• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Meninggalkan Shalat Tanpa Udzur Syar’i (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Meninggalkan Shalat Tanpa Udzur Syar’i (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

SUMIATI

Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab

NIM: 131310093

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH 1438 H/2017 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

Nama : Sumiati

Nim : 131310093

Fak / Prodi : Syari’ah / Perbandingan Mazhab ( SPM )

Judul : Hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i ( Studi perbandingan Mazhab Hanafi dan

Mazhab Hanbali ) Tanggal Munaqasyah :24 Juli 2017 Tebal Skripsi : 75 Halaman

Pembimbing I : Dra. Rukiah M.Ali, M.Ag Pembimbing II : Saifuddin Sa’dan, M.Ag

Kata kunci : Hukum Meninggalkan Shalat, maẓhab Hanafi dan maẓhab Ḥanbali

Shalat merupakan suatu ibadah mahdhah yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan lima waktu sehari semalam. Oleh karena itu shalat tersebut tidak boleh ditinggalkan tanpa alasan dan halangan syar’i, skripsi ini berjudul “ Hukum Meninggalkan Shalat tanpa udzur syar’i ( Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali ). Keduanya berbeda pendapat mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i, perbedaaan ini terjadi antara mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari persoalan pokok, yaitu; hukum meninggakan shalat dan dalil-dalil yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali serta metode istinbath yang digunakan dari dalil tersebut. Untuk memperoleh jawaban tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Kedua data tersebut telah dianalisis dengan metode deskriptif-komparatif. Berdasarkan metode pengumpulan data ini, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan ( Library Research ). Untuk mendapatkan jawaban secara maksimal, penelitian ini dibagi kedalam empat bab. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan penulis, dalil dan metode istinbath yang digunakan keduanya sama, yaitu; dengan hadist dan menggunakan penalaran bayani (kaidah kebahasaan) oleh kedua mazhab tersebut, hanya berbeda pendapat dari segi memahami (pemahaman terhadap hadist yang digunakan). Mazhab Hanafi memahaminya dengan memahami lafal mantuq (mantuq ghairu sharih) sedangkan mazhab hanafi memahami hadist tersebut dengan lafadz mafhum (mafhum muwafaqah). Dari paparan diatas dapat di simpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar’I menurut mazhab Hanafi adalah fasiq, sedangkan menurut mazhab Hanbali ialah kafir. Kafir dikarenakan mengingkari kewajiban shalat tersebut. Namun yang menjadi sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dikarenakan dari segi cara memahami nas tersebut, yakni makna kafirnya yang terdapat dalam hadist.

(6)

iii

Dengan memanjatkan segala puji dan syukur kehadiran Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “Hukum meninggalkan Shalat tanpa udzur syar’i ( study perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali) ” dengan baik dan benar.

Selawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Serta para sahabat, tabi’in dan para ulama yang senantiasa berjalan dalam risalah-Nya, yang telah membimbing umat manusia dari alam kebodohan ke alam pembaharuan yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dra. Rukiah M.Ali, M.Ag Selaku pembimbing pertama dan Saifuddin Sa’dan, M.Ag Selaku pembimbing kedua, di mana kedua beliau dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselasainya penulisan skripsi ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Dr. Khairuddin, M.Ag, Ketua Prodi SPM Dr. M. Ali, M.Ag, Penasehat Akademik Dr.Nurdin Bakry,M.Ag. serta seluruh Staf pengajar dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan masukan dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan semangat menyelesaikan skripsi ini.

(7)

iv

Raniry, Kepada Karyawan Perpustakaan Wilayah, Karyawan perpustakaan Baiturrahman serta Karyawan Perpustakaan Pascasarjana UIN Ar-Raniry yang melayani serta memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi bahan skripsi penulis.

Dengan terlesainya Skripsi ini, tidak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Selanjutnya dengan segala kerendahan hati peneliti sampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda (Ramadhan/Alm) dan ibunda (Zubaidah) tercinta yang menjadi sumber penyemangat dalam hidup penulis. Yang tak henti-hentinya terus memberikan doa-doa terbaiknya untuk kesuksesan penulis.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada abang kandung saya Muhammad Yusuf, M.Pd beserta istrinya Rukaiyah, M.Pd yang telah memberikan dukungan moril maupun materi dari pertama masuk ke perguruan tinggi hingga selesai. Kemudian kepada seluruh keluarga besar di Kutacane dan Gayo Lues yang terus memberi motivasi kepada penulis untuk dapat terus melangkah dan menyelesaikan karya tulis ini dan kepada merekalah tulisan ini penulis persembahkan.

Terimakasih juga kepada saudara-saudari tercinta penulis, yakni : Yahya, Ismail, Tawarati, dan terakhir adik kandung saya Rahma Miara karena telah

(8)

v

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada sahabat saya tercinta Rahmazani, dan teman-teman seperjuangan pada program Sarjana UIN Ar-Raniry khususnya Kharinur monasa, Syakinah Santi fitri, Rosmaini, Ulfa Zamayanti, dan seluruh teman-teman Perbandingan Mazhab lainnya, yang saling menguatkan dan saling memotivasi selama perkuliahan. Hingga terselesainya karya ilmiah ini.

Terimakasih juga tak lupa penulis ucapkan terimaksih kepada Teman-teman yang termasuk dalam organisasi kampus, seperti HMJ ( himpunan mahasiswa jurusan ), dan LDK ( lembaga dakwah Kampus ) terutama angkatan siddiq ke-26, dan HMI ( himpunan mahasiswa islam ) yang turut memotivasi dalam penulisan skripsi ini dan teman-teman asrama SCTV, khususnya Fathya Nufus, Indri Lavia Marzaus, Lisa,dan Rofika Indah Sari dan beserta seluruh anak asrama yang se-angkatan dengan penulis yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat ketika penulisan skripsi ni.

Terakhir tidak pula terimaksih penulis ucapkan kepada seluruh penghuni Marcia kos lorong bayeun No. 29, terutama kepada ibuk dan bapak kos yang telah memberikan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk anak kosnya. Khusnya kepada kak Nurlela, fathiya, yuni karlinda,Ramaida dan teman-teman seluruh Marcia kos. Yang telah menyemangati dan mau mendengarkan keluh kesah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan balasan yang tiada tara kepada semua pihak yang telah membantu hingga

(9)

vi

Di akhir tulisan ini, penulis sangat menyadari, bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Amin Yarabbal Alamin.

Penulis

(10)

ix

Transliterasi yang dipakai dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987.

