PENGARUH PENDEKATAN STARTER EKSPERIMEN DAN
KEBIASAAN BELAJAR TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS
SISWA
Km. Arystya Noviana
1, Kt. Pudjawan
2, Dw. Nym. Sudana
3 1,3Jurusan PGSD,
2Jurusan TP, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: arystya.noviana@yahoo.co.id
1, ketutpudjawan@gmail.com
2,
sudanadewanyomanpgsd@yahoo.co.id
3Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional berdasarkan tingkatan kebiasaan belajar siswa serta interaksi antara model pembelajaran dan kebiasaan belajar. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan rancangan non-equivalent post test only control group
design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD di Gugus XV
Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014 dan sampel sebanyak 60 siswa ditentukan dengan teknik random sampling. Data kebiasaan belajar dikumpulkan dengan metode kuesioner, sedangkan data keterampilan proses sains diperoleh dengan metode tes. Data keterampilan proses sains dianalisis dengan statistik deskriptif dan ANAVA dua jalur. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (FA=103,33>Ftabel=4,08); (2) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains (FAB=19,30>Ftabel=4,08); (3) pada kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (Qhitung=14,64>Qtabel=3,79); dan (4) pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, terdapat perbedaan keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan model pembelajaran konvensional (Qhitung=5,81>Qtabel=3,79). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan proses sains siswa antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan model pembelajaran konvensional berdasarkan tingkatan kebiasaan belajar siswa serta terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kebiasaan belajar pada siswa kelas IV.
Kata-kata kunci: kebiasaan belajar siswa, keterampilan proses sains, pendekatan starter eksperimen.
Abstract
This research aims to investigate the difference of sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model based on their learning habit and interaction between learning model and learning habit. This research is quasi-experimental and using non-equivalent post-test only control group design. Population in this study was 4th grade students of SD Gugus XV Buleleng Sub-district and the samples is 60 students were selected used random sampling technique. Data of learning habit were collected by questionnaire and data of sciens process skills were collected by test. Data sciens process skills was analysed used statistic descriptive and two way ANOVA. Result shows (1) there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (FA=103.33>F-cv=4.08); (2) there
is an interactional effect between learning model and learning habit of sciens process skills (FAB=19.30>F-cv=4.08); (3) students with good learning habit, there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (Q-obs=14.64>Q-cv=3.79); (4) students with not good learning habit, there is a difference sciens process skills between students who learned by SEA and students who followed conventional learning model (Q-obs=5.81>Q-cv=3.79). So, there is a difference sciens process skills between students who followed SEA learning model and students who followed conventional learning model based on their learning habit, and there is an interaction between learning model and learning habit in 4th grade students.
keywords : Sciens process skills, Starter Experiment Approach learning model, student’s learning habit
PENDAHULUAN
Sains pada hakikatnya mencakup dua hal yaitu produk dan proses. Sains sebagai produk merupakan kumpulan hasil kegiatan
empirik dan kegiatan analitik yang
dilakukan para ilmuan selama berabad-abad. Bentuk sains sebagai produk adalah fakta, konsep, prinsip, dan teori sains yang merupakan hasil dari kegiatan empirik dalam sains. Kegiatan tersebut menyatakan bahwa sains juga sebagai proses yang tidak terlepas dari sains sebagai produk (Sudana & Astawan, 2013:2).
Memahami sains lebih dari hanya mengetahui fakta-fakta, tetapi memahami
sains juga memahami proses yaitu
bagaimana mengumpulkan fakta-fakta dan bagaimana menghubungkan fakta untuk
menginterpretasikannya. Para ilmuan
menggunakan berbagai prosedur empirik dan prosedur analitik dalam usaha mereka memahami alam semesta ini. Prosedur-prosedur tersebut merupakan proses ilmiah atau proses sains.
Idrawati (dalam Trianto, 2008:72) menyatakan bahwa, keterampilan proses sains merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep, prinsip atau teori untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan. Dengan kata lain keterampilan ini dapat digunakan sebagai wahana penemuan dan pengembangan konsep, prinsip, dan teori. Konsep, prinsip, teori yang telah ditemukan atau dikembangkan ini akan memantapkan pemahaman tentang keterampilan proses tersebut.
