• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENDEKATAN STARTER EKSPERIMEN DAN KEBIASAAN BELAJAR TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENDEKATAN STARTER EKSPERIMEN DAN KEBIASAAN BELAJAR TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENDEKATAN STARTER EKSPERIMEN DAN

KEBIASAAN BELAJAR TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS

SISWA

Km. Arystya Noviana

1

, Kt. Pudjawan

2

, Dw. Nym. Sudana

3 1,3

Jurusan PGSD,

2

Jurusan TP, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: arystya.noviana@yahoo.co.id

1

, ketutpudjawan@gmail.com

2

,

sudanadewanyomanpgsd@yahoo.co.id

3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional berdasarkan tingkatan kebiasaan belajar siswa serta interaksi antara model pembelajaran dan kebiasaan belajar. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan rancangan non-equivalent post test only control group

design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD di Gugus XV

Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014 dan sampel sebanyak 60 siswa ditentukan dengan teknik random sampling. Data kebiasaan belajar dikumpulkan dengan metode kuesioner, sedangkan data keterampilan proses sains diperoleh dengan metode tes. Data keterampilan proses sains dianalisis dengan statistik deskriptif dan ANAVA dua jalur. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (FA=103,33>Ftabel=4,08); (2) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains (FAB=19,30>Ftabel=4,08); (3) pada kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (Qhitung=14,64>Qtabel=3,79); dan (4) pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, terdapat perbedaan keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (Qhitung=5,81>Qtabel=3,79). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan proses sains siswa antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan model pembelajaran konvensional berdasarkan tingkatan kebiasaan belajar siswa serta terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kebiasaan belajar pada siswa kelas IV.

Kata-kata kunci: kebiasaan belajar siswa, keterampilan proses sains, pendekatan starter eksperimen.

Abstract

This research aims to investigate the difference of sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model based on their learning habit and interaction between learning model and learning habit. This research is quasi-experimental and using non-equivalent post-test only control group design. Population in this study was 4th grade students of SD Gugus XV Buleleng Sub-district and the samples is 60 students were selected used random sampling technique. Data of learning habit were collected by questionnaire and data of sciens process skills were collected by test. Data sciens process skills was analysed used statistic descriptive and two way ANOVA. Result shows (1) there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (FA=103.33>F-cv=4.08); (2) there

(2)

is an interactional effect between learning model and learning habit of sciens process skills (FAB=19.30>F-cv=4.08); (3) students with good learning habit, there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (Q-obs=14.64>Q-cv=3.79); (4) students with not good learning habit, there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (Q-obs=5.81>Q-cv=3.79). So, there is a difference sciens process skills between students who followed SEA learning model and students who followed conventional learning model based on their learning habit, and there is an interaction between learning model and learning habit in 4th grade students.

keywords : Sciens process skills, Starter Experiment Approach learning model, student’s learning habit

PENDAHULUAN

Sains pada hakikatnya mencakup dua hal yaitu produk dan proses. Sains sebagai produk merupakan kumpulan hasil kegiatan

empirik dan kegiatan analitik yang

dilakukan para ilmuan selama berabad-abad. Bentuk sains sebagai produk adalah fakta, konsep, prinsip, dan teori sains yang merupakan hasil dari kegiatan empirik dalam sains. Kegiatan tersebut menyatakan bahwa sains juga sebagai proses yang tidak terlepas dari sains sebagai produk (Sudana & Astawan, 2013:2).

Memahami sains lebih dari hanya mengetahui fakta-fakta, tetapi memahami

sains juga memahami proses yaitu

bagaimana mengumpulkan fakta-fakta dan bagaimana menghubungkan fakta untuk

menginterpretasikannya. Para ilmuan

menggunakan berbagai prosedur empirik dan prosedur analitik dalam usaha mereka memahami alam semesta ini. Prosedur-prosedur tersebut merupakan proses ilmiah atau proses sains.

Idrawati (dalam Trianto, 2008:72) menyatakan bahwa, keterampilan proses sains merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep, prinsip atau teori untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan. Dengan kata lain keterampilan ini dapat digunakan sebagai wahana penemuan dan pengembangan konsep, prinsip, dan teori. Konsep, prinsip, teori yang telah ditemukan atau dikembangkan ini akan memantapkan pemahaman tentang keterampilan proses tersebut.

