• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria microcarpa) FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria microcarpa) FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI. Pengaruh Etilen dalam Menginduksi Pembentukan Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria microcarpa). Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan ERDI SANTOSA.

Etilen merupakan senyawa sinyal sekunder dalam pembentukan fitoaleksin. Etilen dilaporkan dapat merangsang produksi lateks (politerpenoid). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum etilen dalam menginduksi pembentukan terpenoid dibandingkan dengan cendawan Acremonium sp. Batang-batang pohon A. microcarpa yang berumur 13 tahun dibor sedalam kurang dari sepertiga diameternya untuk membuat lubang. Etilen yang digunakan adalah etepon (48%) kemudian 1 ml etepon (ET) 0.5%, 1.5%, dan 2.5% disuntikkan ke dalam lubang. Sebagai pembanding digunakan pohon yang dibor saja, pohon yang dibor dan diberi air gula (2%), dan pohon yang diinokulasi Acremonium sp. Pohon yang tidak dilukai digunakan sebagai kontrol. Deposit terpenoid dideteksi dengan metode Liebermann-Burchard. Pembentukan terpenoid berkaitan dengan kebugaran pohon, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi sehingga pengamatan dilakukan pada semua parameter setiap bulan selama 3 bulan setelah induksi (bsi).

Semua perlakuan mampu menginduksi pembentukan terpenoid. Terpenoid yang terdeteksi adalah sterol atau triterpenoid. Pada semua perlakuan terdeteksi adanya sterol dan pada ET1.5 (3 bsi) terdeteksi adanya triterpenoid. Pada kontrol tidak terdeteksi adanya terpenoid. Akumulasi terpenoid diduga berasosiasi terhadap perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak hanya disebabkan oleh ET tetapi juga pelukaan, penambahan gula dan inokulasi Acremonium sp. perubahan warna kayu akibat ET relatif lebih rendah daripada perlakuan lainnya. Secara umum, ET mampu menginduksi wangi yang mirip aroma gaharu, kecuali ET0.5 dan ET2.5 saat 1 bsi yang berturut-turut mirip aroma kopi dan apel. Skor wangi tertinggi terdapat pada ET1.5 saat 1 bsi (1.44 dari skala 3) dan tidak berbeda nyata dari ET lainnya. Frekuensi titik induksi pada kategori agak wangi dan wangi tertinggi terdapat pada ET1.5 saat 1 bsi sebesar 88.8%.

Kata kunci: gaharu, etilen, Acremonium sp., senyawa terpenoid

ABSTRACT

FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI. Ethylene Stimulating Terpenoid Formation in Agarwood Tree (Aquilaria microcarpa). Under supervision of GAYUH RAHAYU and ERDI SANTOSA.

Ethylene is one of secondary signal substance in phytoalexin formation. Ethylene had been reported to be able to stimulate latex production (politerpenoid). This research was aimed to find the optimum concentration of ethylene in inducing terpenoid formation in A.microcarpa comparing to Acremonium sp. Firstly the stems of 13 years old A. microcarpa were drilled in less than one-third of its diameter depth to make holes. Ethylene that was used formulated as ethephon 48% (ET). One ml of ET either 0.5%, 1.5%, or 2.5% was injected into the hole. Tree drilled only, tree with holes that were injected with sugar solution (2%), and tree which was inoculated with Acremonium sp. were used as comparison. Unwounded tree was used as control. Terpenoid deposit was detected by Liebermann-Burchard method. Terpenoid formation was related to tree fitness, discolouration of wood and fragrant formation, so that the observation was conducted on all parameters, each month for 3 month period.

All treatment were able to induce terpenoid formation. Terpenoid compounds that was detected were either sterol or triterpenoid. Sterol were detected in all treatment and triterpenoid was detected at ET1.5 (3 month). Terpenoid was undetected at control. Terpenoid accumulation might be associated with wood discolouration. Wood discolouration was not only caused by ET but also by wounding, injection of sugar solution and inoculation of Acremonium sp. Discolouration caused by ET was relatively lower than the other treatments. In general, ET was able to induce fragrance which was similar to a typicalagarwood fragrance, except those of ET0.5 and ET2.5 at 1 month had coffee and apple aroma subsequently. The highest fragrance score was on ET1.5 at 1 month (1.44 from 3 scale) and insignificant from the other ET. The highest frequency of induction point with moderately and strongly fragrance level (88.8%) occurred in ET1.5 at 1 month observation.

(3)

PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN

SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU

(Aquilaria microcarpa)

FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Pengaruh Etilen dalam Menginduksi Pembentukan

Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria microcarpa)

Nama

: Fauziah Ririn Widyastuti

NIM

: G34104034

Disetujui:

Diketahui;

Dekan Fakultaas Matematila dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

Pembimbing I,

Dr. Ir. Gayuh Rahayu

NIP. 131286335

Pembimbing II,

Dr. Ir. Erdi Santosa

NIP. 080053161

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP. 131578806

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Etilen dalam Menginduksi Pembentukan Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria microcarpa). Karya ilmiah ini dilaksanakan sejak bulan Februari sampai September 2008, bertempat di Carita, Banten dan Laboratorium Mikologi Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Erdi Santosa yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan fasilitas selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, MSc. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada DIKTI melalui hibah kemitraan HI-LINK 2008 yang telah mendanai penelitian ini, staf Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, IPBCC dan staf Laboratorium Mikologi FMIPA IPB yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

Ungkapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, Ibu, Bapak, dan adik-adikku (Fajar, Ana dan Wuri) atas segala do’a, kasih sayang dan motivasi yang diberikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Lia dan Esti teman seperjuangan dalam penelitian ini, Ami, Ibu Asti, Riana, Tahira, teman-teman seperjuangan di laboratorium Mikologi dan Wisma Ayu Depan atas kerjasama, kebersamaan, kekompakan dan kekeluargaannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 28 Agustus 1986 dari ayah Drs. Damiri dan Ibu Endang Kusumastuti. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Karanganom, Klaten dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun ajaran 2007/2008. Penulis juga pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan Wahana Muslim Himabio, SERUM-G dan DKM Al-Ghifari. Penulis melaksanakan praktek lapang dengan judul ”Pengolahan Air Bersih untuk Proses Produksi di PT. Coats Rejo Indonesia pada bulan Juli 2007”. Penulis menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Nurul Ilmi dan Bintang Pelajar sejak tahun 2007 sampai sekarang.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

