• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2013"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur

berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa

penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein atau energi (Setiawan, 2010).

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan motolik (retensi kalsium, dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja (Supariasa, et al, 2001).

(2)

2.2 Indikator Stunting

Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk mengetahui seseorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi (Supariasa et al 2001).

Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling populer dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adalah antropometri. Di Indonesia antropometri telah digunakan secara luas sebagai alat untuk menilai status gizi masyarakat dan pertumbuhan perorang pada beberapa dasawarsa belakang ini (Supariasa et al, 2001).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran tunggal dari ukuran tubuh manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang. Pengukurang tinggi badan atau panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi/panjang badan dengan presisi 0.1 cm. (Supariasa et al, 2001).

(3)

antara lain : 1) dalam penilaian intervensi harus disertai dengan indeks lain (seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat, 2) ketepatan umur sulit didapat.

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas, 2010).

Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U) disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks PB/U atau TB/U

Indeks Kategori Status

Gizi Ambang Batas (Z-Score) Panjang Badan menurut Umur

(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) anak

umur 0-60 bulan

Sangat Pendek < - 3 SD Pendek -3 SD s/d ≤ -2 SD Normal -2 SD s/d 2 SD

Tinggi > 2 SD

Sumber : Kepmenkes RI, 2010

(4)

Tabel 2.2. Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun No Kelompok Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)

1 0 - 6 bulan 6 60

2 7 - 12 bulan 8,5 71

3 1 - 3 tahun 12 90

4 4 – 6 tahun 17 110

Sumber : AKG 2004

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan negara miskin mengalami

stunting dengan jumlah kejadian tertinggi berada dikawasan Asia Selatan yang

mencapai 46% disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38%, sedangkan secara keseluruhan angka kejadian stunting dinegara miskin dan berkembang mencapai 32%. Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam waktu lama dan frekuensi menderita penyakit infeksi (UNICEF, 2007). Akibat dari stunting ini meliputi perkembangan motorik yang lambat, mengurangi fungsi kognitif dan menurunkan daya fikir.

Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah 5 tahun mengalami

stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF. dan

memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan angka kejadian stunting secara nasional sebesar 36,7 % yang berarti 1 dari 3 anak dibawah 5 tahun mengalami stunting, yang merupakan proporsi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (UNICEF Indonesia, 2012). Meskipun telah terjadi penurunan angka kejadian

(5)

Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka kejadian stunting.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Stunting 2.3.1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram, tanpa memandang usia kehamilan (IDAI, 2009). Bayi yang lahir dengan BBLR tergolong bayi dengan resiko tinggi, karena angka kesakitan dan kematiannya tinggi. Oleh karena itu pencegahan BBLR adalah sangat penting, dengan pemeriksaan prenatal yang baik dan memerhatikan kebutuhan gizi ibu. Dikatakan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR kurang baik karena pada bayi BBLR telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak di dalam kandungan, lebih-lebih jika tidak mendapat nutrisi yang baik setelah lahir (Soetjiningsih, 1995)

Menurut Sitohang (2004) bayi berat lahir rendah (BBLR) dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Prematur

(6)

2. Dismatur

Bayi lahir kecil dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi. Kondisi ini dapat terjadi preterm, aterm, maupun posterm. Dalam hal ini bayi mengalami retardas pertumbuhan intra uterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilanya. Bayi kecil masa kehamilan sering disebut juga dengan

intra uterin growth retardation (IUGR).

Ada dua bentuk IUGR yaitu :

a. Propotionate IUGR, janin lahir dengan berat, panjang, dan lingkar kepala

dalam porposi yang seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih dibawah masa gestasi yang sebenarnya.

b. Disproportionate IUGR, janin lahir dengan panjang, dan lingkar kepala

normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah sering mengalami masalah sukar bernafas, reflek menghisap dan menelan belum sempurna, mudah mengalami hipotermia jika tidak dalam inkubator, mudah terkena infeksi. Gambaran klinis bayi BBLR antara lain fisiknya masih lemah, kepala lebih besar dari badannya, kulit tipis, rambut tipis dan halus, genitalia belum sempurna, ubun-ubun lebar, tulang rawan elastis kurang, otot-otot masih hipotonik dan pernafasan belum teratur (Sitohang, 2004 dalam Arnisam, 2006).

