• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN ... - IPB REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TAP.COM - KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN ... - IPB REPOSITORY"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT

SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA

SATELIT MULTI SENSOR

Oleh :

MUKTI DONO WILOPO

C06400080

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

MUKTI DONO WILOPO. C06400080. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa Dari Data Satelit Multi Sensor.

Dibimbing Oleh MULIA PURBA dan AGUS SOLEH ATMADIPOERA

Penyediaan data satelit menjadi salah satu alternatif untuk mengkaji karakter oseanografi di suatu wilayah. Dari data tersebut dapat dikaji

fenomena-fenomena oseanografi seperti upwelling dan front. Pemilihan wilayah perairan

barat Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa dipengaruhi oleh sistem angin

muson (Wyrtki, 1961; Purba et al., 1997), serta dipengaruhi oleh Arus Lintas

Indonesia (ARLINDO) dan perubahan iklim global seperti El Nino dan Indian

Ocean Dipole Mode (Meyers, 1996; Saji et al., 1999; Shinoda, 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji variasi karakter oseanografis yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan tinggi paras laut secara spasial dan temporal serta menganalisis angin sebagai parameter yang dapat mempengaruhi variasi karakter oseanografi.

Data yang digunakan adalah data angin harian dari ECMWF (European

Center for Medium Range Weather Forecast), data suhu permukaan laut (SPL)

mingguan dari NCEP (National Climate and Environment Prediction) dan data

anomali tinggi paras laut (TPL) mingguan dari AVISO. Seluruh data memiliki periode dari tahun 1993-2002.

Untuk melihat variasi spasial angin, SPL dan anomali TPL dilakukan analisis distribusi horizontal. Untuk melihat fluktuasi setiap parameter maka dicari densitas energi spektrumnya. Hubungan antara angin dengan SPL dan anomali TPL dicari dengan metode spektrum silang untuk memperoleh nilai koherensi dan beda fase.

Secara urnum kondisi angin yang terjadi di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dipengaruhi oleh Sistim Muson dimana terjadi pergantian pola perubahan kecepatan angin tinggi dan rendah dalam satu tahun. Distribusi horizontal suhu bulanan menunjukkan bahwa SPL mencapai nilai terendah di Musim Timur di wilayah perairan Selatan Jawa-Sumbawa. Hal tersebut

disebabkan oleh terjadinya upwelling yang intensif akibat bertiupnya Angin Muson

Tenggara di perairan selatan Jawa, melebarnya poros AKS dan hilangnya Arus

Pantai Jawa. SPL mencapai 25° C-27,5° C pada Musim Timur di Selatan Jawa.

Pada Musim Tirnur saat bertiup kuat Angin Muson Timur, kemungkinan terjadi

Transpor Ekman yang membawa serta air permukaan menjauhi Pantai Selatan

Jawa, maka akan terjadi kekosongan (anomali TPL-nya rendah) yang berakibat

naiknya air dari bawah menuju ke permukaan (upwelling). Hal ini konsisten dengan

terjadinya SPL yang rendah pada periode dan daerah yang sama sehingga dapat

disimpulkan bahwa upwelling yang intensif terjadi pada Musim timur di wilayah

perairan Selatan Jawa.

Pada periode EI Nino dan IODM tahun 1994 dan 1997 upwelling yang

terjadi lebih intensif daripada tahun-tahun lainnya.

Auto Spectral Analysis (ASPEC) menghasilkan adanya spektrum energi

(3)

Anomali TPL di wilayah JAW2 hingga SMB menunjukkan sinyal yang nyata pada periode 25,8 minggu, 51,6 minggu dan 129 minggu, sedangkan wilayah JAW1 menunjukkan sinyal yang nyata pada periode 25,8 minggu, 51,6 minggu, 86 minggu, dan 129 minggu. Sedangkan di perairan barat Sumatera (SMT1-SMT2) sinyal yang nyata terjadi pada periode 25,8 minggu, 43 minggu, 86 minggu, dan 51,6 minggu.

Analisis spektrum silang (CSPEC) menunjukkan bahwa hubungan

kecepatan angin komponen zonal dengan SPL lebih kuat daripada komponen meridional-nya di perairan selatan Jawa (JAW1-SMB). Sedangkan di wilayah perairan barat Sumatera (SMT1-SMT2) hubungan kecepatan angin komponen meridional dengan SPL lebih kuat daripada komponen meridional-nya. Sinyal kecepatan komponen zonal yang berpengaruh kuat terhadap SPL di JAW1 hingga SMB terjadi pada periode 51,6 minggu dimana koherensinya melebihi 0,93 dengan beda fase yang bernilai positif, yang berarti perubahan kecepatan angin komponen zonal akan diikuti oleh perubahan SPL. Sedangkan di SMT1 sinyal komponen meridional yang berpengaruh kuat terhadap SPL terjadi pada periode 86,0 dan 129,0 minggu dengan niai koherensi di atas 0,93 dan beda fase positif, sedangkan di SMT2 terjadi pada periode 51,6 minggu dengan koherensi 0,86 dan beda fase yang positif.

Dari analisis spektrum silang antara angin dengan anomali TPL, dapat diketahui bahwa angin memiliki hubungan yang kuat terhadap anomali TPL, dimana perubahan angin dapat mempengaruhi perubahan anomali TPL. Fluktuasi yang muncul yaitu pada periode 25,8 minggu dan 51,6 minggu, menunjukkan bahwa angin pada pergantian antara Musim Barat dan Musim Timur dengan Musim Peralihannya (musiman) serta pergantian Musim Barat dengan Musim Timur (tahunan) mempengaruhi perubahan anomali TPL. Sedangkan fluktuasi 86,0 minggu dan 129,0 minggu menunjukkan menunjukkan perubahan pola angin yang mempengaruhi anomali TPL akibat perubahan iklim

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat mengerjakan penelitian hingga menyusun skripsi ini. Penelitian yang berjudul “Karakter Fisik Oseanografi Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi Sensor”, merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data dari beberapa badan meteorologi dan antariksa dunia.

Tulisan ini berisikan kajian variasi karakter oseanografi yang berhubungan dengan perubahan ruang dan waktu di perairan selatan Jawa dan barat

Sumatera. Data yang digunakan berasal dari data hasil pengukuran satelit multi sensor antara lain AVHRR, TOPEX/Poseidon, dan ERS 1/2. Data dianalisis secara spasial dalam bentuk perataan bulanan selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 1993-2002.

Penelitian ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc, dan Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS, sebagai Komisi Pembimbing atas bimbingan, masukan, kritik dan pengarahan yang sangat berharga,

sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Juga kepada NCEP NOAA (National

Climate and Environment Prediction), ECMWF (European Center for Medium

Range Weather Forecast) dan CNES (Centre National d’études Spatiales) yang

telah memberi ijin penulis untuk mempergunakan data satelitnya dengan fasilitas

File Transfer Protocol (FTP) dan Live Acces Service (LAS) untuk bahan

penelitian ini secara gratis.

Penulis menyadari keterbatasan yang ada sehingga tulisan ini masih belum sempurna, oleh karena itu perbaikan dan penelitian selanjutnya masih tetap diperlukan. Namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan kelautan Indonesia.

Bogor, November 2005

(5)

DAFTAR ISI

2.1. Kondisi Oseanografis Daerah Penelitian ... 3

2.2. Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa ... 10

2.3. Sensor Satelit Untuk Mengukur Parameter Oseanografi ... 16

3. METODE PENELITIAN... 22 3.1. Waktu dan Tempat ... 22

3.2. Perolehan dan Pengolahan Data ... 23

3.3. Analisis Data ... 27

3.3.1. Analisis Spasial... 27

3.3.2. Analisis Deret Waktu ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Angin ... 32

4.1.1. Distribusi Horizontal Angin ... 32

4.1.2. Variabilitas Spasial –Temporal Angin ... 36

4.2. Suhu Permukaan Laut ... 39

4.2.1. Distribusi Horizontal Suhu Permukaan Laut ... 39

4.2.2. Sebaran Spasial –Temporal SPL ... 46

4.3. Anomali Tinggi Paras Laut ... 50

4.3.1. Distribusi Horizontal Anomali TPL ... 50

4.3.2. Sebaran Spasial –Temporal Anomali TPL ... 53

4.4. Energi Spektrum Angin, SPL , dan Anomali TPL... 56

4.4.1. Energi Spektrum Angin... 56

4.4.2. Energi Spektrum Suhu Permukaan Laut ... 59

4.4.3. Energi Spektrum Anomali TPL ... 61

4.5. Spektrum silang antara angin dengan SPL dan Anomali TPL... 63

DAFTAR PUSTAKA...70

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kanal yang terdapat pada sensor satelit NOAA/AVHRR... 16

2. Perhitungan arah kecepatan angin dengan menggunakan MS-EXCEL

2003 ... 27 3. Lokasi yang mewakili setiap wilayah penelitian untuk analisis spektrum

energi ... 30 4. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum kecepatan angin

komponen zonal dan meridional ... 56 5. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum SPL ... 61 6. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum anomali TPL ... 63 7. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen zonal

dengan SPL ... 64 8. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen meridional

dengan SPL ... 65 9. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen zonal

dengan anomali TPL ... 66 10. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen meridional

