• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN SEMENTARA KAJIAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM P2KP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN SEMENTARA KAJIAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM P2KP"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN SEMENTARA KAJIAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM P2KP

Kelurahan : Serae

Kecamatan : Mpunda (Pemekaran dari Kec.Rasanae Barat) Kota : Bima

Propinsi : Nusa Tenggara Barat

Kategori : Partisipasi Perempuan Tinggi Tim : Ary Wahyono dan Marini Purnomo Periode Lapangan: 9 Juni – 22 Juni 2009

A. Pendahuluan (Sekilas Profil Kelurahan)1

Kelurahan Sarae pada awalnya merupakan bagian dari Kecamatan Rasanae Barat, namun tahun 2008 terjadi pemekaran kecamatan sehingga kelurahan ini kemudian menjadi bagian dari Kecamatan Mpunda. Kelurahan ini terdiri dari 6 RW, 16 RT. Kelurahan Sarae merupakan kelurahan yang berada di ”jantung” Kota Bima, yang berbatasan langsung atau sebagian wilayahnya merupakan pasar besar Kota Bima dan merupakan wilayah istana kerajaan Bima. Kelurahan yang langsung berbatasan dengan jantung Kota Bima adalah Sarae, Tanjung dan Paruga. Kondisi ini kemudian melahirkan karakteristik sebagai wilayah ”urban” yang cukup kental, dimana sebagian besar mata pencaharian warganya adalah buruh serabutan di pasar sekitar 48% dari jumlah angkatan kerja, dan sekitar 30% penduduk yang status kerjanya ibu rumah tangga. Sebagaian besar dari status kerja ibu rumah tangga ini dalam kesehariannya banyak yang membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan

makanan kecil seperti Salome2, gado-gado, rujak, bakulan (berjualan) di pasar atau

atau berjualan di”rombong”.3 Ibu-ibu atau perempuan yang ”bekerja” seperti ini

tidak dimasukkan statusnya sebagai pekerja, namun dianggap sebagai ibu rumah tangga.

Karakteristik urban pasar ini makin diperkuat dengan beragamnya etnis yang ada di kelurahan ini, yaitu etnis Tionghoa 124 orang, Jawa 86 orang, Lombok 49 orang, Ende 46 orang, Flores 41 orang, Arab 34 orang dan Padang 16 orang yang kesemuanya terkonsentrasi bertempat tinggal di sekitar pasar. Ada sekitar 8 RT dari 16 RT di

1 Profil Kelurahan Sarae, tahun 2007

2 makanan khas Bima yang terbuat dari tepung kanji dan daging yang dibungkus tahu atau tanpa tahu, yang cara makannya

dicampur saos. Sepintas makanan ini mirip dengan bakso.

3 Rombong ini adalah warung kecil mirip Grobok Rokok (istilah Jakarta), yang sifatnya bergerak/bisa berpindah-pindah. Yang

(2)

kelurahan ini yang berbatasan atau menjadi bagian dari pasar dan wilayah istana kerajaan.

Jumlah penduduk di kelurahan ini sebanyak 4.966 orang, yang 2.650 orang (53%) diantaranya adalah perempuan. Jumlah Kepala Keluarga sebanyak 1.120 KK, 17 KK diantaranya perempuan. Jumlah penduduk miskin berdasarkan hasil social mapping yang dilakukan oleh faskel sebesar 45%, yang seimbang antara laki-laki dan perempuannya.

Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar (54%) penduduk Kelurahan Sarae berpendidikan Menengah Atas (SMA sederajat), sekitar 15% lainnya berpendidikan diatas SMA (sederajat), dan kurang dari 1% penduduk yang buta huruf (laki-laki dan perempuannya seimbang). Namun jika dilihat dari jumlah anak usia sekolah yang

tidak bersekolah 60% diantaranya adalah perempuan.4

Berdasarkan hasil social mapping yang dilakukan faskel, secara kuantitas tingkat

partisipasi perempuan dalam organisasi kelembagaan yang ada di kelurahan ini cukup tinggi. Partisipasi perempuan di LPM 88%, di Karang Taruna 75% dan Remaja

Mesjid 64%.5

Pada tahun 2007, Kelurahan Sarae menjadi juara 1 Lomba Kelurahan Se-NTB, dan Juara 6 Kelurahan Tingkat Nasional. Situasi ini menggambarkan sebuah kelurahan yang rapi dan tertib secara administratif. Saat ini kantor kelurahan Sarae merupakan kantor kelurahan termegah se-NTB, sebagai hadiah dari Propinsi NTB atas kemenangan kelurahan ini dalam Lomba Kelurahan tahun 2007.

B. Ringkasan Hasil (Temuan) Sangat Sementara

Pertanyaan 1 : Apakah masalah-masalah, hambatan-hambatan dan juga peluang-peluang utama yang mempengaruhi pemberdayaan ekonomi-sosial dan politik perempuan, khususnya berhubungan dengan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.

Keterlibatan perempuan dalam P2KP di Kelurahan Sarae pada awalnya jika dilihat dari kuantitas/jumlah perempuan cukup baik. Ini bisa dilihat dari data SIM Kota Bima yang menunjukkan pencapaian PAD dalam P2KP di kelurahan ini rata-rata mencapai 62%. Angka ini jauh melampaui target PAD sebesar 30%.

Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam program P2KP dapat dilihat disetiap siklus P2KP. Di tingkat korkot, sekalipun korkot bukan seorang perempuan, tetapi dalam proses pengambilan keputusan tampaknya melibatkan dua asistennya (askot) yang perempuan. Korkot yang relatif baru belum memiliki

4 Profil Kelurahan Sarae, diperkuat dengan data Social Mapping Tim Faskel Kecamatan Rasanae Barat. 5 Laporan social mapping Tim Faskel Kelurahan Rasanae Barat, Kel. Sarae, tahun 2007

(3)

pengalaman (dalam siklus P2KP), sementara satu askotnya (asskot ekonomi) adalah faskel perempuan dan paling senior (karena kawan-kawan seangkatan sudah keluar dari P2KP, ada yang menjadi PNS, pindah ke lokasi lain atau menjadi caleg DPRD). Askot ini selalu diminta pertimbangan oleh Korkot karena senior dan berpengalam di P2KP. Sementara itu, askot perempuan lainnya (askot infrastruktur) adalah askot baru yang tidak punya pengalaman di P2KP menjadi kontroversial di lingkungan para faskel (terutama yang merasa sudah lama di P2KP). Askot ini kontroversial karena bukan berasal dari faskel tetapi direkrut dari luar (diangkat oleh TL KMW yang juga baru bergabung Mei 2009). Persoalan ini menjadi wacana yang berkembang di kalangan komunitas P2KP di Kota Bima. Sebagian faskel yang merasa sudah senior dan lama berpengalaman di P2KP ini merasa kecewa dengan

situasi tersebut. Kesan mereka peningkatan karir di P2KP berdasarkan like and

dislike dan tergantung kedekatan dengan para pengambil keputusan, khususnya dengan yang ditingkat KMW.

Di tingkat kelurahan, proses pengambilan keputusan di BKM hampir tidak pernah berjalan dengan melibatkan semua anggota, bahkan sebagian besar anggota BKM tidak tahu tentang perkembangan pelaksanaan P2KP, kecuali yang terjadi diawal-awal munculnya program ini (hanya sampai BLM I cair). BKM cenderung dijalankan sebagian anggota saja (sekitar 3-5 orang), yaitu koordinator dan 2-3 orang anggota yang memang punya kedekatan khusus dengan koordinator (karena masih ada hubungan saudara, terlibat bersama dalam keanggotaan lain, yang pasti mereka yang cenderung satu pemahaman). Selain itu, BKM yang seharusnya tugas fungsinya lebih pada melakukan pengawasan, dalam realitanya lebih banyak menjadi pelaksana kegiatan yang mestinya dilakukan oleh UP (Unit pelaksana). BKM sering memasuki wilayah kerja seperti penentuan warga yang akan diberi dana bergulir, pengadaan/pembelian bahan bangunan untuk pekerjaan fisik/lingkungan seperti pembangunan jalan. Praktis UP ini hanya sekedar nama, tanpa banyak tahu apa sebenarnya yang harus dilakukan.

Kondisi ini terjadi tidak lepas dari alasan karena BKM dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan P2KP, sehingga butuh orang-orang yang betul-betul dipercaya untuk bisa melaksanakan program P2KP. Sayangnya yang muncul kemudian adalah dis-trust atau ketidakpercayaan kepada massyarakat untuk menjadi pelaksana program, yang akhirnya menyebabkan semua pekerjaan pelaksanaan program (terutama fisik) banyak yang diambil alih atau dikerjakan langsung oleh BKM.

”Sebenarnya fungsi BKM adalah menjebatani masyarakat dengan Faskel atau pelaku P2KP tetapi sekarang malahan BKM yang dominasi proyek terutama fisik seperti Rabat gang, perbaikan saluran dan pompa air) UP sebagai pelaksana tidak punya pekerjaan. UPK juga baru berfungsi setelah BLM II. Sebenarnya untuk proyek fisik itu ada panitia, panitianya sih ada tetapi bekerja atas perintah BKM, dan itupun hanya bantu pekerjaan pembangunannya saja. (Mantan Sekretaris BKM, Kel. Sarae)

(4)

Soal keterlibatan perempuan dalam BKM jelas tidak ada. Semula, dari 13 orang anggota BKM ada 1 orang perempuan. Namun belakangan, ketika BLM II turun dimana fungsi UPK mulai berjalan, maka anggota BKM yang perempuan ini mengundurkan diri dan kemudian menjadi bendahara UPK berdasarkan hasil musyawarah BKM dan Faskel. Alasannya daripada fungsi anggota BKM yang bersangkutan tidak maksimal di BKM, mending menjadi bendahara UPK yang dianggap lebih jelas pekerjaannya, BKM tidak perlu repot menjelaskan ulang tentang program dan untuk mencari tenaga baru juga tidak mudah. Anggota BKM yang bersangkutan dianggap lebih berkompeten dan pas untuk menduduki posisi tersebut. Dari sisi anggota BKM tadi, beliau juga merasa lebih pas menjadi bendahara UPK, karena latarbelakang pendidikannya (SMEA), dan beliau merasa tidak terlalu nyaman menjadi anggota BKM yang semuanya lelaki dan sebagian besar sudah setengah baya, disamping pertemuan BKM yang sering dilakukan hingga larut malam. Sementara yang bersangkutan adalah tipe perempuan muda, enerjik, kritis, dan aktif. Praktis di UPK, walau posisinya bukan ketua UPK, namun dalam realitanya bendaha menjadi ujung tombak pelaksanaan dana bergulir di keluarahn tersebut. Ketua UPK hanya sekedar nama dan jabatan saja, tanpa peran yang berarti.