Menyikapi pentingnya pengembangan keterampilan proses sains hal penting yang
harus diperhatikan adalah bagaimana
seorang guru merancang proses
pembelajaran yang akan berlangsung agar menjadi bermakna bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalaminya secara langsung dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Pada kenyataannya proses
pembelajaran di sekolah dasar, khususnya di SD gugus XV Kecamatan Buleleng,
masih kurang menyadari pentingnya
penanaman keterampilan proses sains yang berorientasi pada situasi yang konkret pada diri siswa. Hal ini dibuktikan, pada
saat pembelajaran guru masih
menggunakan model pembelajaran
konvensional yaitu pembelajaran
didominasi oleh guru dengan metode
ceramah. Sains disampaikan sebagai
produk dan siswa menghafal informasi faktual. Kondisi tersebut sangat jauh dari
kondisi yang diharapkan dalam
pembelajaran sains. Siswa tidak diberikan
kesempatan untuk menguasai proses
pembelajaran, baik itu membaca maupun melakukan penyelidikan. Oleh sebab itu siswa cenderung akan menjadi pasif dan
tidak berusaha mengembangkan
pengetahunnya. Kalaupun terjadi
pembelajaran yang dikemas dengan
eksperimen, keberhasilan belajar siswa yang lebih dipentingkan adalah nilai
berdasarkan kemampuan siswa pada
penguasaan bahan yang diujikan dalam bentuk tes objektif. Meskipun psikomotor dan afektif tetap dinilai, namun yang menentukan ranking dalam raport tetap berorientasi pada nilai kognitif yaitu nilai
berdasarkan tes/ulangan harian,
tes/ulangan tengah semester, dan terakhir tes/ulangan akhir semester.
Selain itu, dalam pembelajaran sains seringkali melakukan pengukuran namun yang dinilai bukanlah penentuan alat ukur dan cara siswa mengukur, melainkan hasil pengukuran siswa. Paradigma inilah yang
sebaiknya diubah mengingat bahwa
proporsi sains sebagai produk dan proses haruslah dalam porsi yang seimbang. Oleh karena itu, sangat perlu untuk dipikirkan
suatu upaya untuk mengemas
pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik sains itu sendiri.
Untuk menjawab permasalahan
tersebut, adapun solusi pengemasan
pembelajaran adalah dengan menerapkan
model pembelajaran menggunakan
Pendekatan Starter Eksperimen (PSE) atau
Starter Experiment Approach (SEA). PSE
merupakan model pembelajaran dengan pendekatan komprehensif yang mencakup
berbagai startegi pembelajaran dan
berorientasi pada keterampilan proses.
Melalui penerapan model
pembelajaran dengan PSE, siswa
menemukan suatu konsep yang harus mereka pelajari melalui suatu tahap-tahap
proses, baik yang dilakukan secara
individual maupun secara kelompok.
Selain pengemasan pembelajaran, tentu kondisi siswa dapat mempengaruhi pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam bukunya, Slameto (2010:54),
mengungkapkan keberhasilan belajar
dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) diri individu. Salah satu faktor yang bersumber dari dalam adalah
kebiasaan belajar. Kebiasaan belajar
merupakan faktor yang penting dalam belajar, sebagian hasil belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasan belajar. Kebiasaan
belajar siswa dapat ditentukan oleh
kedisiplinan dan kegigihan sehingga dalam waktu tertentu telah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan belajar merupakan cara atau teknik yang menetap pada diri siswa pada waktu menerima pelajaran, membaca buku, mengerjakan tugas dan pengaturan
waktu untuk menyelesaikan kegiatan
(Djaali, 2008:128). Kebiasaan belajar yang
tidak efektif akan menjadi suatu
permasalahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak siswa yang
belajar hanya sebelum ulangan/tes
diadakan, begitu pula yang terjadi pada
beberapa siswa di SD gugus XV
Kecamatan Singaraja. Mereka belajar
semalaman untuk mempersiapkan diri
menjawab tes yang akan diberikan
keesokan harinya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa siswa belum mampu memanfaatkan hari-hari sebelumnya untuk belajar sedikit demi sedikit. Beberapa siswa mengaku bahwa mereka belajar hanya apabila ada ulangan saja serta jarang mengulangi pelajaran yang sebelumnya diajarkan di kelas. Akibatnya mereka lebih cepat lupa akan pelajaran-pelajaran yang telah dibelajarkan guru. Namun apakah keadaan ini mempengaruhi keterampilan proses sains?
Untuk mengetahui sejauh mana
model pembelejaran PSE dan kebiasaan belajar berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa, penting dilakukan suatu
penelitian. Secara lebih rinci, tujuan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) untuk mengetahui adanya perbedaan keterampilan proses sains antara siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran menggunakan PSE dan yang
dibelajarkan dengan pembelajaran
konvensional; (2) untuk mengetahui adanya
pengaruh interaksi antara model
pembelajaran dengan kebiasaan belajar; (3) untuk mengetahui adanya perbedaan keterampilan proses sains antara siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran menggunakan PSE dan yang
dibelajarkan dengan pembelajaran
konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik; dan (4) untuk
mengetahui adanya perbedaan
keterampilan proses sains antara siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran menggunakan PSE dan yang
dibelajarkan dengan pembelajaran
konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk.
METODE
Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control
group design dengan rancangan faktorial 2x2. Desain ini dapat dilihat pada Tabel 01.