Menyikapi pentingnya pengembangan keterampilan proses sains hal penting yang

harus diperhatikan adalah bagaimana

seorang guru merancang proses

pembelajaran yang akan berlangsung agar menjadi bermakna bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalaminya secara langsung dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Pada kenyataannya proses

pembelajaran di sekolah dasar, khususnya di SD gugus XV Kecamatan Buleleng,

masih kurang menyadari pentingnya

penanaman keterampilan proses sains yang berorientasi pada situasi yang konkret pada diri siswa. Hal ini dibuktikan, pada

saat pembelajaran guru masih

menggunakan model pembelajaran

konvensional yaitu pembelajaran

didominasi oleh guru dengan metode

ceramah. Sains disampaikan sebagai

produk dan siswa menghafal informasi faktual. Kondisi tersebut sangat jauh dari

kondisi yang diharapkan dalam

pembelajaran sains. Siswa tidak diberikan

kesempatan untuk menguasai proses

pembelajaran, baik itu membaca maupun melakukan penyelidikan. Oleh sebab itu siswa cenderung akan menjadi pasif dan

tidak berusaha mengembangkan

pengetahunnya. Kalaupun terjadi

pembelajaran yang dikemas dengan

eksperimen, keberhasilan belajar siswa yang lebih dipentingkan adalah nilai

berdasarkan kemampuan siswa pada

penguasaan bahan yang diujikan dalam bentuk tes objektif. Meskipun psikomotor dan afektif tetap dinilai, namun yang menentukan ranking dalam raport tetap berorientasi pada nilai kognitif yaitu nilai

berdasarkan tes/ulangan harian,

tes/ulangan tengah semester, dan terakhir tes/ulangan akhir semester.

(3)

Selain itu, dalam pembelajaran sains seringkali melakukan pengukuran namun yang dinilai bukanlah penentuan alat ukur dan cara siswa mengukur, melainkan hasil pengukuran siswa. Paradigma inilah yang

sebaiknya diubah mengingat bahwa

proporsi sains sebagai produk dan proses haruslah dalam porsi yang seimbang. Oleh karena itu, sangat perlu untuk dipikirkan

suatu upaya untuk mengemas

pembelajaran yang sesuai dengan

karakteristik sains itu sendiri.

Untuk menjawab permasalahan

tersebut, adapun solusi pengemasan

pembelajaran adalah dengan menerapkan

model pembelajaran menggunakan

Pendekatan Starter Eksperimen (PSE) atau

Starter Experiment Approach (SEA). PSE

merupakan model pembelajaran dengan pendekatan komprehensif yang mencakup

berbagai startegi pembelajaran dan

berorientasi pada keterampilan proses.

Melalui penerapan model

pembelajaran dengan PSE, siswa

menemukan suatu konsep yang harus mereka pelajari melalui suatu tahap-tahap

proses, baik yang dilakukan secara

individual maupun secara kelompok.

Selain pengemasan pembelajaran, tentu kondisi siswa dapat mempengaruhi pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.

Dalam bukunya, Slameto (2010:54),

mengungkapkan keberhasilan belajar

dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) diri individu. Salah satu faktor yang bersumber dari dalam adalah

kebiasaan belajar. Kebiasaan belajar

merupakan faktor yang penting dalam belajar, sebagian hasil belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasan belajar. Kebiasaan

belajar siswa dapat ditentukan oleh

kedisiplinan dan kegigihan sehingga dalam waktu tertentu telah menjadi kebiasaan.

Kebiasaan belajar merupakan cara atau teknik yang menetap pada diri siswa pada waktu menerima pelajaran, membaca buku, mengerjakan tugas dan pengaturan

waktu untuk menyelesaikan kegiatan

(Djaali, 2008:128). Kebiasaan belajar yang

tidak efektif akan menjadi suatu

permasalahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak siswa yang

belajar hanya sebelum ulangan/tes

diadakan, begitu pula yang terjadi pada

beberapa siswa di SD gugus XV

Kecamatan Singaraja. Mereka belajar

semalaman untuk mempersiapkan diri

menjawab tes yang akan diberikan

keesokan harinya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa siswa belum mampu memanfaatkan hari-hari sebelumnya untuk belajar sedikit demi sedikit. Beberapa siswa mengaku bahwa mereka belajar hanya apabila ada ulangan saja serta jarang mengulangi pelajaran yang sebelumnya diajarkan di kelas. Akibatnya mereka lebih cepat lupa akan pelajaran-pelajaran yang telah dibelajarkan guru. Namun apakah keadaan ini mempengaruhi keterampilan proses sains?

Untuk mengetahui sejauh mana

model pembelejaran PSE dan kebiasaan belajar berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa, penting dilakukan suatu

penelitian. Secara lebih rinci, tujuan

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) untuk mengetahui adanya perbedaan keterampilan proses sains antara siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran menggunakan PSE dan yang

dibelajarkan dengan pembelajaran

konvensional; (2) untuk mengetahui adanya

pengaruh interaksi antara model

pembelajaran dengan kebiasaan belajar; (3) untuk mengetahui adanya perbedaan keterampilan proses sains antara siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran menggunakan PSE dan yang

dibelajarkan dengan pembelajaran

konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik; dan (4) untuk

mengetahui adanya perbedaan

keterampilan proses sains antara siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran menggunakan PSE dan yang

dibelajarkan dengan pembelajaran

konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk.

(4)

METODE

Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control

group design dengan rancangan faktorial 2x2. Desain ini dapat dilihat pada Tabel 01.

