TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Aliran Dua-Fase Nonekulibrium pada Media Berpori
Penelitian ini merupakan kajian ulang terhadap penelitian yang telah dilakukan oleh Juanes (2008), dalam tulisannya yang berjudul Nonequilibrium effects in models of three-phase flow in porous media. Pada tulisan tersebut dilakukan simulasi wa-terfloodingdengan melakukan pendekatan diskritisasi menggunakan cell-centered finite volumeyaitu solusi disimpan pada pusat setiap grid yang dibentuk, sedangkan pada skripsi ini, penulis melakukan diskritisasi dengan menggunakan vertex cente-red finite volumeyaitu solusi yang disimpan pada simpul (vertex) dari mesh dimana setiap vertex i harus dibangun cell (Praveen, 2013).
Juanes menyatakan bahwa model aliran dua fase dengan efek nonekuilibri-um pada media berpori telah diajukan sebelnonekuilibri-umnya oleh Barenblatt dengan bebas kapilaritas. Kemudian dipasangkan dengan model Buckley-Leverett dengan bebas kapilaritas dimana fluks merupakaan fungsi saturasi efektif yang direpresentasikan dengan persamaan
∂tS + ∂xvf (σ) = 0 (2.1)
dan persamaan evolusi
σ − S = τ ∂tS (2.2)
Sistem ini harus dilengkapi denngan kondisi batas fluks pada batas kiri x = 0 dalam bentuk f (σ) = ¯f (t). Selain itu juga diberikan kondisi awal pada t = 0 dalam bentuk
S = S0(x)
σ0+ τ ∂xf (σ0) = S0(x)
(2.3)
dimana S adalah saturasi aktual (saturasi saat ini) dan τ adalah saturasi efektif (sa-turasi yang akan datang).
Persamaan Buckley-Leverett merupakan persamaan transportasi pada fluida yang menggambarkan dua fase aliran fluida yang immiscible pada media berpori.
Sedangkan model Barenblatt menggambarkan dua fase aliran pada media berpori dengan efek dinamik (nonekuilibrium) pada relatif permeabilitas. Pada kasus ini, water flooding yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) yang dipasangkan dengan persamaan (2.2) akan diselesaikan melalui analisis numerik, yang akan dijelaskan pada Bab selanjutnya
2.2 Deret Taylor
Biasanya metode numerik diturunkan berdasarkan hampiran fungsi terhadap bentuk polinomial sehingga fungsi akan menjadi lebih sederhana. Deret Taylor dapat digu-nakan pada hampir setiap pendekatan numerik yang didefinisikan sebagai berikut Definisi
Andaikan terdapat f dan semua turunannya f0, f00, ... dalam selang [a, b], dan mi-salkan x0 ∈ [a, b]. Untuk nilai x disekitar x0, maka f (x) dapat diperluas kedalam
deret Taylor f (x) = f (x0) + f0(x0)(x − x0) + f00(x0) 2! (x − x0) 2+f 000(x 0) 3! (x − x0) 3+ ... +f (n)(x 0) n! (x − x0) n+f (n+1)(t x) (n + 1)! (x − x0) n+1. (2.4) j Jika h = x − x0, maka f (x + h) = f (x) + f0(x)h + f 00(x) 2! h 2+f 000(x) 3! h 3+ ... +f(n)(x) n! h n +f (n+1)(t x) (n + 1)! h n+1 (2.5) dimana f(n+1)(tx) (n+1)! h
n+1merupakan galat dengan lim n→∞ f
(n+1)(t x)
(n+1)! h
n+1= 0
2.3 Metode Iterasi Newton Pada Sistem Aljabar
Metode iterasi Newton merupakan suatu metode yang berfungsi untuk mencari ni-lai akar dari suatu persamaan, yaitu mencari r ∈ R yang memenuhi f (r) = 0. Pe-nurunan metode ini dapat diperoleh dari deret Taylor yang direpresentasikan oleh persamaan (2.5). Untuk n = 1, persamaan (2.5) menjadi
f (x + h) = f (x) + f0(x)h + f
00(t x)
2! h
dimana f00(tx)
2! h
2 merupakan galat. Jika dimisalkan x + h merupakan pendekatan
untuk r, maka dengan mengabaikan galat tersebut diperoleh 0 = f (x) + f0(x)h,
sehingga
h = −f (x) f0(x).