1. Konsonan

No. Arab Latin Ket. No. Arab Latin Ket.

1

ا

Tidak dilambang kan 16

ط

ṭ t dengan titik di bawahnya 2

ب

b 17

ظ

ẓ z dengan titik di bawahnya 3

ت

t 18

ع

‘ 4

ث

ṡ s dengan titik di atasnya 19

غ

G 5

ج

j 20

ف

F 6

ح

ḥ h dengan titik di bawahnya 21

ق

Q 7

خ

kh 22

ك

K 8

د

d 23

ل

L 9

ذ

ż z dengan titik di atasnya 24

م

M 10

ر

r 25

ن

n 11

ز

z 26

و

w 12

س

s 27

ه

h 13

ش

sy 28

ء

’ 14

ص

ṣ s dengan titik di bawahnya 29

ي

y 15

ض

ḍ d dengan titik di bawahnya

(11)

x

a. Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin

Fathah a

Kasrah i

Dammah u

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabunganantara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf

ي

Fatḥahdan ya ai

و

Fatḥahdan wau au

Contoh:

فيك

: kaifa

لوه :

haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda

ي/

ا

Fathah dan alif atau ya ā

ي

Kasrah dan ya ī

(12)

xi

ليق

:

qīla

لوقي

: yaqūlu

4. Ta Marbutah (ة)

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua. a. Ta marbutah (ة) hidup

Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah dan

dammah, transliterasinya adalah t. b. Ta marbutah (ة) mati

Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.

Contoh:

لافطلاا ةضور

: raudah al-atfāl/raudatul atfāl

ةرونملا ةنيدملا

: al-Madīnah al-Munawwarah/

al-Madīnatul Munawwarah

ةحلط

: talhah

Catatan

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan, contoh: Hamad Ibn Sulaiman.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.

3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Bahasa Indonesia tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.

(13)

xi

PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB SATU : PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... 7

I.3. Tujuan Penelitian... 8

I.4. Penjelasan Istilah ... 8

I.5. Kajian Pustaka ... 11

I.6. Metode Penelitian ... 13

I.7. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB DUA : TEORI TENTANG SHALAT 2.1. Pengertian Shalat, syarat dan rukun shalat ... 18

2.2. Syarat- Syarat dan rukun Shalat ... 21

2.3. Hal-hal yang membatalkan shalat ... 39

2.4. Ketetapan waktu-waktu shalat ... 44

2.5. Alasan yang membolehkan meninggalkan shalat ... 46

BAB TIGA : HUKUM MENINGGALKAN SHALAT TANPA UDZUR SYAR’I 3.1. Hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i ... 50

3.2. Dalil dan metode istimbath yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali ... 51

3.2.1. Dalil dan metode istinbat mazhab Hanafi ... 51

3.2.2. Dalil dan metode intinbath mazhab Hanbali ... 57

(14)

xii

4.2. Saran-saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 74 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(15)

1

Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barangsiapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama Islam, dan barangsiapa meninggalkan shalat maka ia meruntuhkan agama (Islam) dan shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat dan shalat tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit.1

Adapun syarat wajib shalat yang pertama ialah Islam, karena shalat tidak wajib bagi orang kafir, kedua berakal, karena shalat tidak wajib untuk orang gila atau yang pingsan, ketiga baligh, karena shalat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, yang keempat telah sampainya dakwah, yaitu seruan (ajakan) Nabi Saw. Hal ini seperti Firman Allah Swt dalam Q.S Al-isra‟: 15.

                                   

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

____________

1

Syaikh Abbas Kararah, Kitab ad-Din wa ash-Shalat Ala Madzahib al-Arba’ah, (Dar Kutub al-A‟rabi, 1952), hlm. 51.

(16)

Adapun syarat kelima bersih dari haid dan nifas, dan yang keenam sehat jasmani dan rohani, karena orang yang tumbuh dalam keadaan tuli dan buta, maka bagi mereka tidak ada kewajiban shalat.2 Sedangkan didalam kitab fiqh lainnya disebutkan bahwa syarat wajib shalat ialah pertama Islam, kedua baligh, sedangkan yang ketiga berakal.3

Dalam kitab suci al-Qur‟an dan Sunnahnya, Islam sangat memperhatikan perintah shalat, bersungguh-sungguh dengan segenap kesungguhan dalam menuntut pelaksanaannya dan mengancam dengan ancaman yang berat bagi yang meninggalkanya. Shalat adalah tiang agama, kunci syurga, sebaik-baik amalan dan yang pertama kali dihisab atas seorang mukmin pada hari kiamat.4 Ibadah Shalat merupakan ibadah yang paling besar dalam mendekatkan para ’abid (hamba) kepada ma’budnya (Allah), dan seteguh shalih (pertumbuhan) yang menghubungkan makhluk manusia dengan khaliq-nya. Sikap dan perilaku orang yang mengaku beragama Islam terhadap Shalat amat beragam. Ada yang shalat, ada yang tidak shalat, ada pula yang kadang-kadang shalat, dan tanpa merasa berdosa tidak mengerjakan shalat.5 Dan shalat secara bahasa berarti ”doa untuk kebaikan” Allah berfirman, dalam Q.S At-Taubah:103.

                                ____________ 2

Syaikh Abdul Qadir ar-Rahbawi, Panduan lengkap Shalat Menurut Empat Mazhab, (terj. Ahmad Yamin) (Jakarta: al-Kautsar, 2007), hlm. 179-181.

3

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, (terj. Abdul Hayye al-Kattani,dkk.,), (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 600-602.

4

Yusuf al-Qardhawi, Ibadah Dalam Islam, cet. 1, (terj. Abdurrahim Ahmad dkk.,) (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005), hlm. 28.

5

(17)

Artinya: ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”

Shalat secara istilah berarti perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ibadah ini di namakan Shalatkarena ia memuat doa.6

Sebelum mengetahui hukum meninggalkan shalat tersebut, adapun yang dimaksudkan pengertian hukum disini adalah hukum menurut para ulama ushul fiqh adalah tuntunan Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Hukum meninggalkan shalat itu sendiri, pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan dari sekian pertanyaan besar yang jawaban itu selalu di perdebatkan oleh ulama terdahulu (salaf) yang sekarang (khalaf). Kewajiban menegakkan shalat berdasarkan ketetapan agama dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula ditaqlid, dan para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i dan salah satu fenomena saat ini ialah mengenai bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat. Adapun hukumnya ialah Syafi‟i, Mālikī, dan Ḥanbāli ; harus di bunuh. Ḥanāfi: ia harus di tahan selamanya atau sampai ia shalat.7

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam Islam, kita mengenal udzur ada dua macam, yaitu udzur syar'i dan udzur tidak syar'i. Adapun yang termasuk

udzur syar’i yang pertama adalah orang yang tertidur, yang kedua wanita haid

____________ 6

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Menjalankan Ibadah Sesuai Tuntunan (terj. Muhammad Afifi dkk.,) (Jakarta: al-Mahira, 2010), hlm. 213.

