• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP I. KESIMPULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP I. KESIMPULAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

86 BAB V

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Pada bagian awal penelitian ini peneliti sudah menjelaskan bahwa melalui penelitian ini peneliti ingin mencari tahu bagaimana komunikasi resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam menangani konflik dengan warga Kecamatan Temon yang menolak proyek bandara baru di daerah tersebut.

Konflik ini menarik untuk dijadikan sebuah objek penelitian karena ada begitu banyak kepentingan dan isu-isu besar didalamnya, seperti kemunculan Perda Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 yang bertolak belakang dengan peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih tinggi, isu-isu politik tentang pihak yang menunggangi WTT, serta intrik keputusan hasil persidangan di PTUN soal gugatan warga terhadap IPL bandara.

Sudah menjadi tugas seorang Humas untuk menyelesaikan masalah yang terjadi antara pihak instansi dengan pihak luar tanpa mencederai salah satu pihak. Sebuah tantangan besar bagi Humas Pemerintah Kulonprogo untuk menemukan titik terang dari konflik yang terjadi ini. Jika tidak menggunakan cara yang tepat bukan tidak mungkin konflik akan semakin berlarut dan proyek yang besar ini akan berjalan di tempat, bahkan dapat menjadi konflik yang lebih besar lagi dikemudian hari yang akan menimbulkan kerugian besar secara materil maupun imateril.

Melalui penelitian lapangan yang sudah peneliti lakukan, serta analisis data yang dilakukan, peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan untuk menjawab pertanyaan awal penelitian ini yaitu bagaimana komunikasi dan resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kulonprogo terhadap warga Kecamatan Temon yang menolak proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport.

(2)

87 Peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa pertanyaan tersebut sudah terjawab melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Humas Pemkab Kulonprogo seperti negosiasi, sosialisasi, konsultasi publik, open house, maupun release media massa. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan yang tertulis dalam Undang-Undang dan kegiatan-kegiatan reaktif yang sesuai dengan kondisi permasalahan yang ada.

Sosialisasi secara formal dilakukan karena memang sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, sehingga hal tersebut wajib dilakukan bagi penyelenggara proyek setiap sebelum melakukan kegiatan proses apapun dalam proyek

Lalu konsultasi publik yang merupakan kegiatan formal yang wajib dilakukan untuk menentukan apakah proyek diterima atau tidak oleh warga. Tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dalam konsultasi publik dilakukan musyawarah untuk proses pelaksanaan proyek antara penyelenggara dan warga calon lokasi.

Selain sosialisasi secara formal, terdapat beberapa sosialisasi yang dilakukan secara informal oleh Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. Sosialisasi tersebut biasanya dilakukan dengan dibalut kegiatan sosial atau keagamaan bersama warga Kecamatan Temon. Hal ini dilakukan agar warga dapat menerima dan terbuka terhadap pihak Pemerintah. Walaupun kegiatan yang dilaksanakan merupakan kegiatan sosial atau keagamaan, didalamnya tetap terdapat sesi sosialisasi soal proyek bandara.

Open house merupakan sebuah cara untuk memberikan fasilitas serta sarana bagi warga untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, ataupun protes mengenai proyek bandara. Hal ini berawal dari pengamatan lapangan bahwa warga cenderung diam jika dikumpulkan, tidak semua aspirasi dikeluarkan dalam kegiatan formal. Maka dari itu dibuatlah open house di media center Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. Rumah dinas Bupati Kulonprogo pun dibuka untuk open house, hanya saja ada jadwal dan protokoler tertentu yang harus dipatuhi bagi warga yang ingin datang.

(3)

88 Selanjutnya dilakukan juga berbagai kegiatan negosiasi. Negosiasi yang dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo kebanyakan berkutat pada kesepakatan mengenai harga tanah dan nasib warga setelah lahan diambil, seperti relokasi ataupun mata pencaharian warga. Negosiasi juga pernah dilakukan untuk mengambil hati warga yang menolak tanpa sebab, namun hal tersebut seringnya berjalan sia-sia tanpa hasil yang diinginkan oleh Pemkab. Negosiasi dilakukan dengan pihak negosiator atau pihak Pemkab datang dengan suasana santai, tanpa atribut atau kelengkapan instansi. Hal tersebut dilakukan agar warga tidak segan atau sentimen dengan tim yang datang, sehingga proses diskusi diharapkan dapat lebih mengalir tanpa ada pembatas warga dan pamongnya, serta win-win solution dapat tercapai.