”Di BKM hanya satu perempuan karena kurang yang punya kempuan dan kurang ada waktu. Ibu-ibu disini sebagian besar adalah pedagang bakulan, jajanan, jual ikan, ayam dll di pasar maupun di rumahnya masing-masing.” (Mantan Anggota BKM Perempuan)

”Karena saya di BKM tidak ada kerjaan yang aktif hanya ketua BKM saja, lalu saya pilih UPK saja karena saya lihat ada kerjaan yang bisa kita lakukan dan sesuai dengan keahlian saya (tamatan SMEA). Walupun di UPK itu ada ketua, namun kenyataannya hanya namanya saja. Orangnya juga sudah tua.” (Mantan Anggota BKM Perempuan)

”UPK ini di pilih di tangani oleh perempuan karena untuk mengelola dana bergulir dibutuhkan perempuan yang punya kealian yang teliti dan pahan ttg admin karena di sara’e ini jarang perempuan yang punya keahlian.”

(Mantan Sekretaris BKM, Kel. Sarae)

Dalam proses pemilihan anggota BKM, di setiap RT diwakili minimal 1 orang perempuan dari 3 warga yang mewakili. Namun dalam realitanya perempuan sendiri cenderung lebih memilih laki-laki daripada perempuan, yang laki-laki sudah pasti tidak akan memilih perempuan. Walau menurut informasi beberapa orang yang hadir dalam pemilihan anggota BKM memang banyak perempuan yang tidak hadir, karena lebih memilih tinggal di rumah atau berjualan di pasar, atau juga karena memang tidak tahu atau tidak terpilih untuk mewakili RT-nya.

”Memang awalnya relawan di dominasi oleh perempuan tetapi pada saat pemilihan BKM hanya 1 perempuan yang terpilih, itupun

(5)

alternatif terakhir karena di BKM tidak ada perempuan. Waktu itu memang ada bisik-bisik dari pak RT dan Pak RW pilih orang itu yang amanah, jujur dan saya pada tanya teman-teman lain mereka pilih siapa dan mereka pilih Pak Haris (red: Ketua BKM sekarang, yang mendapat suara terbanyak) jadi saya ikut saja. Dan juga yang hadir pada saat pemilihan BKM itu banyak keluarga Pak Haris. Dan memang Pak Haris ini sudah biasa menangani proyek, dan ada saran pemimpin harus laki laki, dan disini sudah kebiasaan pilih orang itu – itu saja.” (Relawan Perempuan, RT 16)

”Perempuan tidak dipilih (red: jadi BKM) mungkin karena perempuan banyak kesibukan, urus rumah tangga dan dagang. Misal kalau ada rapat di kantor lurah perempuan itu menyuruh pak lurah untuk cepat menyelesaikan rapat karena takut belum masak dan urus anak anak di rumah.” (Hasil FGD dengan Relawan Perempuan, Kel. Sarae)

Perempuan sendiri dalam keikutsertaannya di masyarakat sendiri ternyata tidak begitu percaya diri untuk tampil disamping memang merasa takut dianggap ambisi. Perempuan sering tidak dianggap jika tampil di depan umum, hanya laki-laki yang biasanya diperhatikan. Kondisi inilah yang kemudian membuat rasa percaya diri semakin rendah. Disamping dalam setiap proses pemilihan apapun di tingkat kelurahan, warga cenderung berkelompok dan saling kompak memilih seseorang (yang umumnya laki-laki), sehingga terkesan ikut-ikutan saja.

”Yang diprioritaskan selalu lelaki. Kalau perempuan yang tampil tidak diperhatikan, sehingga perempuan menjadi malu. Kita mengajukan diri juga tidak enak, takut dibilang ambisi.” (Relawan Perempuan, RT 13, Kel. Sarae)

”Pada saat pemilihan BKM kami tidak pilih perempuan karena perempuan malu dan tidak mau.” (Relawan Perempuan RT 16, Kel. Sarae)

”Perempuan di sini tidak ada yang berani tampil di forum, juga perempuan di sini lebih di sibukan oleh urusan dagang dan rumah tangga. Hal hal yang dilarang suami ya keluar malan dan jalan jalan yang tidak jelas tujuannya.” (Mantan Relawan Laki-laki, RT 4)

”Untuk di kelurahan Sara’e yang aktif hanya orang orang itu saja, dan pada saat pemilihan BKM masyarakat itu sudah di politisir untuk memilih orang – orang itu saja.” (Elit laki-laki, RT 4)

Selain itu kurangnya peran perempuan dalam berbagai aktivitas di lingkungan sosialnya, karena tekanan dari sesama perempuan itu sendiri. Jika ada perempuan yang terlihat menonjol, kritis, maka oleh sesama perempuan yang lain orang yang

(6)

bersangkutan akan ditegur, dicubit, disenggol-senggol sebagai syarat agar perempuan yang kritis tersebut tidak ”bawel”.

”Saya sering memberikan saran pada BKM tetapi ibu-ibu yang lain suka cubit paha saya supaya saya tidak terlau kritis atau banyak omong.” (Relawan Perempuan, RT 2, Kel. Sarae)

”Tidak terpilihnya perempuan waktu pemilihan BKM, mungkin karena takut karena perempuan itu terlalu cerewet dan bawel, dan laki-laki yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah.” (Relawan Laki-laki, RT 13)

Pertanyaan 2 : Apa peran elit perempuan dalam kerelawan lokal, dan sejauh mana keterlibatan mereka mempengaruhi perempuan miskin sebagai penerima BLM ?

Program P2KP di kelurahan ini tidak menarik kalangan elit perempuan. Elit perempuan seperti guru, pegawai kantor pemda, bidan atau istri dari suami yang memiliki pekerjaan pegawai kantor, guru, anggota DPRD tidak ada yang aktif dalam kerelawanan di P2KP, Hal ini terjadi karena ada persepsi di kalangan elit perempuan dan info yang diperoleh dari RT bahwa kerelawanan di P2KP tidak bisa melibatkan perempuan yang sudah mendapat gaji atau bekerja di kantoran.

”Bukannya kata Pak RT, kalo kita-kita yang sudah ber-gaji ini gak boleh lagi ikut P2KP? P2KP kan katanya buat orang-orang yang bakulan saja?” (Ibu Guru, Kel. Sarae).

”Saya tidak ikut program P2KP karena kata pak RT tidak boleh PNS yang sudah punya gaji yang ikut. Mau juga ikut tetapi tidak di ajak.” (Ibu Guru, Kel. Sarae)

Dengan kondisi ini juga tidak jarang para perempuan elit ini juga mendapat larangan dari para suami yang menganggap urusan istrinya sudah terlalu banyak, karena bekerja diluar rumah, sehingga harus mengurus keluarga setelah pulang bekerja. Persepsi menjadi relawanan hanya diperuntukan bagi warga yang tidak mendapat gaji, seperti pedagang warungan atau usaha di pasar.

”Untuk perempuan Elit mereka banyak yang tidak mau terlibat dan kadang di larang suami karena istrinya sudah punya pekerjaan dan sibuk dengan keluarga.” (Relawan Perempuan, RT 2, Kel Sarae).

”Untuk perempuan elit walaupun di undang mereka jarang hadir hanya orang seperti kita kita saja, soalnya mereka sudah ada kesibukan lain dan sudah punya banyk uang. Kebanyakan yang hadir rapat hanya pedagang bakulan karena siapa tahu dengan sering datang rapat di

(7)

kelurahan akan dapat modal usaha.” (FGD dengan Relawan Perempuan, Kel. Sarae)

Namun demikian bukan berarti elit perempuan eksklusif-tidak berinteraksi dengan perempuan miskin. Mereka bisa bertemu dalam forum-forum pertemuan yang khusus perempuan, seperti pengajian, majelis taklim, PKK. Forum-forum perempuan seperti itu yang mempersatukan elit perempuan dan perempuan miskin.

Kerelawanan dipersepsikan pekerjaan membantu pendataan orang miskin untuk program dana bergulir P2KP, dan oleh karena itu warga yang menginginkan bantuan modal usaha, seperti pedagang atau usaha jualan yang bisa menjadi relawan. Indikator ini nampak jika dilihat dari latarbelakang relawan di kelurahan ini baik laki-laki maupun perempuannya adalah para pedagang dan bakulan, yang sejak awal diiming-imingi bahwa akan ada proyek dana bergulir sebesar Rp 300 juta yang akan ada di kelurahan ini.

Setelah BKM terbentuk, kenyataannya para relawan yang tidak terpilih menjadi anggota BKM merasa dipinggirkan, tidak dianggap, padahal mereka merasa bahwa tanpa para relawan ini P2KP tidak akan ada di kelurahan mereka, karena semua proses awal justru dilakukan oleh relawan.

”Sekarang saya merasa tidak terpakai lagi karena sudah tidak mengerjakan apa–apa lagi, padahal saya masih ingin sekali tetap aktif dan selesai tugas relawan tidak ada penghargaan sama sekali.” (Relawan Perempuan, RT 13) ”Setelah BKM saya terbentuk merasa kecewa karena seakan di lupakan.” (FGD KSM Perempuan)

Dalam proses perekrutan relawan, tidak semua prosesnya berjalan mulus. Mereka yang menjadi relawan sebagian besar ditunjuk oleh Ketua RT, bukan berdasarkan hasil pemilihan oleh warga masyarakat. Tidak heran banyak warga yang tidak tahu siapa saja yang menjadi personil P2KP baik di RT-nya maupun di Kelurahan tersebut. Untuk memotivasi masyarakat agar terlibat mereka diiming-imingi akan mendapat bantuan dana bergulir. Kondisi ini juga berkontribusi terhadap persepsi elit perempuan bahwa memang P2KP hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak bergaji kantoran dan merupakan pedagang/pengusaha/bakulan saja.

”Perempuan menjadi pedagang karena kewajiban sebagai ibu untuk membantu ekonomi dan keluarga terutama anak. Ada image kalau perempuan tidak mau usaha itu perempuan malas. Kalau untuk keaktifan perempuan diluar tidak ada larangan dari suami, selama itu bermanfaat.” (red: untuk mendukung ekonomi).” (FGD KSM Perempuan)

(8)

Jadi dengan demikian dapat dipastikan keterlibatan perempuan-pedagang sebagai relawan cukup besar, karena sejak awal memang diiming-imingi bahwa nantinya mereka akan mendapat dana bergulir dari program ini. Profil relawan di kelurahan Sarae dilihat dari komposisi laki dan perempuan hampir imbang, jumlahnya perempuan lebih banyak sedikit (52%) dibanding kaum lelaki. Ada keinginan besar kaum perempuan terlibat di P2KP pada awal-awal pelaksanaan P2KP. Perempuan yang diminta (Ketua RT) menjadi tidak pernah ada yang menolak. Kaum perempuan yang mengaku sebagai relawan sadar bahwa relawan itu tidak dibayar, harus berani berkorban untuk membantu orang miskin di disekitarnya. Dibalik alasan yang bersifat normative itu ada harapan untuk bisa mendapatkan dana bergulir.