Tabel 01. Non Equivalent Post-Test Only Control Group Design
Kelas
Treatment
Post-test
E
X1
O1
K
X2
O2
(Dimodifikasi dari Dantes, 2012:96) Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas 4 SD gugus XV Kecamatan
Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.
Sekolah sampel adalah SD No. 1
Kalibukbuk, SD No. 2 Kalibukbuk, dan SD No. 1 Anturan yang diambil dengan teknik
simple random sampling. Sampel penelitian
berjumlah 60 siswa yang terdiri dari 2 kelas eksperimen dan dua kelas kontrol yang terdiri dari 30 siswa pada setiap kelas. Analisis hasil penelitian ini menggunakan Anava dua jalur.
Pada penelitian ini terdapat tiga variabel yakni variabel bebas yaitu model pembelajaran PSE, variabel moderator yaitu kebiasaan belajar, dan variabel terikat yaitu keterampilan proses sains. Data yang perlu dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data keterampilan proses sains siswa dan data kebiasaan belajar siswa. Data mengenai keterampilan proses sains diperoleh melalui metode tes sedangkan
kebiasaan belajar diperoleh dengan
memberikan kuesioner kepada siswa. Tes keterampilan proses sains berupa tes uraian dengan jumlah 11 soal, sedangkan kuesioner kebiasaan belajar berjumlah 28 pernyataan yang dinilai dengan skala Likert. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang meliputi mean, median, modus, varians, dan standar deviasi. Statistik
inferensial digunakan untuk menguji
hipotesis meliputi pengaruh model
pembelajaran PSE dan konvensional
terhadap keterampilan proses sains, dan
pengaruh interaksi antara model
pembelajaran dan kebiasaan belajar
terhadap keterampilan proses sains siswa. Analisis data menggunakan uji ANAVA dua
jalur. Apabila uji anava dua jalur
menunjukkan H1 diterima pada hipotesis
ke-2 yakni terdapat pengaruh interaksi antara PSE dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains, maka perlu diadakan uji lanjut (post hoc) untuk mengetahui kelompok mana yang unggul dengan menggunakan uji Tukey. Uji Tukey digunakan untuk uji lanjut ANAVA apabila banyak responden atau banyak anggota pada tiap kelompok atau sel sama. Hasil uji Tukey ini menjawab hipotesis 3 dan 4. Adapun rumus uji Tukey yaitu sebagai berikut.
(1)
Keterangan:
B : Rerata sel atau kolompok yang
lebih besar
K : Rerata sel atau kelompok yang
lebih kecil
: Rerata jumlah kuadrat dalam
n : banyak responden dalam kelompok
Kriteria pengujian yang digunakan adalah
Q
hitung> Q
tabelpada taraf signifikansi
5% (α = 0,05) maka hipotesis nol (H
0)
ditolak dan H1 diterima
.HASIL DAN PEMBAHASAN
Data dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi enam kelompok data, yakni : (1) skor keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen (A1), (2) skor keterampilan proses sains pada
kelompok kontrol (A2), (3) skor
keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar baik (A1B1), (4) skor keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan
memiliki kebiasaan belajar buruk (A1B2), (5) skor keterampilan proses sains pada kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan
belajar baik (A2B1), dan (6) skor
keterampilan proses sains pada kelompok eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar
buruk (A2B2). Maka deskripsi data yang berkaitan dengan mean, median, modus, varians dan standar deviasi untuk semua kelompok data di atas dapat dilihat pada Tabel 02 di bawah ini.
Tabel 02 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Keterampilan Proses Sains
Deskripsi data A1 A2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Mean 31,4 23,57 34,87 28,00 23,53 23,53
Median 31,5 23,06 34,90 27,83 23,00 22,60
Modus 35,5 22,41 35,00 26,50 21,17 21,25
Varians 19,36 10,19 6,70 8,14 9,54 11,55
Standar Deviasi 4,40 3,19 2,59 2,85 3,09 3,40
Kategori Tinggi Sedang Sangat Tinggi Tinggi Sedang Sedang
Skor keterampilan proses sains
kelompok eksperimen, dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 31,4; median (Md) = 31,5; modus (Mo) = 35,5; varians (s2) = 19,36; dan standar deviasi (s) = 4,40. Dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori tinggi.
Sementara itu, skor keterampilan proses sains kelompok kontrol, yaitu: mean (M) =23,57; median (Md) = 23,06; modus (Mo) = 22,41; varians (s2) = 10,19; dan standar deviasi (s) = 3,19. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.
Skor keterampilan proses sains
kelompok eksperimen dan memiliki
kebiasaan belajar baik, dapat
dideskripsikan yaitu: mean (M) = 34,87 median (Md) = 34,90, modus (Mo) = 35,00, varians (s2) = 6,70, dan standar deviasi (s) = 2,59. Dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling
negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sangat tinggi.