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pola arus pada bulan Agustus (a) dan Februari (b) (Wyrtki, 1961) ... 5 2. Trek sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (a), profil waktu-bujur tinggi

paras laut sepanjang trek (b), profil bujur-waktu suhu permukaan laut di sepanjang trek (Susanto et al., 2001) ... 8 3. Profil melintang suhu terhadap waktu dari data hidrografi dan XBT/MBT

sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (Susanto et al., 2001)... 8

4. Gesekan angin rata-rata bulanan dari ERS yang ditumpang tindih dengan

gesekan angin sejajar pantai (alongshore wind stress) yang paralel

dengan perairan barat Sumatera dan selatan Jawa (Susanto et al., 2001) ... 9

5. Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama periode

Muson Tenggara pada bulan Juni-November (Susanto et al., 2001) ... 10

6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada kondisi normal (AVISO, 2005)... . 12

7. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat El Nino (AVISO, 2005) .. 12

8. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat La Nina (AVISO,

2005)... 13 9. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Indonesia pada bulan

November 1997 (El Nin) (a) dan November 1998 (La Nina) (b)... 14

10. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode (a-d). Evolusi

komposit SPL dan anomali kecepatan angin dari Mei-Juni (a) sampai

November-Desember (d) (Saji et al., 1999) ... 16 11. Geometri Pengamatan Satelit Altimetri (Modifikasi dari Stewart,

1985 dan Jet Propulsion Laboratory, 2004) ... 20 12. Daerah penelitian yang terbagi menjadi 6 wilayah penelitian yaitu di

perairan barat Sumatera terbagi menjadi Sumatera 1 (SMT1) dan

Sumatera 2 (SMT2) dan di perairan selatan Jawa terbagi menjadi Jawa 1 (JAW1), Jawa 2 (JAW2), Jawa 3 (JAW3), dan Sumbawa (SMB) ... 23

13. Titik-titik pusat grid data angin dengan ukuran grid 2,50

x2,50

(a), SPL

dengan ukuran grid 1o

x1o

(b), dan anomali TPL dengan ukuran grid 0,33o

x0,33o

(c)... 25 14. Trek yang digunakan untuk analisis waktu-bujur ... 29

15. Distribusi horizontal angin bulanan rata-rata dari tahun 1993-2002 ... 33

16. Stick plot kecepatan angin di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c),

JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) dari tahun 1993-2002... 34 17. Trek sepanjang perairan barat Sumatera dan Selatan Jawa. Profil

(8)

putus-putus menunjukkan arah barat (selatan) pada komponen timur-barat

(utara-selatan) ... 37 18. Distribusi horizontal SPL bulanan rata-rata dari tahun 1993-2002... 40 19. Standar deviasi SPL bulanan dari tahun 1993-2002 ... 43 20. Distribusi gesekan angin komponen timur-barat bulanan rata-rata dari

tahun 1993-2000 ... 45 21. Profil bujur-waktu SPL sepanjang trek dari tahun 1993-2002 ... 47 22. Data deret waktu SPL di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c), JAW2 (d),

JAW3 (e), dan SMB1 (f) dari tahun 1993-2002... 48

23. Southern Oscillation Index (SOI) dari tahun 1993-2002 ... 49

24. Dipole Mode Index (DMI) dari tahun 1993-2002 ... 49

25. Distribusi horizontal anomali TPL bulanan rata-rata dari tahun

1993-2002 ... 51 26. Profil bujur-waktu anomali TPL sepanjang trek dari tahun 1993-2002 ... 53 27. Data deret waktu anomali TPL di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c),

JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) dari tahun 1993-2002... 55 28. Energi spektrum angin komponen zonal di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1

(c), JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) ... 57 29. Energi spektrum angin komponen meridional di SMT1 (a), SMT2 (b),

JAW1(c), JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB1 (f) ... 58 30. Energi spektrum SPL di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1 (c), JAW2 (d), JAW3

(e), dan SMB1 (f) ... 60 31. Energi spektrum anomali TPL di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1 (c), JAW2

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pola Arus di Perairan Indonesia (Wyrtki, 1961) ... 73 2. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di SMT1 ... 76 3. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di SMT2 ... 77 4. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di JAW1 ... 78 5. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di JAW2 ... 79 6. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di JAW3 ... 80 7. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan SPL (ii) di SMB ... 81 8. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan anomali TPL (ii) di SMT1 ... 82 9. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan anomali TPL (ii) di SMT2 ... 83 10. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan anomali TPL (ii) di JAW1 ... 84 11. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan anomali TPL (ii) di JAW2 ... 85 12. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utara-selatan dengan anomali TPL (ii) di JAW3 ... 86 13. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa parameter untuk menggambarkan karakteristik oseanografi di

suatu wilayah perairan dapat diukur melalui dua cara. Cara pertama adalah

mengukur langsung parameter oseanografi di laut misalnya dengan survei kapal

atau dengan menempatkan instrumen/alat ukur pada beberapa lokasi perairan

(mooring, tidegauge dan lain-lain). Cara kedua adalah menggunakan teknologi

penginderaan jarak jauh. Kendala pada pengukuran langsung dengan kapal

adalah biaya operasionalnya yang relatif tinggi, sehingga data yang

berkesinambungan sulit didapatkan.

Dewasa ini penyediaan data dengan menggunakan teknologi penginderaan

jarak jauh dipenuhi dengan menggunakan satelit multi sensor. Data satelit multi

sensor menjadi metode komplemen yang dapat dimanfaatkan untuk

memperoleh data kondisi oseanografis suatu wilayah perairan. Teknologi ini

memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengukuran langsung yaitu

untuk memperoleh data yang kita inginkan, membutuhkan waktu yang relatif

singkat dan perolehan datanya mencakup wilayah yang sangat luas serta data

dapat diperoleh secara berkesinambungan dalam periode waktu tertentu.

Beberapa sensor satelit yang dapat dimanfaatkan untuk bidang kelautan

antara lain sensor satelit Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR),

sensor altimeter Topography Experiment (TOPEX)/POSEIDON, sensor

scatterometer European Research Satellite (ERS) 1 dan 2. Data yang diperoleh

dari sensor satelit tersebut adalah data suhu permukaan laut, tinggi paras laut,

(11)

Menurut Purba (1992) data suhu yang dihasilkan dari hasil pengolahan citra

satelit dapat diaplikasikan untuk kelautan atau oseanografi, baik secara visual

maupun secara digital. Variasi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk

melihat proses-proses fisik seperti upwelling (penaikan massa air dari lapisan

dalam ke lapisan yang lebih atas), divergen, konvergen, oceanic front

(pertemuan dua massa air yang berbeda suhunya), dan sebagainya.

Daerah-daerah tersebut dapat memberi petunjuk tentang tingkat kesuburan suatu

perairan. Proses-proses tersebut sangat bermanfaat untuk peningkatan

pemanfaatan sumber daya hayati perairan tersebut. Dengan demikian teknologi

penginderaan jauh dengan sensor satelit dapat dimanfaatkan untuk tujuan

tersebut.

Pada penelitian ini hanya dibatasi pada pemanfaatan data satelit untuk

mengkaji karakter oseanografis dengan mengkaji pola distribusi suhu permukaan

laut, tinggi paras laut secara spasial dan temporal dari data satelit serta

pengaruh angin terhadap parameter-parameter tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. mengkaji variasi karakter oseanografis yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan

tinggi paras laut secara spasial dan temporal

2. menganalisis angin sebagai parameter yang dapat mempengaruhi variasi

(12)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Oseanografi Daerah Penelitian

Wilayah perairan barat Sumatera dan selatan Jawa merupakan perairan yang

unik karena letak geografisnya yang terletak di antara benua Asia dan Australia.

Di wilayah ini terjadi suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson

Australia-Asia. Terjadinya angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan

udara antara massa Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember-Februari

di belahan bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan

terjadi musim panas sehingga terjadi pusat tekanan tinggi di Benua Asia dan

pusat tekanan rendah di Benua Australia. Hal ini menyebabkan angin

berhembus dari Benua Asia menuju ke Australia. Angin ini pada wilayah selatan

katulistiwa dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut (Northwest Monsoon).

Sebaliknya pada bulan Juli-Agustus berhembus Angin Muson Tenggara

(Southeast Monsoon) (Wyrtki, 1961).

Perubahan pola angin muson tersebut menyebabkan di wilayah tersebut

dikenal dua pola musim yaitu Musim Timur pada saat terjadi Angin Muson

Tenggara dan Musim Barat pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut. Selain

kedua sistem muson tersebut, ada pula musim transisi yang dikenal juga dengan

Musim Peralihan. Musim Peralihan I terjadi pada bulan Maret sampai Mei dan

Musim Peralihan II terjadi pada bulan September sampai November. Musim

Peralihan I adalah periode saat Muson Barat Laut hendak digantikan oleh Muson

Tenggara, dan Musim Peralihan II adalah periode saat Muson Tenggara hendak

digantikan oleh Muson Barat Laut (Prawirowardoyo, 1996). Pada periode transisi

(13)

Adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun dan mencapai

puncaknya pada bulan-bulan tertentu menyebabkan pola sirkulasi massa air di

lautan juga turut berubah arah. Perubahan arah ini menjadi ciri sirkulasi massa

air di perairan Indonesia dan sekitarnya (Wyrtki, 1961).