Jika diberikan nilai duga (initial guess) x0, maka untuk n = 0, 1, 2, ... dibentuk
xn+1= xn−
f (xn)
f0(x n)
,
yang diharapkan limn→∞xn = r. Penurunan diatas dapat dipakai untuk
menda-patkan metode iterasi yang mencari r ∈ Rn yang memenuhi F (r) = 0, dimana F : Rn → Rn. Dalam hal ini,
0 = F (x) + F0(x)h
dimana F0(x) merupakan matrix Jacobian dengan ordo n × n
F0(x) = ∂F1(x) ∂x1 ∂F1(x) ∂x2 ... ∂F1(x) ∂xn ∂F2(x) ∂x1 ∂F2(x) ∂x2 ... ∂F2(x) ∂xn .. . ... . .. ... ∂Fn(x) ∂x1 ∂Fn(x) ∂x2 ... ∂Fn(x) ∂xn .
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
h = −[F0(x)]−1F (x).
Jika terdapat nilai duga x0maka secara umum metode iterasi Newton untuk system
aljabar dapat ditulis sebagai berikut
xn+1= xn− [F0(xn)]−1F (xn)
2.4 Integrasi Numerik
Integral merupakan suatu pokok pembahasan mendasar yang berfungsi untuk men-cari luas suatu daerah kurva f (x). Dalam kalkulus, dipelajari bahwa integral da-pat diselesaikan secara analitik pada persamaan yang sederhana. Namun pada bi-dang aplikasi sains dan teknik akan ditemui suatu permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan dengan cara analitik. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode nume-rik dimana penyelesaian integrasi dapat diselesaikan dengan bantuan perhitungan komputer (integrasi numerik) dengan batas integral tertentu yang direpresentasikan oleh
I = Z b
a
f (x)dx.
Rinaldi Munir (2003) dalam bukunya Integrasi Numerik menjelaskan bahwa terdapat 3 cara dalam melakukan pendekatan dalam menurunkan rumus integrasi numerik yaitu metode pias, metode Newton-Codes dan Kuadratur Gauss. Penulis akan membatasi pembahasan hanya pada integrasi numerik dengan metode pias.
Perhatikan Gambar 2.1, andaikan [a, b] merupakan interval pada luas kurva f (x), maka dibentuk n partisi sepanjang interval [a, b], dimana lebar setiap pias adalah
h = b − a n .
Dengan demikian, titik pias dinyatakan xi = a + ih dimana i = 0, 1, ..., n
Gambar 2.1: Metode Pias
Terdapat beberapa metode yang dapat dikembangkan pada metode ini yaitu aturan titik tengah (mid point rule), aturan titik kanan (rigth end point rule), aturan titik kiri (left end point rule), dan aturan trapesium (trapezoidal rule).
2.4.1 Aturan Trapesium
Pada pendekatan trapesium dapat digunakan rumus luas trapesium pada setiap pi-as. Perhatikan Gambar 2.2. Secara umum, luas dibawah kurva pada pias (xi, xi+1
Gambar 2.2: Trapezoidal didekati oleh Z xi+1 xi f (x)dx ≈f (xi) + f (xi+1) h 2 dimana i = 0, 1, 2, ..., n − 1. Dengan demikian,
Z b a f (x)dx ≈ n−1 X i=0 f (xi) + f (xi+1) h 2.
2.4.2 Aturan Titik Tengah
Luas daerah pias dapat digambarkan sebagai luas persegi panjang dimana h sebagai lebar dan f (xi+1
2) sebagai panjang yang dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.3, Secara
umum, pendekatan ini dapat ditulis sebagai Z xi+1 xi f (x)dx ≈ f (xi+1+ xi 2 )h dimana i = 0, 1, 2, ..., n − 1, sehingga Z b a f (x)dx ≈ n−1 X i=0 f (xi+1+ xi 2 )h.