Selain pertemuan-pertemuan secara tatap muka langsung, release lewat media cetak juga dilakukan oleh Humas Pemerintah Kulonprogo sebagai bentuk “perlawanan” atas gerakan WTT yang memunculkan isu melalui media pula. Ketika isu muncul, Humas akan langsung menganalisis isu tersebut, lalu hasil analisa akan diserahkan kepada tingkat atasan untuk menjadi bahan pertimbangan. Lalu instruksi atau jawaban akan muncul, Humas tinggal menyerahkan release tersebut kepada awak media untuk mengeluarkan beritanya.

Dari seluruh kegiatan yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, pihak narasumber tidak menyiapkan strategi tertentu. Semua kegiatan tersebut bersifat spontan tanpa adanya sebuah perencanaan ataupun strategi yang telah ditentukan sebelumnya (Bapak Isman, Staff Bagian TI dan Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo). Namun justru peneliti melihat adanya unsur-unsur yang terdapat dalam strategi komunikasi dan resolusi konflik, seperti analisis sasaran, pemilihan pesan, dan pemilihan media yang secara tidak sadar dilakukan oleh pihak Humas Pemkab Kulonprogo.

Analisis sasaran terlihat jelas dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Humas Pemkab Kulonprogo bahwa mereka mengenal sikap serta sifat dari warganya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa kegiatan yang menyesuaikan dengan kebiasaan yang dapat diterima oleh warga itu sendiri. Contohnya

(4)

89 melalui kegiatan yang dibalut dengan kegiatan keagamaan maupun sosial. Melalui kegiatan tersebut warga akan lebih terbuka dengan pemerintah, berbeda jika dilakukan dalam jalur formal.

Selain itu juga mendekati warga melalui figur-figur tertentu seperti Bupati Kulonprogo yang turun langsung untuk berdialog dengan warga menjadi pilihan karena pihak Pemkab merasa warga akan lebih terbuka jika bisa langsung berdialog dengan Kepala Daerah atau pemimpin yang mereka pilih.

Selain itu juga setiap kegiatan negosiasi yang dilakukan diperintahkan untuk datang dengan pakaian santai tanpa ada atribut pemerintah apapun, sehingga warga tidak merasa segan dan dapat lebih mudah serta terbuka dengan negosiasi yang dilaksanakan.

Strategi pemilihan pesan pun dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo dengan menginstruksikan agar pesan-pesan yang disampaikan tidak menimbulkan kesan mengintimidasi warga ataupun mengancam warga. Pesan-pesan persuasif pun menjadi pilihan yang dilancarkan dalam setiap negosiasi. Hal ini ditujukan agar tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan oleh proyek pembangunan bandara ini.

Strategi pemilihan penggunaan media dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo dengan memilih komunikasi tatap muka atau face to face communication sebagai pilihan utama Pemkab dalam menyelesaikan konflik yang ada. Komunikasi yang dilakukan secara tatap muka dan berdiskusi duduk bersama dalam satu atap dinilai dapat lebih efektif untuk mencapai win-win solution yang diharapkan oleh pihak Pemkab.

Selain tatap muka langsung, jalur penggunaan media pun dilakukan melalui media cetak sebagai bantuannya. Hal ini dilakukan hanya untuk mempublikasikan proses serta visi-misi proyek pembangunan bandara baru supaya lebih luas, cepat, dan masif jangkauannya.

Setelah strategi analisis sasaran, pemilihan pesan, serta penggunaan media dilakukan, maka peneliti berhasil memetakan pendekatan, model komunikasi, orientasi komunikasi yang digunakan, serta bentuk penyelesaian konflik yang digunakan oleh Humas Pemkab Kulonprogo.

(5)

90 Pendekatan resolusi konflik yang dipakai merupakan alternative dispute resolution yang ditunjukan dengan tidak adanya pemaksaan maupun kecaman yang dipakai dalam setiap kegaitan yang dilaksanakan oleh Pemkab Kulonprogo. Mengedepankan jalur diskusi dan negosiasi merupakan jalur khas dari pendekatan ini, sama seperti yang dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo.

Model komunikasi transaksional digunakan oleh Pemkab Kulonprogo dalam berdiskusi dengan warganya demi mencapai sebuah resolusi konflik. Hal ini terlihat dalam setiap kegiatan Pemkab yang berusaha mencari jalan tengah yang terbaik tanpa melukai salah satu pihak demi tercapainya sebuah kesepakan dan resolusi.