Letak geografis perairan selatan Jawa dan barat Sumatera yang berada pada

sistem angin muson menyebabkan kondisi oseanografis perairan ini dipengaruhi

sistem angin muson itu (Wyrtki, 1961; Purba et al., 1997), serta dipengaruhi oleh

perubahan iklim global seperti El Nino dan Indian Ocean Dipole Mode (Meyers,

1996; Saji et al., 1999; Shinoda, 2004). Selain itu perairan selatan Jawa juga

dipengaruhi oleh aliran massa air yang masuk dari Samudera Pasifik Tropis

Barat (5o LU) melalui perairan Indonesia ke Samudera Hindia (12o LS) yang

dikenal dengan Indonesian Throughflow (ITF) atau Arus Lintas Indonesia

(ARLINDO), (Bray et al., 1996; Godfrey, 1996; Ffield et al., 2000; Gordon et al.,

2003),

Arus Katulistiwa Selatan (AKS) atau South Equatorial Current (SEC) sebagai

bagian dari gyre Samudera Hindia yang terbentuk di daerah antara Pantai

Selatan Jawa dan Pantai Barat Laut Australia pada umumnya mengalir ke arah

barat. Arus permukaan ini menyebar dari barat laut Australia, antara 10o

- 20o

LS

hingga ke arah barat Samudera Hindia mencapai Madagaskar (Purba et al.,

1992).

Pada Musim Timur, ketika berhembus kuat Angin Muson Tenggara, AKS

melebar ke utara melebihi 10º LS dan bergerak dari Sumbawa hingga sepanjang

pantai selatan Jawa, kemudian berbelok ke arah barat daya (Gambar 1.a).

Selama bertiupnya Angin Muson Tenggara yang terjadi di selatan Jawa dimulai

sekitar bulan Mei dan berakhir sekitar September menyebabkan terjadinya

upwelling. Angin Muson Tenggara yang bertiup dari tenggara ke arah barat laut

(14)

Selatan Jawa, maka akan terjadi kekosongan yang berakibat naiknya air

(upwelling) dari bawah menuju ke lapisan permukaan (Wyrtki, 1962; Purba et al.,

1992). Transpor Ekman menyebabkan air laut di lapisan permukaan bergerak

menjauhi pantai sehingga terbentuk suatu kondisi dimana tinggi muka air di sisi

pantai lebih rendah dib andingkan dengan muka air di lepas pantai. Karena angin

bertiup terus menerus, menyebabkan terbentuknya ‘ruang kosong’ di sisi pantai

dan terbentuk gradien tekanan. Menurut Pond dan Pickard (1983) akibat adanya

gradien tekanan tersebut maka massa air akan berupaya menuju keseimbangan,

(15)

(b)

Gambar 1. Pola arus pada bulan Agustus (a) dan Februari (b) (Wyrtki, 1961)

sehingga massa air dari lapisan dalam ini bergerak ke arah pantai, khususnya

massa air dari lapisan dalam. Massa air dari lapisan dalam ini bergerak ke arah

pantai mengikuti lereng dasar laut menuju ke arah permukaan dan menimbulkan

upwelling. Secara teoritis Tr anspor Ekman mengarah 90o

ke kiri dari arah angin

di belahan bumi selatan dan sebaliknya pada belahan bumi selatan (Stewart,

2003).

Pada sekitar bulan November, poros AKS berangsur-angsur bergerak ke

arah selatan dan sepanjang pantai selatan Jawa terbentuk Arus Pantai Jawa

(APJ) dengan arah ke timur. APJ mula-mula terbentuk akibat Arus Sakal

Katulistiwa Samudera Hindia (Equatorial Counter Current) yang datang menuju

perairan barat Sumatera di sekitar ekuator. Kemudian arus ini berbelok ke

tenggara menyusuri pesisir barat Sumatera dan menuju ke pantai selatan Jawa.

APJ berkembang hingga bulan Juni. Batas antara APJ dan AKS berada di

lintang 10o LS, yang berarti APJ melebar sampai sekitar 90 mil dari pantai

(Schott, 1942 dalam Purba et al., 1992; Soeriaatmadja, 1957 dalam Purba et al.,

(16)

Februari disajikan pada Gambar 1.b. Pada Musim Barat, AKS mulai terdesak ke

selatan oleh APJ yang bergerak di sepanjang selatan pantai Jawa ke arah timur.

Penelitian Soeriaatmadja (1957) dalam Purba et al. (1992) menyebutkan

adanya kemungkinan proses air naik (upwelling) di perairan selatan Jawa pada

saat Musim Barat. Disebutkan bahwa upwelling tersebut terjadi pada jarak

sekitar 90 mil dari pantai selatan Jawa dan diperkirakan terjadi pada daerah

perte muan antara APJ yang mengarah ke timur dengan AKS yang menuju ke

barat. Pada sisi pertemuan kedua sistim arus tersebut, sebagian APJ ikut

berbelok ke barat mengikuti AKS. Sebagai akibat adanya divergens pada sisi

dari kedua arus ini, terjadi kekosongan massa air di permukaan yang diisi oleh

massa air dari bawah (upwelling).

Adanya pendapat antara Soriaatmadja (1957) dan Wyrtki (1962) tersebut

menimbulkan kemungkinan bahwa proses upwelling terjadi pada kedua musim

namun dengan penyebab yang berbeda. Di duga proses upwelling yang terjadi

pada Musim Timur seperti yang dikemukakan oleh Wyrtki (1962) disebabkan

oleh Angin Muson Tenggara, sedangkan upwelling yang terjadi pada Musim

Barat seperti yang dikemukakan oleh Soriaatmadja (1957) disebabkan oleh

proses penyebaran (divergens) dengan intensitas yang lebih rendah daripada

yang disebabkan oleh angin. Dapat dikemukakan bahwa upwelling di sekitar

perairan Selatan Jawa selain terjadi akibat mekanisme Ekman pump pada saat

bertiupnya Angin Muson Tenggara, juga disebabkan oleh mekanisme divergens

(Purba et al., 1992).

Berdasarkan penelitian Pariwono et al. (1988), lokasi upwelling terjadi persis

pada daerah pantai yaitu di daerah perbatasan paparan benua (continental shelf)

dengan laut dalam yang berlangsung pada akhir Musim Timur

(Oktober-November), sedangkan Wyrtki (1962) menyatakan lokasi upwelling berada di

(17)

tersebut dikarenakan bukti-bukti yang disajikan Pariwono et al. (1988)

menunjukkan distribusi parameter oseanografi pada kedalaman 0-50 m.

sedangkan Wyrtki (1962) menunjukkan bukti adanya proses upwelling dengan

melihat distribusi horizontal parameter oseanografi pada kedalaman 200 meter

(Purba et al., 1992). Hal itu menunjukkan bahwa upwelling yang diteliti oleh

Wyrtki (1962) tidak selamanya sampai ke lapisan permukaan dan Wyrtki (1962)

tidak meneliti distribusi suhu permukaan laut (SPL) seperti halnya Pariwono et al.

(1988).

Berdasarkan penelitian Susanto et al. (2001), dari data SPL dan anomali

tinggi paras laut (TPL) sepanjang pantai selatan Jawa hingga barat Sumatera,

sebaran angin, dan struktur suhu, terungkap bahwa upwelling terjadi pada bulan

Juni-Oktober dengan SPL yang dingin dan tinggi paras laut yang lebih rendah

(18)

Gambar 2. Trek sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (a), profil waktu-bujur tinggi paras laut sepanjang trek (b), profil bujur-waktu suhu

permukaan laut sepanjang trek (Susanto et al., 2001)

Gambar 3. Profil melintang suhu terhadap waktu dari data hidrografi dan

XBT/MBT sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (Susanto et al.,

(19)

Gambar 4. Gesekan angin rata-rata bulanan dari ERS yang ditumpang tindih

dengan gesekan angin sejajar pantai (alongshore wind stress) yang

paralel dengan perairan barat Sumatera dan selatan Jawa. Interval

kontur gesekan angin sejajar pantai adalah 0,01 N/m2

. Skala panah

gesekan angin adalah 0,1 N/m2

.