Banyaknya kaum perempuan yang tertarik menjadi relawan tidak lepas dari sosialiasi awal program P2KP yang akan memberikan kesan hanya dana bergulir yang diberikan kepada warga kelurahan ini. Ketertarikan kaum perempuan menjadi relawan juga tidak lepas dari latar belakang profesi kaum perempuan di kelurahan ini sebagai pedagang atau jualan di pasar. Itu alasan utama. Relawan tidak mempersoalkan pekerjaan yang sukarela dan tidak digaji sebagaimana diinformasikan oleh faskel di kelurahan. Mereka melakukan pendataan dari rumah ke rumah. Namun demikian ada motivasi yang tersembunyi dan tidak diketahui sebelumnya bahwa relawan bisa mendapatkan dana bergulir nantinya, paling tidak dapat membantu keluarga. Ini manfaat yang dipersepsikan menjadi relawan P2KP. Menjadi relawan pada awalnya ketika mendapat surat dari RT. Tetapi warga yang diundang RT sudah ditentukan warga yang sering aktif kegitan di kelurahan. Kader Posyandu, kader – kader pembangunan lainnya. Pilihan ini cukup masuk akal karena perempuan yang tidak aktif di pertemuan di kelurahan adalah perempuan sibuk-perempuan yang dianggap tidak mau aktif di kelurahan. Seorang informan-relawan perempuan mengaku bahwa menjadi relawan diminta oleh Faskel dan merasa senang dan tidak keberatan menjadi relawan, sebagaimana dikatakan sebagai berikut ”

“Awalnya motivasi saya menjadi relawan karena senang juga soalnya saya biasa aktif di kelurahan, saya senang apabila ada yang bisa dikerjakan walaupun tidak di gaji, selain itu alasan saya karena keluarga saya rata rata miskin dan setiap ada turun proyek tidak dapat apa , oleh karena itu dengan masuknya saya di kegiatan ini bisa membantu keluarga saya.” (Relawan Perempuan, RT 10)

Tugas relawan menurut informan perempuan ini adalah melakukan pendataan orang miskin di lingkungannya yang dijalankan selama 3 bulan. Tugas lainnya adalah melakukan wawancara kepada orang miskin dan memasukan ke dalam format yang diberikan dan menyerahkan di kelurahan. Formulir ini kemudian diambil oleh orang P2KP.

Begitu kuatnya motivasi ingin mendapatkan dana bergulir, terdapat relawan yang tidak mendapat bantuan dana bergulir sangat kecewa dan marah. Mereka selalu

(9)

mengungkit-ungkit betapa beratnya pendataan yang dilakukan, harus fotocopy formulir, dari rumah ke rumah, dsb, dan bahkan sampai mengkorbankan tidak jualan selama dua hari. (Ketika ditanyakan kepada BKM yang hadir dalam FGD ini soal apakah relawan mendapat prioritas warga yang mendapat bantuan, BKM menjawab tidak. Kalau toh itu relawan yang umumnya mendapat bantuan karena mereka mampu, dan layak untuk untuk dibantu agar program lancar dan sustain— ini terkait dengan janji mendapatkan PAKET).

Dampak dari kekecewaan sukarelawan ini juga terlihat ketika kami melakukan FGD di kelurahan. Ada sebagian peserta FGD yang menceritakan bahwa undangan FGD tidak usah dihadiri. Peserta FGD ini dibujuk warga untuk tidak usah datang pada pertemuan FGD. Warga masyarakat melihat program P2KP adalah program yang selalu mengadakan pertemuaan tetapi realisasinya nol. Dampak dari kekecewaan ini juga sangat tampak, ketika peneliti menyisir kantong miskin kelurahan ini, yaitu di RT 1-4, maka respon ketika ditanya tentang P2KP, secara spontan masyarakat berteriak: ”Nefa Lalopa P2KP/ ainara kawaraP2KP”, (artinya: “Lupakan P2kp”). Pekerjaan sebagai relawan perempuan yang dilakukan siang malam memerlukan penjelasan kepada suami. Ada seorang relawan perempuan meyakinkan suaminya kalau apa yang dikerjakan akan memberikan hasil bahwa nantinya akan diberikan bantuan modal untuk berdagang. Relawan perempuan pada umumnya memiliki pekerjaan berdagang. Itulah yang sering dikemukakan kegiatan-kegiatan dikelurahan sering tidak bisa konsentrasi karena memikirkan pekerjaan di rumah dan usaha dagangnya. Pekerjaan berdangan membantu suaminya bukan pekerjaan berdagang. Ikhklas membantu suaminya. Perempuan tidak merasa keberatan untuk membantu ekonomi rumah tangga, membantu suaminya. Mereka sepontan mengatakan “malas” jika ada perempuan yang tidak bekerja berdagang. Jadi dengan demikian motiviasi berdagang sangat kuat.

Perempuan miskin melihat manfaat program P2KP semula menjanjikan dapat memberikan dana untuk modal usaha, tetapi dalam realitasnya dipilih warga yang tambahan modal bukan warga miskin yang membutuhkan modal baru untuk usaha. Karena itu, menurut perempuan miskin, warga yang terlibat sebagai relawan atau warga yang memiliki hubungan dengan relawan yang mendapat dana bergulir. Hampir dipastikan sebagian besar relawan mendapat dana bergulir.

Penerima BLM dalam realitasnya adalah warga kelurahan yang memiliki usaha. Tidak semua warga miskin yang didata mendapat BLM (dana bergulir). Bukan perempuan miskin yang menerima dana bergulir. Disini dilakukan seleksi warga yang bakal menerima dana bergulir.

Penekanan pada warga yang memiliki usaha sebagai penerima dana bergulir dilakukan seleksi. Dari seleksi warga yang akan menerima dana bergulir ini seringkali menimbulkan pertanyaan warga miskin yang dulu pernah didata dan juga dari relawan yang pernah mendata warga miskin yang tidak mendapat dana bergulir sekalipun dijanjikan akan mendapat giliran di kemudian hari.

