• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecelakaan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor 2.1.1. Definisi

a. Kecelakaan

Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera (Heinrich, 1980 dikutip dari Jeffry, 2012).

b. Lalu Lintas

Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan (UU.14, Tahun 1992).

c. Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu (UU.14, Tahun 1992).

d. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda (UU.22, Tahun 2009).

e. Sepeda Motor

Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah (UU.22, Tahun 2009).

2.1.2. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas

(2)

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

2.1.3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih

lanjut kecelakaan dapat dicegah (Suma’mur P.K., 2009). Menurut Warpani (2002)

yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, besarnya persentase

masing-masing faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia yaitu faktor manusia sebesar 93,52%, faktor kendaraan sebesar 2,76%, faktor jalan 3,23%, dan faktor lingkungan sebesar 0,49%.

1. Faktor Manusia

Faktor manusia seperti pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi. Faktor manusia ini menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.

a) Faktor pengemudi

Faktor pengemudi dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menentukan kecelakaan lalu lintas (KLL). Faktor pengemudi ditemukan memberikan kontribusi 75-80% terhadap KLL. Faktor manusia yang berada dibelakang kemudi ini memegang peranan penting. Karakteristik pengemudi berkaitan dengan :

 Keterampilan mengemudi

 Gangguan kesehatan (mabuk, ngantuk, letih)

(3)

Terjadinya KLL di jalan juga dipengaruhi oleh faktor usia pengemudi. Analisis data yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menunjukkan bahwa pengemudi berusia 16-30 tahun adalah penyebab terbesar KLL di jalan (55,99%). Hal ini menunjukkan bahwa usia tersebut rawan akan KLL. Kelompok pengemudi berusia 21 – 25 tahun adalah penyebab terbesar kecelakaan dibanding dengan kelompok usia lainnya, sedangkan pada kelompok usia 26 – 30 tahun, terdapat penurunan yang cukup tajam. Kelompok usia diatas 40 tahun menjadi penyebab terbesar yang relatif paling kecil seiring dengan kematangan dan tingkat kedisiplinan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berusia muda.

Tabel 1 Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas jalan

KELOMPOK USIA % Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Dept. Perhubungan, 1996

Penelitian tentang penyebab kecelakaan yang melibatkan pengemudi yang

dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 1996 menemukan bahwa kebanyakan pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan adalah mereka yang berpendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SD 13,13%; SLP 25%; SLA 40,52%). Fakta ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara usia dan tingkat pendidikan dengan KLL di jalan.

b) Faktor penumpang

(4)

c) Faktor pemakai jalanan.

Pemakai jalan di Indonesia bukan saja terjadi dari kendaraan. Disana ada pejalan kaki atau pengendara sepeda. Selain itu jalan raya dapat menjadi tempat numpang pedagang kaki lima, peminta-minta dan semacamnya. Hal ini membuat semakin semrawutnya keadaan di jalanan. Jalan umum juga dipakai sebagai sarana perparkiran. Tidak jarang terjadi, mobil terparkir mendapat tabrakan.

Kesalahan para pejalan umumnya karena kelengahan, ketidakpatuhan pada perundang-undangan, dan mengabaikan sopan santun berlalu lintas. Contohnya : menyebrang tidak pada tempatnya atau secara tiba-tiba, atau berjalan menggunakan jalur kendaraan (karena lalai atau karena terpaksa), atau karena kesalahan orang lain yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pejalan sering terpaksa menggunakan jalur kendaraan karena kaki lima (trotoar) yang

merupakan fasilitas pejalan justru digunakan oleh para pedagang (pedagang kaki lima).

2. Faktor Kendaraan

Kendaraan tercatat menjadi penyebab KLL yang berakibat parah. Menurut DITLANTAS POLRI dalam Warpani (2002) bahwa keterlibatan sepeda motor dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas menduduki angka tertinggi, disusul mobil penumpang bukan umum. Karena kelincahan geraknya, sepeda motor mudah menyalip kendaraan lain dalam kemacetan lalu lintas. Meskipun demikian penyebab utamanya bukan karena kelincahan gerak kendaraan, melainkan kembali pada kesalahan manusia itu sendiri. Upaya pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan penerapan jaluir khusus bagi sepeda motor dan jalur khusus bagi kendaraan tidak bermotor.