Sedangkan pada kelompok
eksperimen dan memiliki kebiasaan belajar buruk, skor keterampilan proses sains dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 28,00; median (Md) = 27,83; modus (Mo) = 26,50; varians (s2) = 8,14; dan standar deviasi (s) = 2,85. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva di atas adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori tinggi.
Pada kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan belajar baik, skor keterampilan proses sains dapat dideskripsikan yaitu: mean (M) = 23,53; median (Md) = 23,00; modus (Mo) = 21,17; varians (s2) = 9,54; dan standar deviasi (s) = 3,09. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) jika dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.
Sedangkan skor keterampilan proses sains kelompok kontrol dan memiliki kebiasaan belajar buruk, yaitu: mean (M) = 23,53; median (Md) = 22,60; modus (Mo) =
21,25; varians (s2) = 11,55; dan standar deviasi (s) = 3,40. Dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian, kurva yang terbentuk adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Apabila skor rata-rata (M) dikonversikan dengan kriteria acuan, nilai rata-rata termasuk kategori sedang.
Setelah mengetahui hasil uji deskriptif kemudian dilakukan uji hipotesis. Namun
sebelum itu, perlu dilakukan uji prasyarat terhadap sebaran data yang meliputi uji normalitas dengan menggunkan teknik Lilliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlet terhadap skor keterampilan proses sains. Berdasarkan hasil uji normalitas dan
homogenitas didapatkan bahwa data
keterampilan proses sains siswa pada keenam kelompok adalah normal dan homogen. Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada rangkuman Anava dua jalur berikut ini.
Tabel 03 Ringkasan Anava Dua Jalur
Sumber Varian JK dk RJK F F tabel Keterangan
A 936,15 1 936,15 105,87 4,08 Signifikan
B 176,82 1 176,82 20,00 4,08 Signifikan
AB 176,82 1 176,82 20,00 4,08 Signifikan
Dalam 507,20 56 9,06
Total 1796,98 59
Uji hipotesis pertama diperoleh FA =
105,87 sedangkan Ftabel dengan dbpembilang =
1 dan dbpenyebut = 56 untuk taraf signifikansi
5% = 4,08. Ini berarti, nilai FA lebih besar
dari pada Ftabel (FA = 105,87 > Ftabel =
4,08). Oleh karena itu, H0 ditolak dan H1
diterima. Ini berarti bahwa terdapat
perbedaan keterampilan proses sains
antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE
dan yang dibelajarkan dengan
pembelajaran konvensional. Berdasarkan perbandingan nilai rata-rata, dapat dilihat bahwa keterampilan proses sains siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran PSE lebih unggul.
Selanjutnya diperoleh FAB = 20,00
pada pengujian hipotesis kedua, sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 1 dan dbpenyebut =
56 untuk taraf signifikansi 5% = 4,08. Ini berarti, nilai FAB lebih besar dari pada Ftabel
(FAB = 20,00 > Ftabel = 4,08). Oleh karena itu,
H0 ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa
terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran (PSE dan konvensional) dengan kebiasaan belajar
terhadap keterampilan proses sains.
Pengaruh interaksi antara model
pembelajaran dengan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains dapat diilustrasikan melalui Gambar 01 di bawah ini.
Gambar 01. Grafik Adanya Pengaruh Interaksi antara Jenis Model Pembelajaran dan Kebiasaan Belajar terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa
34.87 23,53 28.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 PSE Konvensional K eteram pil an P rose s S ains
Tingkat Kebiasaan Belajar
Baik Buruk
Dilihat dari grafik di atas menunjukkan bahwa pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, keterampilan proses sains kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih baik daripada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Sedangkan pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, keterampilan
proses sains kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih baik daripada kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional. Dengan
demikian menunjukkan bahwa ada
interaksi, hanya saja yang terjadi tidak bersilangan atau disebut dengan interaksi ordinal.
Pada uji hipotesis kedua
menunjukkan adanya interaksi sehingga
dilanjutkan dengan uji lanjut untuk
mengetahui kelompok mana yang lebih unggul. Uji hipotesis ketiga menunjukan
hasil perhitungan dengan uji Tukey
menunjukkan nilai Qhitung antara A1B1 dan
A2B1 sebesar 14,59, sedangkan Qtabel pada
taraf signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut
menunjukkan nilai Qhitung lebih besar
daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1
diterima. Hal itu berarti untuk kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional.
Apabila dilihat dari perbandingan rata-rata antara kelompok A1B1 dan A2B1, kelompok A1B1 memiliki rata-rata skor keterampilan proses sains lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A2B1. Ini menunjukkan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih unggul dibandingkan dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik.