Pemkab Kulonprogo menganggap kepentingan mereka sama pentingnya dengan kepentingan para warga terdampak dan keduanya harus terwujud dengan seimbang. Win-win solution menjadi sebuah harga mati bagi Pemkab supaya tidak ada satu pihak pun yang mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi Pemkab dalam menyelesaikan konflik ini berorientasi pada hubungan , atau relationship-centered orientation. Orientasi yang memang mengedepankan kompromi, akomodasi, ataupun negosiasi, seperti yang digunakan oleh pihak Pemkab Kulonprogo.

Negosiasi, diskusi, dialog, kompromi, akomodasi, untuk mencapai sebuah win-win solution menjadi pilihan utama Pemkab Kulonprogo dalam menyelesaikan konflik ini. Komitmen untuk tidak melukai salah satu pihak serta tidak ada kerugian diantara kedua pihak menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan merupakan sebuah problem solving. Sebuah win-win solution yang lahir dari sebuah negosiasi merupakan tujuan utama Pemkab dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

II. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran ataupun rekomendasi sebagai berikut:

1. Bagi Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, strategi komunikasi resolusi konflik merupakan sebuah hal esensial dalam menyelesaikan

(6)

91 konflik. Hal tersebut digunakan agar taktik maupun langkah-langkah yang digunakan tepat sasaran, efektif serta efisien pelaksanaan serta efeknya. Karena konflik yang terjadi bukan lagi merupakan konflik yang tidak tampak dibawah permukaan, namun sudah menjadi konflik permukaan yang berpotensi menjadi konflik yang lebih besar. Proyek pembangunan bandara baru ini sudah mundur dari perencanaan awal proyek pembangunan akan berjalan pada tahun 2013 karena konflik yang terjadi ini. Bukan tidak mungkin nanti akan muncul konflik-konflik yang lebih besar intensitas ataupun efek yang ditimbulkannya. Maka dari itu, sebuah perencanaan serta pengelolaan komunikasi resolusi konflik yang matang peneliti rasa sangat direkomendasikan dalam konflik seperti ini.

2. Bagi praktisi dalam bidang kehumasan, untuk lebih mengoptimalkan fungsi Humas dalam kasus konflik seperti ini, karena bagaimanapun komunikasi merupakan hal penting dalam penyelesaian konflik. Sering kali bidang komunikasi dianggap sebelah mata dalam berbagai kasus, padahal bidang komunikasi menjadi sebuah hal yang menentukan dalam penyelesaian masalah apapun. Tanpa komunikasi yang baik, sebuah masalah yang kecil bahkan bisa menjadi lebih besar lagi.

3. Bagi akademisi dalam bidang kehumasan, lebih meningkatkan kontribusi dalam bentuk riset-rise dalam bidang komunikasi resolusi konflik melalui kehumasan.

4. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini tentunya masih banyak celah serta kekurangannya. Sedikitnya contoh kasus serta literasi mengenai peran humas dalam menyelesaikan konflik pertanahan menjadi salah satu hambatan dalam penelitian ini. Karena kebanyakan kasus diselesaikan melalui jalur hukum, maupun pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak. Maka dari itu penelitan selanjutnya diharapkan dapat lebih memperbanyak

(7)

92 referensi kasus maupun literasi untuk memperkaya sudut pandang serta pola pemikiran peneliti.

Referensi

Dokumen terkait

6 Dian Pramadona, “Pengaruh Capital Adequacy Rasio (CAR), Pendapatan Pembiayaan Mudharabah dan Pendapatan Pembiayaan Murabahah Terhadap Return On Asset (ROA) Pada Bank

Independensi dan skeptis dapat terlihat dari adanya kejujuran dalam pengungkapan kesalahan yang dilakukan objek pemeriksaan dan dikaji kembali bukti-bukti terkait

Elemen interior area facial yaitu, dinding : tembok finishing cat warna cream dan wallpaper, lantai : keramik warna putih, plafon : gysum board warna putih. Area facial ini

Untuk itu, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan pembatasan lalu lintas, terutama pada area yang layanan angkutan umum dan fasilitas kendaraan tidak bermotornya sudah

Pada lengan tangan biasanya menggunakan kelat bahu dan pada patung ini tidak, juga pergelangan tangan orang Jawa biasanya memakai gelang keroncong, tetapi pada patung ini

Sebagaimana kita tau pasar adalah sebuah tempat bertemunya pembeli dengan penjual guna melakukan transaksi ekonomi yaitu untuk menjual atau membeli suatu barang

Dilihat dari isinya peta dapat dikelompokkan menjadi peta umum, peta khusus dan chart (Basuki Sudiharjo, 1977). Kecamatan Mojolaban merupakan daerah yang masuk dalam wilayah

Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi