• Tidak ada hasil yang ditemukan

Globalisasi Dalam Perspektif Sosial dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Globalisasi Dalam Perspektif Sosial dan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Globalisasi Dalam Perspektif Sosial dan Budaya di Indonesia; Antara Peluang dan Tantangan

Slamet1

Abstract

The dialectic's process of global and local culture is an historic certainty, as a result of the globalization. Globalization has “invaded” all spheres of life. Beginning from economic, politic, and social-culture. One of the impacts of it’s changes in the socio-culture structure in the society. So, there is a new challenges for the local cultures in the developing countries. They have to choose between be “The Net” and “The Self”, or between change local culture into global culture and maintain of local culture.

Muller said that the every political development which is not consider of local wisdom surely would fail, but it’s not for globalization. Because it’s a process of making cultures in the world as a global culture through information technology (IT). Media produced a reality in its self perspective as a reality in the world, after that young generation follow it and make it as a new reality. So they have to follow that. This media construction is a part of globalization impacts.

Now, young generation in Indonesia didn’t feel about interest of keeping for local culture. So, it’s our responsibility to keep it. People have to aware that culture is vital unsure of democracy for this country. And the differences between one culture and another culture in the world is certainty. For that, God has been said in His holly book, so all human being in the universe may learn about that differences.

Key Word: Globalization, Democracy, Social-Culture

1

(2)

Pendahuluan

Membincang Indonesia dan kekayaan budayanya, tak ubahnya membahas garam di lautan. Pernyataan itu—dalam hemat penulis—kiranya tidak berlebihan untuk mengibaratkan betapa Indonesia memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya. Kekayaan khasanah kebudayaan tersebut merupakan konsekuensi logis dari wilayah-wilayah di Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Alhasil, Indonesia sangatlah kaya dengan budayanya.

Namun, kebudayaan yang telah terbangun lama ternyata belum sepenuhnya terpatri dalam sistem kehidupan sosial masyarakatnya. Budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kian lama kian menghilang dari peredarannya. Salah satu sebabnya adalah mewabahnya arus globalisasi yang telah mengikis sendi-sendi kehidupan masyarakat, terutama dalam hal perubahan sistem sosial dan kebudayaan. Akhirnya, kebudayaan Indonesia yang sebelumnya mengakar di masyarakat sebagai sebuah sistem, semakin lama semakin tergerus dan meninggalkan kemajuan zaman.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga—istilah lain dari negara berkembang yang digagas oleh Alfred Sauvy (1952)—memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap negara-negara maju. Johannes Müller mengatakan bahwa negara-negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap negara maju dalam tiga hal besar, yaitu; ketergantungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya.2 Dalam hal ketergantungan sosial-budaya, negara dunia ketiga lebih banyak mengadopsi budaya-budaya barat yang dianggapnya lebih maju dan jauh meninggalkan kebudayaan “primitiv”. Terlebih ketika barat telah menguasai dunia informasi maka pertukaran kebudayaan seperti tanpa batas, dan sayangnya masyarakat dunia ketiga tak mampu memfilternya. Akibatnya, budaya-budaya asli yang bersumber dari warisan leluhur semakin lama semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya. Jika hal itu terjadi, maka tidak bisa dipungkiri generasi muda yang akan datang tidak akan mengenal lagi kebudayaan, nilai-nilai dan sistem sosial masyarakat yang “otentik Indonesia”.

Interpretasi Globalisasi

Globalisasi merupakan proses integrasi karakteristik lokal kepada arus global, yang sebagian besar dilakukan melalui teknologi komunikasi dan informasi. Meskipun awalnya dipandang sebagai suatu proses mengintegrasikan perekonomian lokal ke dalam ekonomi dunia, namun pada akhirnya globalisasi merujuk kepada ruang di mana terjadi proses interaksi global melalui sarana

2

(3)

teknologi komunikasi.3 Interaksi global yang dimaksud dalam kerangka ini adalah interaksi yang melibatkan seluruh masyarakat dunia, baik dalam hal ekonomi, sosial-politik maupun budaya.