Standar deviasi SPL bulanan rata-rata di daerah sepanjang pantai selatan

Jawa dan barat Sumatera tersebut, menunjukkan variabilitas yang tinggi dan

disimpulkan bahwa daerah dengan standar deviasi SPL yang tinggi berasosiasi

dengan pusat upwelling. Pusat upwelling dengan standar deviasi SPL yang

tinggi bergerak ke arah barat dan menuju ke ekuator selama Muson Tenggara

(Juni-Oktober) (Gambar 5). Alur perpindahan ini tergantung pada perkembangan

kondisi angin secara musiman dan perubahan lintang yang mempengaruhi

parameter Coriolis, dimana pusat upwelling ini konsisten dengan alur

perpindahan angin sejajar pantai (alongshore wind) yang intensif. Upwelling

berakhir berkaitan dengan pembalikan arah angin pada Muson Barat Laut dan

(20)

Gambar 5. Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama periode Muson Tenggara pada bulan Juni-November. Interval

kontur adalah 0,1oC (Susanto

et al., 2001)

2.2. Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa

Kata El Nino pertama-tama diberikan oleh nelayan Peru pada saat terjadi

arus panas yang tampak pada akhir tahun sekitar hari Natal (Desember). El

Nino mencerminkan proses terjadinya anomali SPL di Pasifik tropis. Pada saat

El Nino terjadi, kolam air panas yang biasanya berada di sebelah barat

Samudera Pasifik Tropis bergerak menuju bagian timur Samudera Pasifik

sehingga terjadi penumpukan massa air yang panas. Pada saat kondisi normal

di perairan selatan Samudera Pasifik bagian timur terjadi upwelling, yang

menyebabkan SPL menjadi lebih rendah, sebaliknya terjadi pada saat El Nino.

Istilah El Nino berkembang menjadi ENSO (El Nino Southerm Oscillation).

Kata Southerm Oscillation diberikan oleh Sir Gilbert Walker pada tahun 1923

yang mencerminkan pola perubahan tekanan udara di belahan bumi selatan

(21)

demikian El Nino mencerminkan proses anomali SPL di Pasifik tropis sedangkan

Southern Oscillation mencerminkan perubahan tekanan udara antara Tahiti dan

Darwin. Pada saat El Nino terjadi, tekanan rendah teramati di Tahiti sedangkan

tekanan tinggi terjadi di Darwin. Untuk menyatakan osilasi selatan, digunakan

indeks osilasi selatan (Southerm Oscillation Index disingkat SOI). Bila selisih

tekanan udara permukaan laut di Tahiti dengan Darwin mempunyai selisih

negatif yang besar misalnya lebih kecil dari negatif 1.5 maka disebut kejadian El

Nino (Philander, 1990).

Pemahaman proses terjadinya El Nino dapat dijelaskan dengan sistem Angin

Pasat normal di Samudera Pasifik Tropis dengan SPL di Pasifik Barat. Seperti

disajikan pada Gambar 6, pada kondisi normal, Angin Pasat mendorong massa

air permukaan di Samudera Pasifik bagian timur menuju timur Filipina dan

Australia membentuk kolam air panas (warm pool) di Samudera Pasifik bagian

barat (warna merah pada Gambar 6), dengan SPL dan paras laut yang tinggi (1).

Di wilayah warm pool, massa air panas tersebut naik dengan membawa uap air

dan melepaskannya sebagai hujan yang lebat (2). Sementara itu di Samudera

Pasifik Selatan bagian timur, massa air dingin yang kaya nutrien naik menuju

permukaan (upwelling) sebagai akibat terdorongnya massa air permukaan oleh

Angin Pasat ke barat sehingga terjadi kekosongan massa air. Akibatnya di

perairan Barat Amerika Selatanthermoklin naik dan terjadi upwelling (3).

Pada saat El Nino terjadi (Gambar 7) , seluruh sistem di atas melemah

dimana Angin Pasat melemah, khususnya di batas barat Samudera Pasifik

Tropis sehingga air yang menumpuk di barat (kolam air panas) akan mengalir

berbalik ke timur (1). Wilayah udara-naik bergeser pula ke timur seiring dengan

bergesernya kolam panas ke timur (2). Melemahnya Angin Pasat menyebabkan

thermoklin semakin dalam di perairan barat Amerika Selatan yang disertai

(22)

Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada kondisi normal (AVISO, 2005)

Gambar 7. Sistim angin pasat di Samudera Pasifik pada saat El Nino

(AVISO, 2005)

Kejadian sebaliknya terjadi pada saat La Nina, seperti yang disajikan

pada Gambar 8 dimana Angin Pasat menguat sehingga kolam air panas

menyusut dan mendinginkan sebagian besar Samudera Pasifik Tropis (1).

Konveksi atmosferik terjadi di bagian paling barat Samudera Pasifik dimana

hujan lebat terjadi di perairan Indonesia (2). Massa air dingin naik lebih kuat di

sepanjang perairan barat Amerika Selatan dan menyebabkan thermoklin lebih

(23)

Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat La Nina (AVISO, 2004)

El Nino mempunyai dampak terhadap perubahan iklim dan kondisi

oseanografi. Dampak negatif El Nino di perairan Peru adalah ambruknya industri

perikanan Ancoveta sebagai akibat berhentinya upwelling dan meningkatnya

SPL (Philander, 1990). Studi mengenai pengaruh El Nino terhadap kondisi

oseanografi dan sumberdaya hayati laut di Samudera Hindia masih jarang

dilakukan. Meyers (1996), menemukan bahwa pada saat El Nino, SPL di

Samudera Hindia bagian timur menurun, kedalaman isotherm 20°C mengalami

pendangkalan. pada saat El Nino transport geostrofik lebih lemah dibandingkan

pada saat La Nina.

Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat,

anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten

dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran angin

tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah

selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas

Australia dengan khatulistiwa (Meyers, 1996).

Menurut Bray et al. (1996), pada saat El Nino di perairan Indonesia bagian

(24)

Korelasi antara tinggi paras laut dengan kedalaman thermoklin cukup kuat dan

signifikan baik di luar dan di daerah sekitar ARLINDO.

Sebaran klorofil-a dari satelit SeaWifs, dapat mendukung penjelasan

mengapa upwelling lebih intensif pada saat periode El Nino daripada periode La

Nina (Susanto dan Gordon, 2001). Pada Gambar 9, menunjukkan sebaran

klorofil-a yang tinggi di sekitar perairan barat Sumatera dan selatan Jawa pada

periode El Nino (bulan November 1997), sedangkan pada periode La Nina (bulan

November 1998) sebaran klorofil di wilayah itu rendah.

Gambar 9. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Indonesia pada

bulan November 1997 (El Nino) (a) dan November 1998 (La Nina) (b)

Pada tahun 1994 terjadi anomali SPL di Lautan Hindia (Behera et al., 1999)

dan berdasarkan penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa fenomena yang tidak (a)

(25)

lazim ini terjadi juga pada tahun 1997 dan disebut Indian Ocean Dipole Mode

(IODM). Disebut dipole mode (DM) karena pada saat kejadian ini terbentuk dua

kutub anomali SPL, antara perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dengan

perairan Pantai Afrika bagian timur. Pada saat terjadinya IODM, SPL di perairan

barat Sumatera dan selatan Jawa sangat rendah dan SPL di Afrika sangat tinggi.

Untuk mengetahui terjadinya IODM dibuat suatu indeks yang disebut dengan

dipole mode index (DMI). Jika DMI positif, SPL di Samudera Hindia bagian timur

menjadi rendah sebaliknya terjadi di perairan Afrika. Fenomena ini mirip dengan

fenomena ENSO di Lautan Pasifik, namun kejadian IODM merupakan kejadian

independen dari kejadian ENSO. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya korelasi

antara DMI dengan anomali SPL Nino3 yang lemah (<0,35) (Webster et al.,

1999; Saji et al., 1999).

Proses perkembangan IODM tertera pada Gambar 10. Anomali SPL

pertama-tama terlihat di sekitar selat Lombok pada bulan Mei-Juni dengan

kecepatan angin yang moderat. Periode Juli-Agustus anomali SPL dingin

semakin intensif bergeser sepanjang garis pantai Indonesia sebagai akibat dari

proses upwelling, sementara di bagian barat Samudera Hindia SPL semakin

meningkat. Puncak IODM terjadi pada periode September-Oktober dimana

anomali kecepatan angin mencapai puncaknya, upwelling sepanjang selatan

Jawa dan Barat Sumatera makin intensif, sehingga kutub SPL dingin dan panas

semakin jelas terlihat. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sajiet al. (1999),

kejadian IODM pada periode tahun 1958 hingga 1998, terjadi sebanyak enam

(26)

Gambar 10. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode (a-d). Evolusi komposit SPL dan anomali kecepatan angin dari Mei-Juni (a)

sampai November-Desember (d) (Saji et al., 1999) .

2.2. Sensor Satelit Untuk Mengukur Parameter Oseanografi

Sensor satelit yang umum digunakan untuk mengukur SPL adalah dari satelit

seri TIROS/NOAA dengan menggunakan radiometer Advance Very High

Resolution Radiometer (AVHRR). Kanal yang umumnya digunakan untuk

pengukuran suhu dari NOAA-AVHRR adalah kanal 3, 4 dan 5 seperti tertera

pada Tabel 1.

Tabel 1. Kanal yang terdapat pada sensor satelit NOAA/AVHRR

Kanal Kanal spektral (µm) Deskripsi Aplikasi

1 0,58 - 0,68 Sinar tampak (visible) Kekeruhan air

2 0,725 - 1,10 Near infrared Garis pantai

3 3,55 - 3,93 Thermal infrared SPL (malam)

4 10,3 - 11,3 Thermal infrared SPL

5 11,5 - 12,5 Thermal infrared SPL

Sumber : Japan Association of Remote Sensing (1999)

Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan

dan cuaca. Satelit ini dimiliki Departemen Perdagangan Amerika Serikat,

diluncurkan oleh National Aeronautics dan Space Administration (NASA) dan

(27)

Sekarang di atmosfer Indonesia melintas setiap hari lima seri NOAA, yaitu

NOAA-12, NOAA-14, NOAA-15, NOAA-16 dan NOAA-17.