3. Faktor Jalanan

(5)

 Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang tumpah di atasnya. Di kota-kota besar tampak kemacetan terjadi dimana-mana, memancing terjadinya kecelakaan. Dan sebaliknya, jalan raya yang

mulus memancing pengemudi untuk ‘balap’ juga memancing

kecelakaan.

 Keadaan fisik jalanan seperti pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai, misalnya berlubang-lubang dapat menjadi pemicu terjadinya kecelakaan.

Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan kecelakaan lalu lintas berupa :

 Struktur : datar/memadai/menurun ; lurus/berkelok-kelok

 Kondisi : baik/berlubang-lubang

 Luas : lorong, jalan tol

 Status : jalan desa, jalan provinsi /Negara (Bustan, 2007).

4. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan binaan , yakni hasil rekayasa manusia, sangat mempengaruhi keselamatan lalu lintas.

(6)

Pengendara sepada motor yang mengalami KLL pada malam hari juga akan lebih mungkin menderita cedera kepala dibandingkan siang hari. Kecelakaan di daerah pedesaan juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko cedera kepala (Rowland, 1996).

2.1.4. Sepeda Motor

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Pengendara sepeda motor harus mematuhi hukum yang sama dengan pengemudi mobil yaitu yang tercantum pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain adalah:

a. Setiap pengendara sepeda motor di jalan harus memiliki SIM untuk sepeda motor yang mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar.

b. Pengendara sepeda motor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki. c. Mengetahui tata cara berlalu lintas di jalan.

d. Sepeda motor hanya diperuntukkan hanya untuk dua orang.

e. Sepeda motor yang digunakan dijalan memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan.

f. Pengemudi dan penumpang wajib menggunakan helm yang telah direkomendasikan keselamatannya dan terpasang dengan benar.

(7)

Alat-alat tersebut antara lain : 1. Helm

Istilah helm berasal dari bahasa Belanda yang berarti adalah alat pelindung anggota tubuh yang biasa digunakan di kepala. Fungsi utama helm adalah pelindung kepala dari benturan yang bisa membuat kepala cedera. Di Indonesia, helm biasa terbuat dari bahan kevlar, serat resin, acrylonitrile butadiene styrene (

ABS ), atau polypropylene. Struktur helm biasanya didesain untuk mampu melindungi kepala secara optimal. Sebuah helm yang baik biasanya terdiri dari empat struktur utama, yaitu :

- Lapisan luar yang keras ( hard outer shell ) - Lapisan dalam yang tebal ( inside shell or liner ) - Lapisan dalam yang lunak ( comfort padding )

- Tali pengikat ( Kusmagi, 2010 )

Walaupun kemampuan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun penggunaanya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan malalui kerja deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikannya (menyebarkannya) kekuatan yang menimpa tersebut melalui area yang seluas-luasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi energi transfer dengan cara translasi. Secara umum dianggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma otak adalah aselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya rotasional pada benturan. Anggapan bahwa dengan makin banyaknya penggunaan helm oleh pengendara sepeda atau motor akan secara relatif meningkatkan trauma organ lain selain kepala, khususnya trauma servikal, belum terbukti (ATLS, 2008).

(8)

berisiko mengalami kecelakaan yang fatal. Laki-laki empat kali lebih sering meninggal daripada perempuan, dan risiko kematian meningkat 0,7% pada masing-masing umur (Rowland, 1996).

Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa pengendara dan penumpang sepeda motor wajib menggunakan helm standar nasional Indonesia (SNI). Jenis helm berstandar nasional Indonesia yang dapat melindungi pengendara sepeda motor dan disetujui oleh pihak kepolisian lalu lintas terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a) Helm yang menutup keseluruhan wajah (full face), helm ini merupakan helm yang memenuhi standar keselamatan bagi pengendara sepeda motor karena memiliki tingkat keamanan yang tinggi.

b) Helm yang menutup ¾ wajah (three-quarter open face), helm ini hampir

serupa dengan helm full face, namun memiliki perbedaan pada dagu pengendara tidak tertutup. Helm ini tidak menutup sempurna seperti helm full face dan memiliki tingkat keamanan sedikit lebih rendah dibawah helm jenis full face.

(9)

Keterangan gambar:

1. sungkup

2. Lapisan pelindung

3. Tali pemegang

4. Lapisan kenyamanan.

5. Pelindung telinga

6. Kaitan kaca

7. Jaring helm

8. Rim (BSN, 2007)

Gambar 2.2. Helm three-quarter open face (SNI,2007)

Magnus Aare (2003) menjelaskan beberapa perbedaan penting dalam desain helm, yaitu :

1) Open versus full-face helmets

Beberapa tahun terakhir, full-face helmet (integral helmet) menjadi sangat popular disebabkan kepercayaan masyarakat yang tinggi bahwa helm tersebut memberikan proteksi yang lebih baik. Dari penelitian statistik, full-face helmet diketahui memberikan proteksi yang lebih baik terhadap kepala dan wajah, namun juga memberikan dampak yang buruk kepada cedera leher. Terdapat sedikit peningkatan angka kejadian cedera leher yang mungkin disebabkan karena helm ini terlalu berat. Juga terdapat sedikit peningkatan angka kejadian fraktur basis

kranii akibat pemakaian helm ini. 2) Cangkang helm dan keketatannya

(10)

keparahannya cukup rendah untuk pemakai helm agar dapat bertahan. Dengan kata lain, helm yang tidak terlalu keras dan berpegas memberikan cedera kepala yang lebih ringan. Karena dalam pembuatan helm standard digunakan test penetrasi, maka diputuskan desain helm harus ketat sehingga dapat menyerap energi yang diterima dan cedera kepala pun dapat dihindarkan. Beberapa penelitian lain yang dilakukan Chang dkk. (1999), Gilchrist and Mills (1987), Kostoupulus dkk. (2002) and Yettram dkk. (1994) memberikan hasil yang sama. 3) Helm berbahan fiberglass dan berbahan plastik

Vallée dkk. (1984) dalam Magnus (2003) meneliti akibat pecahnya cangkang helm dan menyimpulkan bahwa terdapat risiko cedera yang sangat besar ketika helm pecah. Helm berbahan fiber sangat jarang pecah, disisi lain helm bercangkang plastik lebih sering pecah.Tetapi penelitian oleh Noél (1979) dalam Magnus (2003) menunjukkan bahwa helm bercangkang plastik lebih baik

daripada yang berbahan fiber. Efek pantulan pada helm bercangkang plastik lebih tinggi daripada helm berbahan fiberglass, sehingga kurang efisien. Helm berbahan fiberglass lebih direkomendasikan dari sisi keamanannya.

Sebanyak 87,2% pengemudi dan 84,7% penumpang mengatakan bahwa mereka memakai helm karena alasan keselamatan, 9,2% pengemudi dan 9,9% penumpang memakai helm karena kewajiban atau takut denda. Penelitian di Spanyol menyebutkan bahwa sebanyak 34,8% pengemudi dan 18,8% penumpang tidak memakai helm karena alsan perjalanan yang singkat ataupun berkendara di pedesaan, 30,5% pengemudi dan 65,2% penumpang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki helm (Fuentes, 2011).

Di Indonesia, pemakaian helm memiliki beberapa permasalahan, yaitu : a) Tidak semua pengendara mau memakai helm dengan berbagai alasan,

termasuk ketidakmampuan membeli.

(11)

c) Pemilihan kualitas helm yang rendah atau tidak standar. Helm standard tentu relatif lebih mahal, lebih berat, dan lebih besar dari sekadar topi helm plastik.

d) Alasan tidak memakai helm seperti : malas, discomfort/rasa tidak enak, terlalu berat, ketat, mengganggu kepala, bikin sakit kepala, mengganggu rambut, dan gatal (Bustan, 2007).