2.4.3 Aturan Titik Kanan
Pada pendekatan aturan titik kanan dapat dianggap h sebagai lebar pias dan f (xi+1)
sebagai panjang. perhatikan Gambar 2.4, Secara umum, pendekatan ini dapat ditulis
Gambar 2.4: Aturan Titik Kanan
sebagai Z xi+1 xi f (x)dx ≈ f (xi+1)h, dimana i = 0, 1, 2, ..., n − 1, sehingga Z b a f (x)dx ≈ n−1 X i=0 f (xi+1)h.
2.4.4 Aturan Titik Kiri
Pada pendekatan aturan titik kiri dapat dianggap h sebagai lebar pias dan f (xi)
sebagai panjang. perhatikan Gambar 2.5, Secara umum dapat ditulis sebagai Z xi+1 xi f (x)dx ≈ f (xi)h, dimana i = 0, 1, 2, ..., n − 1, sehingga Z b a f (x)dx ≈ n−1 X i=0 f (xi)h,
Gambar 2.5: Aturan Titik Kiri
2.5 Galat
Penyelesaian numerik akan selalu memiliki nilai galat, karena metode numerik me-rupakan suatu pendekatan terhadap nilai eksak. Jika nilai galat mendekati nol, ma-ka penyelesaian numerik ama-kan mendema-kati nilai eksak. Hal itu ama-kan terjadi jima-ka jarak pias (∆x dan ∆t) diperkecil, namun perhitungan yang dilakukan akan semakin ba-nyak. Kita tahu bahwa nilai eksak merupakan jumlahan dari nilai hampiran dan galat, yang berarti galat adalah selisih antara nilai eksak dan hampiran yang dinya-takan oleh
ε = r − x
dimana x adalah nilai hampiran dan r adalah nilai eksak.
Besar galat tidak memperhatikan nilai positif atau negatif, sehingga ditulis dalam harga mutlak yang ditunjukkan oleh
|ε| = |r − x|.
Untuk mengetahui sebarapa besar pengaruh nilai galat terhadap nilai eksak, maka nilai galat dapat dinormalkan terhadap nilai eksak yang disebut dengan galat relatif yang representasikan oleh
εR =
r − x x .
Rinaldi Munir (2003) dalam bukunya Integrasi Numerik juga menjelaskan tentang galat dari iterasi Newton dan integrasi numerik dengan pendekatan aturan trapesium dan aturan titik tengah yang dijelaskan berikut.
2.5.1 Galat Iterasi Newton
Dalam menentukan nilai akar, iterasi Newton merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena konvergensinya lebih cepat (jika nilai iterasi konvergen) dari pada metode yang lain. Pada kasus tertentu, metode Newton bisa bersifat di-vergen sehingga tidak selamanya metode Newton dapat digunakan untuk mencari nilai suatu akar. Metode ini dikatakan konvergen jika
f (x)f00(x) [f0(x)]2 < 1
dengan f0(x) 6= 0. Adapun pada orde konvergensi dinyatakan εr+1 =
f00(xr)ε2r
2f0(x r)
dengan xr merupakan nilai hampiran terhadap akar. Dalam perhitungan
menggu-nakan komputer, perlu bagi kita untuk membatasi jumlah perhitungan agar kom-puter dapat menghentikan perhitungan. Sehingga dapat ditentukan bahwa iterasi akan berhenti pada saat |xn+1 − xn| < ε adapun untuk menghitung galat relatif
dinyatakan oleh
|xn+1− xn|
|xn+1|
< δ
dimana ε, δ merupakan toleransi galat yang diinginkan. Adapun pada sistem aljabar, galat dapat direpresentasikan εi = r − x(i)dan norm Euclidean galat adalah
k i k= v u u t n X j=1 (rj − xij)2
2.5.2 Galat Aturan Trapesium
Integrasi numerik menggunakan pendekatan trapesium memiliki galat yang ditun-jukkan sebagai berikut
G = Z h 0 f (x)dx − h 2 f (x0) + f (x1)
Andaikan terdapat dua titik yaitu x0 = 0 dan h = x, dengan menggunakan deret
Taylor diperoleh f (x0+ h) = f (x0) + hf0(x0) + h2 2 f 00 (x0) + h3 6 f 000 (x0) + ...