6

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (terj. Masykur dkk.,) (Jakarta: Lentera, 2005), hlm. 71.

(18)

atau nifas, yang ketiga orang gila, yang keempat orang kafir (bukan Islam), dan yang kelima adalah orang yang pingsan, dan yang terakhir anak-anak yang belum memasuki masa baligh. Adapun yang tidak termasuk udzur tidak syar‟i yang pertama adalah alasan meragukan kesucian pakaian, alasan yang kedua adalah tidak adanya air, alasan yang ketiga adalah menjama‟ shalat dirumah, sedangkan yang kita ketahui bahwa tidak ada jama‟ shalat kalau sudah sampai dirumah, dan yang terakhir yang penulis kaji adalah mengenai alasan dengan bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat.

Adapun alasan mengapa tidak boleh meninggalkan shalat, karena alasan yang pertama adalah karena shalat adalah tiang agama, alasan yang kedua, shalat merupakan rukun Islam yang kedua, alasan yang ketiga, shalat merupakan pembeda antara orang kufur dan syirik, alasan yang keempat shalat merupakan wasiat terakhir Nabi Muhammad Saw, alasan yang kelima karena perintah shalat Allah sendiri yang memerintahkan shalat, alasan yang keenam karena shalat merupakan ibadah yang terakhir, alasan yang ketujuh karena Allah menyuruh kita untuk memelihara shalat dan adapun alasan yang terakhir karena Allah memuji orang yang mengerjakan shalat.8

Para Fuqaha telah sepakat bahwa bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan disertai dengan pengingkaran kewajibannya, sementara dia hidup dilingkungan kaum muslimin yang banyak didirikan masjid dan dikumandangkannya azan, banyak dikunjungi orang baik anak-anak maupun

____________

8

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (terj. Asep Sobari dkk.,) (Jakarta: al-I‟tishom, 2008), hlm. 111-112.

(19)

dewasa maka kaum muslimin sepakat bahwa orang seperti itu adalah kafir.9 Namun yang ingin penulis kaji ialah mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa alasan syar‟i.

Berkenaan dengan hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar’i, sibuk mengurus keduniaan, mengikuti hawa nafsunya dan tergoda oleh tipu daya syaitan. Dan yang berkenaan dengan kasus ini, para ulama berbeda pendapat, dan penulis hanya mengambil dari dua perbedaan yang paling mendasar dari para ulama diantaranya ialah apakah orang tersebut di sebut kafir atau hanya fasiq

belaka. Maẓhab Hanāfi berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas ialah fasiq.10 Lain halnya dengan mazhab Ḥanbāli, dia menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat tersebut menjadi kafir dan keluar dari agama, dan tidak ada hukuman yang pantas baginya kecuali hukuman mati.11

Namun problematika ummat Islam kita sekarang ini atau realitanya didalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya kita bisa menyaksikan sendiri fenomena yang terjadi yaitu mengenai bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat ataupun meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i, adapun pengertian malas disini ialah merupakan ketidaksanggupan seseorang bertekun dalam suatu kewajiban.12 serta tidak sedikit pula diantara mereka atau mungkin kita sendiri yang menghiraukan hal tersebut, meninggalkan shalat dengan mudahnya tanpa takut sama sekali akan dosa besar menimpanya, apalagi pengaruh buruk teknologi

____________ 9

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, (terj. Abdul Rosyad Shiddiq) (Jakarta: al-Kautsar, 2003), hlm. 118.

10

Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Hanafy al-Hashkafiy,

ad-Durru al- Mukhtar, (Beirut: Dar al-kutub, 2002), hlm. 52. 11

Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub „Ilmiyah, 1997), hlm. 298.

12Hamzah Ya‟cub,

(20)

di era post modern saat ini yang paling berpengaruh yaitu HP, hampir setiap lapisan masyarakat memiliki benda tersebut dan sudah menjadi kebutuhan yang paling utama dikehidupan teknologi yang serba canggih dan modern ini, dan merupakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bermalas-malasan, sehingga manusia melalaikan kewajibannya sebagai muslim, dalam melaksankan ibadah yang wajib atau bahkan meninggalkannya, yaitu terutama pada shalat lima waktu.13

Sebagai umat Muslim khususnya para pemuda penerus perjuangan Islam kedepannya, kita semua mesti sadar akan fenomena yang terjadi dimasa kita ini. Bergaul dengan orang-orang shalih adalah jalan yang dapat kita tempuh untuk memperbaiki kekeliruan kita terhadap kedudukan shalat selama ini. Sebagaimana hal yang dapat membentuk pola perilaku kehidupan kita melalui pergaulan itu sendiri. Termaksud halnya dengan pergaulan yang membengkok, pergaulan yang salah tersebut dapat menjerumuskan siapa saja dalam kezaliman. Adapun nilai penting untuk mengkaji penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran bahayanya dalam meninggalkan shalat, karena masih banyak dalam masyarakat yang penulis dapati, misalnya meremehkan mengenai kedudukan shalat dan bahkan bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat, sehingga tujuan penelitian ini adalah selain untuk bahan pengetahuan dan sebagai bahan pertimbangan ataupun renungan tidak bolehnya meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i tersebut.

____________ 13

(21)

Dari pembahasan deskripsi latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas mengenai terjadinya pendapat mengenai hukum meninggalkan shalat, yaitu perbedaan pendapat yang paling mendasar antara Imam Abu Ḥanifah yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat itu tergolong sebagai orang yang fasiq, sedangkan Imam Ḥanbāli mengatakan orang yang meninggalkan shalat tergolong orang kafir dan keluar dari agama, dan dalam penelitian ini membahas masalah mengenai penyebutan yang pantas di sebutkan kepada orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i apakah bisa di katakan fasiq ataupun kafir? Karena itulah terjadi adanya perbedaan antara maẓhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dan menuangkannya dalam satu karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “HUKUM

MENINGGALKAN SHALAT TANPA UDZUR SYAR‟I (STUDI

PERBANDINGAN MAẒHAB ḤANĀFI DAN MAẒHAB ḤANBĀLI)”.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan dua pertanyaan penelitian yang menjadi poin penting dalam pembahasan karya tulis ilmiah ini.