2. Pelindung mata dan wajah

Mata dan wajah membutuhkan perlindungan dari angin, debu, hujan, binatang kecil dan bebatuan, pelindung wajah dapat memberi perlindungan dari hal tersebut. Pelindung mata dan wajah harus memenuhi standar yang berlaku, tidak tergores, tidak membatasi jarak atau sudut pandang pengendara, dan dapat diikat erat agar tidak bergeser.

3. Sarung tangan

Sarung tangan berfungsi untuk mengurangi efek langsung angin maupun kondisi cuaca ketika berkendara dan meminimalkan dampak cedera pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Penahan benturan, goresan, dan berbahan yang kuat merupakan standar dari sarung tangan untuk mengendarai sepeda motor. Sarung tangan juga harus nyaman ketika digunakan dan memberi kemampuan menggenggam setang dengan baik.

4. Jaket

(12)

5. Sepatu

Sepatu berfungsi untuk melindungi pergelangan kaki. Sepatu dapat mengurangi efek langsung ke arah kaki pada pengendara sepeda motor ketika terjadi kecelakaan lalu lintas. Sepatu harus didesain untuk berkendara sepeda motor dan terbuat dari kulit atau bahan sintetis kuat lainnya. Dapat melindungi pergelangan kaki, memiliki alas sepatu yang mampu menapak dengan baik dan memiliki bagian yang diperkuat sebagai perlindungan tambahan. Sepatu tidak boleh memiliki anting-anting, tali-tali atau sisi yang elastis, karena dapat menimbulkan masalah bagi pengendara dan dapat menyangkut pada motor atau pada saat kecelakaan.

2.2. CEDERA KEPALA 2.2.1. Anatomi Kepala

Berdasarkan ATLS (2008), anatomi dari kepala adalah : 1. Kulit kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar e. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea apone urotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2. Tulang tengkorak

(13)

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Akselerasi adalah gerakan cepat yang terjadi mendadak, sedangkan de-akselerasi adalah penghentian akselerasi secara mendadak (Mardjono, 2009). Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater merupakan selaput yang kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Pada beberapa tempat tertentu , duramater membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena

otak.

Sinus sagitalis superior yang terletak di garis tengah mengalirkan darah vena ke sinus transverses kanan dan kiri lalu ke sinus sigmoideus yang umumnya sebelah kanan lebih besar. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Fraktur atau patah tulang diatasnya dapat menyebabkan laserasi arteri-arteri itu dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Perdarahan yang hebat dari cedera arteri ini dapat menyebabkan perburukan yang sangat cepat bahkan kematian.

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Karena duramater tidak melekat ke arakhnoid, maka ada suatu rongga / space diantaranya yaitu rongga subdural yang kedalamnya dapat berkumpul perdarahan. Pada cedera otak, vena-vena yang berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus duramater dapat saja mengalami robekan, menyebabkan terjadinya perdarahan subdural.

(14)

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata

terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus temporalis

serebellu m

pons mesensefalon Korpus kalosum

serebellum serebrum Korteks serebrum

Batang otak

(15)

5. Cairan serebrospinal

Ventrikel-ventrikel adalah sistem berupa rongga yang berisi cairan serebro spinal (CSS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri dan ventrikel III terdapat Plexus Khoroideus yang menghasilkan CSS dengan kecepatan kira-kira 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen

monro menuju ventrikel III lalu ke aquaductus sylvii menuju ventrikel IV di fossa posterior. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid menuju sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menggangu penyerapan CSS, menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus komunikan paska trauma). Pembengkakan / edema dan lesi massa (

mis : perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri dari fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebelli yang disebut insisura tentorial.

Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporal yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan trtaktus kortikospinalis (piramidalis) yang berjalan di midbrain/otak tengah.

2.2.2. Patogenesis Cedera Kepala

(16)

a) Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak. Biasanya yang terjadi hanyalah luka benturan karena kepala akan bergerak mengikuti arah gaya benturan.

b) Kepala yang bergerak membentur benda yang diam. Pada keadaan ini benturan akan bekerja penuh pada kepala. Dalam hal ini dapat terjadi macam-macam lesi

c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain dibentur oleh benda yang bergerak. Kepala tergencet. Pada keadaan ini mula-mula ialah retak atau hancurnya tulang tengkorak . Bila gencetannya hebat tentu saja otak pun akan hancur.