PENDAHULUAN... 1

Latar belakang ... 1

Tujuan ... 1

WAKTU DAN TEMPAT ... 1

BAHAN DAN METODE ... 1

Bahan ... 1

Metode ... 1

Peremajaan Biakan ... 1

Pembuatan Inokulan Pelet ... 2

Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid ... 2

Perubahan Warna dan Tingkat Wangi ... 2

Uji Terpenoid ... 2 Analisis Data ... 3 HASIL ... 3 Kebugaran Pohon ... 3 Perubahan warna ... 3 Tingkat Wangi ... 4 Uji Terpenoid ... 5 PEMBAHASAN ... 6 Kebugaran Pohon ... 6 Perubahan Warna ... 7 Tingkat Wangi ... 7 Uji Terpenoid ... 8

SIMPULAN DAN SARAN ... 8

Simpulan ... 8

Saran ... 8

DAFTAR PUSTAKA ... 8

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Intensitas warna kayu selama masa pengamatan ... 3

2 Panjang zona perubahan warna kayu A. microcarpa secara vertikal setelah diberi perlakuan ... 4

3 Lebar zona perubahan warna kayu A. microcarpa secara horisontal setelah diberi perlakuan ... 4

4 Tingkat wangi kayu A. microcarpa setelah diberi perlakuan berdasarkan ... 4

5 Frekuensi titik induksi yang menunjukkan kategori agak wangi dan wangi ... 5

6 Nilai absorbansi ekstrak kayu gaharu ... 6

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Lubang induksi pada batang pohon A. microcarpa ... 2

2 Panjang dan lebar zona perubahan warna pada batang A. microcarpa ... 2

3 Kayu A. microcarpa setelah diberi perlakuan ... 3

4 Hubungan antara skor warna dan skor wangi pada semua perlakuan didasarkan sistem skor ... 5

5 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada minyak gaharu berdasarkan uji Liebermann-Burchard ... 6

6 Senyawa triterpenoid dan sterol pada sampel bulan ke-3 yang terdeteksi berdasarkan uji Liebermann-Burchard ... 6

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis dan uji lanjut Duncan intensitas warna kayu ... 12

2 Analisis dan uji lanjut Duncan panjang zona perubahan warna kayu ... 12

3 Analisis dan uji lanjut Duncan lebar zona perubahan warna kayu ... 12

4 Analisis dan uji lanjut Duncan tingkat wangi kayu ... 13

5 Analisis dan uji lanjut Duncan nilai absorbansi ekstrak triterpenoid asal kayu gaharu ... 13

(9)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Gubal gaharu adalah sejenis kayu wangi dengan berbagai bentuk dan warna yang khas (Standar Nasional Indonesia 1999). Gubal gaharu dibentuk pada pohon gaharu. Salah satu pohon gaharu penghasil gubal dengan kualitas terbaik adalah Aquilaria microcarpa. Gubal gaharu dapat disuling untuk mendapatkan minyak gaharu (Michiho et al. 2005). Minyak gaharu dapat digunakan sebagai bahan industri obat-obatan, parfum, dan kosmetik (Michiho et al. 2005; Anonim 2006).

Gubal gaharu merupakan resin gaharu yang diproduksi oleh pohon gaharu sebagai bentuk pertahanan terhadap suatu gangguan seperti infeksi cendawan. Resin yang dideposit pada jaringan kayu membuat serat-serat kayu lebih terikat dan mengubah warna serat dari putih menjadi kehitaman (Rahayu & Situmorang 2006). Pada saat ini gubal gaharu alami dengan kualitas baik sudah sulit ditemukan, oleh sebab itu upaya produksi gubal secara buatan perlu dilakukan.

Upaya peningkatan produksi gubal gaharu dapat ditempuh dengan induksi buatan. Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991), gaharu dibentuk karena infeksi cendawan, pelukaan dan atau pemberian pestisida. Inokulasi cendawan Acremonium sp. dan pemberian metil jasmonat terbukti dapat menginduksi pembentukan senyawa gaharu (Putri 2007). Jasmonat merupakan senyawa sinyal sekunder untuk respon pertahanan pohon, selain asam salisilat dan etilen (Yang et al. 1997).

Etilen merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang perkembangan tanaman (Shirsat et al. 1999). Tanaman yang diberi perlakuan etilen dapat mengalami gutasi, gumosis, atau pengeluaran lateks (Abeles 1973). Agrios (2004) juga menyatakan bahwa etilen mampu merangsang pembentukan fitoaleksin dan sintesis atau aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam meningkatkan pertahanan tanaman terhadap infeksi. Etilen juga dapat meningkatkan ukuran dan hasil panen buah tomat (Atta-Aly et al. 1998).

Etilen diformulasikan dengan senyawa-senyawa lain, membentuk formula misalnya etepon. Etepon adalah zat pengatur pertumbuhan tanaman yang bekerja secara sistemik. Etepon dapat terdekomposisi menjadi etilen, fosfat dan ion klorida saat dilarutkan dalam air pada pH diatas 4-5.

Menurut Haryati (2003) pemberian Etepon dapat merangsang pembungaan tanaman nanas sehingga tanaman nanas dapat berbuah lebih cepat daripada tanaman yang tidak diberi Etepon. Selain itu, penggunaan 2,5% (Dey et al. 2004) atau 2,02 % Etepon (Nurkholis 2005) pada tanaman karet dapat meningkatkan hasil lateks. Sedangkan LET 200 (etilen dalam bentuk gas) dapat meningkatkan produksi karet kering sangat nyata (Junaidi et al. 2007).

Lateks seperti senyawa gaharu merupakan senyawa terpenoid. Peran etilen dalam merangsang pembentukan senyawa gaharu belum diketahui, oleh sebab itu efektivitas penggunaan etilen dalam pembentukan senyawa terpenoid pada pohon gaharu perlu dipelajari.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum etilen dalam menginduksi pembentukan senyawa terpenoid dibandingkan dengan cendawan Acremonium sp. pada pohon pennghasil gaharu (A. microcarpa).