sehingga f (x) = f (x0) + xf0(x0) + x2 2 f 00 (x0) + x3 6 f 000 (x0) + ... Andaikan f (x1) = f (h), f (h) = f (x0) + hf0(x0) + h2 2 f 00 (x0) + h3 6 f 000 (x0) + ... maka diperoleh G = Z h 0 h f (x0) + hf0(x0) + h2 2 f 00 (x0) + h3 6 f 000 (x0) + ... i dx −hh 2(f (x0) + f (x0) + hf 0 (x0) + h2 2 f 00 (x0) + h3 6f 000 (x0) + ...) i = [hf (x0) + h2 2f 0 (x0) + h3 6f 00 (x0) + h4 12f 000 (x0) + ... i −hhf (x0) + h2 2f 0 (x0) + h3 4 f 00 (x0) + h4 12f 000 (x0) + ... i = −h 3 12f 00 (x0) ≈ −h 3 12f 00 (x), 0 < x < h ≈ O(h3)
jadi, nilai eksak diperoleh Z h
0
f (x)dx = h
2(f (x0) + f (x1)) + O(h
3)
Uraian diatas, merupakan galat trapesium untuk batas interval [0, h] dengan satu pias. Adapun untuk jumlah pias lebih dari satu (n > 1), dapat diperoleh galat total sebagai berikut Gtotal = − h3 12(f 00 (x0) + f00(x1) + f00(x2) + ...f00(xn−1))
diketahui bahwa h = b − a, sehingga untuk n pias h = b − a
n . Sehingga Gtotal = h3 12 n−1 X i=0 fi00(x) = h 2 12 (b − a) n nf 00 i(x) = (b − a)h 2 12f 00 i(x) ≈ O(h2)
Dapat disimpulkan bahwa galat total dari pendekatan trapesium berbanding lurus dengan kuadrat lebar pias (h). semakin kecil lebar pias, maka ukuran galat akan semakin kecil.
2.5.3 Galat Aturan Titik Tengah
Pendekatan titik tengah diperoleh galat untuk satu pias G =
Z h
0
f (x)dx − hf (x1 2)
Dengan metode yang sama pada aturan trapesium diperoleh Gtotal = −
h3
24(f
00
(x0) + f00(x1) + f00(x2) + ...f00(xn−1))
Adapun untuk beberapa pias, diperoleh
Gtotal = h3 24 n−1 X i=0 fi00(x) = h 2 24 (b − a) n nf 00 i(x) = (b − a)h 2 24f 00 i(x) ≈ O(h2)
dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa galat yang dihasilkan pada pendekatan aturan titik tengah dua kali lebih kecil dari pada aturan trapesium, sehingga die-tahui bahwa metode in lebih efisien dari aturan trapesium. Adapun galat untuk pendekatan aturan titik kanan dan titik kiri telah dijelaskan oleh Jiwen He (2008) yang iuraikan sebagai berikut
2.5.4 Galat Aturan Titik Kanan
Telah dijelaskan pendekatan integrasi numerik pada aturan titik kanan pada pem-bahasan sebelumnya, maka untuk galat yang dihasilkan dapat ditunjukkan sebagai berikut
G = Z h
0
dimana i = 0, 1, ..., n − 1. Sehingga diperoleh galat untuk satu pias G = h 2 2 f 0 (x1)
Adapun pias sebanyak n diperoleh Gtotal = 1 2(b − a)f 0 (xi) ≈ O(h)
2.5.5 Galat Aturan Titik Kiri
Dapat ditunjukkan galat dari aturan titik kiri sebagai berikut G =
Z h
0
f (x)dx − hf (xi)
dimana i = 0, 1, ..., n sehingga diperoleh galat untuk satu pias G = h
2
2 f
0
(x0)
Adapun pias sebanyak n diperoleh Gtotal = 1 2(b − a)f 0 (xi) ≈ O(h)
Dapat dilihat bahwa pendekatan aturan titik kanan dan aturan titik kiri me-miliki besar galat yang sama, namun berbeda pada pendekatan trapesium dan titik tengah. Diketahui bahwa pendekatan yang memiliki galat yang paling kecil diantara keempat pendekatan diatas adalah aturan titik tengah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan aturan titik tengah yang memiliki efisiensi yang cukup cepat dari jumlah diskritisasi yang dilakukan. Namun ada beberapa kondisi yang menyebabk-an pendekatmenyebabk-an ymenyebabk-ang dilakukmenyebabk-an harus disesuaikmenyebabk-an dengmenyebabk-an permasalahmenyebabk-an ymenyebabk-ang sedmenyebabk-ang dijalankan. Oleh karenanya perlu bagi kita untuk mempelajari lebih mendalam ten-tang pendekatan numerik.
