TUGAS WAWASAN BUDAYA
NIAS
Di Susun Oleh: Fanny Setiawati 14148149 Putri Raudya Sofyana 14148140
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
KEPULAUAN NIAS
Nias (ano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau
Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
SUKU NIAS
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam
bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono =
anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
MITOLOGI YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT NIAS
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
PENELITIAN ARKEOLOG TENTANG PERSEBARAN DAN DNA MASYARAKAT NIAS
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu
Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias.
orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya.
Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.
Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.
”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya.
Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.
Jejak terputus
Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono mengatakan, teori tentang asal usul masyarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah.
”Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke Nusantara, termasuk ke Nias, atau sebaliknya juga terjadi?” katanya. Sony mempertanyakan bagaimana migrasi Austronesia dari Taiwan ke Nias itu terjadi.
Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi pembicara, mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi teka-teki. ”Logikanya, dari Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi, sampai saat ini data genetika dari Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih ada missing link,” katanya.
Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis Banjar. Hasilnya menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang diteliti baru
Sulawesi Selatan. ”Masih banyak studi yang harus dilakukan,” katanya.
RUMAH ADAT NIAS
Omo Sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias,
Sumatera Utara. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh,
KEBUDAYAAN NIAS
Fahombo (Lompat Batu)
Fataele/Foluaya(Tari Perang)
Maena (Tari berkoelompok)
Tari Moyo (Tari Elang)
Tari Mogaele
Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
Omo Hada (Rumah Adat)
Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama.
PAKAIAN ADAT SUKU NIAS
Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun filosofi dari warna itu sendiri antara lain:
*Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.
*Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit.
*Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan.
*Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.Pakaian, perhiasan dan senjata di Nias sangat beraneka ragam serta diberi warna dan hiasan (ukiran) yang bermacam-macam pula. Dalam upacara adat atau upacara kebesaran, pakaian dan perhiasan yang berwarna keemasan atau kekuning-kuningan sangat digemari selain kombinasi beberapa warna lain seperti hitam, merah dan putih. Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran. Warna merah yang
dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit. Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan. Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.
Untuk melengkapi keagungan dan kemegahan penampilan dalam suatu upacara kebesaran (Owasa/ fa’ulu), seorang pria dewasa harus menyelipkan senjata di pinggangnya. Tolögu dan Gari si so rago merupakan senjata yang sangat disukai oleh kalangan bangsawan, panglima dan para prajurit. Pada senjata atau hiasan sering sekali diberi kepala monster (Lasara) atau ukiran-ukiran binatang buas yang angker yang menggambarkan keperkasaan, keberingasan, dan kekuatan kekuasan seseorang.
BAHASA NIAS
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa
aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan salah satu bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).
PENULISAN
Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan :
Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata : Ga'a
Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.
KOSA KATA
Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Ya'ahowu = Diberkatilah engkau, bisa juga digunakan sebagai ucapan salam
Ya'o = Aku, Saya
Ahono = Tenang, Diam
Ya`ugö = Anda, Kamu
manu = ayam
silatao = ayam jantan
sihene = ayam betina (masih blm bertelor/beranak)
fa'elo = induk ayam
sigelo= induk binatang.kaki
empat.
Lö Nasa = Belum
Ebua = Besar
ide-ide =kecil
Fofo = Burung
Li Niha = Bahasa Nias
Lala = Cara, Jalan
Tanö Niha = Pulau Nias
Idanö = Air
Tundraha = Sampan/Perahu
Hauga Bözi? = Jam Berapa?
Koda= foto
gambara = Gambar
Bongi = Malam
TanÕ Owi = Sore
Ama = Bapak Ina = Ibu Omo = Rumah Asu = Anjing baru = baju manga = makan Zarewa = Celana Omasi'ö = disayangi
omasido = aku suka
Laluo = Siang
Ono = Anak
Ono Alawe = Anak Perempuan
Ono matua = Anak Laki-laki
Hezo möi'ö? = Mau kemana?