Beberapa algoritma telah dikembangkan untuk pengukuran SPL (SPL) dari

sensor termal baik dengan menggunakan kanal tunggal maupun dengan multi

kanal. Sensor kanal tunggal umumnya bekerja pada panjang gelombang 10,5

µm, namun panjang gelombang ini sangat sensitif terhadap uap air dibdaningkan

panjang gelombang 3,7 µm, sehingga lebih baik menggunakan multi kanal

(Stewart, 1985).

Salah satu algoritma untuk pengukuran SPL pada siang hari dengan

menggunakan multi kanal sebagai koreksi pengaruh uap air telah dikembangkan

oleh McMillin (1975) dan Bernstein (1982) yakni dengan menggunakan kanal

Të(3,7) dan Të(10,5) sebagai berikut:

SPL (Ts) = 1,0726 Të(3,7) + 0,31 (Të(3,7) - Të(10,5)) – 18,11 ……….…....….………

1

Koreksi yang sama telah dilakukan oleh McClain (1981) dan pada tahun

1981, NOAA telah mengganti algoritma yang lama dengan menggunakan dua

dan tiga kanal yang dikenal dengan algoritma Multi Channel Sea Surface

Temperature (MCSST) sebagai berikut (Stewart, 1985) :

SPL (Ts) = 1,0574 Të(3,7) + 0,447 (Të(3,7) - Të(10,5)) – 14,6 (malam hari) ....…..…

2

SPL (Ts) = 1,035 Të(3,7) + 3,046 (Të(10,5) - Të(12)) – 18,11 (siang hari) .….……....

3

Salah satu sensor satelit yang dapat digunakan untuk mengkaji karakter

oseanografi adalah sensor altimeter. Fungsi sensor altimetri adalah untuk

mengukur ketinggian, dimana dapat berfungsi untuk mengukur topografi muka

(28)

sistem satelit GEOS-3. Beberapa jenis satelit altimetri yang telah diluncurkan

adalah GEOS-3 (1975), Seasat (1978), GeoSat (Geodetic Satellite, 1985),

ERS-1 (European Space Agency Research Satellite, 1991), TOPEX/Poseidon (1992)

dan ERS-2 (1995), GFO (Geosat Follow On, 1998), ENVISAT (Environment

Satellite, 2002) (AVISO, 2005).

Tujuan utama peluncuran sensor altimetri adalah untuk mengamati sirkulasi

lautan global, memantau volume dari lempengan es di kutub dan mengamati

perubahan muka laut rata-rata global. Namun demikian sensor ini juga dapat

digunakan untuk mengamati arus dan eddies, tinggi gelombang, studi pasang

surut di lepas pantai, studi fenomena El Nino, dan lain-lain (AVISO, 2005).

Satelit altimetri dilengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmitter),

penerima pulsa (receiver) pada frekuensi tinggi (lebih dari 1700 pulsa per detik)

serta pengukur waktu yang mempunyai akurasi yang sangat tinggi. Altimeter

radar memancarkan pulsa gelombang elektromagnetik ke permukaan laut dan

diterima kembali oleh satelit (AVISO, 2005)

Salah satu tujuan altimetri dengan satelit adalah untuk memperoleh informasi

oseanografi berupa topografi permukaan laut relatif terhadap geoid. Geoid

sendiri adalah permukaan equipotensial yang terdefenisi dari potensial gravitasi

yang disebabkan oleh bumi, air, dan percepatan sentrifugal. Permukaan

equipotensial ini dipengaruhi oleh rotasi bumi serta potensial gravitasi yang

disebabkan oleh atmosfer, dan dapat dijabarkan sebagai berikut (Robinson,

1985):

W = Wg+Wa ...

4

dimana : W = permukaan equipotensial

Wg = potensial gravitasi yang diakibatkan oleh bumi, air, dan

(29)

Wa = potensial gravitasi yang diakibatkan oleh atmosfer

Susilo (2000) menambahkan Geoid adalah permukaan bumi yang bersifat

equipotensial, yaitu mempunyai potensial yang sama (konstan). Geoid

bertepatan dengan mean sea level atau MSL jika laut tidak bergerak (motionless)

pada suhu 0 °C dan salinitas 35 %o. Geoid ini secara matematis dapat dihitung.

Geoid berhubungan dengan gravitasi dan ellipsoid dan memenuhi persyaratan

bahwa:

g.hgeo = konstan ...

5

dimana : g = gravitasi

hgeo = ketinggian geoid dari ellipsoid

Ellipsoid adalah permukaan bumi yang mempunyai geopotensial sama atau

konstan. Ellipsoid ini adalah permukaan bumi yang secara matematis paling

mendekati permukaan bumi yang sebenarnya. Ellipsoid ini juga dapat dihitung

melalui persamaan matematis dengan memasukkan berbagai parameter

kebumian. Menurut Rapp (1974) dalam Stewart (1985) pergerakan permukaan

laut terhadap geoid tersebut adalah topografi permukaan laut (sea surface

topography).

Geometri pengamatan satelit altimetri diilustrasikan pada Gambar 10. Tinggi

orbit satelit dari ellipsoid adalah :

h = N + ñ + ÄH + r + d ………...…...………..………..…....

6

dimana : h = tinggi satelit dari ellipsoid

N = undulasi geoid

ñ = topografi muka laut

ÄH = pengaruh pasut sesaat

r = hasil pengukuran altimeter

(30)

Nilai h yang diterima oleh sensor altimeter tentu haruslah nilai yang telah

dikoreksi dari berbagai faktor kesalahan (pengaruh) baik pengaruh atmosfer

maupun pengaruh yang berada di bumi. Salah satu metode koreksi ini

diterangkan oleh Nerem et al. (1990) dalam Atmadipoera dan Wahyudi (1998)

dengan rumus:

h = hs + hc + hiono + hwet + hdry + hbaro + hotide + hetide + hEM + b + å ... 7

dimana:

h = jarak geometrik antara pusat satelit dan muka laut di titik bawah satelit

hs = jarak instantaneous antara altimetri dan muka laut

hc = koreksi pergeseran altimeter dari pusat massa satelit

hiono = koreksi ionosfer

hwet = koreksi troposfer basah

hdry = koreksi troposfer kering

hbaro = koreksi inverse barometric

hotide = koreksi pasang surut laut

hetide = koreksi solid Earth Tide

hEM = koreksi bias elektromagnetik

b = koreksi untuk suatu kemungkinan bias pada h

å = kontribusi kesalahan acak dan sistematik terhadap pengukuran

altimeter

Ketelitian pengukuran dengan sensor altimeter dipengaruhi berbagai faktor

seperti ketelitian pengukur waktu, refraksi ionosfer, troposfer, dan kesalahan orbit

(31)

Gambar 11. Geometri Pengamatan Satelit Altimetri (Modifikasi dari Stewart,

1985 dan Jet Propulsion Laboratory, 2004)

Sensor satelit yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji fenomena

oseanografi seperti upwelling adalah dengan menggunakan sensor ocean color.

Sensor ini bekerja pada panjang gelombang cahaya tampak (400-700 nm).

Sensor ini dapat digunakan untuk mendeteksi material terlarut dan kandungan

klorofil dari fitoplankton. Fenomena upwelling juga dapat diduga dari distribusi

klorofil di suatu wilayah perairan. Sensor SeaWIFS merupakan sensor ocean

color yang dinilai cukup berhasil dalam misinya, karena sejak diluncurkan pada

(32)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2004– April 2005 berupa

pengolahan dan analisis data satelit multi sensor tahun 1993-2002 bertempat di

Laboratorium Oseanografi Fisika, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB.

Daerah yang menjadi obyek penelitian adalah perairan selatan Jawa dan

barat Sumatera pada 0,50

LU – 150

LS dan 94.50

BT – 1200

BT (Gambar 12).

Daerah penelitian dibagi menjadi 6 wilayah, yaitu Sumatera 1 (SMT1), Sumatera

2 (SMT2), Jawa 1 (JAW1), Jawa 2 (JAW2), Jawa 3 (JAW3), dan Sumbawa

(SMB). Wilayah tersebut dibagi berdasarkan perbedaan karakteristik massa air

yang ditemukan di Samudera Hindia bagian timur yakni wilayah yang

dipengaruhi oleh massa air Teluk Benggala dan Arus Sakal Samudera Hindia

(SMT1), wilayah yang me njadi pusat percabangan dari Arus Sakal Katulistiwa

Samudera Hindia yang berbelok ke barat daya dan bersatu dengan AKS dan

yang mengalir ke tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera menuju ke

selatan Pulau Jawa (SMT2), wilayah yang merupakan cabang dari Arus Sakal

Samudera Hindia yang menjadi Arus Pantai Jawa (JAW1) dan wilayah yang

dipengaruhi oleh APJ dan AKS dengan upwelling yang intensif yaitu JAW2 dan

JAW3, serta wilayah yang dipengaruhi oleh perairan Indonesia Timur (SMB).