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai September 2008 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan di Carita, Propinsi Banten dan Laboratorium Mikologi Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan yang digunakan adalah 21 pohon Aquilaria microcarpa umur 13 tahun, cendawan Acremonium sp. IPBCC 07.525, media agar-agar kentang dekstrosa (PDA), serbuk gergaji, Ethrel 40 PGR (bahan aktif: etepon 48 %), alkohol 70%, alkohol absolut, dietil eter, larutan asam sulfat pekat, larutan asam asetat anhidrat, dan akuades.

Metode

Peremajaan Biakan Acremonium sp. Biakan murni cendawan Acremonium sp. diremajakan pada PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Biakan ini digunakan sebagai sumber inokulum untuk pembuatan inokulan dalam bentuk pelet.

(10)

Pembuatan Inokulan Pelet. Cendawan Acremonium sp. ditumbuhkan pada media serbuk gergaji (Gayuh Rahayu 5 Januari 2008, komunikasi pribadi) selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa pelet dengan ukuran 4X40 mm.

Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid. Induksi pembentukan senyawa terpenoid dilakukan pada batang utama dengan pemberian etepon pada 3 konsentrasi (0.5 %, 1,5 % dan 2,5 %) atau pemberian inokulan pelet cendawan Acremonium sp. Pertama, batang utama pada ketinggian ± 0.5 m di atas permukaan tanah dibor menggunakan matabor berdiameter 4 mm sedalam kurang dari sepertiga diameter batang. Pada tiap pohon dibuat 100 lubang dengan jarak horisontal dan vertikal antara 2 lubang berturut-turut yaitu 4 cm dan 15 cm (Gambar 1).

Etepon pada 3 konsentrasi (ET0.5, ET1.5, ET2.5) disuntikkan ke dalam lubang-lubang pada 3 pohon yang berbeda, sebanyak 1ml etepon tiap lubang. Pelet cendawan Acremonium sp. (PA) diinokulasikan ke dalam lubang setelah berturut-turut dibor dan diberi air gula. Batang PA, batang yang dibor (KB) dan diberi air gula (KBG) dijadikan pembanding. Batang yang tidak dilukai digunakan sebagai kontrol negatif (K). Semua perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Pembentukan senyawa terpenoid dideteksi dengan metode Liebermann Burchard setiap bulan selama 3 bulan. Deposit terpenoid pada kayu diduga berasosiasi dengan perubahan warna kayu dan pembentukan wangi, sehingga pengamatan perubahan warna kayu dan tingkat wangi kayu dilakukan sebelum uji terpenoid. Sebelum deteksi deposit terpenoid, diamati pula kebugaran pohon. Pengamatan terhadap perubahan warna diamati pada 10 lubang induksi yang ditetapkan secara acak.

Perubahan Warna dan Tingkat Wangi. Pengamatan warna kayu meliputi tingkat perubahan warna, panjang dan lebar kayu yang berubah warna. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0= putih, 1= putih kecoklatan, 2= coklat, 3= coklat kehitaman) dan dinyatakan dalam rataan nilai skor dari 3 responden. Kulit batang di sekitar titik induksi dikupas dengan kedalaman ± 2 cm. Panjang dan lebar zona perubahan warna batang diukur berturut-turut ke arah vertikal dan ke arah horizontal, pada daerah yang menunjukkan perubahan warna kayu dari putih hingga coklat kehitaman (Gambar 2).

Pengamatan wangi kayu meliputi tingkat wangi dan frekuensi titik induksi yang wangi. Tingkat wangi ditetapkan melalui uji organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor dari 3 respoden. Skala skor wangi 0= tidak wangi, 1= kurang wangi, 2= wangi, 3= wangi sekali.

Gambar 1 Lubang induksi pada batang pohon A.

microcarpa

Gambar 2 Panjang (P) dan lebar (L) zona perubahan warna pada batang A. microcarpa.

Uji Terpenoid. Bagian sampel kayu yang mengalami perubahan warna dianalisis kandungan senyawa terpenoid dengan menggunakan metode Liebermann-Burchard. Sebanyak 0.4 gram sampel dilarutkan dalam 5 ml etanol absolut panas kemudian disaring dalam cawan petri steril dan diuapkan sampai kering hingga terbentuk endapan berwarna kuning. Kemudian endapan ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenisasi. Selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan setetes asam sulfat pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987). Nilai absorbansi diperoleh dari sampel yang telah diuji Liebermann-Burchard kemudian diencerkan

P

(11)

dengan etanol absolut lalu dilihat kandungan triterpenoid menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 268 nm.

Analisis Data. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor (perlakuan dan masa inkubasi). Untuk mengetahui pengaruh nyata dari tiap faktor, maka digunakan uji F pada α = 0.05. Bila terdapat pengaruh nyata dari tiap faktor terhadap peubah yang diamati maka setiap taraf faktor dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada α = 0.05.

HASIL

Kebugaran Pohon. Pohon K, KB, KBG, PA, dan ET memberikan respon kebugaran yang berbeda. Pohon K, KB dan KBG tidak menunjukkan adanya perubahan warna pada daun, daun tetap segar dan hijau pada 1 bulan setelah induksi (bsi). Kemudian memasuki 2 bsi daun-daunnya habis dimakan ulat. Daun mulai tumbuh kembali di akhir pengamatan.

Inokulasi cendawan Acremonium sp. menyebabkan daun yang berada dekat dengan daerah induksi mengalami perubahan warna dari hijau menjadi kuning (klorosis). Perubahan warna terjadi pada 1 bsi. Setelah memasuki bulan kedua terjadi serangan ulat pada pohon-pohon ini sehingga daun yang tersisa sekitar 50 %. Daun habis dimakan ulat pada awal bulan ketiga (Gambar 3). Daun mulai tumbuh saat memasuki akhir bulan ketiga (akhir pengamatan). Daun-daun pada pohon ET habis terkena serangan ulat pada 1 bsi sehingga gejala klorosis tidak teramati. Daun mulai tumbuh kembali di bulan ketiga (akhir pengamatan).