Secara historis, globalisasi bukanlah fenomena baru, akan tetapi perubahannya dapat diteliti baik dalam hal skala, kecepatan dan kognisinya. Dalam kerangka skala, hubungan ekonomi, politik dan sosial antar negara telah menjadi lebih dari sebelumnya. Globalisasi telah mengalami semacam kompresi temporal dan spasial dalam hal kecepatan yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya. Dalam kerangka kognisi, globalisasi telah berhasil mendefinisikan dunia sebagai ruang kecil, di mana setiap fenomena dan peristiwa memiliki beberapa konsekuensi pada kehidupan ekonomi, sosial dan politik.4 Konsekuensi tersebut tentunya disebabkan oleh lahirnya teknologi informasi yang mampu meniadakan skat geografis antar negara.

Akhirnya, dengan adanya globalisasi ini seluruh masyarakat dunia menjadi “haus” informasi. Hingga menempatkan informasi sebagai kebutuhan primer. Bahkan manusia saat ini tidak bisa (baca: sangat susah) untuk dipisahkan dengan keberadaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-harinya dan media telah

3

H. Tapper, “The Potential Risks of the Local in the Global Information society”, Journal of Social Philosophy, 31, April 2000, hal, 524-434. Akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Potensi internet dan telepon seluler untuk menyediakan akses ke informasi dan pengetahuan, dan rekor yang telah mereka catat untuk menyediakan cara-cara baru bagi orang-orang yang terpisah secara geografis untuk membentuk komunitas-komunitas berdasarkan ketertarikan akan hal yang sama, untuk berkomunikasi, dan membuat suara mereka didengar, merupakan hal yang telah diakui secara luas, khususnya di negara-negara berkembang, di mana masyarakat memposisikan media sebagai alat pemberi informasi, penganalisis, dan memungkinkan mereka untuk memahami dunia mereka dan berperan dalam lingkungan mereka. lihat Ardian Alhadath, “Media Massa dan Transformasi Sosial; Sebuah Pengantar”, Jurnal CIVIC 1, (2003), hal, 11-26.

4

Hassan Danaeefard dan Tayebeh Abbasi, “Globalization and Global Innovation”, (2011), hal, 67-80. Banyak karya para intelektual yang menggambarkan persepsi globalisasi sebagai segela hal berasal dari Praktek-praktek Barat. Benjamin Barber Jihad vs McWorld (1995) menggambarkan globalisasi sebagai steam roller budaya yang mengubah dunia secara global. Di mana ia memfokuskan—secara eksklusif—pada Barat sebagai sumber globalisasi. Lihat Ronald Lukens-Bull, Amanda Pandich, John P. Woods, “Islamization as Part of Globalization: Some Southeast Asian Examples”, Journal of International and Global Studies, Vol. 3, hal, 32-46.

(4)

menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan manusia modern. McQuail—dalam Henry Subiakto—setidaknya memberikan pandangan tentang peran utama media bagi kehidupan manusia modern. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, media massa sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri.

Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, impliying a faithfull reflection (cermin dari berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat dan dunia). Secara lebih ringkas, media dianggap sebagai refleksi atas realitas yang ada. Ketiga, media massa juga dianggap sebagai filter atau gate kepper yang menyeleksi berbagai macam hal untuk diberi perhatian atau tidak. Keempat, media massa seringkali dianggap sebagai penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas ketidak pastian atau alternatif yang beragam.

Kelima, media dipandang sebagai sebuah forum untuk mempresentasikan berbagai informasi, gagasan, dan ide-ide kepada khayalak, sehingga memungkinkan terjadinya tenggapan dan umpan balilk (feedback). Dan keenam, media massa dipandang sebagai interlocutor , yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.5

Terkait peran utama media—sebagaimana dijelaskan McQuail diatas— tentunya dapat dipahami secara ringkas bahwa media telah mendapatkan posisi yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Ketergantungan terhadap media ini dibaca dengan baik oleh negara-negara barat sebagai produsen teknologi informasi untuk melakukan proses transfer budaya dan sebagainya. dalam kondisi seperti ini, negara yang menguasai teknologi informasi dengan mudah dapat menguasai negara-negara yang “memposisikan” dirinya sebagai konsumen. Masyarakat yang demikian cenderung mengalami sebuah proses yang disebut dengan objektivitas manusia, yaitu terperangkapnya manusia ke dalam kerangka sistem budaya dan teknologi sedemikian rupa, sehingga dirinya menjadi komponen yang amat tergantung pada sistem tersebut.6

Indonesia; Be The Self or The Net?

