• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDON"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis versus positivis, ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama, meskipun   demikian   aliran   positif   baru   mulai   berkembang   pesat   pada abad ke­19 ketika empirisme mendominasi pemikiran.1  Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme, artinya antara empirisme dan   positivisme   tidak   dapat   dipisahkan.2  Pesatnya   perkembangan positivisme   terjadi   setelah   menangnya   gerakan   sekularisasi,   yang berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan gereja yang menawarkan basis pemikiran transendental.3 

Begitu juga aliran hukum positif (positivism) yang berkembang pada abad pertengahan, dimana  positivism  merupakan reaksi  penolakan  atas aliran   hukum   alam   (natural   law)  yang   menggabungkan   hukum   dan moral.4 Untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivism  tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari  positivism  itu pada awalnya, bahwa sebelum abad ke­18 pikiran berkenaan dengan positivism

sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara­ negara   modern.  Positivism  memiliki   cara   pandang   yang   berbeda   dalam melihat hukum,  positivism  sangat mengagungkan objektivisme daripada subjektivisme serta lebih menggunakan pendekatan sekuler dan positivis dalam menganalisis hukum itu sendiri. 

Secara   garis   besar  positivism  terpecah   menjadi   2   aliran   yaitu

positivism  analisis yang digagas oleh John Austin dan  positivism  murni

1 Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jambi:  Magister Ilmu Hukum UNJA, 2010) hlm.19.

Ibid.

Ibid.

(2)

yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam pandangan Austin, hukum itu adalah   sekelompok   tanda­tanda   (sign)   yang   mencerminkan   kehendak (wish)   dan   disusun   atau   diadopsi   oleh   pemegang   kedaulatan   (the sovereign). Sementara itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem   norma.   Norma   adalah   pernyataan   yang   menekankan   aspek seharusnya   atau  das   sollen,   dengan   menyertakan   beberapa   peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma­norma adalah produk dari aksi manusia   yang   deliberatif.   Kelsen   menyakini   bahwa   ada ketidakmungkinan memunculkan kesimpulan dari kejadian faktual bagi

das   sollen.   Sehingga,   Kelsen   percaya   bahwa   hukum   yang   merupakan pernyataan­pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi­ aksi alamiah. 

(3)

mengungkapkan tekanan­tekanan dari pemikiran  positivism  yang dapat mengantarkan   kita   pada   pemahaman   yang   lebih   kompleks   terhadap pengaruh positivism yang menganggap hukum itu tidak memiliki sangkut paut dengan moral maupun keadilan. Dengan berlatar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh

Positivism Dalam Hukum Di Indonesia” dalam penulisan makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Perkembangan   serta   hal­hal   yang   menjadi   akibat   dari   pengaruh

positivism seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk diangkat dan dibahas,   maka   dari   itu   dalam   makalah   ini   dirumuskan   beberapa permasalahan, yaitu :

1. Apa peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia? 2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap peraturan perundang­

undangan di Indonesia?

C. LANDASAN TEORI

1. JOHN AUSTIN

(4)

penguasa.  Maka   untuk   dapat   disebut   hukum   menurut   Austin diperlukan   unsur­unsur   sebagai   berikut:  command  (perintah),

sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi). Jadi menurut   Austin,   hukum   positif   merupakan   kehendak   (perintah) dari   penguasa   yang   wajib   untuk   dilaksanakan.   Apabila   tidak dilaksanakan   maka   akan   ada   sanksi   yang   dijatuhkan.   Kehendak yang   memuat   sanksi   tersebut   harus   diungkapkan   dengan   jelas sehingga   menjamin   adanya   persamaan   kedudukan   di   hadapan hukum bagi semua orang. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa orang   yang   berdaulat,   untuk   keperluan   anggota­anggota   dari masyarakat   politik   yang   merdeka,   dimana   penguasa   atau   badan tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan tertinggi. Austin juga mengklasifikasi hukum sebagai berikut:

Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).