Perubahan warna. Perubahan warna kayu terjadi pada semua pohon yang diberi perlakuan (Gambar 3). Intensitas warna kayu hanya dipengaruhi perlakuan dan tidak

dipengaruhi masa inkubasi (Lampiran 1). Secara umum Intensitas warnanya berbeda nyata dari kontrol (Tabel 1).

Warna kayu yang dihasilkan oleh semua perlakuan ET tidak berbeda nyata dari KB dan KBG serta hanya berwarna putih kecoklatan (Tabel 1). PA mengakibatkan perubahan warna kayu yang paling gelap dan berbeda nyata dari perlakuan lainnya.

Tabel 1 Intensitas warna kayu selama masa

pengamatan (0= putih, 1= putih

kecoklatan, 2= coklat, 3= coklat

kehitaman).

perlakuan Skor warna

K 0 c KB 1.43 b KBG 1.06 b PA 2.07 a ET0.5 1.22 b ET1.5 1.23 b ET2.5 1.4 b Keterangan :

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%.

• Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05.

Sama seperti halnya intensitas warna, panjang zona perubahan warna hanya dipengaruhi oleh perlakuan (Lampiran 2). Panjang zona perubahan warna pada semua perlakuan berbeda nyata dari kontrol (Tabel 2, Lampiran 2). Diantara perlakuan, KB menyebabkan terbentuknya zona perubahan warna terpanjang yang berbeda nyata dari KBG dan semua ET. Panjang zona perubahan warna KB ini tidak berbeda nyata dari PA. PA mengakibatkan perubahan warna yang lebih panjang namun tidak berbeda nyata dengan pemberian ET.

Gambar 3 Warna kayu Aquilaria microcarpa setelah diberi perlakuan (dari kiri ke kanan: skor warna 0= putih, 1= putih kecoklatan, 2= coklat, 3= coklat kehitaman).

(12)

Tabel 2 Panjang zona perubahan warna kayu

Aquilaria microcarpa secara vertikal

setelah diberi perlakuan.

perlakuan Panjang (cm) K 0 e KB 2.98 a KBG 1.75 cd PA 2.49 ab ET0.5 2.26 bc ET1.5 1.64 d ET2.5 2.18 bcd Keterangan :

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%.

• Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05.

Seperti halnya pada intensitas warna dan panjang, lebar zona perubahan warna kayu hanya dipengaruhi oleh perlakuan (Lampiran 3). Lebar zona perubahan warna pada semua perlakuan berbeda nyata dari kontrol (Tabel 3). Diantara perlakuan, PA menyebabkan terbentuknya zona perubahan warna terlebar dan berbeda nyata dari KBG dan semua ET. Lebar zona perubahan warna PA ini tidak berbeda nyata dari KB. Berdasarkan lebar zona perubahan warna, respon pohon terhadap ET juga tidak berbeda nyata dari KBG. Lebar zona perubahan warna pada masing-masing ET juga tidak menunjukkan adanya perbedaan (Tabel 3). Oleh sebab itu, ET tidak efektif untuk merangsang pohon memperlebar zona perubahan warna kayu (Lampiran 3).

Tingkat Wangi. Perlakuan dan masa inkubasi mempengaruhi tingkat wangi (Lampiran 4). Uji organoleptik terhadap pohon KB, KBG, PA dan ET menunjukkan adanya perbedaan tingkat wangi. Secara umum, aroma wangi tidak terdapat pada batang K, KB, KBG dan PA, semua ET kecuali pada 1 bsi. Secara statistik, aroma wangi yang dihasilkan oleh semua ET pada 1 bsi hanya termasuk ke dalam kategori agak wangi. Diantara tiga konsentrasi etepon, ET1.5 menghasilkan nilai skor wangi tertinggi namun tidak berbeda nyata dari ET0.5 dan ET2.5 pada 1 bsi. Tingkat wangi pada semua ET mengalami penurunan secara tidak nyata sampai akhir pengamatan (Tabel 4). ET mampu menginduksi wangi yang secara umum mirip Tabel 3 Lebar zona perubahan warna kayu

Aquilaria microcarpa secara horisontal

setelah diberi perlakuan.

perlakuan Lebar (cm) K 0 c KB 0.76 a KBG 0.56 b PA 0.80 a ET0.5 0.57 b ET1.5 0.48 b ET2.5 0.57 b Keterangan:

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%

• Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05.

Tabel 4 Tingkat wangi kayu Aquilaria microcarpa setelah diberi perlakuan berdasarkan sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=agak wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali).

Perlakuan

Skor wangi pada (bsi)

1 2 3

K 0 f 0 f 0 f

KB 0.21 def 0.48 def 0.78 bcd

KBG 0.13 ef 0.40 def 0.67 bcde

PA 0.42 def 0.63 cdef 0.74 bcde

ET0.5 1.26 ab 0.26 def 0.18 def

ET1.5 1.44 a 0.41 def 0.52 def

ET2.5 1.15 abc 0.71 bcde 0.71 def

Keterangan :

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%.

• Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05.

(13)

aroma gaharu, kecuali ET0.5 dan ET2.5 saat 1 bsi yang berturut-turut mirip aroma kopi dan apel.

Tingkat wangi pada titik induksi dapat bervariasi. Berdasarkan frekuensi tingkat wangi yang terbentuk pada titik induksi, semua perlakuan berpotensi merangsang munculnya aroma wangi dengan kategori agak wangi mulai dari 1 bsi, kecuali pada KB dan KBG (Tabel 5). Frekuensi tertinggi munculnya wangi terjadi pada 1 bsi, 11.1 – 66.6 % titik induksi pada kategori agak wangi dan 22.2 – 44.4% pada kategori wangi.

Pada 1 bsi, frekuensi wangi akibat perlakuan ET secara umum lebih tinggi dari KB, KBG dan PA pada semua kategori. Oleh sebab itu, pemberian ET cukup efektif untuk meningkatkan frekuensi wangi titik induksi. Namun diantara 3 konsentrasi ET, ET1.5 mampu menghasilkan frekuensi tingkat wangi tertinggi sebesar 88.8 %.