Tabel 01. Non Equivalent Post-Test Only Control Group Design

Kelas

Treatment

Post-test

E

X1

O1

K

X2

O2

(Dimodifikasi dari Dantes, 2012:96) Populasi dalam penelitian ini adalah

siswa kelas 4 SD gugus XV Kecamatan

Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.

Sekolah sampel adalah SD No. 1

Kalibukbuk, SD No. 2 Kalibukbuk, dan SD No. 1 Anturan yang diambil dengan teknik

simple random sampling. Sampel penelitian

berjumlah 60 siswa yang terdiri dari 2 kelas eksperimen dan dua kelas kontrol yang terdiri dari 30 siswa pada setiap kelas. Analisis hasil penelitian ini menggunakan Anava dua jalur.

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel yakni variabel bebas yaitu model pembelajaran PSE, variabel moderator yaitu kebiasaan belajar, dan variabel terikat yaitu keterampilan proses sains. Data yang perlu dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data keterampilan proses sains siswa dan data kebiasaan belajar siswa. Data mengenai keterampilan proses sains diperoleh melalui metode tes sedangkan

kebiasaan belajar diperoleh dengan

memberikan kuesioner kepada siswa. Tes keterampilan proses sains berupa tes uraian dengan jumlah 11 soal, sedangkan kuesioner kebiasaan belajar berjumlah 28 pernyataan yang dinilai dengan skala Likert. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang meliputi mean, median, modus, varians, dan standar deviasi. Statistik

inferensial digunakan untuk menguji

hipotesis meliputi pengaruh model

pembelajaran PSE dan konvensional

terhadap keterampilan proses sains, dan

pengaruh interaksi antara model

pembelajaran dan kebiasaan belajar

terhadap keterampilan proses sains siswa. Analisis data menggunakan uji ANAVA dua

jalur. Apabila uji anava dua jalur

menunjukkan H1 diterima pada hipotesis

ke-2 yakni terdapat pengaruh interaksi antara PSE dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains, maka perlu diadakan uji lanjut (post hoc) untuk mengetahui kelompok mana yang unggul dengan menggunakan uji Tukey. Uji Tukey digunakan untuk uji lanjut ANAVA apabila banyak responden atau banyak anggota pada tiap kelompok atau sel sama. Hasil uji Tukey ini menjawab hipotesis 3 dan 4. Adapun rumus uji Tukey yaitu sebagai berikut.

(1)

Keterangan:

B : Rerata sel atau kolompok yang

lebih besar

K : Rerata sel atau kelompok yang

lebih kecil

: Rerata jumlah kuadrat dalam

n : banyak responden dalam kelompok

Kriteria pengujian yang digunakan adalah

Q

hitung

> Q

tabel

pada taraf signifikansi

5% (α = 0,05) maka hipotesis nol (H

0

)

ditolak dan H1 diterima

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dalam penelitian ini

dikelompokkan menjadi enam kelompok data, yakni : (1) skor keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen (A1), (2) skor keterampilan proses sains pada

kelompok kontrol (A2), (3) skor

keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar baik (A1B1), (4) skor keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan

(5)

memiliki kebiasaan belajar buruk (A1B2), (5) skor keterampilan proses sains pada kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan

belajar baik (A2B1), dan (6) skor

keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar

buruk (A2B2). Maka deskripsi data yang berkaitan dengan mean, median, modus, varians dan standar deviasi untuk semua kelompok data di atas dapat dilihat pada Tabel 02 di bawah ini.

Tabel 02 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Keterampilan Proses Sains

Deskripsi data A1 A2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2

Mean 31,4 23,57 34,87 28,00 23,53 23,53

Median 31,5 23,06 34,90 27,83 23,00 22,60

Modus 35,5 22,41 35,00 26,50 21,17 21,25

Varians 19,36 10,19 6,70 8,14 9,54 11,55

Standar Deviasi 4,40 3,19 2,59 2,85 3,09 3,40

Kategori Tinggi Sedang Sangat Tinggi Tinggi Sedang Sedang

Skor keterampilan proses sains

kelompok eksperimen, dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 31,4; median (Md) = 31,5; modus (Mo) = 35,5; varians (s2) = 19,36; dan standar deviasi (s) = 4,40. Dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori tinggi.

Sementara itu, skor keterampilan proses sains kelompok kontrol, yaitu: mean (M) =23,57; median (Md) = 23,06; modus (Mo) = 22,41; varians (s2) = 10,19; dan standar deviasi (s) = 3,19. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.

Skor keterampilan proses sains

kelompok eksperimen dan memiliki

kebiasaan belajar baik, dapat

dideskripsikan yaitu: mean (M) = 34,87 median (Md) = 34,90, modus (Mo) = 35,00, varians (s2) = 6,70, dan standar deviasi (s) = 2,59. Dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling

negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sangat tinggi.