Yang termasuk dalam hukum yang sebenarnya (laws properly  so called) adalah:

Laws of God Laws by metaphor

Laws properly so called Laws improperly so called

Laws set by men, not  as political superiors  (nor in pursuance of 

legal right)

Laws by analogy

Positive Morality Human Laws

(5)

a. Hukum Tuhan (Laws of God)

b. Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk manusia   lain.  Hukum   manusia   (human   laws)   dibedakan   lagi menjadi:

(1) Hukum   yang   dibuat   oleh   penguasa   politik   yang   sedang memegang   kekuasaan   atas   orang­orang   yang   secara   politis ada   di   bawah   kekuasaannya.   Hukum   ini   disebut   hukum positif   (Positive   Laws),   contohnya   peraturan   perundang­ undangan.

(2) Aturan­aturan   yang   tidak   dibuat   oleh   penguasa   politik, misalnya   aturan   yang   dibuat  ustad  kepada  santrinya, majikan   kepada   buruhnya,   dan   guru   kepada   muridnya. Aturan­aturan ini menghasilkan suatu moral positif (positive morality).

Yang   termasuk   dalam   hukum   yang   tidak   sebenarnya   (laws improperly so called) adalah:

a. Hukum   hasil   analogi   (laws   by   analogy),   yang   diciptakan   dan diberlakukan   melalui   pendapat   umum,   misalnya  etika berpakaian,   etika   makan   dengan   table   manner  dan   hukum internasional.   Aturan   melalui   bentukan   pendapat   umum   ini dilakukan   dengan   cara   menganalogikan   “hukum”   tersebut. Sekelompok masyarakat bersama­sama memiliki nilai­nilai yang disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat dengan nilai­nilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan oleh   negara.  Laws   by   analogy  ini   menghasilkan   suatu   moral positif. 

(6)

2. HANS KELSEN : THE PURE THEORY OF LAW

Kelsen   menolak   pendapat   aliran   Natural   Law   yang   menggabungkan antara   hukum   dengan   moralitas.5  Sebagai   seorang   positifis,   Kelsen mengatakan bahwa  teori  hukum harus  dibedakan  dengan hukum  itu sendiri.  Objek   ilmu   pengetahuan   hukum   adalah   sifat   normatif   yang diciptakan   hukum   yaitu   sifat   keharusan   untuk   melakukan   suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu pengetahuan   hukum   adalah   norma   hukum   yang   terlepas   dari pertimbangan­pertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre).

Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu dan   tempat.   Teori  hukum   harus  bebas   dari  bidang­bidang  lainnya  di luar   hukum.  Teori   umum   tentang   hukum   yang   dikembangkan   oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat   perbuatan   yang   diatur   oleh   hukum,   dan   aspek   dinamis

(nomodinamic ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Karakteristik   dari   norma   adalah   sifatnya   yang   hipotetis,   lahir   bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia.6 Kemauan dan   akal   ini   menelorkan   pernyataan   yang   berfungsi   sebagai   asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur   hukum   positif,   yang   dilakukan   seeksak   mungkin,   suatu analisis   yang   bebas   dari   semua   pendapat   etis   atau   politis   mengenai suatu   nilai”.   Kelsen   pada   dasarnya   ingin   menciptakan   suatu   ilmu

5Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law (Jakarta: Program Studi  Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlmn.272.

(7)

pengetahuan   hukum   murni,   menghilangkan   dari   semua   unsur­unsur

 Sebagai   suatu   teori   tentang   norma­norma,   teori   hukum   tidak

berurusan dengan persoalan efektivitas norma­norma hukum.

 Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara

pengaturan dari isi yang berubah­ubah menurut jalan atau pola yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif   tertentu   adalah   seperti   antara   hukum   yang   mungkin   dan hukum yang ada.