1. Bagaimana hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i menurut mazhab Ḥanāfi dan mazhab Ḥanbāli ?

2. Apa dalil dan metode istinbath mazhab Ḥanāfi dan mazhab Ḥanbāli mengenai meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i?

(22)

I.3. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian merupakan target yang hendak di capai melalui serangkaian aktifitas penelitian, karena setiap penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu yang sesuai dengan permasalahannya, begitu pula penelitian ini. Rincian tujuan penelitian ini:

1. Untuk mengetahui hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i menurut maẓhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli.

2. Untuk mengetahui dalil dan metode istinbath maẓhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli mengenai meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i.

I.4. Penjelasan istilah

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dan untuk menghindari multi tafsir dalam memahami istilah yang digunakan dalam karya tulis ini atau terkait penelitian ini, berikut penulis paparkan beberapa penjelasan istilah-istilah yang penting di jelaskan sebagai berikut:

I.4.1. Hukum

Kata al-Hukm berasal dari bahasa arab yang arti lughawinya ialah menetapkan sesuatu pada sesuatu, meniadakan ketetapan itu.14 Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Dan menurut

terminology ushul fiqh, hukum berarti “khitab Allah yang mengatur amal perbuatan mukallaf, baik iqhtida’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk

____________ 14

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi dan Mijaz Iskandar, Pengantar Fiqh Muqaran, (Banda Aceh: Syiah Kuala Press, 1991), hlm. 5.

(23)

memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang)”.15

Sedangkan hukum yang dimaksud disini adalah hukum takhlifi, yaitu kitab syar‟i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya, oleh Ushuliyun, disebut “hukum takhlifi” (yang berhubungan dengan pemberian beban). Hukum takhlifi itu ada lima macam yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.16 Hukum menurut para ulama ushul fiqh

adalah tuntunan Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf.17 I.4.2. Meninggalkan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa meninggalkan itu berarti berlalu atau berpaling dari suatu tempat ke tempat yang lain, dalam artian tidak melaksanakan kewajiban syari‟at, tetapi yang dimaksudkan disini adalah dalam meninggalkan shalat.18

I.4.3. Shalat

Dalam istilah Fiqh, shalat adalah ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan khusus, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.19 Dan dalam

____________

15

Satria Efendi, ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.

16

Mukhtar Yahya & Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,

Cet.1, (Bandung: al-Ma‟arif, 1986), hlm. 124-125. 17

Abuya tengku Djamaluddin wali al-Khalidy, Fiqh Shalat Menurut Mazhab Imam Syafi’i, (Banda Aceh: Dayah Darussalam, 2015), hlm. 1.

18

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1278.

20

Abdul Qadir ar-rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Mazhab, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 179.

(24)

fiqh kesehatan juga menyebutkan bahwa shalat menurut bahasa ialah berdoa atau memohon kebajikan dan pujian.20

I.4.4 Udzur Syar‟i

Udzur Syar’i terdiri dari dua kata yaitu udzur dan Syar’i, Adapun udzur adalah halangan atau rintangan yaitu halangan yang menyebabkan seseorang diberi keringanan dalam menunaikan kewajibannya kepada Allah swt. Bagi mereka yang berhalangan, karena dalam perjalanan atau sakit dan sebagainya, diberikan kemudahan dalam menunaikan ibadah seperti shalat, puasa, haji dsb.21 Sedangkan syar‟i adalah berdasarkan syariat (hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt), sedangkan yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang menurut hukum diperbolehkan tidak melaksanakan sesuatu yang seharusnya dilakukan atau di bolehkan melaksanakan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, atau ketentuan disyari‟atkan oleh Allah sebagai keringanan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.22

I.4.5. Maẓhab Ḥanāfi

Imam Abu Hānifah, pendiri maẓhab Ḥanāfi adalah Abu Hānifah an-Nu‟man bin Tsabit bin Zufi at-Tamimi, beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau juga sebagai orang

____________

20

Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 103.

21

Nogarsyah Moede Gayo, Kamus Istilah Agama Islam (KIAI), (Jakarta: Progres, 2004),

hlm. 497.

22

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 2010), hlm. 151.

(25)

yang tekun dalam mempelajari ilmu, seperti ilmu fiqh, ahli zuhud dan hukum Islam lainnya. Pemikiran beliau lebih kepada ra‟yi atau rasio. 23

I.4.6. Maẓhab Ḥanbāli

Imam Ahmad Ḥanbāli adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani. Beliau lahir di Baghdad, dan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan, dan beliau memulai dengan belajar menghafal al-Qur‟an, kemudian belajar Bahasa Arab, Hadist, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para tabi‟in. Dan beliau pergi ke Basrah dan betemu dengan Imam Syafi‟i, dan kemudian menjadi gurunya, dan beliau banyak mempelajari dan meriwayatkan hadist dan beliau tidak mengambil hadist kecuali hadist-hadist yang jelas shahihnya dan berhasil mengarang kitab hadist, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbali, dan pada akhirnya maẓhab Ḥanbāli berkembang luas dan menjadi salah satu maẓhab yang menjadi panutan kaum muslimin. 24

I.5. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada pembahasan ini pada dasarnya adalah untuk mendapat gambaran hubungan topik yang akan di bahas/teliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin pernah di teliti oleh peneliti lain sebelumnya. Di samping itu, juga buku-buku atau kitab-kitab yang membahas tentang penelitian ini, sehingga dalam penulisan skripsi ini tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.

____________ 23

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. XVIII, (Jakarta: Lentera, 2006), hlm. XXV.

24

(26)

Menurut penelusuran yang telah peneliti lakukan, tidak ada kajian yang membahas secara detail dan lebih spesifik yang mengarah kepada hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i studi perbandingan mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Namun ada dua tulisan yang berkaitan dengan hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i (studi perbandingan mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali). Tulisan yang berkaitan dengan ini adalah skripsi yang di tulis oleh Maryamah, mahasiswa fakultas syari‟ah dan hukum, UIN Ar-Raniry yang berjudul hukum menjama‟ shalat bagi pengantin (studi komparatif dalil fiqh mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali Tahun 2016.

