• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

2.1.1. Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat.

Napas sesak ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam, sedangkan napas cepat diketahui dengan menghitung tarikan napas dalam satu menit. Untuk balita umur 2 tahun sampai 5 tahun tarikan napasnya 40 kali atau lebih dalam satu menit, balita umur 2 bulan sampai 2 tahun tarikan napasnya 50 kali atau lebih permenit, dan bayi umur kurang dari 2 bulan tarikan napasnya 60 kali atau lebih permenit (Depkes, 1991).

Pneumonia adalah keradangan paru dimana sinus terisi dengan cairan radang,

dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding alveoli dan rongga interstisium (Alsagaff, 2005). Pneumonia merupakan infeksi bakteri akut ditandai dengan serangan mendadak dengan demam menggigil, nyeri pleural,

dyspnea, tachypnea, batuk produktif dengan dahak kemerahan serta lekositosis.

Serangan ini biasanya tidak begitu mendadak, khususnya pada orang tua dan hasil foto toraks mungkin memberi gambaran awal adanya pneumonia (Chin, 2000).

2.1.2. Penyebab Pneumonia

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain, sehingga dikenal :

(2)

2. Pneumonia Kimiawi (chemical Pneumonitis) : Inhalasi bahan-bahan organik atau uap kimia seperti Berillium.

3. Extrinsic allergic alveolitis : inhalasi bahan-bahan debu yang mengandung alergen, seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.

4. Pneumonia karena obat : Nitrofurantoin, Busulfan, Metotreksat. 5. Pneumonia karena radiasi

6. Pneumonia dengan penyebab tidak jelas : Desquamative interstitial pneumonia, Eosinofilic pneumonia (Alsagaff, 2005).

2.1.3. Klasifikasi Pneumonia

2.1.3.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Tingkat Keparahannya

Penyakit pneumonia dibagi dalam tiga kelompok yaitu, sebagai berikut : 1. Pneumonia sangat berat : Pneumonia sangat berat ditandai dengan kesulitan

bernafas dengan stridor (ngorok), kejang, adanya nafas cepat dan penarikan dinding dada ke dalam, anak mengalami mengi (mengeluarkan bunyi saat menarik nafas), dan sulit menelan makanan/minuman. Pneumonia sangat berat harus segera dirujuk baik di puskesmas ataupun rumah sakit.

2. Pneumonia berat : Pneumonia berat ditandai dengan kesulitan bernafas tanpa stridor, nafas cepat, adanya penarikan dinding dada ke dalam, anak mengalami mengi, dan dapat menelan makanan/minuman.

3. Pneumonia : Pneumonia ditandai dengan nafas cepat tanpa penarikan dinding dada ke dalam, anak mengalami mengi (Putri, 2006).

(3)

2.1.3.2. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologinya

Tabel 2.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologinya

Grup Penyebab Tipe Pneumonnia

Bakteri Streptokokus pneumonia Streptokokus piogenesis Stafilokokus aureus Klebsiela pneumonia Eserikia koli Yersinia pestis Legionnaires bacillus Pneumoni bakterial Legionnaires disease Aktinomisetes Aktinomisetes Israeli

Nokardia asteroides

Aktinomisetes pulmonal Nokardia pulmonal Fungi Kokidioides imitis

Histoplasma kapsulatum Blastomises dermatitidis Aspergilus Fikomisetes Kokidioidomikosis Histoplasmosis Blastomikosis Aspergilosis Mukormikosis

Riketsia Koksiela burneti Q fever

Klamidia Chlamydia trachomatis Chlamydial Pneumonia Mikoplasma Mikoplasma pneumonia Pneumonia mikoplasmal Virus Influenza virus, adeno

Virus respiratory Syncytial

Pneumonia virus

Protozoa Pneumositis karini Pneumonia pneumosistis (pneumonia plasma sel) Sumber : Alsagaff, 2005.