Seluruh wilayah dibagi dengan luas yang sama. Tujuan dari pembagian wilayah

ini untuk mempermudah menggambarkan kondisi oseanografi di masing-masing

wilayah yang diduga memiliki perbedaan karakteristik.

(33)

Sumber : Ocean Data View

Gambar 12. Daerah penelitian yang terbagi menjadi 6 wilayah penelitian yaitu di perairan barat Sumatera terbagi menjadi Sumatera 1 (SMT1) dan Sumatera 2 (SMT2) dan di perairan selatan Jawa terbagi menjadi Jawa 1 (JAW1), Jawa 2 (JAW2), Jawa 3 (JAW3), dan Sumbawa (SMB)

3.2. Perolehan dan Pengolahan Data

Data SPL yang digunakan yaitu data SPL berupa data mingguan rata-rata

dengan ukuran grid 1,0o x 1,0o dari tahun 1993 - 2002 dalam format Network

Common Data File (NetCDF). Titik-titik grid data SPL disajikan pada Gambar 13

(a). Data SPL ini merupakan produk kerjasama antara National Center for

Environment Prediction dan National Center for Atmospheric Research. Data

SPL yang diperoleh merupakan data satelit NOAA/AVHRR (berdasarkan

algoritma MCSST, McClain et al., 1985) yang divalidasi dengan data insitu

(pengukuran dari kapal dan buoy) (Reynolds dan Smith, 1994). Data ini dapat

di-download dari situs http://www.cdc.noaa.gov/cdc/data.reynolds_sst.html

Data angin diperoleh dari ECMWF(European Center for Medium Range

Forecast) berupa data kecepatan angin level III B yang terdiri dari komponen

SMT1

SMT2

JAW1

JAW2 JAW3

(34)

angin zonal (timur-barat (u)) dan meridional (utara-selatan (v)) pada ketinggian

referensi 10 meter di atas permu kaan laut. Data angin ECMWF tersebut

merupakan hasil analisis ulang dan interpolasi dari data-data meteorologi

berbagai pusat penelitian parameter cuaca dunia. Data analisis ulang ini

merupakan suatu proyek baru yang menghasilkan data dalam periode 45 tahun

yaitu dari pertengahan tahun 1957 sampai pertengahan tahun 2002. Proyek ini

dinamakan dengan ERA-40 yaitu lanjutan dari proyek sebelumnya yang bernama

ERA-15 (1979-1993) dan merupakan komplemen dari re-analisis NCEP, yang

dimulai dari tahun 1947. Data ECMWF diperoleh dengan format Network

Common Data File (NetCDF) berupa data harian dengan ukuran grid 2,5o x 2,5o

yang dapat di-download dari situs http://www.ecmwf.int. Titik-titik grid data SPL

disajikan pada Gambar 13 (b).

Data anomali TPL yang digunakan dalam studi ini dari diperoleh dari dari

pusat operasi AVISO/altimetry (http://las.aviso.oceanobs.com/las/servlets/

dataset). Data tercakup dari tahun 1993 sampai 2002 yang direkam dengan

altimeter pada satelit Topex/POSEIDON dan European Remote Sensing Satellite

1 dan 2 (ERS 1 dan 2) dan diolah dengan prosedur baku untuk koreksi altimetri

(AVISO, 2004). Data tersebut disajikan dalam bentuk grid regular (0.33o

x 0.33o

)

dengan periode pengamatan setiap 7 hari. Titik-titik grid data SPL disajikan pada

Gambar 13 ( c). Anomali dari tinggi paras laut merupakan selisih atau perbedaan

antara tinggi paras laut dengan tinggi permukaan laut rata-rata, yaitu:

SLA = SSH – MSS

... 8

SLA merupakan Sea Level Anomaly (Anomali Tinggi Paras Laut); SSH

adalah Sea Surface Height (Tinggi Permukaan Laut); sedangkan MSS

(35)

SSH merupakan jarak ketinggian satelit dari pusat satelit dengan garis

referensi dikurangi dengan jarak ketinggian satelit dengan muka laut dan koreksi.

MSS merupakan rataan nilai SSH selama 7 tahun dari tahun 1993-1999

(AVISO,2005)

(a)

(b)

(c)

SMT1

SMT2

JAW1

JAW2 JAW3

SMB SMT1

SMT2 JAW1

JAW2 JAW3

SMB SMT1

SMT2 JAW1

JAW2 JAW3

(36)

Gambar 13. Titik-titik pusat grid data angin dengan ukuran grid 2,50

x2,50

(a),

SPL dengan ukuran grid 1ox1o (b), dan anomali TPL dengan ukuran

grid 0,33ox0,33o (c)

Data mingguan SPL, data harian kecepatan angin dan data mingguan

anomali tinggi paras laut dirata-ratakan menurut bulan yang sama berdasarkan

grid (lintang-bujur) yang sama.

Untuk data angin perata-rataan dilakukan dengan merata-ratakan tiap

komponen kecepatan zonal (timur-barat) dan meridional (utara- selatan) menurut

bulan yang sama terlebih dahulu, kemudian dicari magnitude kecepatan

anginnya dengan persamaan :

2

Arah kecepatan angin dihitung dengan menggunakan rumus:

ui,j adalah kecepatan angin komponen zonal lintang ke-i bujur ke-j ; vi,j adalah

kecepatan angin komponen meridional lintang ke-i bujur ke-j ; sedangkan èi,j

adalah arah angin pada lintang ke-i bujur ke-j

Magnitude |V|, dan arah kecepatan angin è yang diperoleh merupakan

kecepatan dan arah angin rata-rata per bulan selama 10 tahun dari data angin

harian. Perhitungan arah dan kecepatan angin dilakukan dengan menggunakan

MS-Excel 2003. Untuk memudahkan perhitungan arah kecepatan angin,

komponen zonal (timur-selatan) ditempatkan sebagai penyebut agar posisi 0o

berada di posisi arah utara. èhit merupakan arah kecepatan angin yang diperoleh

dari hasil perhitungan arah kecepatan angin dari MS EXCEL 2003 dengan

menggunakan persamaan (10). Apabila komponen zonal (u) bernilai positif

(timur) dan komponen meridional (v) bernilai positif (utara) maka èi,j = èhit.

(37)

negatif (selatan) maka nilai èi,j = èhit + 180o, apabila komponen zonal bernilai

negatif (barat) dan komponen meridional bernilai negatif (selatan) maka èi,j = èhit

+ 180o, apabila komponen zonal bernilai negatif (barat) dan komponen

meridional bernilai positif (utara) maka èi,j = èhit + 360o. Perhitungan arah

kecepatan angin pada M S-EXCEL 2003 diringkas pada Tabel 2.

Kemudian vektor angin dipetakan dengan menggunakan softwareSurfer 8.0

untuk melihat pola arah angin tiap bulannya.

Tabel 2. Perhitungan arah kecepatan angin dengan menggunakan MS-EXCEL

2003

Untuk mengetahui besarnya pengaruh kekuatan angin terhadap permukaan

laut maka dilakukan perhitungan gesekan angin (wind stress) yang diturunkan

dari kecepatan angin, yaitu:

T =ρ CD U210 …...…..………..…..………..……… 11

Dimana T adalah gesekan angin (N/m2), ñ = 1,3 kg/ m3 adalah densitas

udara, CD adalah koefisien tarikan angin dan U10 adalah kecepatan angin pada

ketinggian 10 meter. CD diperoleh dari persamaan Smith (1980) dalam Stewart

(2005), yaitu :

1000 CD = 0.44 + 0.063 U10 ………..…...………..……… 12

3.3. Analisis Data

(38)

Analisis spasial merupakan metode umum untuk menampilkan distribusi

data yang berhubungan dengan ruang ke level yang dapat divisualisasi secara

mudah. Metode yang dilakukan yaitu dengan menginterpolasi antara data yang

satu dengan yang lain dalam bidang horizontal yang mencakup wilayah barat

Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa serta menampilkannya dalam bentuk

kontur dan gradasi warna serta vektor (Emery dan Thomson, 1999). Secara

spasial lokasi penelitian dibagi menjadi 6 wilayah yaitu SMT1 dan SMT2 di

perairan barat Sumatera, JAW1, JAW2, dan JAW3 di perairan selatan Jawa dan

Bali dan SMB di perairan selatan Sumbawa. Distribusi SPL, anomali TPL, dan

angin dianalisis berdasarkan pembagian wilayah tersebut, dimana setiap wilayah

diwakili oleh satu data.

Hasil perataan bulanan data SPL dan anomali TPL disajikan dalam bentuk

kontur dengan menggunakan software Ocean Data View mp ver. 3.0.

Sedangkan distribusi angin disajikan dalam bentuk vektor kecepatan angin

dengan menggunakan software Surfer 8.0.

Analisis sebaran horizontal digunakan untuk menampilkan sebaran suhu

permukaan dan anomali tinggi paras laut. Dari analisis sebaran horizontal

tersebut digunakan untuk melihat karakter fisik di wilayah tersebut.