(10)

Seleksi warga penerima dana bergulir sangat beragam prosesnya tetapi pada intinya pengambilan keputusan pada koordinator BKM. Ada KSM yang langsung dibentuk langsung oleh BKM. KSM ini seringkali disebut kelompok ujicoba, tetapi ada yang diserahkan kepada ketua KSM. Ketua KSM yang ditunjuk BKM dipersilahkan memilih anggotanya. Dalam konteks ini setiap RT sudah terdapat KSM.

Keterlibatan langsung BKM dalam penentuan warga yang akan mendapat dana bergulir merupakan suatu hal yang disadari oleh ketua BKM. Keterlibatan ketua BKM adalah bagian dari strategi BKM agar program P2KP berhasil. Tidak ada tunggakan angsuran pinjaman. Kecilnnya tunggakan merupakan tolok ukur keberhasilan program P2KP. Keberhasilan program P2KP dipersepsikan oleh BKM mendapat atau tidaknya mendapat dana BLM tahap dana BLM tahap berikutnya dan PAKET.

”Kami mendapat informasi dari faskel kalau dana ekonomi ini berhasil kami akan mendapatkan dana PAKET yang lebih besar lagi sehinggga yang kami pilih sebagai KSM ekonomi ini adalah orang orang proritas yang punya usaha dan mampu bayar sebagai ujicoba untu keberhasilan.”

(Anggota BKM, Kel. Sarae)

Pertanyaan III. Sejauhmana fasilitator perempuan mempengaruhi partisipasi perempuan (miskin) dalam P2KP?

Tidak ada fasilitator perempuan di program PNPM P2KP tahun 2007 di Kota Bima. Pada periode ini, hanya ada 1 kecamatan yang mendapat dana PNPM P2KP, yang terdiri dari 8 kelurahan. Tim faskel yang bekerja untuk kecamatan ini terdiri dari 5 orang yang semuanya adalah laki-laki. Saat ini, dari 5 orang anggota tim tersebut, hanya ada 1 (satu) orang saja yang masih bertahan dari awal hingga saat ini, selebihnya sudah keluar dari P2KP atau pindah ke lokasi P2KP yang lain. Sebelum PNPM 2007, ada 4 orang faskel perempuan, namun mereka membawahi lokasi lama P2KP tahun 2004, dan saat ini yang bertahan tinggal 2 orang, sisanya menjadi PNS dan caleg dalam pileg tahun 2009. Terlihat, 2 orang perempuan yang sudah keluar merupakan profil perempuan/faskel yang bagus dan bisa bersaing di masyarakat maupun di dunia kerja.

Di PNPM 2009 ini ada 5 orang faskel perempuan yang akan bertugas di lokasi PNPM 2009. Saat ini, faskel-faskel baru masih dalam tahap orientasi pada saat penelitian ini dilakukan. Namun demikian, tambahan faskel perempuan ini tampaknya tidak berpengaruh terhadap komposisi faskel di 2 kelurahan terpilih (di kecamatan Rasanae Barat), karena tidak ada pembagian formasi faskel perempuan untuk dimasukkan ke lokasi PNPM 2007 yang tidak ada perempuannya. Tampaknya faktor jenis kelamin tidak menjadi dasar atau pertimbangan dalam membentuk tim faskel di Kota Bima. Terbukti ada tim yang dari 5 orang anggotanya 3 diantaranya perempuan, sedangkan di tim yang lain dari 5 anggotanya semua berjenis kelamin laki-laki. Pertimbangan disiplin ilmu dan keharusan dalam mengikuti seluruh

(11)

tahapan siklus P2KP sepertinya lebih menjadi pertimbangan utama dalam penentuan anggota tim, daripada melihat komposisi gender sex.

Pertanyaan IV. Strategi peningkatan kapasitas yang didorong permintaan, apakah yang sesuai dengan kebutuhan perempuan di lokasi penelitian dan hubungan apa yang memungkinkan untuk kegiatan peningkatan kapasitass yang ada sekarang ini di berbagai bidang/departemen

Sistem quota perempuan di semua tingkatan perlu dilakukan. Sebab sistem pemilihan yang demokratis tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat apalagi pada pada masyarakat yang kuat pengaruh lelaki (patriachy sistem). Sistem pemilihan keanggotaan dalam realitasnya kaum perempuan tersingkir. Dunia perempuan masih diletakan pada pekerjaan rumah dan mengurus anak. Kalaupun berdagang/jualan masih bagian dari tanggungjawab rumahtangga dan membantu suami. Selain itu, perempuan masih merasa rendah diri dihadapan lelaki di ruang publik bersama (laki dan perempuan). Karena itu partisipasi perempuan semakin berkurang dalam pemilihan dalam organisasi. Oleh karena itu, dalam rekruitmen faskel harus ada quota perempuan dan juga ada utusan perempuan yang ditunjuk untuk duduk di BKM. Adakalanya demokrasi belum diperlukan dalam organisasi keswadayaan seperti BKM. Pada masyarakat dimana kaum lelaki dominan, perempuan cenderung kalah dengan lelaki dalam pemilihan. Kaum perempuan sendiri cenderung tidak memilih perempuan.

Perempuan miskin identik dengan rumah tangga miskin. Peranan perempuan dalam rumah tangga miskin sangat besar. Hampir dipastikan istri atau ibu RT selalu bekerja mulai buka warungandi rumah, menjajakan dagang berkeliling, sampai jualan di pasar. Karena itu ketika ada program bantuan modal, yang paling antusias adalah kaum perempuan. Selain itu, sebagian besar KSM ekonomi merupakan kelompok perempuan. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan secara tegas bahwa target group dari KSM ekonomi adalah perempuan.