Pada semua perlakuan, tingkat perubahan warna kayu tidak berkorelasi dengan tingkat

wangi dengan nilai regresi (R2) = 0.1630 (Gambar 4).

Uji Terpenoid. Berdasarkan uji Liebermann-Burchard, warna merah atau ungu dan hijau berturut-turut mengindikasikan adanya senyawa triterpenoid dan sterol (Harbone 1987). Kedua senyawa tersebut tidak terdeteksi pada pohon K. Warna merah pada minyak gaharu yang telah diuji dengan pereaksi Liebermann-Burchard dijadikan sebagai pembanding kandungan triterpenoid perlakuan (Gambar 5). Pada batang dengan perlakuan ET1.5 terdeteksi adanya senyawa triterpenoid (Gambar 6). Senyawa sterol terdeteksi pada semua perlakuan, kecuali ET1.5 pada bulan ketiga.

Perlakuan dan masa inkubasi mempengaruhi nilai absorbansi secara nyata (Lampiran 5). Nilai absorbansi tertinggi terdapat pada perlakuan ET1.5 bulan ketiga sebesar 0.618 namun kurang dari nilai absorbansi minyak gaharu sebesar 0.813 (Tabel 6).

Tabel 5 Frekuensi titik induksi (%) yang menunjukkan kategori agak wangi (aw) dan wangi (w) *).

Perlakuan

Frekuensi titik induksi pada (bsi)

1 2 3 aw w aw w aw W K 0 0 0 0 0 0 KB 0 0 11.1 0 33.3 0 KBG 0 0 22.2 0 22.2 0 PA 22.2 0 22.2 0 44.4 0 ET0.5 11.11 44.4 11.1 0 11.1 0 ET1.5 66.6 22.2 33.3 0 33.3 0 ET2.5 44.4 22.2 22.2 11.1 44.4 0 Keterangan :

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%.

• *) = frekuensi dari 9 titik induksi.

Gambar 4 Hubungan antara skor warna dan skor wangi pada semua perlakuan didasarkan sistem skor (0= putih, tidak wangi; 1= putih kecoklatan, agak wangi; 2= coklat, wangi; 3= coklat kehitaman, wangi sekali).

R2 = 0.1639 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 skor warna skor wangi

(14)

Gambar 5 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada minyak gaharu berdasarkan uji Liebermann-Burchard.

Gambar 6 Senyawa triterpenoid dan sterol pada sampel bulan ke-3 yang terdeteksi berdasarkan uji Liebermann-Burchard (K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%.

Tabel 6 Nilai absorbansi ekstrak kayu gaharu Aquilaria microcarpa.

perlakuan

Nilai absorbansi masing-masing perlakuan pada (bsi)

1 2 3

K 0 f - 0 f - 0 f

-KB 0.12 def * 0.22 cdef * 0.39 bc *

KBG 0.29 bcde * 0.24 cdef * 0.34 bcde *

PA 0.15 def * 0.19 cdef * 0.27 cde *

ET0.5 0.27 cde * 0.28 bcde * 0.51 ab *

ET1.5 0.12 ef * 0.32 bcde * 0.62 a **

ET2.5 0.10 ef * 0.37 bcd * 0.33 bcde *

Keterangan :

• K = Kontrol, KB = Pohon yang dibor saja, KBG = Pohon yang dibor dan diberi air gula, PA = pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp., ET0.5 = pohon yang diberi etepon 0.5%, ET1.5 = pohon yang diberi etepon 1.5%, ET2.5 = pohon yang diberi etepon 2.5%

• Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05.

• Nilai absorbansi minyak gaharu = 0.813 - = tidak terdeteksi adanya terpenoid * = sterol

** = triterpenoid

PEMBAHASAN

Kebugaran Pohon. Pohon KB, KBG, PA, dan ET memberikan respon kebugaran yang berbeda. Respon awal batang terhadap inokulasi cendawan Acremonium sp. ditandai dengan terjadinya klorosis pada daun yang dekat dengan titik inokulasi. Agrios (2004) menyatakan bahwa infeksi cendawan dapat mengakibatkan tanaman mengalami klorosis pada daun dan nekrosis pada daerah terinfeksi. Hal ini didukung oleh Ramadhani (2005) yang

melaporkan adanya klorosis daun pada cabang Aquilaria crassna pada satu dan dua minggu setelah diinokulasi dengan pelet cendawan Acremonium sp. Putri (2007) juga melaporkan adanya klorosis pada daun yang terdapat ke arah ujung cabang A. crassna setelah diinokulasi dengan cendawan Acremonium sp. Berbeda dengan respon batang terhadap inokulasi cendawan Acremonium sp., daun-daun pada pohon yang diberi ET sudah terkena serangan ulat pemakan daun pada 1 bsi dan mulai tumbuh kembali di akhir

(15)

pengamatan. Sehingga efek pemberian etepon terhadap kebugaran pohon gaharu tidak teramati. Namun, penggunaan etepon yang berlebihan pada tanaman karet dapat menyebabkan kerusakan pohon dan menurunkan hasil lateks (Jetro & Simon 2007).

Perubahan Warna. Perubahan warna kayu terjadi pada pohon KB, KBG, PA dan ET. Sedangkan pohon K tidak menunjukkan adanya perubahan warna kayu selama pengamatan. Walker et al. (1997) menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna kayu menjadi coklat (browning) disebabkan oleh pelukaan, serangan penyakit oleh cendawan dan penggunaan senyawa kimia. Perubahan warna yang meningkat pada batang KB dan KBG diduga disebabkan oleh masuknya mikroorganisme udara ke dalam lubang induksi yang akan menginfeksi jaringan kayu. Adanya cendawan mikroskopik penyebab blue stain dapat mengakibatkan warna kayu yang terinfeksi menjadi coklat namun tidak menyebabkan kebusukan (Anonim 1999).

Perubahan warna kayu akibat inokulasi cendawan Acremonium sp. berkisar putih, putih kecoklatan dan coklat. Sedangkan, warna kayu yang dihasilkan oleh semua perlakuan ET hanya putih kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan warna merupakan respon non-spesifik tanaman terhadap adanya gangguan, karena respon dapat ditemukan baik pada pohon KB, KBG, PA dan ET. Rosita (2008) melaporkan bahwa perubahan warna pada cabang yang diberi perlakuan metil jasmonat maupun cabang yang diberi pelukaan merupakan respon non-spesifik tanaman terhadap gangguan.

