• Tidak ada hasil yang ditemukan

153 Kinerja, Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan: Studi pada SMA Swasta DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "153 Kinerja, Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan: Studi pada SMA Swasta DKI Jakarta"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

153

Kinerja, Budaya Organisasi dan

Gaya Kepemimpinan:

Studi pada SMA Swasta DKI Jakarta

Mangiring Lumban Gaol

1

Guru di SMA Dharma Budhi Bhakti, Jakarta

Hanes Riady

2

Dosen di Kwik Kian Gie School of Business

Abstract

This study aims to determine the type of organizational culture and leadership style of principals who practiced in groups of high-performing schools and groups of low-performing schools, especially private schools in Jakarta region. Organizational culture is a philosophy, and pointed out four characteristics the organizational culture, among others: clan, adhocracy, hierarchy, and market, which binds members of the organization as a whole in order to achieve both individual and organizational goals. Furthermore, leadership style is a pattern of behavior designed to integrate individual interests with the organizational ones, among others: autocratic style, pseudo-democratic, laissez-faire, and democratic leadership style.

This study used descriptive analysis with nonparametric statistical Chi-Square (χ2). The samples of data were taken using an instrument of questionnaires on 50 school principals/vice principal, using judgmental-convinience sampling technique.

The analysis result showed that there were significant differences in organizational cultures that practiced at the group of high-performing schools with the group of low-performing schools. This study also found that there are no significant differences in leadership styles practiced in the groups of high-performance and low-performing schools.

Keywords: school performance, organizational culture, leadership style

PENDAHULUAN

Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan sarana melaksanakan pelayanan belajar terlebih pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006, bahkan dipertegas lagi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercermin dalam rumusan Visi dan Misi pendidikan nasional. Untuk mewujudkan Visi dan menjalankan Misi Pendidikan Nasional tersebut, diperlukan acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara terlebih satuan pendidikan.sebagai standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat

1 Koresponden Penulis : 2

(2)

154

meningkatkan kinerjanya. Setiap organisasi termasuk sekolah adalah hasil karya manusia, bersifat umum dan didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama dan tentunya didasarkan oleh ide yang sama, kemampuan, pengetahuan, dan sarana. Dengan demikian manusia sebagai warga sekolah, harus dianggap sebagai unsur utama dari sekolah tersebut.

Sekarang ini sekolah tidak lagi hanya sebagai alat bantu manusia, melainkan sudah menjadi kebutuhan tersendiri bahkan menjadi tempat bergantungnya manusia untuk mencapai tujuan-tujuannya. Akibatnya, siapa saja yang terlibat dalam sekolah dimaksud, perlu didorong untuk terus-menerus mempelajari, memahami, mengelola dan mengembangkannya dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas terlebih produktivitas. Upaya yang dapat dilakukan tidak cukup dengan cara merekayasa, pembaharuan dan merestrukturisasi sekolah dimaksud. Namun yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana memahami semua sifat-sifat sekolah tersebut dengan baik. Dari uraian tersebut terlihat jelas bahwa keberadaan budaya organisasi menjadi sangat penting karena selain penyeragaman sikap, tatanan kerja yang baik, sasaran dan hasil yang ingin dicapai jelas, juga membuka peluang untuk pengembangan potensi warga sekolah, terlebih kualitas.

Dahulu budaya organisasi hanya dipandang sebagai salah satu alasan kenapa organisasi sukses. Tetapi sekarang sebaliknya, semakin banyak organisasi terlebih sekolah yang menyadari begitu penting peran budaya organisasi ini, dan menjadikannya tema-tema sentral dalam diskusi-diskusi lokal, regional, dan nasional demi pengembangannya. Dalam hal membentuk budaya organisasi ini, aspek kepemimpinan memegang peranan penting, karena biasanya budaya organisasi ini merupakan hasil serta pengaruh dari pemimpin serta nilai yang diyakini oleh pendiri dan/atau pemimpin organisasi tersebut. Bahkan Schein dalam Tika (2006:71) mengatakan bahwa, inisiatif dan pendorong untuk membentuk atau membangun suatu budaya organisasi harusnya berasal dari pemimpin (leader) dalam hal ini kepala sekolah karena mereka mempunyai potensi terbesar untuk meletakkan dan memperkuat aspek-aspek budaya pada organisasi atau sekolah yang dipimpinnya.