Contoh
x2− y2 = y, x2+ y2 = x dengan inisial guess x
0 = 0.8 dan y0 = 0.4.
Penyelesaian
Karena f (x, y) = 0 dan g(x, y) = 0 maka persamaan tersebut dapat ditulis f (x, y) = x2− y2− y = 0, g(x, y) = x2+ y2− x = 0. dan diketahui inisial guess x
0 = 0.8
dan y0 = 0.4 maka kita ketahui matriks Jacobi
F0(x) = 2x −2y − 1 2x − 1 2y . f (x0, y0) = 0.08 dan g(x0, y0) = 0, F0(x0, y0) = 1.6 −1.8 0.6 0.8 dan [F0(x0, y0)]−1 = 0.3390 0.7627 −0.2542 0.6780
maka solusi pada iterasi pertama yaitu: x1 y1 =0.8 0.4 − 0.3390 0.7627 −0.2542 0.6780 0.08 0 =0.7729 0.4203
Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan MATLAB dimana code dapat dilihat pada lampiran 1. Jika dilakukan iterasi sebanyak 5 kali, maka akan didapat hasil yang ditunjukkan oleh tabel berikut
i xi yi error 0 0.8 0.4 -1 0.772881355932203 0.420338983050847 0.033898305084746 2 0.771845967451467 0.419644283432102 0.001246850779495 3 0.771844506348887 0.419643377608757 1.719109270156545e-006 4 0.771844506346038 0.419643377607081 3.304913436759251e-012 5 0.771844506346038 0.419643377607081 0
Dari penyelesaian diatas dapat kita ketahui bahwa pada iterasi ke-5 nilai galat telah mencapai 0, sehingga diketahui nilai akar dari x = 0.771844506346038 dan y = 0.419643377607081
2.6 Solusi Numerik pada Persamaan Diferensial Partial
Shaw (1992) menjelaskan bahwa persamaan yang mengatur pergerakan fluida ada-lah persamaaan diferensial parsial. Persamaan ini terdiri dari kombinasi variable aliran seperti kecepatan, tekanan dan turunan dari variabel tersebut. Komputer tidak dapat menghasilkan solusi persamaan diferensial secara langsung karena komputer hanya dapat memanipulasi data dalam bentuk 0 dan 1 atau data biner. Selain itu
komputer diprogram untuk melakukan perhitungan operasi sederhana seperti pen-jumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan perulangan.
Oleh karena itu persamaan diferensial harus ditransformasikan kedalam per-samaan yang hanya terdiri dari bilangan, kombinasi dari bilangan tersebut dapat digambarkan oleh operasi yang sederhana. Untuk melakukan transformasi pada persamaan tersebut maka dapat dilakukan suatu cara yang disebut diskritisasi ya-itu setiap suku dalam persamaan diferensial harus diterjemahkan kedalam sebuah bentuk numerik yang dapat diprogram oleh komputer untuk dihitung. Berbagai tek-nik dapat dilakukan diantaranya metode beda hingga, metode elemen hingga, dan metode volume hingga.
Metode beda hingga merupakan suatu teknik yang didasari pada deret Taylor yang menggambarkan turunan dari variabel sebagai selisih antara nilai-nilai dari va-riabel dari berbagai titik dalam ruang dan waktu. Teknik kedua yaitu metode elemen hingga, dalam metode ini domain dari persamaan diferensial parsial yang berlaku dibagi menjadi sejumlah elemen berhingga. Namun pada metode ini, proses diskri-tisasi yang dilakukan lebih sulit dibandingkan dengan metode beda hingga. Teknik yang ketiga adalah metode volume hingga, teknik ini cukup popular digunakan un-tuk persoalan komputasi fluida dinamik.