Dalam skripsi ini, Maryamah mengkaji mengenai hukum menjama‟ shalat bagi pengantin. Kajian tersebut lebih menekankan kepada hukum menjama‟ shalat bagi pengantin, yaitu mengenai hukum menjama‟ shalat bagi pengantin, dimana didalamya ada kebolehan untuk menjama‟ shalat karena adanya udzur syar‟i atau bisa dikatakan karena ada alasan yang kemungkinan masih bisa ditoleransi dalam hukum menjama‟ shalat tersebut, menurut perspektif mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Maryamah lebih menekankan kepada hukum menjama‟ shalat bukan karena meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i, karena didalam skripsi tersebut lebih kepada hukum menjama‟ shalat karena adanya alasan syar‟i.25

Kemudian skripsi yang ditulis oleh Alwi Husein dengan judul “Menjama’

Shalat tanpa Halangan, boleh atau tidak”. Penulis melihat pembahasan skripsi ini yaitu mencakup tentang rasionalisasi kemudahan dalam Islam, filsafat shalat dan

____________

25

Maryamah, Hukum Menjama’ Shalat Bagi Pengantin, (Banda Aceh: Pustaka Syariah, 2016).

(27)

keutamaannya, kemudian menjama‟ shalat dengan atau tanpa udzur menurut pendapat ulama mazhab dan pendapat para ahli hadist serta hadis-hadist yang diriwayatkan tentang jama‟ shalat, skripsi ini juga membahas tentang ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, dan hanya menyinggung sedikit mengenai ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat saja, bukan kajian seperti yang penulis kaji mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i.26

I.6. Metode Penelitian

Dalam melakukan setiap penelitian, maka tidak terlepas dari langkah-langkah penelitian untuk mempermudah pelaksanaannya. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Dan metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu.27 Begitu juga dengan penelitian ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut.

I.6.1 Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research). Data yang diperoleh dari bahan pustaka dinamakan data sekunder.28 Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dinamakan penelitian normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka

____________ 26

Alwi Husein, Menjama’ tanpa Halangan, boleh atau tidak?, (Jakarta: Zahra

Publishing House, 2012).

27

Sutrisno Hadi, Metode Penelitian, (Surakarta: UNS Press, 1989), hlm. 4. 28

(28)

merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian sampai kepada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah.29

Dan Jenis penelitian yang penulis lakukan dalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji dan menelaah buku dan kitab yang ditulis Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Hanafy al-Hashkafiy, ad-Durru al-Mukhtar, dari maẓhab Ḥanāfi,

kemudian buku yang ditulis oleh Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Qudamah,

al-Mughni, dari mazhab Hanbali yang berkaitan dengan pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i.

I.6.2 Pengumpulan data

Karena kajian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber data utama (primer) yang digunakan adalah al-Qur‟an, Hadist dan Fiqh. Sedangkan sumber bantuan atau tambahan (sekunder) yang digunakan adalah buku-buku dan kajian-kajian ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.Menurut Ahli kualitatif, semakin banyak metode pengumpulan data dan semakin konsisten menggunakan penerapannya, maka semakin mudah bagi kita untuk menganalisanya. 30

Oleh karena itu untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, bahwa data penelitian dihimpun atau dikumpulkan melalui dua sumber yaitu:

I.6.2.1 Sumber primer (pustaka perimer) digali dari obyek pengkajian utama penulis dalam skripsi ini yaitu buku karangan Muhammad bin Ali bin

____________

29

Soerjono soekanto, dkk., Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 13-14.

30

(29)

Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Hanafy al-Hashkafiy, ad-Durru al-Mukhtar,

dari mazhab Hanafi, kemudian buku yang ditulis oleh Muhammad Abdullah bin

Muhammad bin Qudamah, al-Mughni, dari maẓhab Ḥanbāli yang berkaitan dengan pembahasan hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i.

I.6.2.2 Sumber sekunder (pustaka sekunder) diperoleh dari literatur yang memberikan informasi mengenai pandangan maẓhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli yang membahas tentang hukum meninggalkan shalat karena malas/tanpa ada udzur syar‟i baik secara langsung atau tidak langsung, dan juga beberapa buku dari Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya “fiqh lima mazhab” yang ditulis oleh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, penerjemah Abdullah Zaki Alkaf “Fiqih Empat MazhabMuhammad bin Shalih aL-Utsaimin, penerjemah Imam Fauzi, “Halal Haram Dalam Islam, dan buku

Yusuf al-Qardawi”, Problematika Islam Masa Kini, penerjemah: Tarmana Ahmad Qasim, dkk, kemudian buku-buku fiqh yang lainnya yang membahas mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i.

I.6.3 Analisis data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah fikih muqaran.Yang dimaksud fikih muqaran adalah studi pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu permasalahan dalam disiplin ilmu fikih dengan tetap bersandar pada dalil-dalil syari‟at. Pada penelitian ini akan dipaparkan pendapat-pendapat yang berbeda antara mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i. Diikuti dengan penjelasan yang ada dalam masing-masing pendapat, mencari keselarasan sehingga dapat diketahui

(30)

yang mana pendapat yang lebih kuat, atau mencari pendapat baru dengan menemukan dalil yang lebih kuat dari sebelumnya. Bidang kajian fiqh muqaran adalah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat dua pendapat atau lebih, sedangkan masalah fiqh yang terjadi kesepakatan tidak termasuk dalam bidang kajian fiqh muqaran.31

I.6.4 Penyajian data

Mengenai penyajian data, penulis mengacu pada buku panduan Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri(UIN) Ar-Raniry, Tahun 2014 dan Pedoman Transliterasi Arab-latin, UIN Ar-Raniry Tahun 2014. Sedangkan terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an di kutip dari Al-Qur’an dan terjemahannya dari Departement Agama Republik Indonesia yang diterbitkan Tahun 2004.

I.7. Sistematika pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan, maka penelitian ini diklafikasikan menjadi beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang mendeskripsikan kerangka kerja pengkajian dan pembahasan secara global, berisi uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, penjelasan istilah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, pembahasan tentang hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i secara umum, yang ke dalam sub tema pembahasan, yaitu masing-masing sub tema terdiri dari pengertian shalat, syarat dan rukun shalat,

ketetapan-____________ 31

(31)

ketetapan waktu-waktu shalat serta alasan yang membolehkan meninggalkan shalat, namun sebelum terfokus kepada hukum meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar‟i dari pandangan maẓhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli maka terlebih dahulu harus mengetahui gambaran mengenai shalat secara umum.

Bab ketiga, merupakan bab yang merupakan pembahasan pokok yang menjelaskan tentang hukum meninggalkan hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i (studi perbandingan mazhab Ḥanāfi dan maẓhab Ḥanbāli).

