawa  dan  dibungkus  atau  “ditopengi”  selubung  fasad  berlanggam  Pan  Islamic
Gambar  8.  Ruang  dalam  masjid  sebelah  barat,  merupakan  pengembangan  awal  Masjid  yang  dibangun  di  tahun  1920an
Gambar 10.. Hasil pemetaan ruang pada Masjid Jami’

Referensi

Dokumen terkait

Mardalis (2005) memaparkan bahwa kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan, citra perusahaan dan switching barrier berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan, sehingga

hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.” Menurut Sugiono (2005 : 15) bahwa “data kualitatif adalah

Untuk meraih misi dari Dapur Bebek Bojongsoang Bandung yaitu menjadi rumah makan bebek pilihan konsumen di Indonesia, Dapur Bebek Bojongsoang Bandung tidak hanya

gerakan Islam kampus seperti lembaga dakwah kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiawa Muslim Indonesia (KAMMI) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tersebnr hampir

- Dari perhitungan ulang, ternyata harga Rp 35rb dari Rikswa terlalu murah sehingga dinaikkan menjadi Rp 40rb per produk - Produk sudah masuk Mirota Batik (sebanyak 5

Kuvailu onkin Eskolan ja Suorannan (1998, 140) mukaan edellytys aineiston jäsentämiselle ja hahmottamiselle, mutta kuvailevalla tasolla pitäytyminen ei kuitenkaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis penggunaan lahan yang ada di Kawasan Puncak dan melakukan monitoring perubahan penggunaan lahannya pada periode tahun

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa efisiensi pemisahan minyak pelumas pada oil separator dengan plate settler paling optimum, yakni