3.3.2. Analisis Deret Waktu

Analisis deret waktu (Time Series Analysis) merupakan analisis yang

didasarkan pada asumsi bahwa nilai – nilai yang berurutan pada berkas data

diambil pada pengukuran dengan selang waktu pengukuran yang sama. Analisis

deret waktu mempunyai dua tujuan utama : 1) mengidentifikasi fenomena alam

yang diperlihatkan oleh pengamatan yang berurutan dimana terdapat

fenomena-fenomena yang berulang dengan melihat periodisitas dominannya, dan 2)

(39)

bentuk analisis deret ukur adalah penggunaannya untuk mengamati fenomena

yang ada seperti variabilitas musiman (seasonal variability) dengan

menginterpretasi periodisitas data yang dominan (StatSoft,1984).

Untuk mengetahui variabilitas temporal di sepanjang wilayah penelitian maka

dibuat profil waktu-bujur (Hovmoller’s plot) di sepanjang trek yang membujur dari

perairan barat Sumatera hingga selatan Jawa dan Sumbawa terhadap waktu

(Gambar 13). Profil waktu-bujur angin, SPL, dan anomali TPL dibuat dengan

menggunakan software Ocean Data View mp ver. 3.0. Trek dipilih sepanjang

lintasan yang melewati 6 wilayah penelitian dan didasarkan pada kapabilitas data

yang tersedia, dimana mengacu pada ketersediaan data angin yang memiliki

ukuran grid data paling besar. Selain itu untuk mengetahui variabilitas arah

angin dibuat pula diagram stick plot- nya.

Gambar 14. Trek yang digunakan untuk analisis waktu-bujur

Untuk mengetahui variabilitas suhu permukaan laut, tinggi paras laut dan

komponen angin berdasarkan frekuensi atau periode selama waktu pengamatan,

maka semua parameter tersebut dicari nilai densitas spektrum energinyanya.

Dari hasil spektrum energi parameter tersebut dapat diketahui periodesitas dari

fluktuasinya.

SMT1

SMT2

JAW1

JAW2 JAW3

(40)

Tabel 3. Lokasi yang mewakili setiap wilayah untuk analisis spektrum energi

Lokasi Bujur Lintang

SMT1 100,0o

Data angin, SPL, dan anomali TPL ditentukan densitas spektrum energinya

untuk menelaah energi dari fluktuasi yang signifikan. Dengan menggunakan

metode Fast Fourier Transform (FFT), komponen Fourier (X(fk)) dari data deret

waktu xt yang dicatat pada selang waktu h (1 minggu) diberikan oleh:

h = selang waktu pencatatan data (1 minggu), N adalah jumlah

pengamatan.

Nilai densitas energi spektrum (Sx) dihitung sebagai berikut:

2

Analisis spektrum silang antara kecepatan angin tiap komponen dengan

SPL dan anomali TPL di seluruh wilayah penelitian untuk menentukan koherensi

dan perbedaan fase (phase lag) diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu

densitas spektrum silang (Sx y(fk)) dari dua pasang data deret waktu xtdan yt

yang dicatat setiap selang waktu h:

)

(41)

Fungsi koherensi pangkat dua (ã2

xy(fk)) ditentukan dengan rumus:

)

dimana: Sx(fk) dan Sy(fk) adalah masing-masing densitas energi spektrum dari X

(fk) dan Y (fk).

Beda fase (phase lag) dihitung sebagai berikut:

Program komputer untuk analisis deret waktu menggunakan software

STATISTICA versi 6.0. Beda fase yang dihasilkan dalam satuan tan- 1. Satuan

dari beda fase ini dapat diubah dari tan- 1

menjadi rad dengan mengguna kan

perintah ATAN(èxy(fk)) pada software MS-EXCEL2003, dan untuk mengubah

menjadi derajat (o

) dengan menggunakan perintah ATAN(èxy(fk))*180/PI(). Untuk

memperoleh periode dalam satuan waktu (minggu) dapat dilakukan dengan

membagi nilai derajat (o

) dengan 360o

lalu dikalikan periode (dalam minggu) dari

fluktuasi tersebut.

Pada penelitian ini pencarian nilai Cross Spectral Density (CSD) dilakukan

pada beberapa pasang kelompok data yang didasarkan pada kesamaan waktu

perekaman data. Sesuai dengan tujuan penelitian yang utamanya ingin

menggambarkan hubungan antara SPL dengan angin serta anomali TPL dengan

angin maka data angin disesuaikan selang waktunya dengan kelompok data SPL

dan anomali TPL sehingga dapat dijadikan sepasang data yang dapat dianalisis.

Penggambaran hasilnya diwujudkan dalam bentuk grafik antara periode dengan

(42)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Angin

4.1.1. Distribusi Horizontal Angin

Distribusi horizontal angin ditunjukkan pada Gambar 15, yaitu berupa

penggambaran vektor kecepatan angin bulanan rata-rata. Pada periode Musim

Barat yaitu pada bulan Desember, Januari, dan Februari angin bertiup dengan

kecepatan rata-rata antara 2 m/s sampai 4,5 m/s di SMT1 dan SMT2 dan

mencapai 2 m/s sampai 6 m/s di JAW2 hingga SMB. Pola angin di perairan

Sumatera bagian tengah dekat ekuator (SMT1) menunjukkan arah angin dari

barat laut ke tenggara, sedangkan pada daerah yang membentang dari perairan

Sumatera bagian selatan (SMT2), hingga perairan selatan Jawa, Bali (JAW1 –

JAW3), Lombok, dan Sumbawa (SMB), angin bertiup dari barat daya ke timur

laut. Pada bulan-bulan tersebut posisi tegak lurus penyinaran matahari berada

pada belahan bumi selatan, sehingga pusat tekanan rendah berada di Benua

Australia dan pusat tekanan tinggi berada di Benua Asia, akibatnya pada

perairan utara Jawa dan Sumatera dekat ekuator angin akan bertiup dari timur

laut ke tenggara. Pada perairan selatan Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa,

pengaruh angin pasat akan menyebabkan arah angin bertiup dari barat daya ke

timur laut. Hal itu dapat kita lihat juga pada diagram stick plot angin pada

Gambar 16 dimana pada wilayah SMT1 pada periode Desember-Februari angin

rata-rata bertiup dari barat laut ke tenggara sedangkan pada wilayah SMT2 dan

SMB angin rata-rata bertiup dari barat daya ke timur laut.

Pada perairan Sumatera bagian Selatan hingga selatan Jawa-Sumbawa

(43)
(44)

Gambar 14. Distribusi horizontal angin bulanan rata-rata dari tahun 1993-2002

(a)

(b)

(c)

(d)

(45)

( f )

Gambar 16. Stick plot kecepatan angin di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c),

JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) dari tahun 1993-2002

ekuator (SMT1) dan perairan utara Jawa, angin yang bertiup pada periode ini

disebut dengan Angin Muson Barat Laut.

Musim Peralihan I antara Musim Barat ke Musim Timur yaitu pada periode

Maret-Mei, ditandai dengan pola angin yang mulai mengalami perubahan arah

dimana pada wilayah SMT1 angin berubah bertiup dari barat/barat daya ke

timur/timur laut. Sedangkan pada wilayah SMT2-SMB angin bertiup dari

tenggara ke timur laut. Hal ini disebabkan pergeseran posisi penyinaran

matahari dari belahan bumi selatan menuju ke ekuator, sehingga pusat tekanan

tinggi dan rendah berubah. Kecepatan angin pada Musim Peralihan I lebih tinggi

dibandingkan Musim Barat dimana kecepatan angin berkisar antara 2 m/s

sampai 3 m/s di SMT1 dan SMT2, hingga mencapai 4 m/s sampai 6 m/s di

sepanjang Pantai Selatan Jawa-Sumbawa (JAW1-SMB). Kondisi ini berbeda

dengan di perairan utara Jawa dimana kecepatan angin pada Musim Peralihan I

lebih rendah daripada kecepatan angin pada Musim Barat.

Pada bulan Juni dimana sudah memasuki Musim Timur, posisi matahari

mulai bergerak ke arah bumi belahan utara, sehingga pusat tekanan tinggi

berada di Benua Australia dan pusat tekanan rendah di Benua Asia. Perbedaan

tekanan ini menyebabkan angin bertiup dari Benua Australia menuju ke Benua

Asia. Kecepatan angin mencapai puncaknya pada bulan Agustus yang juga

merupakan puncak Musim Timur dimana kecepatan angin rata-rata mencapai

(46)

m/s di sepanjang JAW1-SMB. Hal tersebut diperjelas pada diagram stick plot

angin pada Gambar 16. dimana kecepatan angin tertinggi rata-rata terjadi pada

periode Musim Timur. Pada saat itu arah angin bertiup dari barat daya ke timur

laut di SMT1 dan dari tenggara ke barat laut di SMT2-SMB. Oleh sebab itu pada

wilayah Sumatera tengah dekat ekuator angin ini dinamakan Angin Muson Barat

Daya, sedangkan di sebagian wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali,

Lombok dan Nusa Tenggara disebut Angin Muson Tenggara (Wyrtki, 1961).