Dinyatakan   oleh   Kelsen   bahwa   Hukum   adalah   sama   dengan   negara. Suatu   tertib   hukum   menjadi   suatu   tertib   negaram,   hal   itu   terjadi apabila   tertib   hukum   itu   sudah   menyusun   suatu   badan­badan   atau lembaga­lembaga   guna   menciptakan   dan   mengundangkan   serta melaksanakan hukum. Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem norma.   Norma   bukanlah   suatu   pernyataan   mengenai   realita   sehingga dengan   demikian   tidak   dapat   dikatakan   “benar”   atau   “salah”   dengan ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.8 

Bagi   Kelsen,   hukum   terdiri   dari   norma­norma   dimana   norma­norma tersebut   bersumber   dari   norma   lainnya.9  Kelsen   berpendapat   bahwa suatu   norma   selalu   diukur   dari   norma   lain   yang   menjadi   dasar

Ibid., hlm. 8.

8Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law, (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.274. 

(8)

keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk suatu ikatan antara norma­norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan. Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika hukum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur dalam norma dasar. 

Setiap   sistem   norma   mempunyai   sanksi   masing­masing.   Sanksi merupakan   suatu   karakteristik   esensial   dari   hukum.10  Setiap   norma untuk   dapat   menjadi   “legal”   harus   dilengkapi   dengan   sanksi.   Terkait dengan   hal   ini,   Kelsen   menyebut   setiap   pelanggaran   norma   hukum sebagai   “delict”.   Tidak   ada   satu   perilakupun   dapat   dikatakan   sebagai

delict kecuali diatur sanksinya.11

D. METODOLOGI

Dalam   rangka   penulisan   makalah   ini   metode   pendekatan   yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan berbasis pada analisis terhadap norma  hukum.  Sasaran  kajian yuridis normatif   diarahkan   untuk   menganalisis   hubungan­hubungan   hukum antar   satu   peraturan   dengan   peraturan   lainnya,   tingkat   sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas­asas

10Ibid., hlm.277.

(9)

hukum.12  Kajian   hukum   normatif   mengambil   sikap   kritis­normatif bertolak dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.13

Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif yaitu   merumuskan   dan   mengajukan   pedoman­pedoman   dan   kaidah­ kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum, dan bersifat kritis.14 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyek­subyek, sehingga   hasil   kajiannya   bersifat   intersubyektif.  Kajian   ini   dilandasi perspektif   internal,   sehingga   Peneliti   bersikap  sebagai partisipan/pengamat   terlibat,  dan   hasilnya   adalah   pengetahuan   yang inter­subyektif.15

12 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan  Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.

13 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH  UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum  dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian  Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH­UI, 2005) hlm.2.

14 Ibid.

(10)

BAB II PEMBAHASAN

A.PERANAN HUKUM POSITIF DALAM PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA

Perkembangan  Positivism  saat   ini   dianggap   memiliki   pengaruh   besar dalam pemikiran hukum di Indonesia, dimana dalam implementasinya terlihat jelas peranan aliran  positivism  semacam roh dalam penerapan hukum yang

existingPositivism lebih menekankan pada aspek legalitas hukum itu sendiri tanpa perlu memperhatikan hal­hal diluar itu. Tokoh  positivism, Austin dan Kensel pun sependapat memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum   yang   dicita­citakan,   dengan   kata   lain   ia   memisahkan   secara   tegas antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja,   tidak   membahas   hubungan   antara   hukum   dengan   moral.   Tanpa memperdulikan   baik   dan   buruknya   hukum   itu,   diterima   atau   tidak   oleh masyarakat. 

Tidak hanya itu,  positivism  yang menurut John Austin dilakukan oleh pihak   penguasa   kemudian   dihadapkan   dengan   kekuatan   legalitas   yang   tak terbantahkan,   tidaklah   mengherankan   apabila   kemudian   muncul   kritik terhadap  positivism  ketika   hukum   “dapat”   berubah   menjadi   atau   dijadikan penguasa   sebagai   alat   kekuasaan   untuk   mencapai   tujuan   berkuasa   dan bukan tujuan hukum. Seperti halnya dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 (sebelumnya diubah dengan UUDS 1950), dalam peristiwa tersebut penguasa yang berdaulat dapat melakukan

(11)

norma   hukum   dalam   sebuah   pertingkatan   dan   akan   menimbulkan   kritik bagaimana dengan status legalitas UUD 1945.