Perubahan warna yang terjadi pada semua ET mengindikasikan bahwa senyawa gaharu mulai terbentuk. Hal ini didukung oleh Sumadiwangsa (1999) yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat sampai kehitaman merupakan gejala awal dari pembentukan senyawa gaharu.

Inokulasi cendawan Acremonium sp. mengakibatkan pembentukan zona perubahan warna yang lebih panjang daripada pemberian ET. Hal ini diduga bahwa cendawan Acremonium sp. mampu terus tumbuh dan berkembang dalam jaringan tanaman sedangkan ET ditransportasikan secara terbatas. Etepon merupakan bahan kimia yang terdegradasi menjadi etilen ketika dilarutkan ke dalam air. Etilen tersebut mirip dengan horman etilen alami yang diproduksi tanaman.

Etilen hasil degradasi etepon tersebut mempunyai paruh waktu sekitar 4 jam pada pH 7 di suhu 350C (Anonim 2000), sehingga hal ini diduga yang menyebabkan etilen tersebut tidak bertahan lama di jaringan tanaman. Hal ini mengindikasikan bahwa ET tidak efektif dalam meningkatkan intensitas warna kayu.

Lebar zona perubahan warna pada batang PA lebih besar dibandingkan dengan semua ET. Namun, konsentrasi ET tidak berpengaruh terhadap lebar zona perubahan warna. Oleh sebab itu, ET tidak efektif untuk merangsang pohon memperlebar zona perubahan warna kayu. Zona perubahan warna yang terbentuk ke arah atas dan bawah lebih besar daripada yang ke arah samping. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ET yang ditransportasikan mengikuti jalur pembuluh angkut. Hal ini didukung oleh Weaver et al. (1972) dalam Abeles (1973) yang menyatakan bahwa Ethrel bergerak dalam jaringan pengangkut floem. Tingkat Wangi. Uji organoleptik terhadap kayu yang mengalami perubahan warna dari pohon KB, KBG, PA dan ET menunjukkan adanya perbedaan tingkat wangi. Secara umum, indeks wangi ini masuk dalam kategori tidak wangi, kecuali pemberian ET pada semua konsentrasi pada 1 bsi. Terdeteksinya aroma wangi gaharu merupakan salah satu indikasi mulai terbentuknya senyawa gaharu. Senyawa gaharu diduga merupakan bagian dari senyawa fitoaleksin, yaitu senyawa yang dibentuk tanaman sebagai respon terhadap adanya gangguan baik fisik, kimia maupun biologi (Nurhayaty 2004; Michiho et al. 2005; Anonim 2008).

Aroma wangi pada 1 bsi hanya terdeteksi pada batang yang diberi perlakuan ET. Hal ini membuktikan bahwa respon wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan tertentu, yaitu induksi ET. Perlakuan ET menghasilkan tingkat wangi yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi cendawan Acremonium sp. ET merupakan senyawa sinyal untuk pembentukan fitoaleksin. Etilen mampu menginduksi pembentukan senyawa antimikrob seperti fitoaleksin (Lamb & Dixon, 1997 diacu dalam Clarke et al., 2000). Lee et al. (2000) menyatakan bahwa etilen mampu menginduksi CATHION1 mRNA yang terlibat dalam lintasan transduksi sinyal pertahanan tanaman untuk mensintesis thionin pada tanaman lada. Menurut Iwai et al. (2006) etilen dan sianida hasil akhir dari biosintesis etilen berperan dalam pertahanan terhadap

(16)

penyakit Blast pada tanaman padi Japonica (Oryza sativa cv. Nipponbare). Sedangkan cendawan Acremonium sp. diduga merangsang pohon gaharu membentuk senyawa sinyal sebelum memasuki lintasan biosintesis fitoaleksin (Putri 2007).

Tingkat wangi pada semua perlakuan menurun sampai akhir pengamatan. Penurunan tingkat wangi diduga disebabkan oleh menurunnya jumlah daun akibat serangan ulat sehingga akumulasi senyawa terpenoid dalam jaringan berkurang. Senyawa terpenoid termasuk salah satu jenis metabolit sekunder. Pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi oleh ketersediaan metabolit primer (Verpoorte & Alferman 2000). Selain itu, penurunan aroma wangi diduga juga disebabkan oleh menurunnya senyawa sesquiterpenoid. Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991) komponen utama gaharu adalah oleoresin. Selanjutnya, oleoresin tersebut mengandung senyawa sesquiterpenoid dan turunannya yang bersifat mudah menguap (Michiho et al. 2005).

Aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan tingkat kepekatan warna kayu. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahayu et. al (1999) dan Rosita (2008) yang menyatakan bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu.

Uji Terpenoid. Uji terpenoid menggunakan metode Liebermann-Burchard hanya ditujukan untuk mendeteksi adanya kelompok triterpenoid. Adanya kandungan triterpenoid ini terbukti dengan munculnya warna merah pada endapan setelah direaksikan dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Pada kayu yang diberi ET, senyawa triterpenoid hanya terdeteksi pada ET1.5 saat 3 bsi. Sedangkan, warna hijau yang muncul pada endapan setelah direaksikan dengan pereaksi Liebermann-Burchard, kecuali ET1.5 pada bulan ketiga ulangan 3, menunjukkan adanya senyawa sterol. Menurut Hess (1975) dan Harborne (1987) sterol merupakan salah satu anggota senyawa terpenoid golongan triterpenoid. Senyawa terpenoid merupakan metabolit sekunder yang diproduksi tanaman sebagai senyawa pertahanan tehadap adanya gangguan dari lingkungan (Verpoorte & Alferman 2000). Triterpenoid berperan sebagai pelindung untuk menolak serangga dan mikroba (Harborne 1987).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ET mampu menginduksi senyawa terpenoid. Hal ini didukung oleh Huang (2005)

menyatakan bahwa etilen eksogen yang diaplikasikan pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum K326) yang terinfeksi Pseudomonas syringae mampu mengatur penginduksian sesquiterpenoid. Penggunaan 2,5% (Dey et al. 2004) atau 2,02 % Etepon (Nurkholis 2005) pada tanaman karet dapat meningkatkan hasil lateks. Sedangkan LET 200 (etilen dalam bentuk gas) dapat meningkatkan produksi karet kering sangat nyata (Junaidi et al. 2007). Lateks tersebut merupakan senyawa terpenoid kelompok politerpenoid (Harborne 1987).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Etepon mampu menginduksi pembentukan senyawa terpenoid yang lebih baik daripada pohon yang dibor saja, pohon yang dibor dan diberi air gula, serta pohon yang diinokulasi cendawan Acremonium sp. Senyawa terpenoid yang terdeteksi adalah sterol, kecuali etepon 1.5% merangsang pembentukan triterpenoid.