(7)

nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010 (11% dengan berat badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun 2007. Di empat belas provinsi, prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun 2007 sampai 2010 (UNICEF Indonesia, 2012).

Menurut Nurlinda (2013) yang menguti pendapat Reyes (2005), banyak faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama masa kehamilan. Berat badan ibu < 50 kg, keluarga yang tidak harmonis termasuk didalamnya kekerasan dalam rumah tangga dan tidak adanya dukungan dari keluarga selama masa kehamilan, gizi ibu buruk selama masa kehamilan, kenaikan berat badan ibu kurang dari 7 kg selama hamil, infeksi kronik, tekanan darah tinggi selama hamil, kadar gula darah ibu tinggi, merokok, alkohol, serta genetik merupakan faktor penyebab bayi yang dilahirkan BBLR (Nurlinda, 2013).

Berbagai faktor yang mempengaruhi BBLR yaitu jenis kelamin bayi, ras, keadaan plasenta, umur ibu, aktivitas ibu, kebiasaan merokok, paritas, jarak kehamilan, tinggi badan dan berat badan ibu sebelum kehamilan, keadaan sosial ekonomi, gizi, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pertambahan berat badan ibu selama kehamilan (Turhayati, 2006 dalam Subkhan, 2011).

(8)

Menurut Mochtar (1998) dalam Subkhan (2011) faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur atau berat badan lahir rendah adalah: 1. Faktor Ibu

a. Gizi saat hamil yang kurang

b. Umur kurang dari 20 tahun atau di atas 35 tahun c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

d. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah. e. Merokok

f. Faktor pekerjaan yang terlalu berat 2. Faktor Kehamilan

a. Hamil dengan hidramnion b. Hamil ganda

c. Perdarahan antepartum

d. Komplikasi hamil : pre-eklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini 3. Faktor Janin

a. Cacat bawaan b. Infeksi dalam rahim

4. Faktor lain yang masih belum diketahui 2.3.2 Resiko BBLR terhadap Pertumbuhan

(9)

tumbuh dengan cara yang rata-rata sama. Hal ini juga diakui bahwa penyebab

stunting berawal dari pertumbuhan janin yang tidak memadai dan ibu yang kurang

gizi, dan sekitar setengah dari kegagalan pertumbuhan terjadi didalam rahim, meskipun proporsi ini mungkin bervariasi diseluruh negara ( Azwar, 2004).

Bayi lahir dengan BBLR akan beresiko tinggi terhadap morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatal sampai masa kanak-kanak. Bayi dengan berat lahir 2000-2499 gram 4 kali beresiko meninggal 28 hari pertama hidup daripada bayi dengan berat 2500-2999 gram, dan 10 kali lebih beresiko dibandingkan bayi dengan berat 3000-3499 gram. Berat lahir rendah dikaitkan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif yang buruk, dan beresiko tinggi terjadinya diare akut dan pneumoni (Podja & Kelley, 2000 dalam Arnisam, 2006).

Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Diperkirakan 15% dari seluruh bayi yang dilahirkan merupakan bayi dengan berat lahir rendah. Berat badan lahir rendah erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan bayi, penghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan penyakit kronik ketika menginjak usia dewasa seperti diabetes, hipertensi dan jantung (UNICEF, 2004)

(10)

menurunkan kemungkinan terhambatnya pertumbuhan anak (Adair dan Guilkey, 1997).

Dari Penelitian Fitri (2012) proporsi kejadian stunting pada balita (12-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita dengan berat lahir rendah (49,3%) dibandingkan dengan balita dengan berat lahir normal (36,9%). Balita yang mempunyai berat lahir rendah memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,7 kali dibanding dengan balita yang mempunyai berat lahir normal.

Menguti pendapat Azwar (2004) dalam Arnisam (2006), berat badan lahir berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa akan datang. Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan dan belum sempurna pertumbuhan dan pematangan organ/alat-alat tubuhnya, akibatnya bayi BBLR sering mengalami komplikasi yang berakhir dengan kematian. Berat badan lahir rendah erat kaitannya dengan kurang gizi selama kehamilan. Selain berdampak pada angka kematian bayi , BBLR juga berdampak pada tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada balita (Arnisam, 2006).