Berbagai kritik yang diarahkan pada aliran  positivism  selama ini pada intinya selalu menyorot atas esensinya, bahwa semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat ditujukan kepada yang diperintah dengan sanksi apabila perintah itu dilanggar. Dalam perspektif negara hukum yang demokratis pemikiran Austin banyak dianggap tidak sesuai lagi karena hanya   melihat   hukum   sebagai   perintah   dari   penguasa   (command   of sovereign/command   of   law­giver).   Tapi   bagi   yang   berbeda   pandangan, menganggap   hal   ini   masih   relevan   karena   hukum   sebagaimana   pemikiran Austin   tidak   boleh   dilihat   secara   parsial   atau   bahkan   hanya   pada   unsur “perintah”   dan   “penguasa”­nya   saja   dengan   mengesampingkan   unsur kedaulatannya.   Kedaulatan   inilah   yang   memiliki   korelasi   kuat   dengan eksistensi dari penguasa itu sendiri. Esensi dari positivism ini tidak dapat kita ambil   setengah­setengah,   sebaliknya   kita   harus   memahaminya   sebagai sesuatu yang inheren atau satu kesatuan yang utuh, dengan kata lain tanpa salah satu unsur itu diasumsikan batal teori positivism tersebut.

(12)

mengambil   peran   penting   dibandingkan   unsur   penguasa   maupun   unsur perintah yang telah dilegalitas.

Apabila Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan atau penguasa tidak   terikat   oleh   peraturan   manapun,   tidak   sepenuhnya   terjadi   demikian. Sebagaimana   halnya   dengan  positivism  di   Indonesia,   kedaulatan   yang merupakan salah satu unsur dari positivism dan dapat dikatakan bersifat pra­ legal   maupun   post­legal   (bukan   urusan   hukum,   tetapi   urusan   politik   atau sosiologi) mampu menempatkan penguasa kedalam keterikatan hukum positif itu sendiri yang tentunya telah dilengkapi juga dengan instrumen­instrumen sanksinya. Akhirnya bayangan positivism hanya relevan pada negara totaliter gugur   sudah,   dan   kedaulatan   dapat   dianggap   sebagai   sesuatu   yang mengancam   penguasa   serta   arah   pembentukan   hukum   dalam   kenyataan berikutnya.

Selain hal diatas, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diinspirasi oleh   pandangan   yang   menilai   hukum   selalu   dikaitkan   dengan   peraturan perundang­perundangan,   sedangkan   nilai­nilai   moral   dan   norma   di   luar undang­undang   hanya   dapat   diakui   apabila   dimungkinkan   oleh   undang­ undang. Atau dapat dikatakan  positivism  tidak menghiraukan adanya nilai­ nilai moral di masyarakat. 

Masih ingat kasus seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 buah kakao?   Hal   itu   banyak   menuai   kontroversi   dimana   hakim   dianggap   tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Secara hukum tidak ada yang salah dengan putusan   hakim   tersebut   karena   putusan   yang   diberikan   telah   diatur   legal dalam peraturan perundang­undangan. Meskipun hakim memiliki kompetensi menggali   nilai­nilai   hukum   untuk   mengenal   perasaan   hukum   dan   rasa keadilan   yang   hidup   dalam   masyarakat,   namun   dalam   melaksanakan tugasnya   hakim   kurang   mendapatkan   ruang   gerak   dalam   perundang­ undangan yang didominasi aliran positivism (pandangan Legalisme). Positivism

(13)

positivism  hanya bertumpu pada ruang hampa kedap suara yang berwujud rumusan atau kata­kata dalam undang­undang.

Secara   sederhana  positivism  menganut   dua   prinsip   dasar,   yakni, Pertama, hanya undang­undang yang disebut hukum, di luar undang­undang tidak   ada   hukum.  Kedua,  negara   atau   otoritas   yang   berdaulat   merupakan satu­satunya   sumber   hukum.   Implikasi   dari   dua   prinsip   ini   adalah   bahwa setiap   undang­undang   yang   telah   ditetapkan   oleh   otoritas   yang   sah   harus dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.