Pertanyaan V : Strategi apa yang dapat membahas kesenjangan reaksi gender sebagai bagian dari budaya proyek di semua tingkatan.

Partisipasi perempuan dalam data SIM tidak menggambarkan realitas keterlibatan perempuan dalam dalam siklus P2KP yang sebenarnya. Jumlah itu tidak memberikan makna apa-apa dari sisi kualitas partisipasi perempuan. Misalnya, jumlah relawan peremupan yang lebih banyak dari pada lelaki. Keterlibatan perempuan yang tinggi bukan karena memiliki motivasi ideal seperti apa yang dimaksud relawan tetapi ingin mendapatkan dana bergulir. Hal ini terkait apa yang dibayang ideal Relawan dalam realitasnya warga yang diminta membantu pendataan warga miskin untuk penyusunan dokumen PJM Prognangkis. Setelah kegiatan ini rampung praktis tidak ada kegiatan kerelawanan.

Keterlibatan perempuan sangat minimal pada kegiatan yang bersifat umum dimana laki-laki dan perempuan bergabung. Karena itu quota perempuan sebenarnya tidak

(12)

cukup pada jumlah melainkan porsi perempuan dalam organisasi sehingga bisa dalam pengambilan keputusan. Yang perlu dilakukan disini perlu penetapan kegiatan program P2KP yang spesifik pada kegiatan-kegiatan perempuan.

Pengalaman mengikuti siklus P2KP perlu bagi faskel perempuan baru, tetapi setelah itu jauh lebih penting perlu dilakukan reformasi tim faskel yang melibatkan perempuan juga perlu diperhatikan karena dalam realitasnya diakui bahwa pendekatan faskel perempuan berbeda dengan lelaki.

Pertanyaan VI : Perubahan apakah yang diperlukan rancangan program, mencakup strategi untuk kepegawaian, pelatihan dan program responden gender

Sistem pemilihan keanggotaan BKM perlu diubah. Ada quota perempuan dalam keanggotaan BKM. Anggota perempuan BKM dipilih oleh penduduk perempuan kelurahan.

Sifat kerelawanan yang diharapkan melekat pada para anggota BKM realitasnya tidak ada karena anggota BKM juga memiliki interest melakukan kegiatan pelaksanaan pekerjaan Fisik, Sosial dan ekonomi. Karena itu terjadi beberapa pengurus BKM yang melakukan sendiri atau terlibat langsung dalam penentuan keanggotan KSM atau melakukan belanja sendiri kebutuhan material untuk kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana. Hal ini terjadi karena tidak ada kepercayaan BKM terhadap UP yang ditunjuk sendiri atau BKM menunjuk UP hanya sekedar nama saja dan orang yang bisa dipengaruhi.

Keanggotaan BKM yang kolegial tidak efektif berjalan sebagai lembaga pengawas.

Tidak ada komunikasi inten diantara pengurus BKM. Terjadi one men show dalam

kepengurusan BKM. BKM melakukan kegiatan operasional. Oleh karena itu, setiap anggota perlu diberikan tanggungjawab sesuai dengan bidang tugasnya (BKM selalu dibandingkan dengan LPM). BKM sebagai lembaga keswadayaan masyarakat sebaiknya masuk kedalam salah satu seksi dalam LPM.

Mengingat persoalan ekonomi rumah pada keluarga miskin tidak lepas dengan peran perempuan, sebaiknya focus KSM ekonomi diprioritaskan pada perempuan secara tegas sebagai kelompok pemanfaat.

PJM Prognangkis terkesan dibuat seragam. PJM Prognangkis tidak menggambarkan kondisi local setiap kelurahan. PJM Prognangkis tidak dijadikan pedoman pelaksanaan program P2KP. Program P2KP tidak lagi open menu. Program P2KP terkesan top down.

(13)

Pembangunan insfrastruktur berbasis masyarakat tidak jelas konsepnya, dan bahkan merusak modal sosial yang tumbuh di masyarakat. Sistem upah dalam RAB pembangunan fisik merusak keswasdayaan masyarakat.

Catatan:

Dalam konteks studi partisipasi perempuan dalam P2KP ada beberapa catatan yang ingin disampaikan:

1. Pencapaian PAD masih sebatas angka kuantitatif, syarat project, tanpa pengetahuan substansi yang matang terutama ditingkat faskel. Syarat 30% keterlibatan perempuan lebih pada mobilisasi masyarakat perempuan tanpa mereka tahu makna dari keterlibaatnnya. Tidak jarang kemudian, pendekatan ”iming-iming” yang dilakukan oleh faskel untuk menarik minat perempuan terlibat dalam P2KP pada akhirnya justru melemahkan program itu sendiri, P2KP dianggap program yang tidak jelas, mengecewakan masyarakat, dianggap proyek mimpi, hanya penuh dengan rapat/pertemuan, tanpa realisasi yang kongkrit (untuk dana bergulir). Secara substansi dan khusus aspek ”keperempuanan” ini tidak diberi pembekalan secara khusus, sehingga yang dipahami dilapangan ”asal jumlah yang terlibat 30%.

2. BLM I yang tidak membolehkan adanya pencairan dana untuk program dana bergulir secara perlahan melemahkan keterlibatan perempuan di P2KP. Mau tidak mau dana bergulir menjadi daya magnet perempuan untuk terlibat aktif di P2KP, karena perempuan (miskin) menjadi pendukung bahkan penopang ekonomi keluarganya. Dominasi program fisik yang ada di P2KP terutama diawal program semakin memperkuat image bahwa P2KP adalah program lelaki, karena konsep community based dalam merancang program fisik kenyataannya tidak berjalan. Yang diketahui kemudian, P2KP tidak ada bedanya dengan program fisik pemerintah lainnya yang selesai dibangun selesai tanpa ada aspek pemberdayaan apapun.