Stunting yang dibentuk oleh growth faltering catch upgrowth yang tidak

memadai merupakan suatu keadaan yang patologis. Stunting mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang disebabkan oleh status kesehatan atau status gizi yang suboptimal.

Dari hasil penelitian Kusharisupeni (2002) menyimpulkan bahwa jumlah bayi

stunting tinggi saat lahir, menurun pada umur 4-6 bulan, dan meningkat sesudahnya

(11)

umur 12 bulan dengan kontribusi terbesar dari kelompok IUGR dan terkecil dari kelompok normal.

2.3.3 Asupan Makanan

Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang terkandung di dalam makanan yang dimakan. Dikenal dua jenis nutrisi (zat gizi) yang terkandung didalam makanan yang dimakan. Ada dua jenis nutrisi yaitu makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi merupakan nutrisi yang menyediakan kalori atau energi, diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya. Makronutrisi ini diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Nutrisi (zat gizi) merupakan bagian yang penting dari kesehatan dan pertumbuhan. Nutrisi yang baik berhubungan dengan peningkatan kesehatan bayi, anak-anak, dan ibu, sistem kekebalan yang kuat, kehamilan dan kelahiran yang aman, resiko rendah terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung, dan umur yang lebih panjang (WHO, 2011).

(12)

badan pada anak, sehingga tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya atau lebih pendek daripada teman sebayanya (Setiawan, 2010).

Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya, makanan merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktivitas manusia. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup pula kedalam tubuhnya. Manusia yang kurang makanan akan lemah, baik daya kegiatan pekerjaan fisik atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (mengutip pendapat Suhardjo (2003) dalam Fitri (2012).

Pemberian makan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup. Zat gizi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Disamping itu zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan. Zat gizi pada anak sangat penting karena pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan anak ditentukan sejak bayi bahkan sejak dalam kandungan (Suhardjo, 1992 dalam Ahmad, 2012).

(13)

merupakan usia yang paling rentan terhadap perubahan keadaan gizi dan kesehatan. Jika pada masa ini anak tidak mendapatkan zat gizi yang baik dan cukup, maka akan mudah mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dalam arti proses bertambahnya struktur serta ukuran tubuh dimana kebutuhan gizi yang sangat berperan khususnya energi dan protein.

Tingkat pertumbuhan berbeda untuk setiap anak, begitu juga dengan kebutuhan energinya. Kebutuhan energi balita dan anak-anak sangat bervariasi berdasarkan perbedaan tingkat pertumbuhan dan tingkat aktivitas. Tingkat pertumbuhan untuk umur 1-3 tahun dan 7-10 tahun lebih cepat sehingga mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Usia dan tahap perkembangan anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi (Sharlin & Edelstein dalam Fitri, 2012).

(14)

kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Berdasarkan angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasonal Pangan dan Gizi ke VIII (LIPI, 2004) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-rata Perhari

No Golongan Umur Energi (kcal) Protein (gram)

1 0-6 bulan 550 10

2 7-11 bulan 650 16

3 1-3 tahun 1000 25

4 4-6 tahun 1550 39

Sumber: WNPG, LIPI (2004)

Hasil penelitian Hautvast et al (1999) dengan sampel bayi umur 6-9 bulan dan anak usia 14 - 20 bulan menemukan asupan harian total energi tidak cukup dibandingkan dengan asupan harian yang direkomendasikan pada bayi dan balita. Bayi dan balita yang stunting cenderung memiliki asupan rendah energi dibandingkan dengan yang tidak stunting. Asupan energi harian perkilogram berat badan tidak menunjukkan perbedaan antara stunting dan tidak stunting pada anak-anak.

(15)

memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,2 kali dibanding balita yang mempunyai asupan protein cukup.

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). Untuk tumbuh kembang optimal anak membutuhkan asupan gizi yang cukup. Bagi bayi 0-6 bulan, pemberian ASI saja sudah cukup, namun bagi bayi usia 6 bulan keatas diperlukan makanan selain ASI yaitu berupa makanan pendamping ASI.