Uji hipotesis ketiga dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B2 dan
A2B2 sebesar 5,75, sedangkan Qtabel pada
taraf signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut
menunjukkan nilai Qhitung lebih besar
daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1
diterima. Hal itu berarti untuk kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk, terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.
Apabila dilihat dari perbandingan rata-rata antara kelompok A1B2 dan A2B2, kelompok A1B2 tetap memiliki rata-rata skor keterampilan proses sains lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A2B2. Ini menunjukkan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih unggul dibandingkan dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar buruk.
Perbedaan signifikan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional dapat disebabkan oleh, pada hakikatnya
model pembelajaran PSE merupakan
pembelajaran yang berorientasi pada
keterampilan proses sains siswa.
Keterampilan proses sains
merupakan keseluruhan keterampilan
ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam menemukan suatu konsep, prinsip atau teori untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan. Adapun aspek keterampilan proses sains yaitu observasi, interpretasi, klasifikasi, prediksi, perumusan hipotesis,
perancangan eksperimen, mengajukan
pertanyaan, aplikasi, dan
pengkomunikasian.
Keterampilan-keterampilan tersebut akan terbentuk hanya melalui proses berulang-ulang. Siswa tidak akan terampil bila tidak ada peluang untuk melakukannya sendiri proses tersebut secara terus menerus.
Berdasarkan tingkatan perkembangan kognitif tersebut, siswa kelas 4 SD berada pada periode operasional konkret. Pada fase ini kemampuan berpikirnya masih
bersifat intuitif, yakni berpikir dengan mengandalkan ilham. Dengan demikian pembelajaran sains di sekolah dasar diupayakan dengan menghadapkan siswa pada situasi konkret (lingkungan nyata) dan
sebanyak mungkin melibatkan
pengalaman-pengalaman fisik anak, seperti penyentuhan, perakitan, pemanipulasian, percobaan, dan penginderaan.
Melalui PSE pembelajaran telah
sesuai dengan tahap perkembangan siswa
kelas 4 SD. Pembelajaran PSE
dilaksanakan sendiri oleh siswa baik secara
individual maupun kelompok yang
mengetengahkan alam lingkungan sebagai penyulut (starter) selanjutnya, dilakukan
dengan mempraktekkan prinsip-prinsip
metode ilmiah meliputi pengamatan,
dugaan, desain percobaan, eksperimen dan laporan hasil penelitian. Kondisi ini memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada siswa dalam
mengembangkan keterampilan proses
sains. Dengan pandangan ini tentunya
siswa tidak semata-mata diarahkan
menemukan jawaban yang benar, tetapi
bagaimana siswa bisa memahami,
merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi seluruh proses dalam
kegiatan belajar. Kegiatan mencoba dan mendapat pengalaman langsung secara terus menerus menyebabkan siswa mudah dalam memecahkan masalah dan dapat lebih lama mengingat suatu konsep.
Sehingga kapanpun siswa diberikan
pertanyaan mengenai konsep yang telah ia pelajari, siswa akan dapat menjawabnya dengan baik.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suastra (2009:152) yang menyebutkan bahwa “PSE dalam pembelajaran sains berorientasi kepada proses bagaimana siswa dapat menemukan konsep-konsep sains yang sedang dipelajari”. Terbukti dari langkah-langkah pembelajaran PSE yaitu diawali dengan percobaan awal yang bertujuan untuk menggugah anak agar mau belajar, membangkitkan rasa ingin tahu siswa, dan menghubungkan konsep-konsep
yang ingin dipelajari dengan alam
lingkungannya. Rasa ingin tahu yang dikembangkan akan menggugah siswa untuk terus memenuhi hasrat ingin tahunya. Siswa akan semakin ulet, kreatif, tabah,
dan tekun dalam menemukan jawaban atas
pertanyaan yang muncul. Dengan
demikian, pembelajaran PSE tidak hanya
dapat mengembangkan keterampilan
proses sains saja, namun juga dapat melatih sikap ilmiah siswa. Menurut Gega (dalam Bundu, 2006:39) ada empat sikap pokok yang harus dikembangkan dalam sains yaitu sikap ingin tahu (curiosity), melakukan penemuan sesuatu yang baru
(inventiveness), berpikir kritis (critical
thinking), dan meneguhkan pendirian
(persistence).
Ada delapan langkah pembelajaran sains dengan PSE yakni : (1) percobaan awal; (2) observasi; (3) merumuskan masalah; (4) dugaan sementara; (5)
percobaan pengujian; (6) perumusan
konsep; (7) penerapan konsep; (8) evaluasi
(Suastra, 2009:153). Langkah-langkah
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa merupakan langkah-langkah saintis untuk
menemukan suatu konsep maupun
membantah suatu konsep dengan bukti-bukti nyata. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pembelajaran PSE
merupakan pembelajaran yang menyiapkan generasi muda menjadi saintis.