Pneumonia timbul sesering bronkitis akut pada anak-anak, dan hampir selalu

mengikuti suatu infeksi saluran nafas bagian atas yang menyebar ke bawah dan dapat menyebabkan timbulnya pus pada bronki, kadang-kadang terlalu kental untuk dapat dikeluarkan dengan batuk yang biasa, dan membentuk gumpalan yang menyumbat satu atau lebih bronki besar. Bila ini terjadi, bagian paru yang dialiri oleh bronkus yang tersumbat itu akan kuncup, udara tidak akan dapat lagi memasukinya, kemudian akan terinfeksi dengan bakteri seperti Pneumokok, Hemofilis influensa, dan

(4)

kadang-kadang Streptokok. Dengan jalan ini, pneumonia dapat terjadi pada anak yang sebelumnya sehat atau pada perjalanan penyakit batuk rejan(Jelliffe, 1994).

Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia

Secara umum penyakit pneumonia ditandai dengan adanya serangan mendadak dengan demam menggigil, nyeri pleural, dyspnea, tachypnea,

eosinophilia, cyanosis (kulit kebiru-biruan), adanya peningkatan IgM dan IgG, batuk

produktif dengan dahak kemerahan serta lekositosis. Pada bayi dan anak kecil, demam, muntah dan kejang dapat merupakan gejala awal penyakit. Gejala lainnya adalah sakit kepala, malaise, batuk biasanya paroxysmal, sakit tenggorokan, kadang-kadang sakit didada kemungkinan pleuritis dan pada awalnya sputum sedikit lama-lama bertambah banyak (Chin, 2000).

Sebagian dari penderita didahului dengan keradangan saluran pernafasan bagian atas, kemudian timbul keradangan saluran pernafasan bagian bawah. Serangan biasanya mendadak dengan perasaan menggigil disusul dengan panas badan (100-106°F), yang tertinggi pada pagi dan sore, batuk-batuk terdapat pada 75% dari penderita, batuk dengan berwarna merah dan kadang-kadang berwarna hijau dan purulen, nyeri dada waktu tarik napas dalam (pleuritic pain), mialgia terutama pada daerah lengan dan tungkai (Alsagaff, 2005).

(5)

Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyakit Pneumonia Faktor Agent (Bibit Penyakit)

Menurut Yusuf yang dikutip oleh Putri (2006), Hasil penelitian fungsi paru di negara berkembang menunjukkan bahwa kasus pneumonia berat pada anak disebabkan oleh bakteri yang biasanya adalah Streptococcus pneumonia atau

Haemophillus influenza. Penyebab lain adalah Staphylococcus aureus, Bordetella pertusis, Mycoplasma pneumonia.

Menurut Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Dirjen P2M dan PLP) tahun 1992, sebelumnya jenis bakteri yang sering dilaporkan sebagai penyebab ISPA bawah terbatas pada Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae. Tetapi sejak 15 tahun belakangan ini telah terjadi

perubahan besar bakteri penyebabnya, diantaranya adalah Moraxella, Legionella

pneumophilia, dan Chlamydia pneumonia (Sibarani, 1996)

Faktor Host (Pejamu)

1. Umur

Menurut Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Dirjen PPM dan PLP) tahun 2005, didapatkan 600.720 kasus pneumonia pada balita, dengan jumlah kematian 204 balita yang terdiri dari 155 balita berumur dibawah 1 tahun dan 49 balita berumur 1-4 tahun (Putri, 2006).

(6)

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 melaporkan prevalensi Balita dengan batuk dan nafas cepat pada anak laki-laki lebih tinggi dari pada anak perempuan yaitu sebesar 9,4% dan 8,5%.

3. Status Gizi

Menurut penelitian Sihadi (2000), pasien gizi yang menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) pada awal kunjungan senilai 24,0%, dan pada kunjungan ke 12 menjadi 28,6%. Dan untuk penyakit infeksi saluran pernafasan bawah (ISPB) terjadi penurunan. Jika diawal kunjungan jumlah anak balita gizi buruk yang menderita ISPB sebesar 75,8%, maka pada kunjungan ke 12 menjadi 33,8%.

4. Status ASI

Bayi usia 0-11 bulan yang tidak diberi ASI mempunyai risiko 5 kali lebih besar meninggal karena ISPA dibandingkan dengan bayi yang memperoleh ASI ekslusif. Bayi yang tidak diberi ASI menyebabkan terjadinya defisiensi zat besi. Ini yang menjadikan risiko kematian karena ISPA sangat besar dibandingkan bayi yang secara eksklusif memperoleh ASI dari si ibu (Kartasasmita, 2004).

5. Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Menurut Alisjahbana yang dikutip oleh Putri (2006), BBLR yang berhasil melewati masa kritis dalam periode neonatal menunjukkan resiko untuk kejadian cacat termasuk gangguan perkembangan neurologist, cacat bawaan, gangguan pernafasan, atau komplikasi yang didapat karena perawatan intensif. Bayi dengan BBLR menunjukkan kecendrungan untuk lebih rentan menderita penyakit infeksi

(7)

dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal, hal tersebut merupakan penyebab tingginya angka kematian bayi (Elizawarda, 2004).

Faktor Environment (Lingkungan)

1. Status Ekonomi

Menurut penelitian yang dilakukan Kamagi tahun 2009, balita yang memiliki keluarga dengan kategori keluarga sejahtera III memiliki risiko 0,051 dan 0,136 kali lebih kecil untuk terkena pneumonia daripada balita yang memiliki keluarga dengan kategori keluarga sejahtera I dan II.

2. Kepadatan Hunian Rumah

Menurut penelitian yang dilakukan Kamagi tahun 2009, kepadatan hunian dalam rumah memiliki pengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan besar risiko 5,95 kali lebih besar.

3. Musim

Menurut Cissy B. Kartasasmita yang dikutip oleh Sibarani (1996) diketahui bahwa insiden ISPA lebih tinggi secara bermakna dalam musim hujan (masing-masing musim hujan 56% dan musim kemarau 45%). Pengaruh musim juga dikemukakan oleh Denoy, yang menyatakan bahwa di daerah tropis lebih banyak ISPA waktu musim hujan.

Cara Penularan Penyakit Pneumonia

Pada umumnya penyakit pneumonia ditularkan melalui percikan ludah, kontak langsung lewat mulut atau kontak tidak langsung melalui peralatan yang

(8)

terkontaminasi oleh discharge saluran pernafasan (Chin, 2000). Menurut Himawan yang dikutip oleh Putri (2006), cara penyebaran infeksi penyakit pneumonia ada dua , yaitu :

a. Melalui Aerosol (mikroorganisme yang melayang di udara) yang keluar pada saat batuk dan bersin.

b. Melalui kontak langsung dari benda yang telah tercemar mikroorganisme penyebab (hand to hand transmission).

Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus terbesar bila dibandingkan dengan cara penularan aerosol.

Pencegahan dan Penanganan Penyakit Pneumonia Pencegahan Penyakit Pneumonia

Pencegahan Pneumonia bertujuan untuk menghindari terjadinya penyakit

Pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia :

1. Jauhkan anak dari penderita batuk 2. Mintakan imunisasi lengkap

3. Berilah makanan bergizi setiap hari

4. Jagalah kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan(Depkes 1991).

Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran nafas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma, tetapi

(9)

sebagian besar mereka jadi pneumonia karena malnutrisi. Perbaikan mutu gizi akan diikuti dengan penurunan angka infeksi saluran nafas yang berat (Jelliffe, 1994).

2.1.7.2. Penanganan Penyakit Pneumonia

Jika anak batuk pilek rawatlah anak di rumah dengan cara berikut yaitu:

1. Jika anak panas, beri minum obat Parasetamol atau kompres dengan air dingin. Pemberian Parasetamol dengan aturan setengah tablet untuk usia 3 sampai 5 tahun dan seperempat tablet untuk usia 6 bulan sampai 3 tahun dengan cara dihaluskan sebelum diminum

2. Jika anak batuk, berikan obat batuk yang dianjurkan petugas kesehatan.

3. Jika hidungnya tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidungnya dengan sapu tangan yang bersih

4. Selama anak dirawat di rumah :

a. Tetap berikan ASI dan makanan. Bila muntah, usahakan anak mau makan lagi, berikan makanan sedikit-sedikit tapi sering

b. Beri minum lebih banyak dari biasanya

c. Jangan pakaikan selimut atau pakaian tebal selama badan anak masih panas d. Awasi adanya tanda-tanda penyakit bertambah parah yaitu anak tidak mau

minum, napasnya sesak dan cepat (Depkes, 1991).