Ada beberapa hipotesis yang mencoba menerangkan terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada trauma kapitis :

a) Getaran otak

Trauma pada kepala menyebabkan seluruh tengkorak beserta isinya bergetar. Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran. Makin besar getarannya makin besar kerusakan yang timbul.

b) Deformitas tengkorak

Benturan pada tengkorak menyebabkan menggepeng pada tempat benturan itu. Tulang yang menggepeng ini akan membentur jaringan dibawahnya dan menimbulkan kerusakan. Pada sisi diseberangnya tengkorak bergerak menjauh dari jaringan otak dibawahnya sehingga timbul ruangan vakum yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.

c) Pergeseran otak

(17)

gerakan tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang tengkorak, dengan segala akibatnya.

d) Rotasi otak

Pada tahun 1865 Alquie pada percobaanya pada mayat dan hewan telah mengetahui bahwa pada benturan kepala otak mengalami rotasi sentrifugal yang mengakibatkan benturan otak pada tabula interna tengkorak. Holbourn (1943) mengatakan bahwa rotasi otak dapat terjadi pada bidang sagital, horizontal dan koronal atau kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak di semua daerah kecuali di daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat bergerak kerusakan yang terjadi sedikit atau tidak ada. Kerusakan terbesar terjadi di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya, yaitu daerah frontal di fossa serebri anterior dan daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit bergerak ini, jaringan

otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dan serat-serat saraf (Markam, 1999).

2.2.3. Patofisiologi Cedera Kepala

Tahap pertama cedera otak setelah trauma kepala dicirikan dengan kerusakan langsung jaringan dan gangguan pada metabolism dan aliran darah

otak. Pola yang menyerupai ‘iskemia’ ini memicu penumpukan asam laktat akibat

glikolisis anaerob, meningkatnya permeabilitas membran, dan edema. Ketika metabolism anaerob sudah tidak mampu lagi mempertahankan cadangan energi sel, cadangan ATP akan menurun dan gangguan pompa ion yang bergantung ATP pun terjadi. Disamping itu, terjadi juga pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat dan aspartat, pengaktifan reseptor NMDA, dan masuknya

(18)

membran vaskuler dan struktur sel hingga akhirnya nekrosis maupun apoptosis (Werner, 2007).

2.2.4. Klasifikasi

Menurut ATLS, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan (1) Mekanisme, (2) Berat-Ringannya, (3) Morfologi

1. Mekanisme cedera kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak dan bacok.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis beratnya cedera otak. Penderita yang membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi dengan baik mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pasien yang lemah tidak dapat membuka mata sama sekali atau tidak bersuara nilai GCS-nya minimal yaitu 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam penilaian GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri maka yang dipergunakan adalah angka respon motorik terbaik sebagai pengukuran karena hal itu adalah alat prediksi yang lebih cocok.

3. Morfologi

Cedera kepala dapat meliputi fraktur tulang tengkorak, kontusio, perdarahan, dan cedera difus.

(19)

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan

dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda -tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Fraktur kranium tidak selalu mengakibatkan gangguan neurologis. Tetapi, ketika fragmen tulang menembus pembuluh darah atau jaringan otak, komplikasi yang dapat terjadi mungkin ringan, sedang ataupun berat. Fraktur kranium dibagi dua yaitu terbuka dan tertutup. Fraktur tertutup adalah fraktur tulang tanpa adanya cedera yang substansial pada kulit. Disisi lain, fraktur terbuka lebih serius daripada fraktur tertutup karena kemungkinan terjadinya infeksi disebabkan rusaknya jaringan sekitar dan terpapar kepada pathogen-patogen (Aare, 2003).

b. Lesi Intrakranial

1) Cedera otak difus

Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai cedera iskemik-hipoksik yang berat. Pada konkusi, penderita biasanya menderita kehilangan gangguan neurologis nonfokal sementara , yang seringnya termasuk hilangnya kesadaran. Peregangan menurut poros batang otak bisa menimbulkan blockade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehinggaselama blokade itu

berlangsung, otak tidak mendapat “input” aferen, yang berarti bahwa

(20)

multiple di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu.

2) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang kepala. Sering terletak di area temporal

atau temporoparietal dan

biasanya disebabkan oleh robeknya

arteri meningea media akibat

fraktur tulang tengkorak

Gambar 2.4. Epidural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kanan

bawah

3) Perdarahan Subdural

(21)

Gambar 2.5. Subdural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kiri

4) Kontusio dan Perdarahan Intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang membutuhkan tindakan operasi (ATLS, 2008).

2.2.5. Pemeriksaan

Japardi (2004) mengatakan bahwa pemeriksaan neurologis yang harus

segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala setelah resusitasi meliputi : 1. Tingkat kesadaran

2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf cranial 3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar 4. Reaksi motorik terbaik

5. Pola pernapasan

2.2.6. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala

(22)

menilai prognosi jangka panjang menunjukkan validitas prediksi yang baik dengan sensitivitas 79-97% dan spesifisitas 84-97% (Irawan dkk, 2010).

Terdapat tiga aspek yang dinilai dalam GCS yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah : a. Membuka mata (Eye Open) Nilai

Membuka mata spontan 4

Membuka mata terhadap perintah 3

Membuka mata terhadap nyeri 2

Tidak membuka mata 1

b. Respon Verbal (Verbal Response)

Orientasi baik dan mampu berkomunikasi 5

Bingung (dapat bentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau) 4 Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat 3 Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) 2

Tidak ada suara 1

c. Respon motorik (Motoric Response)

Menurut perintah 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4

Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 3

Ekstensi spontan 2

Tidak ada gerakan 1

Skala dihitung dengan penjumlahan semua nilai respon. E + M + V = 3 sampai dengan 15

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

(23)

c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-8

Glasgow Coma Scale (GCS) memiliki kemampuan memprediksi

kemungkinan pasien pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas untuk dirawat di rumah sakit bila nila GCSnya rendah. Komponen motorik GCS secara mandiri ternyata mampu memprediksi angka kematian setelah trauma. Skor total GCS < 9 juga terbukti secara signifikan memberikan kerugian yang lebih besar bila diukur dengan Dissability Rating Score (DRS) (Gabbe, 2003). Selain itu GCS juga berfungsi sebagai panduan dalam triase. Triase adalah klasifikasi pasien di Unit Gawat Darurat (UGD) untuk menentukan prioritas kebutuhan dan tempat terbaik dalam perawatan dan pengobatannya (Markam,2008).

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi

Gambar

Tabel 1  Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas jalan
Gambar 2.1.  Helm full face (SNI,2007)
Gambar 2.2. Helm three-quarter open face (SNI,2007)
Gambar 2.3. Bagian-bagian otak manusia (Aare,2003)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Semua besaran  Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan kestabilan lahan (land subsidence), air tanah serta gangguan berupa dampak terhadap emisi, lalu

dalam Upaya Memperoleh Kesehatan 2012 Narasumber 14 dengan Latihan Beban Meningkatkan Kebugaran Jasmani Jamaah Haji 2012 Narasumber. 15 Pengambilan data Kualitatif Study

[r]

Maka dengan ini kami, Kel ompok Kerj a (Pokj a) Lel ang Fisik Pembangunan KUA Kecamat an Tungkal Il ir Unit Layanan Pengadaan (ULP) dil ingkungan Kanwil. Jambi Tahun Anggaran 2016

Hal ini sesuai dengan penelitian Kusumaningtyas (2011) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p&lt;0,000) pada hasil pretest dan posttest terhadap pengetahuan

Setelah data-data tersebut diolah didapat hasil yaitu berdasarkan diagram pareto diketahui jenis cacat yang paling dominan pada baja tulangan S.25 adalah cacat dimensi yaitu

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penanganan penanganan luka snake bite dengan insisi dan tanpa insisi terhadap kecepatan penurunan

Terdapat faktor lain yang dapat menjadi sumber stres (stressor) selain beban kerja yaitu hubungan sosial, gaya manajemen, kondisi organisasi, work family