Musim Peralihan II dari Musim Timur ke Musim Barat dimulai pada bulan

September, dimana posisi matahari mulai bergerak ke arah ekuator. Musim

Peralihan II ditandai dengan angin yang mulai mengalami perubahan arah. Pola

angin yang terjadi menunjukkan penurunan kecepatan angin menjadi sekitar 1

m/s sampai 4 m/s di SMT1 dan SMT2 hingga 1,4 m/s sampai 8 m/s di Pantai

Selatan Jawa dan Sumbawa di bulan November. Pola perubahan arah dan

kecepatan angin dapat dilihat pada diagram stick plot pada Gambar 16, dimana

pada SMT1 angin rata-rata bertiup dari selatan ke utara, sedangkan pada

wilayah SMT2-SMB angin beriup dari tenggara/selatan ke timur laut/utara..

4.1.2. Variabilitas Spasial - Temporal Angin

Profil waktu-bujur (Hovmoller’s plot) dibuat untuk melihat variabilitas dan

seberapa besar kekuatan angin (magnitude, komponen meridional, dan

komponen zonal) dalam kurun waktu 1993-2002 di sepanjang trek (perairan

barat Sumatera hingga selatan Jawa-Sumbawa). Dari hasil plot waktu-bujur

kecepatan angin (Gambar 17. b), pada sepanjang transek, pola kecepatan angin

tinggi terjadi sekitar bulan Juni sampai November di tiap tahun pengamatan yang

berkisar antara 6 m/s sampai 9,5 m/s. Sedangkan pola kecepatan angin rendah

terjadi sekitar bulan Desember sampai Mei tiap tahun pengamatan yang berkisar

(47)

Dapat dilihat bahwa selama waktu pengamatan memperlihatkan adanya pola

angin dengan kecepatan tinggi dan kecepatan rendah yang saling bergantian.

Pergantian pola kecepatan angin ini masing-masing terjadi satu kali dalam satu

tahun, dengan lama masing-masing terjadinya pola kecepatan angin sekitar 6

bulanan.

.

Gambar 17. Trek sepanjang perairan barat Sumatera dan Selatan Jawa. Profil waktu-bujur sepanjang trek kecepatan angin (a), kecepatan angin komponen zonal (b), dan kecepatan angin komponen utara- selatan dari tahun 1993-2002. Garis utuh menunjukkan arah timur (utara) dan garis putus-putus menunjukkan arah barat (selatan) pada komponen zonal (meridional)

(48)

Pola kecepatan angin tinggi tiap tahun pengamatan terjadi ketika Muson

Tenggara terlihat jelas pada SMT 2 sampai SMB. Angin yang datang langsung

dari Samudera Hindia dan Australia mempunyai kecepatan yang lebih tinggi. Hal

ini berkaitan dengan posisi transek yang berada dekat dengan pusat tekanan

tinggi di Samudera Hindia ketika Angin Muson Tenggara bertiup. Sedangkan

pada SMT1 dikarenakan dengan posisinya di dekat ekuator, sehingga kecepatan

anginnya rendah hal itu juga berkaitan dengan terjadinya pembelokan arah angin

muson dari arah tenggara-barat laut (dari selatan ekuator) menjadi barat

daya-timur laut (ke utara ekuator) yang melemahkan kecepatan angin di wilayah

tersebut. Hal ini menyebabkan di wilayah SMT1 perbedaan pola kecepatan

tinggi dan pola kecepatan rendah tidak terlalu terlihat dalam periode 1 tahun,

namun perubahan pola tersebut dapat dilihat dari periodisitas energi

spektrumnya meski dengan kekuatan yang tidak terlalu tinggi.

Pola kecepatan angin rendah tiap tahun pengamatan terjadi ketika

berlangsungnya Angin Muson Barat Laut. Angin yang datang dari arah utara

mempunyai kecepatan yang lebih rendah, hal ini diduga karena angin akan

mendapatkan gaya tekanan yang besar dari daratan ketika melewati Benua Asia

yang luas termasuk kepulauan Indonesia.

Profil waktu-bujur kecepatan angin komponen zonal memperlihatkan pola

perubahan yang saling bergantian antara nilai komponen angin dari timur

(bernilai negatif) dan komponen angin dari barat (bernilai positif), artinya dalam

satu tahun terjadi pembalikan arah angin dari barat ke timur (Gambar 17. c). Hal

ini terkait dengan perubahan arah angin muson dua kali dalam setahun yaitu

Muson Barat Laut dan Muson Tenggara.

Di setiap tahun pengamatan nilai komponen angin dari barat terjadi di sekitar

(49)

JAW1 sampai SMB dan 5-7 m/s di SMT1-SMT2. Dominasi komponen angin dari

timur terjadi sekitar bulan April sampai November, sehingga komponen angin

dari timur lebih mendominasi daripada komponen angin dari barat sepanjang

tahun pengamatan. Nilai komponen angin dari timur tertinggi mencapai -3,5

sampai -5,5 m/s di SMT1 dan SMT2 dan -7,5 sampai -9,6 m/s di JAW1 sampai

SMB.

Profil waktu-bujur kecepatan angin komponen meridional di perairan barat

Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa didominasi oleh komponen angin dari

selatan (Gambar 17.d). Kecepatan angin dari selatan yang tinggi terjadi sekitar

bulan Juli sampai Desember dengan nilai tertinggi mencapai 5,5 m/s, sedangkan

komponen angin dari utara terjadi dalam waktu yang relatif lebih pendek sekitar

bulan Januari dan Februari di wilayah JAW1 sampai JAW3 dengan kecepatan

tertinggi mencapai -1,5 m/s.

Secara umum fluktuasi kecepatan angin yang terjadi di perairan barat

Sumatera dan selatan Jawa dipengaruhi oleh Sistim Muson. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya perubahan kecepatan angin dimana terjadi pergantian arah

angin dalam 1 tahun (Gambar 16-17).

4.2. Suhu Permukaan Laut

4.2.1. Distribusi Horizontal Suhu Permukaan Laut

Pola distribusi horizontal suhu permukaan laut bulanan ditampilkan pada

Gambar 18. Berdasarkan data SPL bulanan rata-rata dari tahun 1993 hingga

2002, pada Musim Barat (Desember-Februari) SPL berkisar antara 28,5oC

sampai

29o C. Tingginya SPL pada Musim Barat, di wilayah barat Sumatera diperkirakan

akibat datangnya arus besar dari arah b arat di dekat ekuator yang dikenal

(50)

Current). Arus ini membawa massa air hangat akibat penerimaan bahang yang

terus-menerus selama perjalanannya dari Samudera Hindia dekat ekuator

menuju ke perairan barat Sumatera (Wyrtki, 1961). Arus ini menyusuri pantai

barat daya Sumatera dan bertemu dengan AKS dari timur di sekitar barat daya

Sumatera, kemudian arus ini mengalir dekat pantai di perairan selatan Jawa dan

Sumbawa sebagai APJ. SPL menjadi tinggi di perairan Selatan Jawa diduga

akibat berkembangnya APJ yang mengalir ke perairan selatan Jawa dari

perairan barat Sumatera yang

Gambar

Gambar 1.  Pola arus pada bulan Agustus (a) dan Februari (b) (Wyrtki, 1961)
Gambar 3.  Profil melintang suhu terhadap waktu dari data hidrografi dan                     XBT/MBT sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (Susanto et al.,                     2001)
Gambar 4.  Gesekan angin rata-rata bulanan dari ERS yang ditumpang tindih                     dengan gesekan angin sejajar pantai (alongshore wind stress) yang                     paralel dengan perairan barat Sumatera dan selatan Jawa
Gambar 5.  Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama                    periode Muson Tenggara pada bulan Juni-November
+7

Referensi

Dokumen terkait

Isrina Laila, memaparkan bahwasanya media VCD mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap hasil belajar siswa pada materi pengurusan jenazah, karena berdasarkan

Melakukan pengamatan pada alat ukur PQM (yang meliputi nilai batas tegangan, harmonik, batas frekuensi dan ketidakseimbangan tegangan tiga fasa) untuk tiga kondisi

Setelah kelajuan pemutar motor sangkar tupai mencapai kelajuan segerak, bekalan akan diujakan oleh pemutar bagi mendapatkan medan magnet pemutar yang akan

Dalam mencapai suatu tujuan pendidikan, seseorang memerlukan sebuah motivasi atau dorongan. Motivasi merupakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang, yang

menanyakan kepunyaan mengukuhkan informasi yang telah diketahui menanyakan cara dipergunakan dalam kalimat tanya retoris Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas

Data input yang dibutuhkan untuk membuat Table from to chart yaitu besarnya ongkos dari suatu stasiun kerja ke stasiun lainya pada proses produksi, rekap nilai dari OMHawal..

tenggorokan sejak 1 bulan yang lalu, sebelum keluar nanah pasien makan es dan tenggorokannya menjadi tidak enak dan malamnya pasien demam. Demam ini terus menerus selama 2 minggu

Formulasi dari struktur aktiva adalah sebagai berikut: Struktur aktiva :  Aktiva Total Tetap  Aktiva Total (Syamsudin 2001:9) Perusahaan yang mempunyai aktiva tetap jangka panjang