Selain itu seorang pemimpin yang efektif tidak hanya di jelaskan oleh sejumlah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki dan bagaimana menggunakannya. Tetapi harus ditunjukkan pula dengan bagaimana perhatiannya terhadap kesejahteraan bawahannya, komitmen akan pertumbuhan, dan terutama sikap mengayomi yang ditujukan untuk menguatkan kemauan bawahan dalam pelaksanaan kerja guna mencapai sasaran atau tujuan. Oleh karena itu setiap pemimpin atau kepala sekolah selain harus bertanggung jawab atas kebutuhan organisasinya, juga perlu memahami berbagai keterampilan guna mengelola, serta dengan rasa yakin dapat menyesuai-annya dengan visi dan misilembaganya secara berkesinambungan. Kepala Bidang Pendidikan SMP/SMA Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2008:i) mengatakan bahwa Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas adalah sebuah mekanisme untuk mengukur kualitas hasil pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas di tanah air secara obyektif berdasarkan ukuran nasional. Memperhatikan peringkat perolehan hasil Ujian Nasional untuk 3 (tiga) tahun 2008 – 2010 (Idris, 2008-2010), dengan cara membagi atau mengelompokkan hasil peringkat Ujian Nasional setiap tahunnya menjadi 3 (tiga) sekaligus mengkategorikannya menjadi kategori kinerja berupa; tinggi, sedang dan rendah, maka SMA di Provinsi DKI Jakarta terutama swasta baik jurusan IPA

(3)

155

maupun IPS, menjadi 2 (dua) kategori atau kelompok. Pertama, sekolah yang peringkat demikian kategori kinerjanya cenderung naik turun atau tidak konsisten. Kedua, sekolah di mana peringkat perolehan hasil Ujian Nasional naik turun, tetapi kategori kinerja sekolah tersebut tetap berada pada kelompok sekolah berkinerja tinggi, sedang dan rendah. Setelah mecermati peringkat hasil Ujian Nasonal untuk 3 (tiga) tahun terakhir ternyata ada 15 sekolah di Provinsi DKI Jakarta yang berada pada kategori tersebut. Ketiga, ternyata ada juga beberapa sekolah di Jakarta, dimana peringkat dan kategori kinerja sekolah tersebut untuk 3 (tiga) tahun belakangan selalu berada pada kelompok sekolah berkategori berkinerja rendah. Setelah mecermati peringkat hasil Ujian Nasional untuk 3 (tiga) tahun terakhir ternyata ada 47 (empat puluh tujuh) sekolah di Provinsi DKI Jakarta yang berada pada kategori tersebut. Sagala (2007:180-181) mengatakan kinerja adalah manifestasi hasil karya yang dicapai oleh suatu institusi mencakup seluruh kegiatan setelah melalui uji tuntas terhadap tujuan usaha yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selanjutnya apabila kinerja lembaga pendidikan rendah, tentu dikarenakan banyak faktor, antara lain lemahnya kepemimpinan lembaga pendidikan terutama dalam pemberdayaan atas sumberdaya yang dimiliki untuk dapat berkontribusi secara efektif dan efisien, ketidak mampuan membangun komitmen terhadap nilai-nilai baru, kurang mengembangkan keterampilan, kepercayaan pada tim kurang, upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan organisasi lemah, terlebih inovasi dan kreativitas.

Selain itu, faktor budaya organisasi yang dibangun di sekolah belum memungkinkan individu-individu yang ada di dalam untuk saling berinteraksi dan berintegrasi untuk menciptakan rasa saling memiliki dan kompetensi inti (core competence), terlebih untuk memungkinkan sekolah untuk selalu belajar beradaptasi dan berinteraksi dengan perkembangan lingkungannya masih terabaikan. Di masa kini terlebih di masa mendatang, kepemimpinan pendidikan dituntut untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi diri sebagai agen perubahan, berani dan teguh, memiliki kepercayaan pada orang lain, dapat berperan sebagai value-driven, memiliki sikap pembelajar seumur hidup, mempunyai kemampuan untuk menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian, serta visionaris (Hamdani, 2005:12). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kepemimpinan dengan karakteristik yang demikian juga diyakini akan membuat lembaga pendidikan kondustif, sehingga spirit lembaga mampu berfungsi dalam hal: 1) pengartikulasian suatu visi masa depan organisasi, 2) penyediaan suatu model yang tepat, 3) pemelihara penerimaan tujuan kelompok, 4) harapan terhadap kinerja yang tinggi, 5) pemberian dukungan individual, dan 6) stimulasi intelektual.