Menurut Apsley (2005) metode volume hingga sesuai diterapkan pada ma-salah aliran fluida dan aerodinamika. Pada metode volume hingga harus diketahui domainnya dengan jelas, dari domain tersebut dibagi menjadi grid-grid baik ters-truktur maupun tidak (unstrustured), pada masing-masing grid memenuhi persama-an matematika ypersama-ang terbentuk.
Oleh referensi diatas, maka dapat diputuskan bahwa metode yang tepat un-tuk menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan menggunakan metode volume hingga. Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa waterflooding meruapakan su-atu permasalahan aliran fluida pada media berpori. Oleh karena itu, maka metode volume hingga dapat dijelaskan pada pembahasan berikut.
2.6.1 Metode Volume Hingga
Metode Volume Hingga (MVH) merupakan salah satu teknik diskritisasi pada per-samaan diferensial parsial, dan biasanya diimplementasikan pada hukum konser-vasi. Pada dasarnya metode ini mengatur persamaan diferensial agar dikonversi kedalam bentuk numerik yaitu dengan membagi domain Ω menjadi himpunan dari volume berhingga yang saling lepas. Domain yang dipartisi sebanyak i yang disebut grid atau mesh.
Tulus, Ariffin, Abdullah dan Norhamidi (2005) telah melakukan peneliti-an mengenai aplikasi Computational Fluid Dinamic (CFD) dengpeneliti-an menggunakpeneliti-an metode volume hingga dalam tulisannya yang berjudul Numerical Simulation of In-Cylinder Gas Dynamic of Two-Stroke Linear Engines using Finite Volume Method. Thomas J.W (2013) dalam bukunya Numerical Partial Differential Equation Conservation Law and Elliptic Equation mengemukakan suatu formulasi umum dari hukum konservasi berikut
∂u ∂t +
∂f (u)
∂x = 0 in R × (0, T )
persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunaka metode volume hingga, dimana akan dicari solusi U (xi, tn) atau dapat dinotasikan sebagai Uinyang
kemu-dian dibentuk suatu grid terhadap domain x dan waktu t. Andaikan terdapat suatu interval [a, b], maka untuk mencari solusinya dapat dipartisi sebanyak n, dimana n ∈ N, sehingga ∆x = (b−a)n . Maka untuk xi = a + i∆x dan kemudian terdapat ∆t
sehingga tn = n∆t. Dalam hal ini, dibentuk control volume pada diskritisasi yaitu
suatu bidang dengan batas x yaitu xi−1
2 dan xi+ 1
2 sedangkan batas terhadap t yaitu
tn−1 dan tnyang dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.6 sehingga dapat
direpresenta-sikan oleh Z xi+ 1 2 xi− 1 2 Z tn tn−1 ∂u ∂t + ∂f (u) ∂x dtdx = 0 hal diatas akan sama dengan
Z xi+ 1 2 xi− 1 2 Z tn tn−1 ∂u ∂tdtdx + Z xi+ 1 2 xi− 1 2 Z tn tn−1 ∂f (u) ∂x dtdx = 0
Gambar 2.6: Control Volume
pada suku pertama integralkan terhadap batas t, pada suku kedua integralkan terha-dap batas x sehingga diperoleh
Z xi+ 1 2 xi− 1 2 u(x, tn) − u(x, tn−1) dx + Z tn tn−1 f (u(xi+1 2, t)) − f (u(xi− 1 2, t)) dt = 0
dengan mengaplikasikan pendekatan mid point dapat ditunjukkan bahwa Z x i+ 12 x i− 12 u(x, tn) − u(x, tn−1) dx ≈ u(xi, tn)∆xi− u(xi, tn−1)∆xi
sedangkan pada fungsi flux dilakukan pendekatan left point dapat diperlihatkan bah-wa Z tn tn−1 f (u(xi+1 2, t)) − f (u(xi− 1 2, t)) dt ≈ f (u(xi+1 2, tn−1))∆ti −f (u(xi−1 2, tn−1))∆ti sehingga diperoleh
u(xi, tn)∆xi− u(xi, tn−1)∆xi+ f (u(xi+12, tn−1))∆ti
−f (u(xi−1
2, tn−1))∆ti+ Galat1 = 0.