Etepon mampu menginduksi wangi yang secara umum mirip aroma gaharu, kecuali etepon 0.5% dan etepon 2.5% saat 1 bsi yang berturut-turut mirip aroma kopi dan apel. Skor wangi tertinggi terdapat pada etepon 1.5% saat 1 bsi (1.44 dari skala 3) namun tidak berbeda nyata dari ET lainnya. Frekuensi titik induksi pada kategori agak wangi dan wangi tertinggi terdapat pada etepon 1.5% saat 1 bsi sebesar 88.8%.

Senyawa triterpenoid hanya terdeteksi pada etepon 1.5% di 3 bsi dengan nilai absorbansi sebesar 0.618 yang kurang dari nilai absorbansi minyak gaharu (0.813).

Etepon tidak mampu mengubah warna kayu menjadi lebih baik daripada Acremonium sp.

Saran

Konsentrasi etepon yang tepat untuk menginduksi pembentukan wangi gaharu dan senyawa terpenoid pada pohon A. microcarpa perlu terus dipelajari untuk mendapatkan gaharu yang lebih berkualitas. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap pembentukan senyawa terpenoid juga perlu diteliti lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abeles FB. 1973. Ethylene in Plant Biology. New York: Academic Press, Inc.

(17)

Agrios GN. 2004. Plant Pathology. Ed ke-5. California: Academic Press, Inc.

Anonim. 1999. Blue stain. U.S. Department of Agriculture. www.fpl.fs.fed.us. [18 Des 2008].

. 2000. Ethephon. http://google.com. [2 Apr 2008]

. 2006. Penyulingan Minyak Gaharu Bina Karya. [terhubung berkala]. http://bpplsp.reg5.go.id [20 November 2007].

. 2008. Phytoalexin. http://Linkeshut. bdh.fkt.ugm.ac.id. [8 Des 2008].

Atta-Aly MA, Riad GS, Lacheene Zel-S, Beltagy AS. 1998. Early ethrel application extends tomato fruit cell division and increase fruit size and yield with ripening delay. World Conference on Horticultural Research. Rome. 17-20 June 1998.

Clarke JD, Volko SM, Ausubel FM, Dong Xinnian. 2000. Roles of salicylic acid, jasmonic acid, dan ethylene in cpr-induced resistance in arabidopsis. The Plant Cell; 12: 2175-2190.

Standar Nasional Indonesia. 1999. Gaharu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Dey SK, Das G, Alam B, Sarma AC. 2004.

Path analysis of yield and major yield components of Hevea brasiliensis clone RRIM 600 under environmental conditions of Tripura [Abstrak]. Nat Rubber Res 17(2): 180-186.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soedira. ITB Press: Bandung.

Haryati. 2003. Peranan Ethephon terhadap Pertumbuhan Generatif Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian USU. Medan.

Hess Dieter. 1975. Plant Physiology. New York: Springer-Verlag New York Inc. Huang J, Schmelz EA, Alborn H, Engelberth

J, Tumlinson JH. 2005. Phytohormones

mediate volatile emissions during the interaction of compatible and

incompatible pathogens: The role of ethylene in Pseudomonas syringae infected tobacco. J Chem Ecol. 31(3): 439-459.

Iwai T, Miyasaka A, Seo S, Ohashi Y. 2006. Contribution of ethylene biosynthesis for resistance to blast fungus infection in young rice plants. Plant Physiol 142: 1202-1215.

Jetro NN, Simon GM. 2007. Effects of 2-chloroethylphosphonic acid formulations as yield stimulants on Hevea brasiliensis. Afr J Biotechnol 6 (5): 523-528.

Junaidi, Sumarmadji, Karyudi. 2007. Aplikasi Stimulan Gas LET 200 untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Balai Penelitian Sungei Putih (Pusat Penelitian Karet).

Lee SC, Hong JK, Kim YJ, Hwang BK. 2000. Pepper gene encoding thionin is differentially induced by pathogens, ethylene and methyl jasmonate. Physiol Molecul Plant Pathol 56 (5): abstrak [terhubung berkala]. http://www.inist. com. [22 Des 2008].

Michiho I, Ken-ichiro O, Toru Y, Gisho H. 2005. Induction of sesquiterpenoid production by methyl jasmonate in Aquilaria sinensis cell suspension culture. J Essent Oil Res. http://www. findarticles. com. [26 Des 2008].

Nurhayaty N. 2004. Kesesuaian beberapa hifomiset dengan Aquilaria microcarpa klon Ami5 dan Ami6 [Skripsi]. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, IPB. Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991.

Preliminary observation of Aquilaria crassna wood asosiated with the formation of Aloewood. Bull Kyoto Univ 63: 226-235.

Nurkholis. 2005. Pengaruh Pemupukan Nitrogen dan Konsentrasi Etepon terhadap Hasil Lateks Karet. [terhubung berkala]. http://www.bdpunib.org. [20 November 2007].

(18)

Putri A. 2007. Induksi terbentuknya senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium sp. dan MeJA [Skripsi]. Bogor: Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Rahayu G, Isnaeni Y, Umboh MIJ. 1999.

Potensi beberapa hifomiset dalam induksi gejala pembentukan gubal gaharu. Makalah Seminar Kongres Nasional ke-XV dan Seminar Ilmiah PFI: Purwokerto, 16-18 September 1999. Purwokerto: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Hlm:1-6.