Istilah “The Self” diartikan sebagai masyarakat yang mempertahankan nilai-nilai asli (lokal), sedangkan “The Net” didefinisikan sebagai sekelompok masyarakat yang melebur pada jaringan global. Perubahan dari The Self menuju

5

Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana, 2012), hal, 106.

6

(5)

The Net biasanya diawali dengan persinggungan melalui teknologi informasi, kemudian tercipta semua interaksi yang masiv antar dua kebudayaan yang berbeda. Manuel Castell—dalam A. Safril Mubah—menyatakan bahwa:

meluasnya jejaring komunikasi yang menyebabkan hubungan antar masyarakat di seluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat, menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli (the self) atau ikut melebur dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat jaringan global (the net). Castell menambahkan, kuatnya penetrasi budaya yang terglobalkan menyebabkan sebagian orang merasa identitas aslinya telah usang karena tidak sejalan dengan globalisasi. Mereka lantas mengalami krisis identitas dan akibatnya meninggalkan the self untuk bergabung dalam the net.7

The Net memaksa masyarakat dunia untuk menyatukan kebudayaan antar bangsa yang berbeda kepada istilah kebudayaan global (Global Culture). Hal ini sebagai akibat dari persinggunggan antara negara barat dengan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Di satu sisi, negara barat terus melakukan penetrasi kebudayaan kepada negara Indonesia. Namun di sisi lain, kenyataan yang ada Indonesia belum mampu menguasai teknologi informasi. Problem yang muncul kemudian adalah melunturnya warisan identitas kultural bangsa yang menjadi ciri khas pembeda antara Indonesia dengan negara-negara barat. Hal ini sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, termasuk negara-negara berkembang lainnya yang dijadikan sebagai target potensial bagi persebaran identitas kultural negara-negara maju.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Quo vadis Indonesia; Be The Self or The Net? Pertanyaan tersebut merupakan refleksi atas kebudayaan Indonesia yang kian lama kian tercerabut dari akarnya. Problem masyarakat yang sangat mudah mengadopsi kebudayaan baru menjadi salah satu faktor sulitnya mempertahankan kebudayaan Indonesia. Masyarakat kini telah melebur kepada komunitas masyarakat global yang menganggap kebudayaan barat lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dunia saat ini. Serta memberikan stigma negatif atas budaya bangsa sendiri sebagai budaya yang tertinggal dari istilah maju. Perubahan sikap yang sangat terasa dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini adalah tumbunya budaya individualis yang mengalahkan semangat gotong royong dan kekeluargaan yang telah dibangun sejak dahulu.

Jika problem ini terus terjadi maka Indonesia benar-benar hanya menjadi komunitas The Net yang tak bisa menampakkan jatidirinya dalam percaturan global. jika pun harus menjadi komunitas jaringan global, setidaknya identitas bangsa Indonesia tetaplah ada. Dalam hal kebudayaan, mestinya masyarakat Indonesia tidak perlu malu untuk menunjukkan identitasnya. Menjadi problem jika identitas suatu bangsa hilang dan menyatu ke dalam identitas global yang

7

(6)

berkiblat kepada dunia barat. Jika hal itu terjadi maka tidak ada bedanya antara cabai yang kehilangan rasa pedasnya gula yang kehilangan rasa asinnya. Perbedaan tersebut merupakan sebuah keniscayaan, sehingga ketika perbedaan tersebut disatukan dalam persamaan global sebenarnya telah mencidrai hakikat dari fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki karakteristik berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Dalam perspektif teologis, Tuhan sejak awal telah mendesain kehidupan manusia dengan penuh perbedaan. Mulai dari penciptaan laki-laki dan perempuan, kemudian menjadikan mereka berbeda-beda bangsa dan suku. Konsekuensi dari perbedaan tersebut adalah perbedaan pada sistem sosial, adat istiadat, agama, bahasa, dan nilai-nilai sosial yang berlaku di tiap-tiap komunitas masyarakat. Dalam ayat tersebut secara jelas diungkapkan bahwa tujuan dari perbedaan-perbedaan yang diciptakan itu adalah agar umat manusia di dunia ini saling mengenal dan belajar dari sebuah keragaman (interaksi sosial).8

Jika masalah perbedaan budaya ini dipahami dari pendekatan teologis, maka seharusnya hal ini bisa dijadikan sebagai fenomena yang tidak perlu dipersatukan, karena pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Namun sayang, pemahaman problem pluralitas ini belum sepenuhnya dimengerti oleh generasi muda saat ini. Mereka masih beranggapan bahwa realitas yang disampaikan oleh media sebagai realitas yang sebenarnya. Bukan realitas semu. Alhasil, melalui intensitas persinggungan pada media serta kurangnya kemampuan untuk melakukan penyaringan pada arus informasi yang masuk, media dengan begitu mudahnya menguasai paradigma generasi muda untuk meninggalkan identitas lokal menuju identitas global.