Lebih jauh Esp dan Saran dalam Aan Komariah dan Cepi Triatna (2005:80), mengidentifikasi tiga perubahan mendasar dalam pendidikan dewasa ini yang berimplikasi pada perilaku kepemimpinan, yaitu: 1) Perubahan paradigma pendidikan dari yang bersifat sentralistis ke arah desentralistis. Perubahan kebijakan ini merupakan produk dari debat reformasi pendidikan yang dilanjutkan dengan dirumuskannya undang-undang reformasi pendidikan, 2) adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada sekolah atas dasar pertimbangan profesional dan pertanggung jawaban publik, serta pemberian wewenang ini merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya undang-undang reformasi pendidikan, 3) adanya kerjasama antara pejabat pemerintahan dengan pemimpin pendidikan dalam membangun pendidikan yang bermutu.

(4)

156

Penunjukkan pejabat pendidikan dalam hal ini kepala sekolah dilaksanakan dengan mem-pertimbangkan prinsip-prinsip kebijakan pendidikan dan profesionalisme.

Penelitian ini dilakukan atas dasar pemikiran di atas untuk menemukan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kinerja sekolah yang dalam hal ini difokuskan pada praktik budaya organisasi dan gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kelompok SMA berkinerja tinggi dan kelompok SMA berkinerja rendah di Jakarta.

BUDAYA ORGANISASI

Budaya organisasi adalah suatu sistem dari makna atau persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi (Robbins, 2001:510). Budaya organisai berbasiskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam norma, peraturan, prosedur operasi standard, dan tujuan organisasi (Riady, 2009:127). Sedangkan menurut Cameron dan Freeman dalam Lund (2003:219), budaya organisasi adalah: falsafah, ideologi, nilai, asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang mengikat organisasi secara keseluruhan.

Gambar 1 Tipe Budaya Organisasi

(5)

157

Sumbu vertikal Gambar 1 memperlihatkan kontinum dari proses organik atau mekanistik yang berkisar pada penekanan pada fleksibilitas, spontanitas, pengawasan, stabilitas dan perintah. Selanjutnya apabila dilihat dari sumbu horizontal juga akan menunjukkan penekanan organisasi relatif terhadap pemeliharaan internal, artinya semua aktivitas harus lancar, kejujuran hingga posisi eksternal berupa persaingan, diferensiasi sekaligus menjadi pembeda. Walau pun cara khusus setiap tipe budaya yang ditandai dengan tatanan khusus tentang keyakinan bersama, gaya kepemimpinan, tatanan nilai bersama yang berfungsi sebagai ikatan atau perekat anggota dan penekanan strategik dalam pengupayaan efektifitas, namun ternyata secara diagonal tipe budaya tersebut bersaing atau berbanding langsung satu sama lain. Sebagai contoh, budaya

market yang mengutamakan organisasi untuk berorientasi pada tujuan, dipimpin oleh motivator serta produsen yang tangguh, penekanan pada tugas dan tujuan, yang menekankan aksi kompetitif dan tujuan, ternyata tipe budaya ini bersaing serta berbanding langsung dengan tatanan nilai yang dinyatakan dalam budaya

clan yang bercirikan 4 (empat) pribadi, antara lain: dipimpin oleh mentor yang bersifat penasihat, fasilitator atau figur orang tua, yang terikat bersama dengan tradisi dan loyalitas, dan mengutamakan SDM. Demikian juga budaya hierarchy

yang mengutamakan kedudukan berstruktur formal yang dipimpin oleh koordinator atau manajer dan diikat dengan peraturan dan kebijakan resmi serta mengutamakan stabilitas, ternyata bersaing serta berbanding langsung dengan budaya adhocracy yang mengutamakan tempat usaha yang dinamis, dipimpin oleh seorang usahawan atau inovator, yang memiliki komitmen tentang inovasi, pertumbuhan dan akuisisi sumberdaya baru.

Menurut Kreitner & Kinicki (2005:83) terdapat empat fungsi budaya organisasi, yaitu:

a) Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya. b) Memudahkan komitmen kolektif.

c) Mempromosikan stabilitas sistem social. d) Membentuk perilaku.

Kaitan Budaya Organisasi Dengan Kinerja Sekolah

Secara umum, penerapan budaya organisasi di sekolah tidak jauh berbeda dengan penerapan budaya organisasi di organisasi lain. Di sekolah terjadi interaksi yang saling memengaruhi antara individu dengan lingkungannya yang dipersepsi dan dirasakan oleh individu sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik mau pun sosialnya. Moh. Surya (1997) dalam Sudrajat, menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Beberapa hasil penelitian sebagaimana dikutip Sudrajat sebagai berikut: (1) Stolp (1994) tentang School

(6)

158

Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dan dikutip oleh dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru; (2) Studi yang dilakukan Fyans dan Maehr tentang pengaruh dari 5 (lima) dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu: tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah, menunjukkan siswa lebih termotivasi dalam belajarnya dengan budaya organisasi yang kuat (3) Studi yang dilakukan Thacker dan McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa, budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja; (4) Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng juga membuktikan bahwa budaya sekolah yang lebih kuat memiliki guru dengan motivasi lebih baik. Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah, jelas menjadi tugas kepala sekolah selaku pemimpin maupun manajer. Melalui pendalaman terlebih pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka pimpinan akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya terlebih kinerja sekolah.

Dari pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1:

Terdapat perbedaan budaya organisasi yang terbangun pada sekolah yang berkinerja tinggi dan sekolah yang berkinerja rendah

Kepemimpinan

Kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok terhadap pencapaian visi atau serangkaian tujuan (Robbins & Judge, 2007:356; Greenberg & Baron, 2008:501). Sedangkan Timpe (1991) dalam Umar (2010:38) mengatakan pemimpin adalah orang yang menerapkan prinsip dan memastikan motivasi, disiplin, dan produktivitas dalam hal bekerja sama dengan orang agar dapat mencapai sasaran perusahaan. Kepemimpinan menurut Yulk (2006:5) berkaitan dengan proses yang disengaja oleh seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan di dalam kelompok atau organisasi. Menurut Hamdani (2005:6), kunci keberhasilan suatu lembaga pendidikan pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan pemimpinnya. Karena itu pemimpin dituntut memiliki persyaratan kualitas kepemimpinan yang kuat, yaitu pemimpin yang memiliki kemampuan dasar, kualitas pribadi, serta pengetahuan, dan keterampilan profesional. Pemimpin harus berupaya menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, kerja yang menantang, pengakuaan, dan penghargaan (Riady, 2009:128).

Gaya kepemimpinan diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan kepentingan individual dengan kepentingan organisasi serta mewujudkan motivasi karyawan untuk menghasilkan produktivitas. Tujuan gaya kepemimpinan untuk mendorong gairah kerja, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan yang tinggi agar dapat mencapai tujuan organisasi yang maksimal. Secara mendasar Kontz O’Donnel dalam Indrafachrudi (2006:17) menyebutkan ada 4 (empat) gaya kepemimpinan, yaitu : otokratis, pseudo-demokratis, laisez-faire, dan demokratis. Ke 4 (empat)

(7)

159

gaya kepemimpinan tersebut satu sama lain memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan sangat berkaitan dengan sifat dan watak pribadi seorang pemimpin, demikian juga iklim organisasinya.

Kaitan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dengan Kinerja Sekolah

Penggunaan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan iklim sekolahnya sangat diperlukan, demikian juga dalam mengambil kebijakan dan keputusan juga harus secara demokratis dan transparan. Penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dapat lebih memberikan perhatian dan partisipasi yang besar kepada setiap elemen dalam memajukan bidang pendidikan. Karena pada hakikatnya guru membutuhkan bimbingan yang kuat dari kepala sekolah sebagai supervisor, maupun teman sejawatnya untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan profesionalnya. Karena itu kepala sekolah dituntut untuk selalu memperkenalkan teknik-teknik pembelajaran yang baik dan inovatif kepada mereka dan pada akhirnya akan menempatkan guru juga pada posisi yang berguna dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut.

Menurut Mukhtar et al. (2005:53) setiap pembicaraan tentang organisasi, tentu tidak bisa lepas dari aspek kepemimpinan. Dengan demikian kepala sekolah sebagai pemimpin merupakan kunci dalam menghimpun, memanfaatkan, dan menggerakkan secara optimal seluruh potensi dan sumber daya terlebih pengembangan dan peningkatan suatu sekolah. Memperhatikan pokok-pokok pikiran serta hasil penelitian tersebut di atas, kepala sekolah merupakan orang yang bertanggung jawab penuh terhadap berhasil tidaknya sekolah dalam mewujudkan sekolah yang berkualitas dan berprestasi. Tanggung jawab kepala sekolah tersebut tentulah tidak dapat dilakukan oleh kepala sekolah sendiri, akan tetapi kepala sekolah harus menerapkan (job distribution) atau pembagian kerja serta merumuskan (job description) atau uraian tugas, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan memperoleh kejelasan (clarity) kerja dengan baik.

Dari pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 2:

Terdapat perbedaan gaya kepemimpinan kepala sekolah yang dipraktikkan pada sekolah yang berkinerja tinggi dan sekolah yang berkinerja rendah

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian studi komparatif (causa-comparative, ex post facto) yaitu penelitian yang mencoba menentukan suatu sebab dari sesuatu yang sudah terjadi (Kountur, 2004:133). Penelitian ini berusaha untuk mencaritahu dan membandingkan pola budaya organisasi yang terbangun dan gaya kepemimpinan kepala sekolah yang dipraktikkan pada kelompok sekolah berkinerja tinggi dan kelompok sekolah berkinerja rendah. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah para kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, di mana mereka secara struktural sangat paham tentang ciri-ciri budaya organisasi demikian juga gaya kepemimpinan yang mereka bangun dan terapkan di sekolah mereka masing-masing.