Sedangkan pada kelompok

eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar buruk, skor keterampilan proses sains dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 28,00; median (Md) = 27,83; modus (Mo) = 26,50; varians (s2) = 8,14; dan standar deviasi (s) = 2,85. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva di atas adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori tinggi.

Pada kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan belajar baik, skor keterampilan proses sains dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 23,53; median (Md) = 23,00; modus (Mo) = 21,17; varians (s2) = 9,54; dan standar deviasi (s) = 3,09. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.

Sedangkan skor keterampilan proses sains kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan belajar buruk, yaitu: mean (M) = 23,53; median (Md) = 22,60; modus (Mo) =

(6)

21,25; varians (s2) = 11,55; dan standar deviasi (s) = 3,40. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.

Setelah mengetahui hasil uji deskriptif kemudian dilakukan uji hipotesis. Namun

sebelum itu, perlu dilakukan uji prasyarat terhadap sebaran data yang meliputi uji normalitas dengan menggunkan teknik Lilliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlet terhadap skor keterampilan proses sains. Berdasarkan hasil uji normalitas dan

homogenitas didapatkan bahwa data

keterampilan proses sains siswa pada keenam kelompok adalah normal dan homogen. Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada rangkuman Anava dua jalur berikut ini.

Tabel 03 Ringkasan Anava Dua Jalur

Sumber Varian JK dk RJK F F tabel Keterangan

A 936,15 1 936,15 105,87 4,08 Signifikan

B 176,82 1 176,82 20,00 4,08 Signifikan

AB 176,82 1 176,82 20,00 4,08 Signifikan

Dalam 507,20 56 9,06

Total 1796,98 59

Uji hipotesis pertama diperoleh FA =

105,87 sedangkan Ftabel dengan dbpembilang =

1 dan dbpenyebut = 56 untuk taraf signifikansi

5% = 4,08. Ini berarti, nilai FA lebih besar

dari pada Ftabel (FA = 105,87 > Ftabel =

4,08). Oleh karena itu, H0 ditolak dan H1

diterima. Ini berarti bahwa terdapat

perbedaan keterampilan proses sains

antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE

dan yang dibelajarkan dengan

pembelajaran konvensional. Berdasarkan perbandingan nilai rata-rata, dapat dilihat bahwa keterampilan proses sains siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran PSE lebih unggul.

Selanjutnya diperoleh FAB = 20,00

pada pengujian hipotesis kedua, sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 1 dan dbpenyebut =

56 untuk taraf signifikansi 5% = 4,08. Ini berarti, nilai FAB lebih besar dari pada Ftabel

(FAB = 20,00 > Ftabel = 4,08). Oleh karena itu,

H0 ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa

terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran (PSE dan konvensional) dengan kebiasaan belajar

terhadap keterampilan proses sains.

Pengaruh interaksi antara model

pembelajaran dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains dapat diilustrasikan melalui Gambar 01 di bawah ini.

Gambar 01. Grafik Adanya Pengaruh Interaksi antara Jenis Model Pembelajaran dan Kebiasaan Belajar terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa

34.87 23,53 28.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 PSE Konvensional K eteram pil an P rose s S ains

Tingkat Kebiasaan Belajar

Baik Buruk

(7)

Dilihat dari grafik di atas menunjukkan bahwa pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, keterampilan proses sains kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih baik daripada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Sedangkan pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, keterampilan

proses sains kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih baik daripada kelompok siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran konvensional. Dengan

demikian menunjukkan bahwa ada

interaksi, hanya saja yang terjadi tidak bersilangan atau disebut dengan interaksi ordinal.

Pada uji hipotesis kedua

menunjukkan adanya interaksi sehingga

dilanjutkan dengan uji lanjut untuk

mengetahui kelompok mana yang lebih unggul. Uji hipotesis ketiga menunjukan

hasil perhitungan dengan uji Tukey

menunjukkan nilai Qhitung antara A1B1 dan

A2B1 sebesar 14,59, sedangkan Qtabel pada

taraf signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut

menunjukkan nilai Qhitung lebih besar

daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1

diterima. Hal itu berarti untuk kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran konvensional.

Apabila dilihat dari perbandingan rata-rata antara kelompok A1B1 dan A2B1, kelompok A1B1 memiliki rata-rata skor keterampilan proses sains lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A2B1. Ini menunjukkan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih unggul dibandingkan dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik.

Uji hipotesis ketiga dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B2 dan

A2B2 sebesar 5,75, sedangkan Qtabel pada

taraf signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut

menunjukkan nilai Qhitung lebih besar

daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1

diterima. Hal itu berarti untuk kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.

Apabila dilihat dari perbandingan rata-rata antara kelompok A1B2 dan A2B2, kelompok A1B2 tetap memiliki rata-rata skor keterampilan proses sains lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A2B2. Ini menunjukkan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih unggul dibandingkan dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk.