Berbeda halnya dengan pembelajaran konvensional yang penerapannya masih terpusat pada guru (teacher centered) dan pembelajaran ini menuntut guru menjadi
model yang baik bagi siswanya.
Pembelajaran konvensional berimplikasi
pada kebiasaan siswa yang hanya
menerima informasi dari guru tanpa
berusaha mencari pengetahuannya sendiri. Sehingga siswa tidak berkesempatan untuk melatihkan keterampilan proses sains.
Penjelasan yang diberikan oleh guru masih berorientasi pada buku dan guru jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
menyebabkan siswa cenderung
menghapalkan setiap konsep yang
diberikan tanpa memahami dan mengkaji lebih lanjut dari konsep-konsep yang diberikan. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa
itu sendiri, mengingat bahwa suatu
keterampilan akan berkembang apabila diberikan kesempatan untuk mengalaminya secara terus menerus. Pada situasi ini,
ketika siswa diminta untuk memecahkan suatu permasalahan yang berkaitan dengan keterampilan proses sains maka siswa akan mengalami kesulitan.
Selanjutnya, hasil uji hipotesis yang menguji ada-tidaknya pengaruh interaksi antara jenis model yang digunakan dan kebiasaan belajar menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara jenis model yang digunakan dan kebiasaan belajar terhadap keterampilan proses sains.
Crow & Crow (dalam Yusuf & Legowo, 2007:23) menyatakan “siswa yang
berhasil dengan baik dalam proses
pembelajaran biasanya karena studi sendiri dan mengikuti teknik studi yang telah ditentukan sendiri dan mencantumkan prosedur yang diinginkan”. Dari pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pernyataan bahwa adanya korelasi yang positif antara
kebiasaan belajar siswa dengan
keberhasilan siswa dalam belajar, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Begitu pula hubungan kebiasaan belajar dengan keterampilan proses sains.
Berdasarkan langkah-langkah
pembelajaran PSE, siswa dituntut untuk menemukan suatu konsep secara mandiri dengan mengaitkan pengetahuan lama
dengan pengetahuan baru (hasil
pengamatan). Dengan demikian, PSE termasuk dalam teori belajar konstruktivis.
Dengan berlakunya teori konstruktivis
diperlukan siswa yang siap menerima pelajaran yang menuntut dirinya untuk aktif menggali informasi dan menyusunnya. Siswa dengan kebiasaan belajar yang baik
merupakan siswa yang siap dalam
pembelajaran PSE.
Siswa yang memiliki kebiasaan
belajar yang baik akan lebih berhasil dalam belajar. Karena informasi yang ia peroleh ditanamkan dengan baik dalam dirinya dengan cara mengulangi pelajaran secara terjadwal dan menggali informasi-informasi baru lainnya dengan mengerjakan tugas-tugas pada buku tanpa disuruh. Sehingga siswa dengan kebiasaan belajar yang baik dapat menguasai keterampilan proses sains apabila dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keterampilan proses sains akan mudah dikuasai siswa yang memiliki
kebiasaan belajar buruk apabila
dibelajarkan dengan model pembelajaran
PSE. Mengingat bahwa keterampilan
proses sains memerlukan kesigapan
motorik, siswa hanya perlu diarahkan untuk melakukan langkah-langkah pembelajaran
oleh guru. Kegiatan guru dalam
pembelajaran dipaparkan oleh Suastra (2009), guru mendampingi siswa untuk
memberikan bimbingan-bimbingan dan
arahan-arahan sebagai fasilitator untuk memudahkan siswa dalam memahami dan menunjukkan keterampilan proses sains yang dituntut pada setiap langkah-langkah pembelajaran PSE.
Selain itu Pembelajaran PSE yang berorientasi pada lingkungan sekitar serta
melakukan kegiatan awal berupa
percobaan awal akan membuat siswa tertarik untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada
pemahaman konsep dengan
menyampaikan sains sebagai produk dan siswa menghafal informasi secara faktual.
Dengan demikian, pada siswa yang
memiliki kebiasaan belajar buruk lebih baik dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Pengaruh positif penerapan model pembelajaran PSE terhadap keterampilan
proses sains dibandingkan dengan
menerapkan model pembelajaran
konvensional pada siswa yang memiliki
kebiasaan belajar buruk ditunjukkan
dengan rata-rata siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran PSE lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.
Adanya pengaruh positif model
pembelajaran PSE baik pada siswa dengan kebiasaan belajar baik maupun kebiasaan belajar buruk seperti yang dipaparkan di atas, mengakibatkan adanya interaksi yang tidak bersilangan atau yang dikenal dengan nama interaksi ordinal. Interaksi ordinal terjadi apabila pembandingan didasarkan atas siswa yang dibelajarkan dengan model
kebiasaan belajar baik memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan kebiasaan belajar buruk. Namun apabila dibandingkan antara siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik dan siswa yang memiliki kebiasaan buruk pada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional tidak memiliki perbedaan. Keadaan inilah yang muncul pada penelitian di kelas IV gugus XV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.