Problem semacam ini, akan terus menggerus generasi muda selama mereka belum mampu membuat titik balik atas fenomena globalisasi. Artinya, globalisasi dipahami sebagai sebuah peluang untuk mengenalkan kebudayaan-kebudayaan bangsa kepada dunia bukan sebaliknya, menghilangkan budaya lokal kemudian menggantinnya dengan budaya-budaya yang berkembang.

Proteksi Kebudayaan Nasional

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia yang sangat luas. Tidak kurang dari 450 suku dan semuanya mengaku sebagai bangsa Indonesia. suku-suku tersebut hidup dan berkembang dalam kondisi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Kondisi yang memperlihatkan keanekaragaman ekspresi

kehidupan yang berupa produk-produk budaya.9Budaya adalah hasil budi dan

8

Lihat Q.S 49: 13. 9

(7)

daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Bronislow Malinowsky, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem teknologi dan kesenian.10

Sebagaimana dijelaskan oleh Malinowsky, organisasi sosial merupakan salah satu “pilar” kebudayaan. Artinya, sebagai bagian dari kebudayaan, ia juga memiliki kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kebudayaan yang berkembang di masyarakat sebagai warisan peradaban masa lampau. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan globalisasi yang kian menjamur ke seluruh level kehidupan masyarakat organisasi sosial harus menjadi garda terdepan dalam pelestarian budaya nasional.

Namun—terkadang—peran organisasi sosial tersebut tidak diimbangi dengan perhatian dari generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian warisan kebudayaan nasional. Sebut saja batik. Saat ini pemerintah melalui kebijakannya telah menetapkan hari batik nasional dan hari wajib batik yang diberlakukan di instansi-instansi pemerintah. Tapi di kalangan anak muda, batik hanya sekadar “fashion”. Lagi-lagi bukan mempelajari bagaimana memproduksi—atau lebih tepat menjaga—warisan batik tersebut, yang terjadi justru daya konsumtifnya yang semakin meningkat.

Budaya sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia kini tengah mendapatkan tantangan serius. Ia tidak hanya mulai kehilangan penerusnya, tapi pengakuan terhadap identitas lokal semakin lama semakin hilang. Sebagaiman diketahui bahwa pilar demokrasi di Indonesia mensyaratkan Bhineka Tunggal Ika sebagai salah unsure kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, negeri ini mengakui adanya pluralitas sekaligus menempatkannya ke dalam unsur vital keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, perbedaan budaya inilah yang seharusnya ditekankan sebagai pembeda antara demokrasi di Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia. Sehingga nilai-nilai kebudayaan yang telah berkembang di masyarakat dan telah mengakar dalam sistem kehidupan mereka harus dijaga demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Mulai pudarnya kebudayaan di Indonesia sebagai akibat dari globalisasi ini, sudah tak perlu lagi menyalahkan satu pihak atau menyudutkan pihak lainnya. Tugas berat menjaga warisan nenek moyang bangsa Indonesia ada pada semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali pemerintah. Keberpihakan para petinggi negeri terhadap pelestarian budaya-budaya di Indonesia memiliki peranan penting. Karena masyarakat tanpa pemerintah akan pincang, begitu pula

10

(8)

sebaliknya. Keberadaan masyarakat dengan segenap asset kebudayaan yang dimilikinya memiliki andil besar dalam menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia.

Proteksi terhadap pelestarian kebudayaan tidak hanya dilakukan melalui event-event sebagaimana yang sering dilaksanakan saat ini. pameran kebudayaan—terlepas dari sisi positifnya—lebih mendekati pada proses komersialisasi kebudayaan yang bersumber dari para pemodal dan berimbas pada dunia industri. Bukan pada pelestarian nilai-nilai yang ada pada kebudayaan tersebut.