Pemberian MP-ASI bertujuan untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Apabila setelah usia 6 bulan, berat badan seorang anak tidak mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan zat-zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan asupan makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan kurang memenuhi syarat (Krisnatuti dalam Ahmad, 2012).

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for

Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal

penting yang harus dilakukan yaitu :

(16)

2. Memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan

3. Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan

4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

Rekomendasi tersebut menekankan secara sosial budaya MP-ASI hendaknya dibuat dari bahan pagan yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat (indigenous food) (Aritonang, 2012).

2.3.4 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit (penderita). Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang dalam proses penyembuhan akan memperoleh “tambahan beban penderitaan” dari penyebaran mikroba patogen ini (Darmadi, 2008).

(17)

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu:

a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit

b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus

c. Meningkatnya kebutuhan, baik peningkatan kebutuhan akibat sakit (human

host) dan parasit yang tedapat dalam tubuh (Supariasa et.al, 2001).

Penyakit infeksi pada anak-anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan (pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari) dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek dan atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu 14 hari diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan diare didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan berak cair lebih dari tiga kali sehari (Darmadi, 2008).

(18)

(penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang sekaligus dapat berfungsi sebagai media parantara. Contoh lain adalah sampah, limbah, sisa makanan dan lain-lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi budaya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta sanitasi lingkungan yang sudah terjamin, diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi dapat ditekan seminimal mungkin (Darmadi, 2008).

Peyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya (Abas, 2012).

Hasil penelitian Nashikhah dan Margawati (2012) hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat diare akut merupakan faktor resiko kejadian stunting (p=0,011) dimana balita yang sering mengalami diare akut beresiko 2,3 kali lebih besar tumbuh menjadi stunting.

(19)

2.3.5 Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga makin banyak makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang dikonsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan dapat menimbulkan kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagaian besar pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan.

Penghasilan merupakan faktor yang menentukan kualitas makanan, didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat baik perbaikan gizi kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi, yang jelas kalau rendahnya tingkat penghasilan orang miskin dan lemahnya daya beli keluarga telah tidak memungkinkannya untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak mereka (Berg, 1986).

(20)

berpendapatan rendah sebagian besar pengeluaran rumah tangganya dialokasikan untuk makanan.

Penelitian di Bangladesh dengan jumlah sampel 1.182 anak berusia 12-30 bulan menemukan prevalensi pendek sebesar 50,9% diantara mereka. Risiko kejadian pendek 3,6 kali lebih besar pada anak yang berasal dari rumah tangga paling miskin dibandingkan dengan anak yang berasal dari rumah tangga paling kaya (Hong et al dalam Nurlinda, 2013). Pendapatan perkapita merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita. Hasil penelitian Nasikhah dan Margawati (2012) menujukkan bahwa pendapatan perkapita merupakan faktor resiko kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan.

Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari pendapatan seseorang yang akan memberikan dampak kearah yang baik atau kearah yang buruk, keadaan ekonomi akan berpengaruh terhadap penyediaan gizi yang cukup, dimana kurangnya pendapatan akan menghambat aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan. Pendapatan/penghasilan keluarga Provinsi Aceh dapat dikategorikan sebagai berikut (Upah Minimum Provinsi Aceh, UMP tahun 2014):

a. Tinggi apabila penghasilan ≥ UMP Rp. 1.750.000,00 b. Rendah apabila penghasilan < UMP Rp. 1.750.000,00

(21)

memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya. Keluarga miskin yang memiliki anak balita tidak dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya, dimana anak mengalami penyimpangan dari pertumbuhan dan perkembangan normal (Almatsier, 2005).

Jika dilihat hubungannya dengan pekerjaan kepala keluarga maka prevalensi kependekan tertinggi ditemukan pada rumah tangga petani/nelayan/buruh yaitu sebesar 42,9% dan terendah pada rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja sebagai pegawai tetap yaitu 21,1%. Prevalensi kependekan juga terlihat berhubungan terbalik dengan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin tinggi keadaan ekonomi rumah tangga semakin rendah prevalensi kependekan dan sebaliknya (Riskesdas, 2010).