Budaya Organisasi dikelompokkan sesuai tipenya dengan ciri-ciri yang diadopsi dari Cameron dan Freeman dalam Lund (2003:219), meliputi: (1) Clan

(Mengutamakan kesatuan, Partisipasi , Rasa kekeluargaan yang tinggi, Figur pimpinan bercirikan orang tua, Memiliki loyalitas yang tinggi, Berorientasi pada pengembangan sumberdaya manusia; (2) Adhocracy (Mengutamakan

(8)

160

kreativitas, Adaptasi, Sifat pimpinan yang fleksibel, Inovatif, Berorientasi maju); (3) Hierarchy (Keputusan diambil atas kewenangan tertinggi, Kegiatan organisasi diatur secara resmi, Pimpinan bersifat koordinator dan administrator, Mengutamakan stabilitas organisasi, orientasi pada kelancaran operasional organisasi); (4) Market (Bersaing dalam meraih prestasi, Penekanan pada tugas dan pencapaian tujuan, Pimpinan yang tegas dan berorientasi pada peningkatan prestasi, Berorientasi pada tujuan, Mengarah pada keunggulan kompetitif). Sedangkan pengelompokan Gaya Kepemimpinan serta ciri-ciri yang ada di dalamnya sebagaimana dikemukakan oleh Indrafachrudi (2006:17) meliputi: (1) Gaya Otokratis (Menggunakan jabatan dan kekuatan pribadinya, Keputusan diambil atas dasar kekuasaannya, Memerintah bawahan untuk mentaati keputusannya, Bekerja keras, teliti, dan tertib agar bawahan mengikutinya, Pengawasan dilakukan secara ketat, Bawahan tidak diberi kesempatan berinisiatif dan mengembangkan kreativitasnya); (2) Gaya Pseudo-Demokratis (Bersikap pro-demokratis, Memberi hak dan kuasa kepada bawahan dalam mengambil keputusan, Dalam pergaulan selalu ingin disenangi dan dihormati, Ramah dan suka menolong untuk mendapatkan kepercayaan bawahan, Pendapatnya harus disetujui dan diterima bawahan); (3) Gaya Laissez-Faire

(Memberikan kebebasan pada bawahan berinisiatif sendiri, Bersikap acuh terhadap tugas dan kewajibannya, Membiarkan bawahan bekerja sesuka hatinya, Bawahan diperlakukan sebagai penasihat baginya, Tidak mengetahui cara memimpin yang baik); (4) Gaya Demokratis (Keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat, Menghargai pendapat bawahan, Mendorong bawahan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan, Memberi kesempatan pada bawahan untuk menunjukkankemampuan dan ketrampilannya, Bijaksana dalam pembagian kerja dan tanggung jawab).

Tehnik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah metode nonparametrik Chi-Square 2).

Sekolah Menengah Atas swasta yang ada di provinsi DKI Jakarta kategori kinerjanya tinggi dan rendah sebanyak 84 sekolah dengan rincian 37 sekolah kelompok berkinerja tinggi dan 47 sekolah kelompok berkinerja rendah (Lampiran 1 dam 2) dengan rincian sebagai berikut:

- Tahun pelajaran 2007/2008: jumlah sekolah penyelenggara = 467, Peringkat 1 s/d 156 = Kinerja Tinggi, 157 s/d 312 = Kinerja Sedang, dan 313 s/d 467 = Kinerja Rendah

- Tahun pelajaran 2008/2009: jumlah sekolah penyelenggara = 474, Peringkat 1 s/d 158 = Kinerja Tinggi, 159 s/d 316 = Kinerja Sedang, dan 317 s/d 474 = Kinerja Rendah

- Tahun pelajaran 2009/2010: jumlah sekolah penyelenggara = 472, Peringkat 1 s/d 157 = Kinerja Tinggi, 158 s/d 314 = Kinerja Sedang, dan 315 s/d 472 = Kinerja Rendah

Sampel sekolah yang diambil dengan teknik non-probablitias convenience sampling berjumlah 50 sekolah, 25 sekolah dari kelompok sekolah berkinerja tinggi dan 25 sekolah dari kelompok sekolah berkinerja rendah, yang tersebar di 5 wilayah kerja Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.