Seperti yang dipaparkan di atas,
bahwa pembelajaran dengan model
pembelajaran PSE akan lebih baik
keterampilan proses sainsnya, apabila
didukung oleh siswa yang memiliki
kebiasaan belajar baik. Kebiasaan belajar merupakan cara belajar atau perilaku yang terpola dan dilakukan secara berulang-ulang, relatif tetap, dan seragam yang menetap pada diri siswa pada waktu
menerima pelajaran, membaca buku,
mengerjakan tugas, dan pengaturan waktu untuk menyelesaikan tugas/kegiatan. Siswa yang memiliki kebiasaan belajar yang baik
memiliki ciri-ciri mengulangi pelajaran
secara terjadwal dan menggali informasi-informasi baru lainnya dengan mengerjakan tugas-tugas pada buku tanpa disuruh (Yusuf & Legowo, 2007). Siswa dengan kebiasaan belajar baik lebih siap dalam menerima pelajaran sehingga akan lebih berhasil dalam belajar.
Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekadana (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebiasaan belajar dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri Se-Kota Singaraja yang berprestasi tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin baik kebiasaan belajar siswa maka semakin tinggi pula prestasi belajarnya.
Berdasarkan temuan di atas, maka
model pembelajaran PSE merupakan
model yang cocok bagi siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik. Siswa dengan
kesiapan belajar yang matang akan
membantu siswa dalam mengasah
keterampilan proses sains dalam
pembelajaran yang menerapkan model
pembelajaran PSE. Dalam model
pembelajaran konvensional, siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik kurang
mendapat apresiasi, karena kegiatan
pembelajaran lebih banyak diperankan oleh guru. Hal tersebut menyebabkan siswa
menjadi pasif dan cenderung dapat
memudarkan semangat untuk memupuk kebiasaan belajar yang baik. Apabila ini terjadi, perlahan-lahan kebiasaan belajar siswa akan menjadi buruk dan akan berimplikasi pada penurunan hasil belajar tidak terkecuali keterampilan proses sains.
Siswa yang memiliki kebiasaan
belajar buruk memiliki ciri-ciri tidak
mengulangi pelajaran, tidak memiliki jadwal belajar yang tetap dan belajar apabila disuruh (diawasi) orang tua (Yusuf & Legowo, 2007). Siswa dengan kebiasaan belajar buruk tergolong siswa yang belum siap dalam menerima pelajaran sehingga keberhasilan belajar cenderung rendah.
Namun, rata-rata skor keterampilan proses sains menunjukkan pembelajaran dengan PSE tetap lebih unggul dalam
mengembangkan keterampilan proses
sains siswa yang memiliki kebiasaan
belajar buruk dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional. Meski memiliki kesiapan belajar yang buruk, peran guru dalam melakukan bimbingan memiliki andil besar dalam pembelajaran PSE. Dengan adanya peran guru sebagai moderator dan fasilitator tentu siswa tetap merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar. Pada setiap langkah pembelajaran PSE tidak terlepas dari peran guru. Guru dapat membimbing
siswa dengan pertanyaan-pertanyaan
maupun fenomena-fenomena yang dekat dengan siswa untuk membantu siswa
dalam melakukan pembelajaran yang
diharapkan. Sehingga dengan demikian, siswa tidak akan merasa terbebani.
Selain itu, dalam tahap pembelajaran PSE yang diawali dengan percobaan awal akan membuat ketertarikan tersendiri bagi
siswa untuk memperhatikan proses
pembelajaran serta terpacu untuk
mengembangkan keterampilan proses
sains seperti yang terjadi pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik. Disamping itu, pembelajaran PSE yang dikemas
secara berkelompok ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terbuka dengan siswa lain akan pendapatnya. Siswa tidak merasa berpikir sendiri atas suatu permasalahan. Setiap kelompok
dapat melakukan kerjasama dan diskusi guna memecahkan suatu permasalahan
yang dihadapi. Dengan demikian,
permasalahan akan terasa lebih mudah diselesaikan.
Memotivasi siswa untuk memperbaiki kebiasaan belajarnya juga tidak kalah penting. Dalam Yusuf & Legowo (2007:129)
dipaparkan mengenai teknik untuk
melakukan modifikasi perilaku yang
digunakan untuk membantu mengatasi kebiasaan buruk siswa dalam belajar.