Perbedaan signifikan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional dapat disebabkan oleh, pada hakikatnya

model pembelajaran PSE merupakan

pembelajaran yang berorientasi pada

keterampilan proses sains siswa.

Keterampilan proses sains

merupakan keseluruhan keterampilan

ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam menemukan suatu konsep, prinsip atau teori untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan. Adapun aspek keterampilan proses sains yaitu observasi, interpretasi, klasifikasi, prediksi, perumusan hipotesis,

perancangan eksperimen, mengajukan

pertanyaan, aplikasi, dan

pengkomunikasian.

Keterampilan-keterampilan tersebut akan terbentuk hanya melalui proses berulang-ulang. Siswa tidak akan terampil bila tidak ada peluang untuk melakukannya sendiri proses tersebut secara terus menerus.

Berdasarkan tingkatan perkembangan kognitif tersebut, siswa kelas 4 SD berada pada periode operasional konkret. Pada fase ini kemampuan berpikirnya masih

(8)

bersifat intuitif, yakni berpikir dengan mengandalkan ilham. Dengan demikian pembelajaran sains di sekolah dasar diupayakan dengan menghadapkan siswa pada situasi konkret (lingkungan nyata) dan

sebanyak mungkin melibatkan

pengalaman-pengalaman fisik anak, seperti penyentuhan, perakitan, pemanipulasian, percobaan, dan penginderaan.

Melalui PSE pembelajaran telah

sesuai dengan tahap perkembangan siswa

kelas 4 SD. Pembelajaran PSE

dilaksanakan sendiri oleh siswa baik secara

individual maupun kelompok yang

mengetengahkan alam lingkungan sebagai penyulut (starter) selanjutnya, dilakukan

dengan mempraktekkan prinsip-prinsip

metode ilmiah meliputi pengamatan,

dugaan, desain percobaan, eksperimen dan laporan hasil penelitian. Kondisi ini memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada siswa dalam

mengembangkan keterampilan proses

sains. Dengan pandangan ini tentunya

siswa tidak semata-mata diarahkan

menemukan jawaban yang benar, tetapi

bagaimana siswa bisa memahami,

merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi seluruh proses dalam

kegiatan belajar. Kegiatan mencoba dan mendapat pengalaman langsung secara terus menerus menyebabkan siswa mudah dalam memecahkan masalah dan dapat lebih lama mengingat suatu konsep.

Sehingga kapanpun siswa diberikan

pertanyaan mengenai konsep yang telah ia pelajari, siswa akan dapat menjawabnya dengan baik.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suastra (2009:152) yang menyebutkan bahwa “PSE dalam pembelajaran sains berorientasi kepada proses bagaimana siswa dapat menemukan konsep-konsep sains yang sedang dipelajari”. Terbukti dari langkah-langkah pembelajaran PSE yaitu diawali dengan percobaan awal yang bertujuan untuk menggugah anak agar mau belajar, membangkitkan rasa ingin tahu siswa, dan menghubungkan konsep-konsep

yang ingin dipelajari dengan alam

lingkungannya. Rasa ingin tahu yang dikembangkan akan menggugah siswa untuk terus memenuhi hasrat ingin tahunya. Siswa akan semakin ulet, kreatif, tabah,

dan tekun dalam menemukan jawaban atas

pertanyaan yang muncul. Dengan

demikian, pembelajaran PSE tidak hanya

dapat mengembangkan keterampilan

proses sains saja, namun juga dapat melatih sikap ilmiah siswa. Menurut Gega (dalam Bundu, 2006:39) ada empat sikap pokok yang harus dikembangkan dalam sains yaitu sikap ingin tahu (curiosity), melakukan penemuan sesuatu yang baru

(inventiveness), berpikir kritis (critical

thinking), dan meneguhkan pendirian

(persistence).

Ada delapan langkah pembelajaran sains dengan PSE yakni : (1) percobaan awal; (2) observasi; (3) merumuskan masalah; (4) dugaan sementara; (5)

percobaan pengujian; (6) perumusan

konsep; (7) penerapan konsep; (8) evaluasi

(Suastra, 2009:153). Langkah-langkah

pembelajaran yang dilakukan oleh siswa merupakan langkah-langkah saintis untuk

menemukan suatu konsep maupun

membantah suatu konsep dengan bukti-bukti nyata. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa pembelajaran PSE

merupakan pembelajaran yang menyiapkan generasi muda menjadi saintis.

Berbeda halnya dengan pembelajaran konvensional yang penerapannya masih terpusat pada guru (teacher centered) dan pembelajaran ini menuntut guru menjadi

model yang baik bagi siswanya.

Pembelajaran konvensional berimplikasi

pada kebiasaan siswa yang hanya

menerima informasi dari guru tanpa

berusaha mencari pengetahuannya sendiri. Sehingga siswa tidak berkesempatan untuk melatihkan keterampilan proses sains.