Bab keempat, merupakan penutup karena berkedudukan sebagai bab terakhir, maka penyusun akan mengisinya dengan kesimpulan dari seluruh isi tulisan yang menjadi jawaban dari pokok masalah yang dimunculkan dan juga saran-saran ataupun masukan atas pembahasan yang diungkapkan pada bab-bab sebelumnya. Penalaran ini juga digunakan dalam menganalisa tentang hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i dengan dikaitkan pada dalil-dalil atau hadist-hadist yang digunakan, sehingga bisa dicapai kesimpulan.

(32)

18

2.1. Pengertian Shalat dan Dasar Hukum Shalat 2.1.1. Pengertian Shalat

Untuk memahami lebih jauh mengenai hukum meninggalkan shalat, terlebih dahulu penulis menguraikan defenisi shalat, barulah selanjutnya akan dijelaskan mengenai hukum meninggalkan shalat tanpa udzur syar‟i.

Kata shalat berarti doa memohon kebajikan dan pujian.1 Secara lughawi

kata shalat (ةلاىص) mengandung beberapa arti; yang arti beragam itu dapat ditemukan contohnya dalam al-Qur‟an. Ada yang berarti doa”, sebagaimana dalam Q.S. At-taubah: 103:                                 Artinya:“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di

waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.

Sedangkan menurut istilah, shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan membaca takbir dan diakhiri dengan mengucapkan salam.2 Senada halnya dengan buku fiqh yang

____________

1

Muhibbuthabary, Fiqh Amal Islami Teoritis dan Praktis, (Bandung: Cita Pustaka Perintis, 2012), hlm. 16.

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (terj. Asep Sobari, dkk.,) (Jakarta: al-I‟tishom, 2008), hlm. 109.

(33)

lainnya menyebutkan bahwa shalat adalah shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.3

Berdasarkan defenisi shalat yang telah diuraikan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa shalat adalah serangkaian perbuatan yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam dan juga mengikuti syarat-syaratnya, yang terdiri atas sehari semalam lima waktu.4

2.1.2. Dalil dan Hukum Mendirikan Shalat dari Al-Qur‟an, As-Sunnah Dan Ijma‟

Hukum shalat adalah wajib. Hal ini sesuai dengan al-Qur‟an, as-sunnah dan ijma‟ para ulama.

Allah berfirman:                                  

Artinya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat”. (Q.S. Al-Bayyinah: 5).                        ____________ 3

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.,) (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 541.

4

Sholechul Aziz, Tuntunan Shalat lengkap dan Asmaul Husna, (Jakarta: Kunci Komunikasi, 2013), hlm. 23.

(34)

Artinnya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S.Al-Hajj: 77).                                                                              

Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (Q.S. Al-Hajj: 78).

Adapun dari as-sunnah adalah sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

ِْلَا

َ َاَ ا َ ِيَْتُ شَا َةََاَ ا َ ْمِيُشَا ِهُ ا ُ ْلُسْلَر ًا اََُحَ ا َاَا ُهُ ا اَ ِا و ِا ََ ْ َا َ َدْهَش ْ َا ُ ََْسْل

َ َ اَََر َ ْلََُشَا َة

)ب طلخا نبا رَع نع لسَ هاار( .ًَْمِبَسْل ِوْمَ ِا َتْعَطَتْسْل ِ ِا َتْمَ بْ ا اجُِتَُا

5

Artinya: “Agama Islam itu diegakkan atas lima pondasi; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berangkat haji ke baitullah bagi yang mampu”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Begitu pula semua kaum muslimin telah sepakat bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu kepada mereka dalam sehari semalam. Begitu pula

____________

5

(35)

semua kaum muslimin (ijma‟) telah sepakat bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu kepada mereka dalam sehari semalam.6

1.2. Syarat-Syarat Shalat dan Rukun Shalat

Sebagai suatu ibadah, Shalat dinilai sah dan sempurna apabila shalat tersebut di laksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun dan hal-hal yang disunnahkan serta terlepas dari hal-hal-hal-hal yang membatalkanya.

2.2.1. Syarat-Syarat Shalat

Ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan melaksanakan shalat, yaitu syarat wajibnya shalat dan syarat sahnya shalat, yang dapat penulis uraikan sebagai berikut. Syarat-syarat shalat adalah sesuatu hal yang harus dipenuhi sebelum kita melaksanakan shalat. Syarat shalat di bagi menjadi 2 yaitu:

a. Syarat wajib shalat adalah syarat untuk melakukan shalat, seseorang yang telah memenuhi syarat itu wajib melaksanakan shalat, sebaliknya, seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib itu, tidak wajib melakukan shalat, syarat wajib itu ada tiga, yaitu muslim, baligh, dan berakal. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Muslim (orang Islam)

Shalat itu diwajibkan atas setiap orang Islam, yaitu orang yang telah mengaku atau menyatakan dirinya Islam, baik laki-laki maupun perempuan, kewajiban yang diwajibkan atas setiap orang disebut wajib aini (fardhu a‟in),

____________

6

(36)

dengan demikian shalat tidak diwajibkan atas orang-orang kafir, dan seseorang yang baru saja memeluk agama Islam dinyatakan wajib atasnya untuk melakukan shalat segera setelah mengucapkan dua kalimah syahadah.7

2. Baligh

Orang-orang yang sudah baligh diwajibkan untuk melakukan shalat, yang dimaksud dengan baligh disini ialah orang yang telah mencapai umur tertentu dan telah sampai umurnya untuk menunaikan semua kewajiban agama, seperti shalat, puasa, dll, seseorang yang sudah mencapai balig ialah yang sudah mencapai umur 9 tahun, laki-laki yang mencapai umur baligh biasanya di tandai dengan mimpi, sedangkan umur balig bagi perempuan ditandai dengan datangnya menstruasi, batasan baligh ini menunjukkan bahwa balita atau anak-anak yang belum mencapai umur baligh belum diwajibkan untuk melakukan shalat.8

Ulama sepakat bahwa anak-anak yang belum mencapai umur baligh, yang berumur tujuh tahun, baik laki-laki maupun perempuan diperintahkan atau diajak untuk melakukan shalat dengan tujuan untuk membiasakan mereka, sedangkan anak yang sudah berumur sepuluh tahun sudah diwajibkan atas mereka, dan bahkan dapat dipaksa untuk melakukan shalat.