Teknik tersebut dilakukan dengan
mendukunng dan mempromosikan perilaku yang baik dan diterima oleh lingkungan dan menekan perilaku yang tidak diterima oleh
lingkungan. Pengendalian tersebut
dilakukan dengan memberikan
reinforcement atau penguatan kepada diri siswa agar tetap bertahan pada situasi yang dikehendaki dan tidak cenderung mengulang kekeliruan atau tingkah laku yang tidak dikehendaki.
Jadi, yang penting dilakukan pada saat pembelajaran pada kelompok siswa dengan kebiasaan belajar buruk adalah memberikan bimbingan-bimbingan pada setiap langkah pembelajaran, mengemas pembelajaran semenarik mungkin dan
dekat dengan kehidupan siswa,
memberikan ruang kepada siswa untuk mengalami sendiri suatu fenomena dapat
terjadi dan mengungkapkan alasan
fenomena tersebut terjadi melalui suatu kegiatan ilmiah sebagaimana
langkah-langkah pembelajaran pada model
pembelajaran PSE, serta menciptakan suasana yang hangat antara guru dan
siswa maupun antar siswa. Dengan
demikian, mereka merasa termotivasi untuk menggali lebih jauh informasi mengenai materi yang sedang ia pelajari.
Dengan penerapan model
pembelajaran PSE, diharapkan dapat
menarik minat siswa untuk mengamati setiap fenomena yang ada dan mencari jawabannya. Jawaban atas suatu fenomena
dapat ditemukan dengan melakukan
kegiatan ilmiah dan membaca buku. Dari ketertarikan tersebut, siswa akan lebih terpacu untuk memiliki semangat belajar
yang tinggi yang kemudian akan
menjadikan siswa untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik. Jika siswa sudah terbiasa
menggunakan model pembelajaran PSE dan merasa bermanfaat mempelajari IPA, diharapkan keterampilan proses sains meningkat seiring dengan semakin baiknya kebiasaan belajar siswa. Dengan demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa model
pembelajaran PSE berdampak positif
terhadap keterampilan proses sains baik pada siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik maupun siswa yang memiliki kebiasan belajar buruk.
SIMPULAN DAN SARAN
Terdapat perbedaan keterampilan
proses sains antara siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil perhitungan ANAVA dua jalur diperoleh FA = 105,87,
sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 1 dan
dbpenyebut = 56 untuk taraf signifikansi 5% =
4,08. Ini berarti, nilai FA lebih besar dari
pada Ftabel, sehingga H0 ditolak dan H1.
Selanjutnya terdapat pengaruh
interaksi antar model pembelajaran (PSE
dan konvensional) dengan kebiasaan
belajar terhadap keterampilan proses sains.
Hal tersebut dibuktikan dari perhitungan FAB
= 20,0 yang lebih besar dibandingkan Ftabel
= 4,08, sehingga H0 ditolak dan H1
diterima.
Pada kelompok siswa yang memiliki kebiasaan belajar baik, terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran konvensional.
Perhitungan dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B1 dan A2B1 sebesar
14,59, sedangkan Qtabel pada taraf
signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut
menunjukkan nilai Qhitung lebih besar
daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1
diterima.
Pada kelompok siswa yang memiliki
kebiasaan belajar buruk, terdapat
perbedaan keterampilan proses sains
antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran menggunakan PSE dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.
Perhitungan dengan uji Tukey menunjukkan nilai Qhitung antara A1B2 dan A2B2 sebesar
5,75, sedangkan Qtabel pada taraf
signifikansi 5% dengan k=4 dan dk=56 maka diperoleh Qtabel = 3,79. Hasil tersebut
menunjukkan nilai Qhitung lebih besar
daripada Qtabel sehingga H0 ditolak dan H1
diterima.
Saran yang dapat disampaikan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Bagi guru yang menemukan permasalahan yang sama dengan penelitian yang dilakukan maka disarankan untuk menggunakan model
pembelajaran PSE. 2. Peneliti yang
berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang model pembelajaran PSE agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan
penyempurnaan penelitian yang akan
dilaksanakan.
DAFTAR RUJUKAN
Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan
Proses dan Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains Sekolah Dasar.
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Direktorat
Ketenagaan.
Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Ekadana. 2011. Hubungan Antara Konsep
Diri dan Kebiasaan Belajar Di Kalangan Siswa Kelas VIII SMP Negeri Se-Kota Singaraja Yang Berprestasi Tinggi.
Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains
Terkini. Mendekatkan Siswa dengan
Lingkungan Alamiah dan Sosial
Budayanya. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha
Sudana, Dewa Nyoman, I Gede Astawan. 2013. Pendidikan IPA SD. Singajara: Universitas Pendidikan Ganesha
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching And Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas
Pustaka Publisher
Yusuf, Munawir & Edy Legowo. 2007.
Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar Melalui Pendekatan Starter Eksperimen Modifikasi Perilaku.