(9)

161

Tabel 1 Sebaran Sampel Penelitian

Wilayah Kinerja Sekolah Total

Tinggi Rendah Jakarta Barat 11 0 11 Jakarta Pusat 6 11 17 Jakarta Selatan 2 0 2 Jakarta Timur 3 4 7 Jakarta Utara 3 10 13 JUMLAH 25 25 50

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berikut ini akan disajikan data nilai rata-rata ujian nasional SMA swasta di DKI Jakarta tahun pelajaran 2007-2008 hingga 2009-2010 untuk kelompok sekolah berkinerja tinggi (25 sekolah) dan kelompok sekolah berkinerja rendah (25 sekolah).

Tabel 2. Nilai Ujian Nasional Kelompok Sekolah Berkinerja Tinggi

No. Tahun Pelajaran Rata-Rata

Kinerja Tinggi Kinerja Rendah

1 2007-2008 92.27 64.81

2 2008-2009 89.69 69.12

3 2009-2010 91.25 69.84

Rata-rata keseluruhan 91.07 67.92 Sumber : Disdiknas SMP/SMA Pemprov DKI, Diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa perolehan hasil Ujian Nasional sekolah kelompok berkinerja tinggi untuk 3 (tiga) tahun terakhir turun naik berkisar dari 89,69 hingga 92,27 dengan rata-rata 91,07. Sedangkan sekolah kelompok berkinerja rendah cenderung naik berkisar dari 64,81 hingga 69,84 dengan rata-rata 67,92.

Praktik Budaya Organisasi

Selanjutnya bangunan budaya organisasi di SMA swasta DKI Jakarta pada kelompok sekolah berkinerja tinggi dan pada kelompok sekolah berkinerja rendah dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3. Perbandingan Bangunan Budaya Organisasi

Jenis Budaya Organisasi Kelompok Sekolah

Kinerja Tinggi Kinerja Rendah

Clan 76% 36%

Adhocracy 16% 4%

Hierarchy 4% 56%

Market 4% 4%

Total 100% 100%

(10)

162

Tabel 3 menunjukkan 76% atau mayoritas sekolah kelompok berkinerja tinggi mempraktikkan jenis budaya organisasi clan atau kekeluargaan dimana tipe budaya ini sangat mengutamakan kesatuan, partisipasi, rasa kekeluargaan, pimpinan bercirikan orang tua, memiliki loyalitas tinggi dan berorientasi pada pengembangan. Sedangkan jenis budaya organisasi yang dibangun sekolah kelompok berkinerja rendah lebih didominasi (56%) oleh budaya hierarchy, suatu budaya di mana dalam setiap pengambilan keputusan diambil atas kewenangan, kegiatan diatur secara resmi, pimpinan memposisikan diri sebagai koordinator dan administrator, serta mengutamakan stabilitas dan berorientasi pada kelancaran organisasi.

Tabel 4. Tabulasi Silang Kinerja Sekolah dengan Budaya Organisasi

Kinerja

Budaya Organisasi Total

A B C D Tinggi Count 19 4 1 1 25 % of Total 38.0% 8.0% 2.0% 2.0% 50.0% Rendah Count 8 1 15 1 25 % of Total 16.0% 2.0% 30.0% 2.0% 50.0% Total Count 27 5 16 2 50 % of Total 54.0% 10.0% 32.0% 4.0% 100.0% Sumber : Tabulasi Kuisioner

Tabel 5 berikut menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis 1 “Terdapat perbedaan budaya organisasi yang terbangun pada sekolah yang berkinerja tinggi dengan sekolah yang berkinerja rendah” dengan Chi-square tests adalah tolak Ho, yang berarti terdapat perbedaan siginifikan budaya organisasi yang terbangun antara kelompok sekolah yang berkinerja tinggi dan kelompok sekolah berkinerja rendah. Di mana Tabel 4 juga menjelaskan bahwa kelompok sekolah berkinerja tinggi mayoritas (76%) menerapkan budaya organisasi clan, sedangkan kelompok sekolah berkinerja rendah secara lebih dominan (56%) menerapkan budaya organisasi hierarchy.

Tabel 5. Uji Hipotesis 1

Chi-Square Tests

Value Df Asymp. Sig (2-sided) Pearson Chi-Square 18.531 3 .000

Likelihood Ratio 21.241 3 .000 Linear-by-Linear

Association

12.245 1 .000

N-of Valid Cases 50

a. 4 cells (50.00%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.