Obat pilihan masih penisilin 300.000-600.000 U Pen.Proc, 1-2 kali/hari selama 7-10 hari atau 300.000 U aqueous penisilin 2-4 kali/hari. Tidak ada bukti yang cukup bahwa dosis tinggi penisilin dapat mempercepat kesembuhan. Oksigen via

(10)

kateter nasal atau masker pada penderita dengan pneumonia yang luas disertai sianosis (Alsagaff, 2005).

Terapi mencakup tindakan penunjang, pemberian oksigen tambahan, antibiotika, dan ventilasi mekanik bila terjadi kegagalan respirasi. Terapi antimikrobial berspektrum luas empirik hendaknya juga mencakup pneumonia

aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Amphotericin sering ditambahkan bila pasien

tidak memberi respon terhadap terapi antimikrobial initial, terutama bila terdapat tanda-tanda kolonisasi dan infeksi jamur superficial. Namun demikian sebaliknya dilakukan diagnosis jaringan untuk infeksi jamur invasif (Woodley, 1992).

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA

Program P2 ISPA merupakan program yang menangani masalah ISPA yang ditujukan pada kelompok Balita.

a. Mengumpulkan dan menganalisa data penyakit b. Melaporkan kasus penyakit menular

c. Menyembuhkan penderita sehingga tidak lagi menjadi sumber infeksi d. Pemberian imunisasi

e. Pemberantasan vektor

f. Memberikan penyuluhan kesehatan.

Masalah yang menjadi prioritas untuk ditanggulangi adalah pneumonia beserta komplikasinya. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus kegiatan program P2 ISPA. Program ini mengupayakan agar istilah pneumonia lebih dikenal

(11)

masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan pneumonia (Sibarani, 1996).

Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat. Penilaian individu terhadap status kesehatannya ini merupakan salah satu faktor yang menentukan perilakunya, yaitu perilaku sehat jika dia menganggap dirinya sehat, dan perilaku sakit jika merasa dirinya sakit (Sarwono, 1997).

Menurut Skiner yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)

(12)

Yaitu menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri.

2.3. Tindakan Penanganan Penyakit

Pandangan setiap orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit, sifatnya tidaklah selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektif dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab dia tidak merasa mengidap penyakit, atau jika siindividu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahkluk halus, maka dia akan memilih untuk berobat kepada orang pintar yang dianggap mampu mengusir mahkluk halus tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Sarwono, 1997).

Di negara-negara seperti Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka datang ke petugas kesehatan, yakni pergi berobat ke dukun atau ahli-ahli pengobatan tradisional lainnya. Oleh sebab itu petugas kesehatan perlu menyelidiki persepsi masyarakat setempat tentang sehat dan sakit.

(13)

Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Sarwono, 1997).

Menurut Mantra yang dikutip oleh Sarwono (1997), masyarakat memiliki hak dan potensi untuk memilih hal-hal/tindakan yang berkaitan dengan kesehatannya sendiri, dan disertai dengan instink untuk mempertahankan hidupnya, maka hak dan potensi ini mendorong individu/masyarakat untuk melakukan sesuatu guna menangani masalah kesehatan mereka.

Menurut Mechanic yang dikutip oleh Sarwono (1997), proses yang terjadi dalam diri individu sebelum dia menentukan untuk mencari upaya pengobatan. Banyak faktor yang menyebabkan orang bereaksi terhadap penyakitnya, antara lain : 1. Dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari

keadaan biasa.

2. Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya. 3. Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan

dalam kegiatan sosial lainnya.

4. Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya.

5. Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu (kemungkinan individu untuk diserang penyakit itu).

6. Informasi, pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu. 7. Perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya.

(14)

8. Adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit itu.

9. Tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tesebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut, dsb).

Menurut Notoadmodjo (2003) ada beberapa respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :

7. Tidak bertindak /kegiatan apa-apa (no action). 8. Tindakan mengobati sendiri.

9. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional

remedy).

10. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist

shop).

11. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modren yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta.

12. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modren yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine).

Menurut Suchman yang dikutip oleh Sarwono (1997), ada beberapa pola proses pencarian pengobatan dari segi individu maupun petugas kesehatan. Menurut pendapatnya, terdapat lima macam reaksi dalam proses mencari pengobatan, yaitu : 1. Shopping adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan

seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan sesuai dengan harapan si sakit.

(15)

2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan ke dukun. 3. Procrastination ialah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala

penyakitnya sudah dirasakan.

4. Self medication ialah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.

5. Discontinuity adalah penghentian proses pengobatan.

Menurut Suchman yang dikutip oleh Sarwono (1997), dalam menentukan reaksi/tindakannya sehubungan dengan gejala penyakit yang dirasakannya, individu berproses melalui tahap-tahap berikut ini :

a. Tahap pengenalan gejala. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu dianggap dapat membahayakan dirinya.

b. Tahap asumsi peranan sakit. Individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga, tetangga, teman sekerja) tentang penyakitnya.

c. Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan. Disini individu mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalamannya atau dari informasi yang diperoleh dari orang lain.

d. Tahap ketergantungan penderita. Individu memutuskan bahwa dirinya, sebagai orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan pasrah kepada prosedur pengobatan.

(16)

e. Tahap penyembuhan atau rehabilitasi. Dalam hal ini penderita melepaskan diri dari peranannya sebagai orang sakit dan berusaha memulihkan fungsi sosialnya meskipun tidak optimal.

Menurut Green yang dikutip oleh Sarwono (1997) mengatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor yaitu faktor-faktor predisposisi, pendukung dan pendorong.

1. Faktor predisposisi (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

2. Faktor pendukung (enabling factor) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Menurut Blum, perilaku lebih besar perannya dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan dibanding dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa penyediaan dan penambahan sarana kesehatan tidaklah selalu diikuti oleh peningkatan pemanfaatan sarana-sarana tesebut.

3. Faktor pendorong (reinforcing factor) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Tokoh kunci dalam proses pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit ialah petugas kesehatan, atau lebih khusus lagi adalah dokter. Bagi masyarakat awam seorang dokter dianggap mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit sehingga dia berwewenang

(17)

Hambatan yang paling besar dirasakan adalah faktor pendukungnya (enabling

factor). Dari penelitian-penelitian yang ada terungkap, meskipun kesadaran dan

pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah, setelah dilakukan pengkajian oleh WHO, terutama di negara-negara berkembang, ternyata faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2003).

2.3.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor pemudah mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long

lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoadmodjo, 2003). 2. Sikap

Menurut Sarwono (1997), sikap dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek, atau situasi

(18)

tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya), disamping komponen kognitif (pengetahuan tentang objek) serta aspek konatif (kecendrungan bertindak). Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut.

Menurut Newcomb yang dikutip oleh Sibarani (1996), sikap merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi, merupakan predisposisi tindakan. Sikap masih merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

3. Pendidikan

Menurut Notoadmodjo yang dikutip oleh Nainggolan (2008) menyatakan bahwa orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan Sibarani (1996), seseorang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung bertindak lebih baik.

4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktifitas yang dilakukan seseorang untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Sibarani, 1996). Menurut Anderson yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu diantaranya adalah pekerjaan menentukan

(19)

5. Penghasilan

Penghasilan sangat memengaruhi status ekonomi keluarga. Status ekonomi yang lebih tinggi cenderung memberi kemudahan bagi seseorang dalam melakukan tindakan yang lebih baik dalam kesehatan, seperti kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan (Sibarani, 1996). Menurut Kartasasmita yang dikutip oleh Nainggolan (2008), status sosial ekonomi dianggap sebagai salah satu faktor risiko penting untuk pneumonia, karena penderita pneumonia pada anak banyak ditemukan pada kelompok keluarga dengan sosial ekonomi rendah.