Rahayu G, Situmorang J. 2006. Menuju Produksi Senyawa Gaharu secara Lestari. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarat IPB. Ramadhani CH. 2005. Pengamatan included

phloem dan jaringan pengakumulasi gaharu pada Aquilaria crassna [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Rosita R. 2008. Efektivitas pemberian metil jasmonat secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid

pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Shirsat AH, Gatehouse JA, Robinson NJ. 1999. Plant Biochemistry and Molekular. Second edition. Chichester: John Wiley & Sons.

Sumadiwangsa S, Zulnely. 1999. Catatan mengenai gaharu di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan 5(2): 80-90.

Verpoorte R, Alferman AW. 2000. Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Walker D, Taylor RW, Mulrooney RP. 1997. Diagnosing Field Crops Problems. http://ag.udel.edu/extension. [8 Desember 2008].

Yang Y, Shah J, Klessig DF. 1997. Signal perception and transduction in plant defense respone. Genes Dev 11: 1621-1639.

(19)
(20)

Lampiran 1 Analisis dan uji lanjut Duncan intensitas warna kayu

I.

Sidik ragam intensitas warna kayu

Sumber

db

JK

KT

F-hit

Nilai P

perlakuan

6

19.91

3.3182

24.98

<.0001

masa inkubasi

2

0.3303

0.1652

1.24

0.2988

perlakuan*masa inkubasi

12

1.8182

0.1515

1.14

0.3554

II.

Uji lanjut Duncan perlakuan

c

b

a

Lampiran 2 Analisis dan uji lanjut Duncan panjang zona perubahan warna kayu

I.

Sidik ragam panjang zona perubahan warna kayu

Sumber

db

JK

KT

F-hit

Nilai P

perlakuan

6

48.7005

8.1167

26.97

<.0001

masa inkubasi

2

0.8565

0.0714

0.24

0.9950

perlakuan*masa inkubasi

12

0.5149

0.2574

0.86

0.4324

II.

Uji lanjut Duncan perlakuan

d

bcd

ab

e

bc

Lampiran 3 Analisis dan uji lanjut Duncan lebar zona perubahan warna kayu

I.

Sidik ragam lebar zona perubahan warna kayu

Sumber

db

JK

KT

F-hit

Nilai P

perlakuan

6

3.7104 0.6184 79.69 <.0001

masa inkubasi

2 0.0136 0.0068 0.87

0.4247

perlakuan* masa inkubasi

12

0.0203 0.0017 0.22

0.9966

II.

Uji lanjut Duncan perlakuan

b

c

a

0

K

0.48

ET1.5

0.56

KBG

0.57

ET2.5

0.57

ET0.5

0.76

KB

0.80

PA

0

K

1.06

KBG

1.22

ET0.5

1.43

KB

1.4

ET2.5

2.01

PA

1.23

ET1.5

0

K

1.64

ET1.5

1.75

KBG

2.18

ET2.5

2.26

ET0.5

2.98

KB

2.497

PA

cd

a

(21)

Lampiran 4 Analisis dan uji lanjut Duncan tingkat wangi kayu

I.

Sidik ragam tingkat wangi kayu

Sumber

db

JK

KT

F-hit

Nilai P

perlakuan

6

4.0199

0.6699

7.43

<.0001

masa inkubasi

2 0.6788

0.3339

3.77

0.0313

perlakuan* masa inkubasi

12

5.2549

0.4379

4.86

<.0001

II.

Uji lanjut Duncan perlakuan

b

a

ab

c

0

K

0.40

KBG

0.49

KB

0.57

ET0.5

0.59

PA

0.73

ET1.5

0.85

ET2.5

Uji lanjut Duncan masa inkubasi

a

b

0.42

2 bsi

0.45

3 bsi

0.66

1 bsi

Lampiran 5 Analisis dan uji lanjut Duncan nilai absorbansi ekstrak triterpenoid

asal kayu gaharu

I.

Sidik ragam nilai absorbansi ekstrak triterpenoid asal kayu gaharu

Sumber

db

JK

KT

F-hit

Nilai P

perlakuan

6

0.98780930

0.16463488

4.82

0.0008

masa inkubasi

2 0.59372698

0.29686349

8.69

0.0007

perlakuan* masa inkubasi

12

0.65280346

0.05440029

1.59

0.1308

II.

Uji lanjut Duncan perlakuan

c

b

a

ab

0

0.20

0.25

0.27

0.29

0.36

0.43

K

PA

KB

ET2.5

KBG

ET0.5

ET1.5

III.

Uji lanjut Duncan masa inkubasi

a

b

0.15

1 bsi

0.23

2 bsi

0.39

3bsi

Keterangan: 1. db = derajat bebas 2. JK = Jumlah Kuadrat 3. KT = Kuadrat Tengah

Gambar

Gambar  1  Lubang  induksi  pada  batang  pohon  A.

Referensi

Dokumen terkait

+) asaran + adalah kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi yang bertujuan rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif  mengembangkan suatu

35 Mia dengan hidup hemat dan menabung, Wulan dengan mengembangkan usaha sam- pingan, dan Supinah dengan melakukan deversifikasi usaha. seniman dan mampu

Jika nilai tukar Rupiah melemah atau menguat sebesar 10% dibandingkan dengan nilai tukar Dollar Amerika Serikat per tanggal 30 Juni 2014 (dengan semua variabel lainnya dianggap

Bagi negara yang mengandalkan sektor pajak sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan akan menghadapi masalah besar jika para wajib pajak (WP) nya masih sering

Skripsi PENERAPAN PRINSIP GOOD GEVERNANCE PADA .... Nurlaily

Melalui media pembelajaran hen- daknya nilai-nilai karakter dapat ditum- buhkan tidak hanya menjadi faktor penting dalam menyampaikan informasi materi pelajaran namun juga berisi

Untuk melaksanakan perbaikan kerusakan pada baling-baling tersebut kapal harus masuk dok, biasanya dilaksanakan pada waktu docking tahunan, tapi pada kasus daun

Desain penelitian ini adalah penelitian kuanti-tatif dengan pengujian hipotesis yang bertujuan un- tuk menguji pengaruh keterlibatan pemakai dalam proses pengembangan