3. Komposisi 70:20:10 untuk fisik, ekonomi dan sosial pada pelaksanaannya membuat dominasi pekerjaan/pembangunan fisik menjadi dominan. Tidak jarang pekerjaan fisik yang memang prosentasenya sangat besar dianggap rawan penyelewengan (terutama oleh oknum BKM), yang seharusnya mejadi pengontrol program, dalam kenyataannya menjadi pelaksana program. Persentase yang rendah untuk bina ekonomi (20%) sepertinya tidak seimbang, dimana ekonomi dijadikan sebagai patokan kesuksesan pelaksanaan P2KP di suatu kelurahan (yang mensyaraktan RR – Repayment Return) minimal 80%. Ini juga menyebabkan sasaran P2KP untuk ekonomi bergulirnya lebih diperuntukkan bagi mereka yang punya usaha (relatif sattle), dan mampu membayar. Tentunya yang dipilih menjadi target program kemudian

(14)

cenderung diskriminatif, bukan orang2 yang sesungguhnya harus menerima program tersebut, misalnya orang2 yang punya hubungan kekeluargaan dengan para elit kelurahan seperti RT, BKM, dlsb. Adanya persyaratan RR 80% membuat rasa ”paranoid” BKM untuk memberikan bantuan kepada warga miskin (sebagai sasaran yang tepat), karena dikhawatirkan tidak bisa mengembalikan, dan dianggap membuat performa BKM menjadi buruk, dan implikasinya kelurahan tsb tidak akan mendapatkan dana PAKET yang selama ini diiming2i pelaku P2KP kepada BKM. Lebih parahnya lagi mulai ada wacana di BKM untuk menghapuskan saja dana bergulir karena ketakutan akan warganya yang tidak mau bayar, atau menajdi kredit macet, sehingga performa BKM menjadi buruk, dan pada akhirnya dianggap tidak bisa mendapat dana PAKET.

”Kita ini tidak dipecaya kalau pinjam, takut tidak bayar. Pilih kasih tuh P2KP, yang boleh pinjam malah yang kaya dan dekat dengan pengurus saja” (Warmis Perempuan, RT 9)

”Ada keinginan yang besar untuk mendapatkan dana bergulir ini tetapi belum dikasih karena usaha kita dianggap masih belum mampu untuk membayar cicilan dana P2KP, demikian kata pengurus P2KP.”(Warmis Laki-laki, RT 9, Kel. Sarae)

”Sebenarnya harapan kami di programp2kp semestinya dana ekonomi lebih di tingkatkan lagi karena standar keberhasilan proyek p2kp ini dari sisi wekonomi ( dana bergulir) dan juga pengertian awal dari masyarakat tentang P2KP adalah dana Bergulir.”

(Anggota BKM, RT 9, Kel. Sarae)

”Disini juga sekarang ada dana pinjaman dari pegadaian, dan lebih menarik selain karena bunganya lebih rendah (1%) bisa ambil banyak, saya nyesel juga pinjem P2KP, bunganya lebih tinggi.”

(KSM Ekonomi, Perempuan, RT 13)

”Setahu saya mungkin yang dapat dana bergulir ini di prioritaskan relawan karena mungkin ada balas budi karena kami relawan awalnya yang sibuk bekerja.” (Relawan Perempuan, RT 16)

”Memang harus di akui ada keluhan dari masyarakat, karena masyarakat ingin dapat semua dana bergulir. Program P2KP ini sudah cukup tepat tetapi untuk dana bergulir masih kurang, kalau untuk lingkungan sudah wajar karena selain dukungan dari

(15)

P2KP juga ada dukungan dari Pemkot. Untuk dana bergulir sebaiknya di tingkatkan lagi karena keberhasilan P2KP juga diukur dari keberhasilan dana bergulir itu juga.” (Ketua BKM, Kel. Sarae)

”Yang harus di lakukan untuk peningkatan keterlibatan perempuan kasih uang saja untuk modal usaha.” (FGD dengan KSM Perempuan)

4. Penempatan faskel yang lebih melihat aspek disiplin ilmu, membuat komposisi tim bias gender. Padahal pekerjaan pemberdayaan di masyarakat akan melibatkan perempuan dan lelaki

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu

Suau laporan auditor atas laporan keuangan tahunan yang disusun sesuai dengan suatu kerangka penyajian wajar yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi keuangan umum

Marilah kita beribadah dengan penuh syukur, dengan sikap hormat kepada Tuhan Sumber hidup kita!. Pemberita Firman di ibadah ini adalah Pendeta

Hasil pendugaan model terhadap output daerah (Tabel 3), diperoleh bahwa produk domestik regional sektor pertanian hanya dipengaruhi secara positif dan nyata oleh produk

Untuk mewujudkan jihad dalam bidang intelektual, tetap diperlukan pemimpin yang memiliki karakter integritas diri yang kuat, yang mampu membawa orang-orang di sekitarnya untuk

Keperawatan Politeknik Kesehatan Surakarta yang telah menerapkan metode PBL pada mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMBI) pada 8 sub pokok bahasan dan

Dengan penyuntikan hormon PMSG dan HCG induk dapat memijah minimal 6 kali dalam setahun dengan biaya Rp 31.500 untuk sekali pemijahan (Lampiran 6).Dosis ini

Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila pada kolam ikan yang kurang terawat sering terjadi wabah penyakit, sebab pada kolam semacam itu, kondisi tubuh ikan menjadi