2.3.2. Faktor Pendukung (Enabling Factor)

Faktor pendukung mencakup tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Pelayanan kesehatan didirikan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat membutuhkannya. Namun kenyataannya masyarakat baru mau mencari pengobatan (pelayanan kesehatan) setelah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi sangat dibutuhkan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. (Notoadmodjo, 2003).

Menurut Nainggolan (2008) yang mengutip pendapat Dever menyatakan bahwa keterjangkauan/jarak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.

(20)

2.3.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Faktor)

Faktor pendorong (reinforcing factor) meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan. Dalam hal ini dapat diukur dengan frekuensi pemberian informasi/penyuluhan tentang pneumonia kepada masyarakat.

1. Informasi/Penyuluhan tentang pneumonia dari petugas kesehatan

Tujuan akhir dari program kesehatan adalah menumbuhkan perilaku sehat dalam masyarakat. Dan salah satu fungsi petugas kesehatan adalah memberikan informasi/penyuluhan kesehatan. Dalam bidang kesehatan tugas ini merupakan tugas utama dari pendidik/penyuluh kesehatan. Penyuluhan kesehatan pada dasarnya ialah suatu proses mendidik individu/masyarakat supaya mereka dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya (Sarwono, 1997).

Menurut Notoadmodjo dan Sarwono yang dikutip oleh Sarwono (1997) mengatakan, upaya mengubah perilaku dapat digolongkan menjadi tiga cara yaitu : 1. Menggunakan kekuasaan/kekuatan

2. Memberikan informasi 3. Diskusi dan partisipasi

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :

(21)

Variabel Independen

Variabel dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep tersebut dapat didefinisikan konsep-konsep yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Faktor predisposisi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat yang meliputi : pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

2. Faktor pendukung adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat pelayanan kesehatan, yaitu ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan jarak ke pelayanan kesehatan. Faktor Predisposisi -Pendidikan -Pekerjaan -Penghasilan Faktor Pendukung - Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan - Jarak ke pelayanan kesehatan Faktor Pendorong -Pernah tidaknya memperoleh informasi/penyuluhan tentang penyakit

pneumonia dari petugas

kesehatan

Tindakan Ibu dalam Pencarian Pengobatan dan Pemulihan Penyakit

(22)

3. Faktor pendorong adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan petugas kesehatan, dalam hal ini mencakup pernah tidaknya memperoleh informasi/penyuluhan tentang penyakit pneumonia dari petugas kesehatan

2.5. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh variabel faktor predisposisi (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan) terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan pemulihan penyakit pneumonia pada balita.

2. Ada pengaruh variabel faktor pendukung (ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan) terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan pemulihan penyakit pneumonia pada balita.

3. Ada pengaruh variabel faktor pendorong (pernah tidaknya memperoleh informasi/penyuluhan tentang penyakit pneumonia dari petugas kesehatan) terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan pemulihan penyakit

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologinya
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga penerima dana bantuan yang proposalnya telah dinilai dan dinyatakan layak untuk menerima bantuan oleh panitia Penilai proposal kemudian diajukan kepada Kepala

Rokan Hilir 20,000,000 APBD Mei 2012 Juni - Agustus 2012 EK 340 - Pengadaan/Pemasangan instalasi dan meteran listrik Perkantoran Kecamatan Rimba Melintang Penunjukan Langsung 1

[r]

Beberapa keterampilan yakni konseptual, interpersonal, dan teknikal diperlukan untuk melaksanakan supervisi akademik secara efektif (Glickman et al., 2007). Oleh karena itu,

1) Musyarakah, perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha.Keuntungan dari usaha tersebut dibagi

Kepok usia 6 minggu dan 10 minggu (M1V1) (M1V2) (Tabel 1 dan 2) menunjukkan bahwa rerata jumlah tunas hasil iradiasi tidak berbeda nyata dengan kontrol (0 Gy) dan jumlah

Metode yang digunakan untuk menentukan embung prioritas adalah Analysis Cluster, AHP (Analytical Hierarchy Process). Kriteria yang digunakan dalam penentuan prioritas

Protokol Pemikiran Verbal (seterusnya PPV) merupakan satu teknik yang digunakan untuk mendapat maklumat yang berlaku dalam proses kognitif.. Melalui PPV, subjek akan