Praktik Kepemimpinan Kepala Sekolah

Praktik gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMA swasta DKI Jakarta pada kelompok sekolah berkinerja tinggi dan pada kelompok sekolah berkinerja

(11)

163

rendah juga dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 6. Perbandingan Gaya Kepemimpinan

Gaya Kepemimpinan

KepalaSekolah

Kelompok Sekolah

Kinerja Tinggi Kinerja Rendah

Otokratik 0% 0%

Pseudo-Demokratis 4% 16%

Laize-faire 0% 0%

Demokratis 96% 84%

Total 100% 100%

Sumber : Tabulasi Kuisioner

Tabel 6 menunjukkan bahwa sekolah kelompok berkinerja tinggi 96% menerapkan gaya kepemimpinan yang demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang melibatkan kelompok dalam pengambilan keputusan dan memberikan tanggung jawab pada para karyawannya atau anggotanya, dan 4% lagi menerapkan gaya kepemimpinan Pseudo-Demokratis. Sedangkan sekolah kelompok berkinerja rendah 84% menerapkan juga gaya kepemimpinan yang demokratis, dan 16% lagi menerapkan gaya kepemimpinan Pseudo-Demokratis. Secara umum gaya kepemimpinan yang diterapkan pada 2 (dua) kelompok sekolah sangat didominasi oleh gaya demokratis yaitu gaya kepemimpinan yang biasanya melibatkan kelompok dalam pengambilan keputusan dan memberikan tanggung jawab pada para karyawannya.

Tabel 7. Tabulasi Silang Kinerja Sekolah dengan Kepemimpinan

Kinerja Gaya Kepemimpinan

Total Tinggi B D Count 1 24 25 Rendah % of Total 2.0% 48.0% 50.0% Count 4 21 25 Total % of Total 8.0% 42.0% 50.0% Count 5 45 50 % of Total 10.0% 90.0% 100.0% Sumber : Tabulasi Kuisioner

Tabel 7 memperlihatkan hasil pengujian hipotesis 2 “Terdapat perbedaan gaya kepemimpinan kepala sekolah yang dipraktikkan pada kelompok sekolah berkinerja tinggi dan kelompok sekolah berkinerja rendah” dengan Chi-square tests, hipotesis nol tidak dapat ditolak (sig value > 0,05). Hal ini berarti tidak terdapat bukti bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah berbeda pada kelompok sekolah yang berkinerja tinggi dan pada kelompok sekolah berkinerja rendah. Walau pun Tabel 6 yang menunjukkan bahwa 96% (lebih banyak) sekolah kelompok berkinerja tinggi ketimbang sekolah kelompok berkinerja rendah yang hanya 84% yang menerapkan gaya kepemimpinan demokratis.

(12)

164

Tabel 8 Uji Hipotesis 2

Value Df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (2-sided) (2-sided) (1-sided) Pearson Chi-Square 2.000a 1 .157

Continuity Correction

.889 1 .346

Likelihood Ratio 2.128 1 .145

Fisher’s Exact Test .349 .174

Linear-by-Linear Association

1.960 1 .162

N of Valid Cases 50

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.50.

b. Computed only for a 2x2 table

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini memperkuat teori dan hasil penelitian terdahulu bahwa kinerja organisasi ikut ditentukan oleh lingkungan organisasi yang dalam penelitian ini terfokus pada budaya organisasi dan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Terbukti terdapat perbedaan signifikan budaya organisasi yang terbangun pada kelompok sekolah berkinerja tinggi (budaya clan) dan pada kelompok sekolah berkinerja rendah (budaya hierarchy) sehingga hipotesis 1 terkonfirmasi. Di sisi lain, ternyata sekalipun berbeda jumlah prosentase, baik kelompok sekolah berkinerja tinggi (96%) mau pun kelompok sekolah berkinerja rendah mempraktikkan gaya kepemimpinan yang sama, yaitu gaya demokratis dan uji statistik Chi-square tidak menghasilkan perbedaaan yang signifikan sehingga belum cukup bukti untuk mengkonfirmasi hipotesis 2. Fenomena ini memperlihatkan bahwa para kepala sekolah baik pada kelompok sekolah berkinerja tinggi mau pun kelompok sekolah berkinerja rendah memiliki visi dan pendekatan yang sama (gaya demokratis) dalam memimpin organisasi sekolah, dengan ciri-ciri: keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat; menghargai pendapat bawahan; mendorong bawahan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan; memberi kesempatan pada bawahan untuk menunjukkan kemampuan dan ketrampilannya; serta bijaksana dalam pembagian kerja dan tanggung jawab.