Kesimpulan

Globalisasi merupakan sebuah perjalanan peradaban dunia yang tidak mungkin dapat dihindari. Hal itu sebagai akibat dari lahirnya teknologi informasi yang dengan mudah dapat memenuhi “kebutuhan” seluruh aspek kehidupan manusia. Media melakukan konstruksi kepada masyarakat global agar realitas yang diciptakan sebagai realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan nyata. Alhasil, informasi yang berkembang melalui media diyakini begitu saja tanpa melakukan proses filterisasi terlebih dahulu.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga—istilah lain dari negara berkembang yang digagas oleh Alfred Sauvy (1952)—memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap negara-negara maju. Johannes Müller mengatakan bahwa negara-negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap negara maju dalam tiga hal besar, yaitu; ketergantungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya.11 Dalam hal ketergantungan sosial-budaya, negara dunia ketiga lebih banyak mengadopsi budaya-budaya barat yang dianggapnya lebih maju dan jauh meninggalkan kebudayaan “primitiv”.

Oleh karena itu, tanpa bisa terlepas dari arus globalisasi, kebudayaan yang telah berkembang di masyarakat sebagai warisan nenek moyang harus dijaga keberlangsungannya. Hal ini penting sebagai upaya mempertahankan identitas bangsa. Karena pada dasarnya setiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. fenomena ini secara empiris dapat dibuktikan dari pendekatan teologis maupun sosiologis. Oleh karena itu, perbedaan budaya adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga oleh setiap komponen bangsa dalam rangka menjaga pilar Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia[]

11

(9)

Daftar Pustaka

Alhadath, Ardian, 2003, “Media Massa dan Transformasi Sosial; Sebuah Pengantar”, Jurnal CIVIC 1, 2003.

Ambari, Hasan Muarif, 2008, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Mubah, A. Safril, 2011, “Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya Hegemonisasi Global”, Jurnal Global & Strategies, Edisi Khusus, Desember 2011.

Mulkhan, Abdul Munir, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah; Episod Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, Jogjakarta: Sipress.

Muridan, 2007, “Dakwah Islam dalam Konteks Pluralitas Budaya Lokal”, Jurnal Komunika, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2007.

Müller, Johannes, 2006, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lukens, Ronald -Bull, Amanda Pandich, John P. Woods, “Islamization as Part of Globalization: Some Southeast Asian Examples”, Journal of International and Global Studies, Vol. 3.

Razak, Mohd Abbas Abdul, 2011, “Globalization and its Impact on Education and Culture”, World Journal of Islamic History and Civilization, 1.

Ridell, Petter G., 2008, “Globalisation, Western and Islamic, into the 21st Century: Perspectives from Southeast Asia and Beyond”, Journal Asian Christian Review , 2, 2008.

Ridwan, 2005, “Dialektika Islam dengan Budaya Jawa”, Jurnal Ibda` Vol. 3 No. 1, Januari-Juni 2005.

Subiakto, Henry dan Rachmah Ida, 2012, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Jakarta: Kencana.

Sulaeman, M. Munandar, 1998, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Pintu Air

Pembuatan LKN (Laporan Kunjungan Nasabah) dan Persetujuan Pada tahap ini UH dan AOM akan menganalisis seluruh aspek usaha dan jaminan nasabah yang telah didapat

Kajian ini bertujuan untuk (1) mengetahui produktivitas penulis artikel bidang ilmu psikologi menggunakan dalil Lotka, khususnya yang disajikan dalam Jurnal Psikologi dan Buletin

Untuk SAP Supplier InfoNet, "Pengeluaran" atau "Data Pengeluaran" berarti total jumlah uang transaksi antara Pelanggan dan pemasoknya (termasuk data utang

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (kmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan [,embaran Negara Republik

Apakah ekstrak etanol rimpang lempuyang gajah (Zingiber zerumbet L.) dan lempuyang emprit (Zingiber littorale Val.) memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker

belakangi oleh faktor ekonomi, dikarenakan untuk mengadakan pernikahan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, jika mengadakan pernikahan dua mempelai dalam waktu yang sama

(2) Unit kerja dapat melakukan kerjasama dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung dalam hal pada saat pendaftaran peralihan Hak Atas tanah dan/atau Bangunan terdapat