Manörö-nörö = Jalan-jalan
sanagö = pencuri
hele = kali, sungai kecil
bawa = bulan
baẃa = wajah, muka
Siwa ẃawa = Sembilan bulan
beleẃa = parang toho =tombak mako = cangkir mba'a = bak garawa = baskom alitö = api idanö = air Akho = Arang Fandu = Lampu Langu = Racun
Tuo Nifarö = Tuak Suling
Fili = Pilih
Tako = Peluk
uma = Cium
Me'e = Menangis
mabu = Mabuk
Baso = baca
sura = tulis/surat
mesokho = luka
Baẃa ndruhö = pintu
Sandrela = Jendela
Farate = ranjang tempat tidur
Högö = Kepala Talinga = Telinga Hörö = Mata Ikhu = Hidung Bo'ö = Pipi Beẃe = Bibir Baẃa = Mulut Bagi = Leher Tötö`a = Dada Talu = Perut Fusö = Pusar Betu'a = Usus
Betu'a ebua = Usus besar
Bo = Paru-paru Tödö = Jantung Aẃökhu = Empedu Oẃökhi = Perih Aukhu = Panas Okafu = Dingin Faha = Paha Bisi = Betis Mbu/bu = Rambut Lela = Lidah Ifö = Gigi
Boha = Gigi geraham
Alisi = Bahu
Hulu = Punggung
Tola = Boleh, sanggup, bisa.
Töla = Tulang
Töla hulu = Tulang punggung
Töla nosu = Tulang rusuk
Lalu'a = Telapak
Ono hörö = Bola mata
Ono horö = Anak di luar nikah
Sara = Satu Dua = Dua Tölu = Tiga öfa = Empat Lima = Lima önö = Enam Fitu = Tujuh Walu = Delapan Siwa = Sembilan Fulu = Sepuluh
Kesenian Tradisional Suku Nias
Suku Nias, mendiami pulau Nias, Sumatera Utara. Terdiri dari dataran-dataran rendah dan pegunungan-pegunungan kapur yang bervariasi tingginya. Mereka menyebutnya sebagai Tano Niha (tano= tanah, niha=orang/manusia). Sarana hubungan yang memadai antar daerah sebagian besar dilakukan melalui laut. Daerah-daerah yang mengandung peninggalan dari masa berkembangnya tradisi megalitik biasanya harus ditempuh dengan berjalan kaki cukup jauh, bahkan kadang-kadang harus melalui tanjakan terjal atau lembah yang dalam. Sejak masa megalitik, suku ini telah mengenal dan mengembangkan kesenian, merupakan sebuah kebutuhan, sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dicapai dengan kemampuan tertentu dan mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya. Dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan. Pada masayarakat Nias, kesenian sebagai bagian dari budaya masyarakat, mencakup seni musik, seni rupa dan seni tari. Fungsinya berkaitan dengan aktivitas dalam siklus kehidupan pada sistem religi, adat-istiadat maupun hiburan.
Ragam Alat-Alat Musik Suku Nias
Ragam alat-alat musik suku nias tersebut antara lain:
1. Gondra adalah alat musik yang terbuat dari kayu, kulit kambing dan rotan (termasuk pada kelompok membranofon). Dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh oleh dua. Gondra biasanya di gantung di langit-langit rumah atau di gantung di teras/samping rumah.
2. Aramba adalah alat musik yang terbuat dari tembaga, kuningan, suasa dan nikel dimainkan oleh satu orang. Alat musik ini berperan sebagai pembawa pola irama. Aramba yang sering dipergunakan oleh masyarakat Nias dalam pelaksanaan upacara perkawinan sebanyak satu buah yang disebut aramba fatao yang ukuran garis tengahnya 40 sampai 50 cm, sedangkan aramba yang dipakai oleh ngaoto mbalugu (keturunan bangsawan) adalah aramba fatao dan aramba hongo yang ukuran garis tengahnya 60 sampai 90 cm.
3. Doli-doli adalah alat musik yang terbuat dari susunan beberapa wilahan kayu yang terdiri dari beberapa nada, dimainkan dengan cara memukul dengan menggunakan alat pemukul.
4. Fondrahi adalah alat musik pukul (membranofon), terbuat dari batang aren ukuran 70 X 18 cm, dibuat berongga dan salah satu sisinya ditutup dengan kulit kambing dengan alat pengikat terbuat dari rotan. Dimainkan dengan memukul bagian sisi kulit dengan telapak tangan atau dengan kayu pemukul.
5. Lagia adalah alat musik gesek (kordofon), terbuat dari batang aren. Ukuran panjang 50 cm, diameter 20 cm, tiangnya terbuat dari kayu magai yang dapat dilengkungkan. Alat penggesek terbuat dari rotan atau bambu. Senarnya terbuat dari akar salak. Dimainkan secara individual, juga untuk mengiringi nyanyian.
6. Rici-rici adalah alat musik perkusi sejenis maracas (idiofon). Terbuat dari kayu yang dibuat berongga dan pada rongga tersebut diisi jenis kacang-kacangan, dimainkan dengan cara menggoyangkan alat musik tersebut.