2.3.6 Pola Asuh

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan sebagainya (Depkes RI, 2001). Pola asuh yang baik pada anak balita dapat dilihat pada praktek pemberian makanan yang bertujuan untuk mendapatkan zat-zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan fisik dan mental anak. Zat gizi juga berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan anak dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. aspek gizi juga mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang dan kecerdasan anak yang ditentukan sejak bayi, bahkan dalam kandungan (Suhardjo, 1992).

(22)

papan/pemukiman yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang dan rekreasi (Soekirman dalam Yusnidaryani, 2009). Pola asuh yang memadai pada bayi adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak terpenuhi secara optimal. Hal ini dilakukan melalui pemberian gizi yang baik berupa pemberian ASI, pemberian makanan pendamping ASI tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan menyusui sampai anak berumur 2 tahun, ibu punya cukup waktu merawat bayi, imunisasi dan memantau pertumbuhan melalui kegiatan penimbangan.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, UNICEF merumuskan tiga faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang secara tidak langsung (underlying factors), yaitu pangan rumah tangga, pengasuhan, dan sanitasi lingkungan. ketiga faktor tersebut mempengaruhi status gizi dan juga tingkat kesehatan anak yang juga turut menentukan kualitas pertumbuhan serta perkembangan anak (Engel et al dalam Nurlinda, 2013).

(23)

postnatal sangat erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh ibu kepada

anaknya, antara lain gizi dan status kesehatan.

Menurut Yusnidaryani (2009) yang mengutip pendapat Budi (2006) menjelaskan bahwa bayi adalah kelompok usia yang rentan terserang penyakit, terkait interaksi dengan sarana dan prasarana dirumah tangga dan sekelilingnya. Jenis sakit yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit, penanganan bayi sakit dan status imunisasi adalah faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan bayi dan status gizi bayi. Perilaku ibu dalam mengahadapi bayi yang sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang bayi. Bayi yang mendapatkan imunisasi akan lebih rendah mengalami resiko penyakit. Bayi yang dipantau pertumbuhan diposyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih dini mendapatkan informasi akan adanya gangguan pertumbuhan. Sakit yang lama dan berulang akan mengurangi nafsu makan yang berakibat pada rendahnya asupan zat gizi.

(24)

2.4 Landasan Teori

(25)

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi pada Anak Balita Modifikasi dari UNICEF (1998), Mochtar (1998), FAO (2003)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut: variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian

stunting pada anak balita sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah

riwayat BBLR, pemberian ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, riwayat penyakit infeksi, pola asuh makan dan pola asuh perawatan kesehatan yang merupakan faktor yang mempengaruhi stunting pada anak balita. Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ketrampilan, Ketersediaan Pangan dan

kesempatan kerja

Krisi Politik, Sosial dan Ekonomi

(26)

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian BBLR

Pemberian ASI Eksklusif

Pendapatan Keluarga

Penyakit Infeksi

Pola Asuh

-Pola asuh makan

-Pola asuh perawatan

kesehatan

Gambar

Tabel 2.2. Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun
Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-rata Perhari
Gambar 2.1  Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi pada Anak Balita Modifikasi dari UNICEF (1998), Mochtar (1998), FAO (2003)
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Studi literatur dari Fitriana et al (2021) dengan kriteria menggunakan pendalaman cross sectional, data status gizi dengan pengukuran antropometri berat badan serta tinggi

Gizi yang adekuat akan menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak usia 6-24 bulan sehingga anak tidak memiliki permasalahan dalam status gizi (Kyle,

Fokus penelitian adalah faktor risiko kejadian pendek pada anak usia 0-2 tahun antara lain pendidikan ibu, pengetahuan ibu, status pemberian ASI eksklusif, status BBLR dan

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting, hal ini sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa tinggi

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status balita gizi stunting, sedangkan variabel bebas terdiri dari panjang badan lahir, berat badan lahir, usia kehamilan,

Status gizi ayah dalam penelitian ini bukan merupakan faktor risiko kejadian overweight pada anak stunting. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya di Inggris

13 Tujuan penelitian ini adalah mengetahui riwayat pemberian ASI eksklusif, status ekonomi, riwayat penyakit infeksi dan asupan makanan terhadap kejadian stunting pada

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status balita gizi stunting, sedangkan variabel bebas terdiri dari panjang badan lahir, berat badan lahir, usia kehamilan,