3. Berakal

Orang-orang yang berakal diwajibkan untuk melakukan shalat, yang berakal yang dimaksud disini adalah orang-orang yang akalnya sehat dan waras, (orang-orang yang akalnya tidak waras/gila) tidak diwajibkan untuk melakukan

____________

7

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.,) (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 600.

8

Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam

(37)

shalat. Orang-orang yang mabuk, karena hilang akalnya, tidak diwajibkan untuk melakukan shalat.9

b.Syarat sah shalat

Syarat sahnya shalat, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang, sehingga shalat yang dilakukannya dipandang sah menurut hukum (syari‟at), seseorang yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat itu shalatnya dinyatakan tidak sah,

Syarat sahnya shalat diantaranya : 1. Niat

Niat adalah salah satu syarat shalat menurut pendapat ulama Ḥanāfi dan Ḥanbāli, begitu juga menurut pendapat yang rajih dikalangan maẓhab Mālikī. Adapun menurut pendapat ulama Syafi‟i dan sebagian ulama Mālikī. Niat adalah salah satu dari fardhu shalat atau rukunnya, karena ia diwajibkan pada salah satu bagian shalat, yaitu pada awal shalat bukan sepanjang waktu ketika sedang mendirikan shalat. Oleh karena itu menurut mereka niat adalah salah satu dari rukun sebagian takbir dan ruku‟.

Para ulama sepakat bahwa niat adalah wajib dalam mengerjakan shalat. Niat dilakukan untuk membedakan antara sesuatu yang dimaksudkan untuk ibadah dan sesuatu yang hanya adat (kebiasaan), dan dimaksudkan untuk mecapai keikhlasan kepada Allah Swt dalam mengerjakannya. Karena shalat adalah ibadah yang harus berupa keikhlasan amalan yang sempurna hanya

____________ 9

(38)

karena Allah Swt. Hal ini berdasarkan firman Allah Sw. (Q.S. Al-Bayyinah: 5).                                  

Artinnya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah :5).

2. Mengetahui masuknya waktu shalat

Tidak sah shalat yang dilakukan tanpa mengetahui waktunya secara yakin atau secara zhann (dugaan) yang didasarkan atas ijtihad. Oleh sebab itu, siapa saja yang melakukan shalat sedangkan dia tidak mengetahui waktunya, maka shalatnya tidak sah meskipun dilakukan dalam waktunya. Karena, ibadah shalat harus dilakukan dengan keyakinan dan kepastian dan apabila masuknya waktu shalat diragukan, maka shalat yang dilakukan pada waktu itu tidak sah. Karena, keraguan berbeda dengan keyakinan yang pasti.

Dalilnya adalah firman Allah Swt, (Q.S. An-nisa: 103).

                                

Artinya : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itum(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang

(39)

ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(Q.S. An-nisa: 103).”

3. Suci dari dua hadas

Suci dari dua hadas maksudnya ialah hadas kecil maupun besar (Junub, haid dan nifas), adalah dengan cara berwudhu, mandi dan tayammum, hal ini berdasarkan firman Allah Swt, (Q.S. Al-Maidah: 6).

                                                                                                    

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Maidah: 6).

Bersuci dari hadast adalah syarat yang harus dipenuhi setiap melakukan shalat, baik shalat tersebut dalah shalat fardhu ataupun shalat sunnah.

4. Suci dari najis yang berada pada pakaian, tubuh, dan tempat shalat.

Untuk melakukan shalat, seseorang harus suci dari najis (kotoran,tahi, kencing, darah, dll), baik najis yang melekat pada badan, pada pakaian, maupun pada tempat shalat, seseorang yang melakukan shalat, padahal pada badannya terdapat najis, atau pada pakaiannya, atau pada tempat shalatnya, maka shalatnya

(40)

tidak sah, oleh sebab itu sebelum melakukan shalat, maka kesucian badan dari segala najis harus dijaga. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt, (Q.S. Al-Muddatsir: 4).      Artinnya: “ Dan bersihkanlah pakaianmu .” (Q.S. Al-Muddatsir : 4).

5. Menutup aurat

Aurat, yaitu sesuatu atau bagian-bagian dari badan yang harus ditutup dan diharamkan untuk dilihat.Aurat laki-laki ialah sesuatu yang terdapat antara pusat dan lutut, aurat perempuan adalah seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan.Shalat yang dilakukan dalam keadaan tertutup aurat, aurat itu tidak hanya harus ditutup dalam keadaan terang atau dilihat orang, tetapi juga harus ditutup ketika melakukan ditempat tersembunyi, ditempat tertutup maupun ditempat yang gelap.Pendeknya, shalat dalam keadaan apapun, harus dalam keadaan tertutup aurat.Menutup aurat wajib hukumnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat, kecuali ada keperluan untuk mandi, membuang air, atau istinja‟. Hal ini

berdasarkan firman Allah Swt, (Q.S. Al-A‟raf: 31).

                          

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)

(41)

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”(Q.S. Al-A‟raf : 31).

6. Menghadap kiblat

Para puqaha telah sepakat untuk mengatakan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat.

Hal ini berdasarkan firman Allah Swt, (Q.S. Al-Baqarah: 149-150).

                                                                                     

Artinya: “ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah

wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Baqarah: 149-15).

Kondisi ini dikecualikan dalam dua keadaan, yaitu dalam ketakutan yang sangat dan ketika shalat sunnah diatas kendaraan bagi musafir, ulama Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa syarat menghadap kiblat hanya ditetapkan ketika keadaan aman dari musuh dan dari binatang buas, dan juga apabila memang mampu dilakukan. Oleh sebab itu, tidak diwajibkan menghadap kiblat ketika berada dalam ketakutan dan tidak ada kemampuan untuk melakukannya.