2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini bagi sekolah-sekolah yang ingin mencapai kinerja tinggi terutama dalam prestasi ujian nasional disarankan untuk membangun dan memperkuat budaya organisasi yang terbukti menjadi faktor pembeda dari kelompok sekolah berkinerja tinggi, yaitu budaya clan dengan nilai-nilai: mengutamakan kesatuan, partisipasi; rasa kekeluargaan yang tinggi; figur pimpinan bercirikan orang tua; memiliki loyalitas yang tinggi; serta berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Gaya kepemimpinan yang perlu diadopsi para kepala sekolah adalah gaya demokratis yang telah dipraktikkan di

(13)

165

hampir semua sekolah berkinerja tinggi (ini telah disadari dipraktikkan oleh 84% di kelompok sekolah berkinerja rendah).

Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang lebih luas dengan melibatkan sekolah-sekolah negeri baik di dalam mau pun di luar wilayah DKI Jakarta sehingga bisa dipetakan apakah terdapat perbedaan praktik budaya organisasi dan gaya kepemimpinan pada kelompok sekolah swasta dan kelompok sekolah negeri, di kota besar mau pun di kota kecil yang tetap dikaitkan dengan kinerja sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Aan Komariah dan Cepi Triatna .2010. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Arwani dan Heru Supriatno .2006. Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Greenberg, J. dan Baron, R.A..2008. Behavior in Organization, 9th ed., New Jersey: Pearson Education Inc.

Hamdani, Al Djaswidi .2005. Kepemimpinan Transformasional, Jakarta: Rineka Cipta.

Idris, Amsani .2010. Peringkat Hasil Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2009/2010, Pemerintah DKI Jakarta Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan SMP/SMA.

--- .2009, Peringkat Hasil Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2008/2009, Pemerintah DKI Jakarta Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan SMP/SMA.

--- .2008, Peringkat Hasil Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2007/2008, Pemerintah DKI Jakarta Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan SMP/SMA.

Indrafachrudi, R. Soekarto .2006. Bagaimana Memimpin Sekolah yang Efekti., Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kountur, Ronny .2004. Metode Penelitian Untuk Skiripsi dan Tesis.Jakarta:

Penerbit PPM.

Lund, Daulatram B. .2003. Organizational culture and job satisfaction, The Journal of Business & Industrial Marketing.Vol. 18 No. 3, pp. 219-236

Mukhtar, Rusmini, dan Samsu .2005. Sekolah Berprestasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki .2005. Perilaku Organisasi, terjemahan. Jakarta: Salemba Empat

(14)

166

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Riady, Hanes .2009. Meningkatkan Komitmen Karyawan Atas Organisasi Melalui Pengelolaan “Quality of Work Life”, Journal of Human Capital, Vol. 1 No. 2, pp. 119-136

Robbins, S. P. dan T. A. Judge .2007. Organizational Behavior, 12th ed., New Jersey: Pearson Education, Inc.

Robbins, Stephen P. .2001. Organization Theory: Structure, Design, and Application, New York: Prentice Hall.

Sagala, Syaiful .2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan ”Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi dan Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah, Bandung: Alfabeta.

Sudrajat, Akhmad, http://www.psb-psma.org/content/blog/budaya-organisasi-di-sekolah.

Tika, Moh. Pabundu .2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Umar, Husein .2010. Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan, Paradigma Positivistik dan Berbasis Pemecahan Masalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang ”Sistem Pendidikan Nasional”, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Yukl, Gary .2006. Leadership In Organization, 6th ed., New Jersey: Pearson International.

Gambar

Gambar 1 Tipe Budaya Organisasi
Tabel 2. Nilai Ujian Nasional Kelompok Sekolah Berkinerja Tinggi
Tabel 4. Tabulasi Silang Kinerja Sekolah dengan Budaya Organisasi
Tabel  6  menunjukkan  bahwa  sekolah  kelompok  berkinerja  tinggi  96%

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa sediaan gel lidah buaya (Aloe vera L.) dalam penelitian terbukti lebih baik dalam mempercepat proses penyembuhan luka

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hukum perkawinan dalam masyarakat di Indonesia, bukan hanya persoalan sah dan tidaknya suatu perkawinan menurut agama dan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pembuatan salep bonggol pisang Ambon menghasilkan sediaan salep yang memenuhi syarat dan konsentrasi 10%, 15% dan 20%

Respon siswa dalam penelitiian ini diperoleh dengan menggunakan angket yang diisi oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan, peneliti memberikan saran sebagai berikut: (1) Sebaiknya pembelajaran keterampilan menulis puisi bebas di kelas VIII E

Dalam hal kecepatan belajar (Learning Rate), anak tugrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita

Ya Tuhan, sebagai ayah, kami mengaku bahwa kami terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga peran utama kami, bersama istri, dalam mempersiapkan anak-anak sebagai

Pasien tersebut mungkin mengeluh nyeri pinggang, baik yang baru saja terjadi atau sudah lama, mungkin jga oleh karena edema di tungkai, seluruh tubuh atau mengalami gangguan