Penjelasan yang diberikan oleh guru masih berorientasi pada buku dan guru jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

menyebabkan siswa cenderung

menghapalkan setiap konsep yang

diberikan tanpa memahami dan mengkaji lebih lanjut dari konsep-konsep yang diberikan. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa

itu sendiri, mengingat bahwa suatu

keterampilan akan berkembang apabila diberikan kesempatan untuk mengalaminya secara terus menerus. Pada situasi ini,

(9)

ketika siswa diminta untuk memecahkan suatu permasalahan yang berkaitan dengan keterampilan proses sains maka siswa akan mengalami kesulitan.

Selanjutnya, hasil uji hipotesis yang menguji ada-tidaknya pengaruh interaksi antara jenis model yang digunakan dan kebiasaan belajar menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara jenis model yang digunakan dan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains.

Crow & Crow (dalam Yusuf & Legowo, 2007:23) menyatakan “siswa yang

berhasil dengan baik dalam proses

pembelajaran biasanya karena studi sendiri dan mengikuti teknik studi yang telah ditentukan sendiri dan mencantumkan prosedur yang diinginkan”. Dari pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pernyataan bahwa adanya korelasi yang positif antara

kebiasaan belajar siswa dengan

keberhasilan siswa dalam belajar, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Begitu pula hubungan kebiasaan belajar dengan keterampilan proses sains.

Berdasarkan langkah-langkah

pembelajaran PSE, siswa dituntut untuk menemukan suatu konsep secara mandiri dengan mengaitkan pengetahuan lama

dengan pengetahuan baru (hasil

pengamatan). Dengan demikian, PSE termasuk dalam teori belajar konstruktivis.

Dengan berlakunya teori konstruktivis

diperlukan siswa yang siap menerima pelajaran yang menuntut dirinya untuk aktif menggali informasi dan menyusunnya. Siswa dengan kebiasaan belajar yang baik

merupakan siswa yang siap dalam

pembelajaran PSE.

Siswa yang memiliki kebiasaan

belajar yang baik akan lebih berhasil dalam belajar. Karena informasi yang ia peroleh ditanamkan dengan baik dalam dirinya dengan cara mengulangi pelajaran secara terjadwal dan menggali informasi-informasi baru lainnya dengan mengerjakan tugas-tugas pada buku tanpa disuruh. Sehingga siswa dengan kebiasaan belajar yang baik dapat menguasai keterampilan proses sains apabila dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keterampilan proses sains akan mudah dikuasai siswa yang memiliki

kebiasaan belajar buruk apabila

dibelajarkan dengan model pembelajaran

PSE. Mengingat bahwa keterampilan

proses sains memerlukan kesigapan

motorik, siswa hanya perlu diarahkan untuk melakukan langkah-langkah pembelajaran

oleh guru. Kegiatan guru dalam

pembelajaran dipaparkan oleh Suastra (2009), guru mendampingi siswa untuk

memberikan bimbingan-bimbingan dan

arahan-arahan sebagai fasilitator untuk memudahkan siswa dalam memahami dan menunjukkan keterampilan proses sains yang dituntut pada setiap langkah-langkah pembelajaran PSE.

Selain itu Pembelajaran PSE yang berorientasi pada lingkungan sekitar serta

melakukan kegiatan awal berupa

percobaan awal akan membuat siswa tertarik untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada

pemahaman konsep dengan

menyampaikan sains sebagai produk dan siswa menghafal informasi secara faktual.

Dengan demikian, pada siswa yang

memiliki kebiasaan belajar buruk lebih baik dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Pengaruh positif penerapan model pembelajaran PSE terhadap keterampilan

proses sains dibandingkan dengan

menerapkan model pembelajaran

konvensional pada siswa yang memiliki

kebiasaan belajar buruk ditunjukkan

dengan rata-rata siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.

Adanya pengaruh positif model

pembelajaran PSE baik pada siswa dengan kebiasaan belajar baik maupun kebiasaan belajar buruk seperti yang dipaparkan di atas, mengakibatkan adanya interaksi yang tidak bersilangan atau yang dikenal dengan nama interaksi ordinal. Interaksi ordinal terjadi apabila pembandingan didasarkan atas siswa yang dibelajarkan dengan model

(10)

kebiasaan belajar baik memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan kebiasaan belajar buruk. Namun apabila dibandingkan antara siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik dan siswa yang memiliki kebiasaan buruk pada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional tidak memiliki perbedaan. Keadaan inilah yang muncul pada penelitian di kelas IV gugus XV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.

Seperti yang dipaparkan di atas,

bahwa pembelajaran dengan model

pembelajaran PSE akan lebih baik

keterampilan proses sainsnya, apabila

didukung oleh siswa yang memiliki

kebiasaan belajar baik. Kebiasaan belajar merupakan cara belajar atau perilaku yang terpola dan dilakukan secara berulang-ulang, relatif tetap, dan seragam yang menetap pada diri siswa pada waktu

menerima pelajaran, membaca buku,

mengerjakan tugas, dan pengaturan waktu untuk menyelesaikan tugas/kegiatan. Siswa yang memiliki kebiasaan belajar yang baik

memiliki ciri-ciri mengulangi pelajaran

secara terjadwal dan menggali informasi-informasi baru lainnya dengan mengerjakan tugas-tugas pada buku tanpa disuruh (Yusuf & Legowo, 2007). Siswa dengan kebiasaan belajar baik lebih siap dalam menerima pelajaran sehingga akan lebih berhasil dalam belajar.

Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekadana (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebiasaan belajar dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri Se-Kota Singaraja yang berprestasi tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin baik kebiasaan belajar siswa maka semakin tinggi pula prestasi belajarnya.

Berdasarkan temuan di atas, maka

model pembelajaran PSE merupakan

model yang cocok bagi siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik. Siswa dengan

kesiapan belajar yang matang akan

membantu siswa dalam mengasah

keterampilan proses sains dalam

pembelajaran yang menerapkan model

pembelajaran PSE. Dalam model

pembelajaran konvensional, siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik kurang

mendapat apresiasi, karena kegiatan

pembelajaran lebih banyak diperankan oleh guru. Hal tersebut menyebabkan siswa

menjadi pasif dan cenderung dapat

memudarkan semangat untuk memupuk kebiasaan belajar yang baik. Apabila ini terjadi, perlahan-lahan kebiasaan belajar siswa akan menjadi buruk dan akan berimplikasi pada penurunan hasil belajar tidak terkecuali keterampilan proses sains.

Siswa yang memiliki kebiasaan

belajar buruk memiliki ciri-ciri tidak

mengulangi pelajaran, tidak memiliki jadwal belajar yang tetap dan belajar apabila disuruh (diawasi) orang tua (Yusuf & Legowo, 2007). Siswa dengan kebiasaan belajar buruk tergolong siswa yang belum siap dalam menerima pelajaran sehingga keberhasilan belajar cenderung rendah.

Namun, rata-rata skor keterampilan proses sains menunjukkan pembelajaran dengan PSE tetap lebih unggul dalam

mengembangkan keterampilan proses

sains siswa yang memiliki kebiasaan

belajar buruk dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional. Meski memiliki kesiapan belajar yang buruk, peran guru dalam melakukan bimbingan memiliki andil besar dalam pembelajaran PSE. Dengan adanya peran guru sebagai moderator dan fasilitator tentu siswa tetap merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar. Pada setiap langkah pembelajaran PSE tidak terlepas dari peran guru. Guru dapat membimbing

siswa dengan pertanyaan-pertanyaan

maupun fenomena-fenomena yang dekat dengan siswa untuk membantu siswa

dalam melakukan pembelajaran yang

diharapkan. Sehingga dengan demikian, siswa tidak akan merasa terbebani.

Selain itu, dalam tahap pembelajaran PSE yang diawali dengan percobaan awal akan membuat ketertarikan tersendiri bagi

siswa untuk memperhatikan proses

pembelajaran serta terpacu untuk

mengembangkan keterampilan proses

sains seperti yang terjadi pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik. Disamping itu, pembelajaran PSE yang dikemas

secara berkelompok ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk terbuka dengan siswa lain akan pendapatnya. Siswa tidak merasa berpikir sendiri atas suatu permasalahan. Setiap kelompok

(11)

dapat melakukan kerjasama dan diskusi guna memecahkan suatu permasalahan

yang dihadapi. Dengan demikian,

permasalahan akan terasa lebih mudah diselesaikan.

Memotivasi siswa untuk memperbaiki kebiasaan belajarnya juga tidak kalah penting. Dalam Yusuf & Legowo (2007:129)

dipaparkan mengenai teknik untuk

melakukan modifikasi perilaku yang

digunakan untuk membantu mengatasi kebiasaan buruk siswa dalam belajar.

Teknik tersebut dilakukan dengan

mendukunng dan mempromosikan perilaku yang baik dan diterima oleh lingkungan dan menekan perilaku yang tidak diterima oleh

lingkungan. Pengendalian tersebut

dilakukan dengan memberikan

reinforcement atau penguatan kepada diri siswa agar tetap bertahan pada situasi yang dikehendaki dan tidak cenderung mengulang kekeliruan atau tingkah laku yang tidak dikehendaki.

Jadi, yang penting dilakukan pada saat pembelajaran pada kelompok siswa dengan kebiasaan belajar buruk adalah memberikan bimbingan-bimbingan pada setiap langkah pembelajaran, mengemas pembelajaran semenarik mungkin dan

dekat dengan kehidupan siswa,

memberikan ruang kepada siswa untuk mengalami sendiri suatu fenomena dapat

terjadi dan mengungkapkan alasan

fenomena tersebut terjadi melalui suatu kegiatan ilmiah sebagaimana

langkah-langkah pembelajaran pada model

pembelajaran PSE, serta menciptakan suasana yang hangat antara guru dan

siswa maupun antar siswa. Dengan

demikian, mereka merasa termotivasi untuk menggali lebih jauh informasi mengenai materi yang sedang ia pelajari.