(42)

2.2.2 . Rukun Shalat

2.2.2.1. Rukun-rukun Shalat Secara Umum

Sebelum berlanjut kepada pembahasan rukun-rukun shalat.Terdapat sebuah hadits yang menerangkan tatacara shalat Rasulullah ﷺ:

))

ِهُ ا ِ ْلُسْلَر ِة ََََِب ْ ُكََُلْعَأ َنَأ : ْمَُحُ ْلُ بَأ َ َق

ِهُ ا ُ ْلُسْلَر َ ََ : َ َق ْضِرْع َف : اْلُ َق

ْظَع ُّلَُ ُّرِيُي اتََّح ُرِّ بَكُي اُثُ ِوْمَ بِكْنََ ََِِبِ ْيِذ َُيُ اتََّح ِوْيَ َي ُعَفْرَ ي ِة ََاَ ا َلَِإ َ َق اَذِإ

ِِْ ٍ

ْرَ ي اُثُ ِوْمَ بِكْنََ ََِِبِ ْيِذ َُيُ اتََّح ِوْيَ َي ُعَفْرَ مَ ف ُرِّ بَكُي اُثُ ُأَرْيَ ي اُثُ ًَ ِ َتْعَُ ِوِعِضْلََ

ىَلَع ِوْمَ تَحاَر ُعَاَي َا ُعَف

ََِ ُهُ ا َعَِسَ ُ ْلُيَ ي َا ُوَسْلْأَر ُعَفْرَ ي اُثُ ُوُعِنْيُ ي ََ َا ُوَسْلْأَر ُبِّلََُي َََف ُ ِ َتْعَ ي اُثُ ِوْمَ تَبَُْر

ِوْيَ َي ُعَفْرَ ي اُثُ ُهَ َِحُ ْن

ْلُيَ ي اُثُ ًَ ِ َتْعَُ ِوْمَ بِكْنََ ََِِبِ ْيِذ َُيُ اتََّح

اُثُ ِوْمَ بْنَج ْنَع ِوْيَ َي ِِْ َجُمَ ف ِضْرَلأْا َلَِإ ْيِلْدَ ي اُثُ ُرَ بََْأ ُهُ ا ُ

ََْي اُثُ ِوِعِضْلََ َلَِإ ٍ ْظَع ُّلَُ ُعِجْرَ ي اتََّح َدْ مَلَع ُ ُعْيَ مَ ف ىَرْسُم ْا ُوَلْجِر ِْنِْثُ يَا ُوَسْلْأَر ُعَفْرَ ي

ىَرُْْلأْا ِِْ ُعَن

اُثُ َكِ ٰذ لْثَِ

ََاَ ا ِح َتِتْفا َ ْنِع َرا بََ ََََ ِوْمَ بِكْنََ ََِِبِ ْيِذ َُيُ اتََّح ِوْيَ َي ُعَفْرَ مَ ف ِةَعَْار ا َنَِ َ َق اَذِإ

اُثُ ِة

ْجِر َراَْأ ُ ْمِلْسات ا َدْ مِف ِْتِا ا ُةَ ْجاس ا ِتَن ََ اَذِإ اتََّح ِوِش َََص ِةامِيَب ِِْ َكِ ٰذ ُلَعْفَ ي

ٍَِّرَلَ تَُ َ َعَ قَا ىَرْسُم ْا ُوَل

))َ الَسْل َا ِوْمَلَع ُهُ ا ىالَص ْيِّلََُي َ ََ اَذَكٰى َتْقَ َص اْلُ َق ِرَسْيَلأْا ِوِّيِش ىَلَع

10

Artinya:

“Abu Humaid mengatakan: “Diantara kalian akulah orang yang paling tahu tentang shalatnya Rasulullah ﷺ“. Mereka yang hadir mengatakan: “Katakanlah!”. Abu Humaid pun berkata: “Rasulullah apabila akan shalat beliau berdiri dan mengangkatkan tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian bertakbir sampai seluruh persendiannya berada pada tempatnya sementara tubuhnya tetapa berdiri tegak. Kemudian beliau membaca ayat Al Qur‟an dan diteruskan bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya. Kemudian beliau ruku‟ dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke dua lututnya, punggungnya tegak lurus, tidak mengangkat atau menundukkan kepalanya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan „sami‟allahu liman hamidah‟ dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya dan berdiri tegak. Kemudian beliau mengucapkan „Allahu Akbar‟. Kemudian beliau menurunkan badannya ke tanah, kedua tangannya menjauhi lambungnya. ____________

10

As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud, (terj: Muhammad Ghazali dkk.,), (Jakarta: Penerbit al-mahira, 2013), hlm. 730.

(43)

Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan menekuk kaki kirinya serta duduk diatasnya sampai semua persendiannya berada pada tempatnya. Kemudian beliau sujud yang kedua seperti sujud sebelumnya. Kemudian beliau bangkit dari sujud dan berdiri serta mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya seperti bertakbir ketika awal shalat. Beliau melakukan seperti itu sampai selesailah seluruh rakaat yang beliau kerjakan hingga melakukan sujud terakhir. Saat itulah beliau menjulurkan kaki kirinya ke kanan dari tempat duduknya. Beliau duduk tawarruk dengan pinggul ruku‟”.”mendengar penuturan Abu Humaid, mereka mengatakan: “engkau benar”. Demikianlah Rasulullah ﷺmelakukan shalat.“ (HR. Imam Malik, Abu Daud dan Tirmidzi).

Para fuqaha maẓhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalat. Maẓhab Ḥanāfi menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 6, yaitu

takbiratul Ihram, berdiri, membaca al-Qur‟an, ruku‟, sujud, duduk di akhir shalat selama tasyahud.

Dalam masalah ini maẓhab Ḥanāfi memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalat yang berbeda dengan rukun-rukun shalat. Pengertian wajib menurut maẓhab ini adalah segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-wajib shalat berdosa namun shalatnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalatnya. Wajib-wajib shalat menurut mazhab Hanafi ada delapan belas sebagai berikut:

1. Membaca takbir ketika permulaan shalat . 2. Membaca Surat al-Fatihah.

3. Membaca surat atau ayat al-Qur‟an setelah membaca al-Fatihah. 4. Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu. 5. Mendahulukan bacaan surat al-Fatihah daripada surat yang lain.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Rincian hasilnya, bahwa Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukum nikah paksa dari seorang bapak bagi gadis kecil dan janda yang belum dewasa adalah sah. Jika gadis dan janda

berdasarkan kitab Al- Uum karya Imam Syafi‟I tidak boleh bagi seseorang menjamakkan antara dua shalat, pada waktu shalat yang pertama daripada keduanya selain

Tinjauan hukum Islam terhadap pendapat ulama komisi fatwa MUI Kota Medan terhadap hukum meninggalkan shalat berjamaah karena menjaga anak-anak agar tidak ribut

Pendapat beliau tentang hukum menyentuh mushaf adalah beliau mengutip pendapat para ulama dan sepakat dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa Al-Kitab dalam ayat

Tentang non-muslim tidak dapat menjadi ahli waris dari seorang Muslim, maka ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan sejalan dengan ketentuan QS. Al-Maidah ayat 5

disertai dengan ucapan baik dengan jelas maupun sindiran melalui ijab qabul. Maka ia berpebdapat bahwa jual beli system Al-Muathoh merupakan jual beli yang tidak