Lakukan pendekatan upwind yang diilustrasikan oleh Gambar 2.7, dimana pende-katan upwind dapat direpresentasikan oleh
f (u(xi+1
2, tn−1)) ≈ f (u(xi, tn−1))
f (u(xi−1
Gambar 2.7: Upwinding
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat galat pada setiap pendekatan numerik sehingga
u(xi, tn)∆xi− u(xi, tn−1)∆xi+ f (u(xi, tn−1))∆ti
−f (u(xi−1, tn−1))∆ti+ Galat1+ Galat2 = 0
(2.6)
dengan Galat1= galat integrasi numerik dan Galat2=galat upwinding. Dalam hal
ini ∆xi dan ∆ti merupakan pias yang dapat ditentukan besarnya, jika ∆xi dan ∆ti
menuju nol, maka galatnya pun akan menuju nol sehingga solusi numerik akan mendekati solusi eksak. Oleh karenanya dapat kita lakukan pendekatan u(xi, tn) ≈
U (xi, tn) sehingga persamaan (2.6) dapat ditulis
U (xi, tn)∆xi− U (xi, tn−1)∆xi+ f (U (xi, tn−1))∆ti −f (U (xi−1, tn−1))∆ti = 0 jadi, U (xi, tn) = U (xi, tn−1) − ∆ti ∆xi f (U (xi, tn−1)) − f (U (xi−1, tn−1)) (2.7) Contoh
Terdapat suatu persamaan yang direpresentasikan oleh persamaan berikut ∂u ∂t + 1 2 ∂u2 ∂x = 0 in R × (0, T ) (2.8)
dengan kondisi batas u(x, 0) = 1 − x2, tentukan solusi numerik dari persamaan tersebut
Penyelesaian
Persamaan (2.8) merupakan persamaan transport yang dikenal dengan sebutan per-samaan Burger inviscid yang merupakan bentuk sederhana dari perper-samaan diferen-sial pardiferen-sial nonlinier. Persamaaan Burger terkenal dengan solusinya berupa gelom-bang kejut dan merupakan bentuk khusus dari model Buckley-Leverett.
Permasalahan ini dapat diselesaikan oleh beberapa metode, namun dalam hal tulisan ini penulis akan menyelesaikan persamaan tersebut dengan menggu-nakan metode volume hingga yang telah dijelaskan sebelumnya dengan melakukan langkah-langkah yang dijelaskan sebelumnya yaitu dengan melakukan integrasi se-perti persamaan (2.6.1) Z xi+ 1 2 xi− 1 2 Z tn tn−1 ∂u ∂tdtdx + 1 2 Z xi+ 1 2 xi− 1 2 Z tn tn−1 ∂u2 ∂xdxdt = 0
pada suku pertama integralkan terhadap t dan pada suku kedua integralkan terhadap x Z xi+ 1 2 xi− 1 2 [u(x, tn) − u(x, tn−1)]dx + 1 2 Z tn tn−1 [u2(xi+1 2, tn) − u 2(x i−12, tn)]dt = 0
pada suku pertama digunakan pendekatan mid point dan pada suku kedua digunakan pendekatan left point sehingga diperoleh
u(xi, tn)∆xi− u(xi, tn−1)∆xi+
1 2[u
2(x
i+12, tn−1)∆ti− u2(xi−12, tn−1)∆ti]
dengan menggunakan upwinding diperoleh ∆xi[u(xi, tn) − u(xi, tn−1)] +
1 2∆ti[u
2(x
i, tn−1) − u2(xi−1, tn−1)] = 0
dengan melakukan perhitungan al-jabar diperoleh u(xi, tn) = u(xi, tn−1) −
∆ti
2∆xi
[u2(xi, tn−1) − u2(xi−1, tn−1)]
Solusi numerik diatas dapat direpresentasikan oleh Gambar 2.8 yang dipe-roleh melalui perhitungan menggunakan MATLAB dengan code yang tertera pada Lampiran 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat dua grafik dimana per-hitungan dilakukan dengan waktu yang berbeda. Solusi ini menunjukkan bahwa
persamaan (2.8) dapat diselesaikan secara numerik dengan menggunakan metode volume hingga yang menjadi rujukan pada penelitian ini.
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 explicit method X u(x,t)