Dengan penerapan model

pembelajaran PSE, diharapkan dapat

menarik minat siswa untuk mengamati setiap fenomena yang ada dan mencari jawabannya. Jawaban atas suatu fenomena

dapat ditemukan dengan melakukan

kegiatan ilmiah dan membaca buku. Dari ketertarikan tersebut, siswa akan lebih terpacu untuk memiliki semangat belajar

yang tinggi yang kemudian akan

menjadikan siswa untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik. Jika siswa sudah terbiasa

menggunakan model pembelajaran PSE dan merasa bermanfaat mempelajari IPA, diharapkan keterampilan proses sains meningkat seiring dengan semakin baiknya kebiasaan belajar siswa. Dengan demikian,

tidak dapat dipungkiri bahwa model

pembelajaran PSE berdampak positif

terhadap keterampilan proses sains baik pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik maupun siswa yang memiliki kebiasan belajar buruk.

SIMPULAN DAN SARAN

Terdapat perbedaan keterampilan

proses sains antara siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil perhitungan ANAVA dua jalur diperoleh FA = 105,87,

sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 1 dan

dbpenyebut = 56 untuk taraf signifikansi 5% =

4,08. Ini berarti, nilai FA lebih besar dari

pada Ftabel, sehingga H0 ditolak dan H1.

Selanjutnya terdapat pengaruh

interaksi antar model pembelajaran (PSE

dan konvensional) dengan kebiasaan

belajar terhadap keterampilan proses sains.

Hal tersebut dibuktikan dari perhitungan FAB

= 20,0 yang lebih besar dibandingkan Ftabel

= 4,08, sehingga H0 ditolak dan H1

diterima.

Pada kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan

model pembelajaran konvensional.

Perhitungan dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B1 dan A2B1 sebesar

14,59, sedangkan Qtabel pada taraf

signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut

menunjukkan nilai Qhitung lebih besar

daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1

diterima.

Pada kelompok siswa yang memiliki

kebiasaan belajar buruk, terdapat

perbedaan keterampilan proses sains

antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.

(12)

Perhitungan dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B2 dan A2B2 sebesar

5,75, sedangkan Qtabel pada taraf

signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut

menunjukkan nilai Qhitung lebih besar

daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1

diterima.

Saran yang dapat disampaikan

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Bagi guru yang menemukan permasalahan yang sama dengan penelitian yang dilakukan maka disarankan untuk menggunakan model

pembelajaran PSE. 2. Peneliti yang

berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang model pembelajaran PSE agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan

penyempurnaan penelitian yang akan

dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan

Proses dan Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains Sekolah Dasar.

Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Direktorat

Ketenagaan.

Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Ekadana. 2011. Hubungan Antara Konsep

Diri dan Kebiasaan Belajar Di Kalangan Siswa Kelas VIII SMP Negeri Se-Kota Singaraja Yang Berprestasi Tinggi.

Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha

Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains

Terkini. Mendekatkan Siswa dengan

Lingkungan Alamiah dan Sosial

Budayanya. Singaraja: Universitas

Pendidikan Ganesha

Sudana, Dewa Nyoman, I Gede Astawan. 2013. Pendidikan IPA SD. Singajara: Universitas Pendidikan Ganesha

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor

yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT

Rineka Cipta

Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran

Kontekstual (Contextual Teaching And Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas

Pustaka Publisher

Yusuf, Munawir & Edy Legowo. 2007.

Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar Melalui Pendekatan Starter Eksperimen Modifikasi Perilaku.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived organizational support, kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior ketiganya memiliki hubungan dan pengaruh

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini adalah: 1) Menyusun RPP. 2) Merencanakan membagi kelompok-kelompok siswa. 3) Menyiapkan materi ajar berupa buku paket

dalam Khuzani (2008) mengatakan bahwa karyawan yang diberdayakan memiliki empat karakteristik umum yakni, mempunyai rasa Self-determination, rasa Meaning, rasa

surya pada plat datar dengan radiasi yang diserap oleh suatu permukaan sampai.. waktu

Jasa Marga Cabang Surabaya Gempol cukup baik karena dari dibuatnya empat kriteria opini atau aspirasi dari masyarakat, pihak humas lebih mudah untuk mengetahui

Nilai koefisien korelasi parsial antara variabel fasilitas belajar dirumah dengan hasil belajar dengan kontrol variabel motivasi belajar dan pendidikan orang tua

Kategori level kemampuan metakognisi pada pemecahan masalah matematika diperoleh dari dua sumber data yaitu tes kemampuan metakognisi pada pemecahan masalah matematika dan angket

Suatu model pembelajaran matematika yang diduga mampu mengatasi permasalahan di atas dan mengembangkan kemampuan penalaran dan disposisi matematis serta sesuai