Dalam konteks  positivism, adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan   sesuai   aspek   legalitas   memiliki   kelebihan   yaitu   akan   menjamin bahwa   setiap   individu   dapat   mengetahui   dengan   pasti   apa   saja   perbuatan yang  boleh   dilakukan  dan  apa  saja  perbuatan  yang  tidak   boleh   dilakukan. Bahkan negara pun kemudian dapat bertindak dengan tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan. 

Namun   disamping   kebaikan­kebaikan   yang   ada,   sudah   barang   tentu terdapat   beberapa   kelemahan   yakni   tentang   ajaran­ajarannya   yang   kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran

Positivism  adalah   justru   dengan   adanya   identifikasi   Hukum   dan   Undang­ undang   tersebut.   Karena   jika   dilihat   dengan   nyata,   bahwa   betapapun buruknya   peraturan   dan   ketentuan   yang   ada,   asalkan   peraturan   dan ketentuan   tersebut   telah   menjadi   Undang­undang   yang   harus   diterapkan dalam   masyarakat   maka   seketika   juga   hakim   akan   menjadi   terikat   pada Undang­undang   yang   telah   ditetapkan   tersebut.   Padahal   peraturan perundang­undangan juga memiliki kelemahan atau kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:16

1. Peraturan   perundang­undangan   tidak   fleksibel.   Tidak   mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang­ undangan   membutuhkan   waktu   dan   tatacara   tertentu   sementara

(14)

mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang­undangan dengan masyarakat. 2. Peraturan   perundang­undangan   tidak   pernah   lengkap   untuk   memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.

Meskipun hal tersebut tidak identik dengan positivism sebagai penyebab kegagalan   hukum,   khususnya   kegagalan   dalam   penegakan   hukum.   Tapi secara kompleks pemikiran positivism ditempatkan sebagai faktor menjauhnya rasa   keadilan   dari   masyarakat   serta   kegagalan   hukum   dalam   memainkan peranan   yang   sejati   pada   pembangunan   hukum   di   Indonesia.   Oleh   karena adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakomodir keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan, hukum tak tertulis ini mempunyai peranan sebagai berikut:17

a. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum dari suatu peraturan perundang­undangan. 

b. Merupakan   instrumen   yang   memberikan   dinamika   atas   peraturan perundang­undangan. 

c. Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan perundang­ undangan   agar   lebih   sesuai   dengan   tuntutan   perkembangan,   rasa keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.

Selain itu political will dalam proses pra­legal harus dapat menempatkan atau   setidaknya   memberikan   ruang   pada   aspek   sosial   ditengah­tengah kakunya peraturan legal. Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya,   sekalipun   ia   berkeinginan   untuk   mengatakan   suatu   pikiran universal.   Dengan   demikian   kita   baiknya   bersikap   untuk   selalu   tidak melepaskan teori­teori tersebut dari konteks waktu pemunculannya. Hukum diharapkan   menjadi   suatu   bentuk   kontrol   masyarakat,   meskipun   dalam bentuk   yang   sederhana   namun   harus   dapat   membuktikan   bahwa   hukum mampu   mempertahankan   kelangsungan   hidup   bermasyarakat   dan   mampu menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan penguasa.

17 Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan  Perundang­undangan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara. 

(15)

B.PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERATURAN PERUNDANG­ UNDANGAN DI INDONESIA

Ranah pembentukan hukum serta tata negara di Indonesia juga masih kental   dengan   aroma  Positivism,   dalam   hal   ini   teori   hukum   murni   masih tercermin   menjadi   pakem   dalam  sistem   secara   yuridis   dan   ketatanegaraan. Diantaranya   dalam   tata   urutan   peraturan   perundang­undangan   yang dipengaruhi   oleh  Stufenbau   theory  dari   Kelsen.   Teori   Hans   kelsen   yang mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum. Artinya Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar.   Norma   dasar   teratas   bersifat   abstrak   dan   semakin   ke   bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.

Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Naviasky. Menurut Naviasky, norma tertinggi yang oleh   Kelsen   disebut   sebagai   norma   dasar   (basicnorm)   dalam   suatu   negara “sebaiknya”   tidak   disebut   sebagai  staats   grundnorm  melainkan  Staats fundamentalnorm,   atau   norma   fundamental   negara.18  Grundnorm  pada dasarnya   tidak   berubah­ubah   dan   tidak   dilegalisasi,   sedangkan   norma tertinggi dapat berubah dan dapat dilegalisasi. Teori Naviasky disebut dengan

theorie   von   stufenufbau   der   rechtsordnung.   Susunan   norma   menurut   teori tersebut adalah19:

18 Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 170,  Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006)

(16)

1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staats grundgesetz);

3. Undang­undang formal (formell gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome  satzung). 

Dalam   penyataan   Naviasky   muncul   kebimbangan­kebimbangan   bagi penganut  positivism,   apakah  Staats   fundamentalnorm    adalah   norma   yang dianggap mutlak menggantikan  grundnorm  atau hanya “sebaiknya” dianggap demikian.   Kata   “sebaiknya”   masih   memunculkan   perdebatan   dalam memaknainya, karena apapun itu secara prinsip dua istilah tersebut memiliki perbedaan syarat validitasnya.

Posisi hukum dari suatu Staats fundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi   berlakunya   suatu   konstitusi.   Begitu   pula  grundnorm  yang   terbentuk terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Perbedaan yang mendasar dari keduanya   adalah  Staats   fundamentalnorm  dapat   berubah­ubah   dan validitasnya dapat dilegalisasikan, sedangkan  grundnorm  memiliki sifat yang tetap dan dipostulasikan valid tanpa legalisasi.

Perdebatan tersebut merambah pada cara pandang hukum di Indonesia memposisikan   Pancasila   yang   dianggap   sebagian   orang   adalah   sebagai

grundnorm  dan   sebagian   lagi   menolak   hal   itu   dan   cukup   menempatkan Pancasila sesuai teori Naviasky yang menyatakan “sebaiknya” disebut sebagai

staats fundamentalnorm. Memang masih debatable apakah Pancasila berada di luar   piramida   hukum   secara   abstrak   sebagai   norma   dasar   atau   Pancasila berada   di   pucuk   teratas   piramida   hukum   yang   secara   empiris   terlegalisasi disebut sebagai norma fundamental negara.

Berdasarkan   teori   Hans   Naviasky,   A.   Hamid   S.   Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum Indonesia  dengan  menggunakan  teori Naviasky.  Berdasarkan  teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah20:

1. Staats fundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

(17)

2. Staats   grundgesetz:   Batang   Tubuh   UUD   1945,   Tap   MPR,   dan   Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang­Undang.

4. Verordnung   en   Autonome   Satzung:   Secara   hirarkis   mulai   dari   Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Namun secara legalitas dalam Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang   Pembentukan   Peraturan   Perundang­undangan   menunjukkan struktur hirarki tata hukum Indonesia sebagai berikut :

Hans   Kelsen   membahas   validitas   norma­norma   hukum   dengan menggambarkannya   sebagai   suatu   rantai   validitas   yang   berujung   pada konstitusi negara. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi   inilah   yang   disebut   dengan   istilah  trancendental­logical pressuposition.21

Logika   Kelsen   tersebut   sering   dipahami   secara   salah   dengan mencampuradukkan   antara   presuposisi   validitas   dan   konstitusi,   manakah yang   merupakan   norma   dasar   (grundnorm)?   Hal   inilah   yang   selanjutnya diselesaikan   oleh   Naviasky   dengan   membedakan   antara  staats fundamentalnorm  dengan  grundnorm,     dimanan  grundnorm  pada   dasarnya tidak   berubah   sedangkan  staats   fundamentalnorm  dapat   berubah   seperti melalui kudeta atau revolusi.

Jika   Pancasila   bukan   merupakan  grundnorm  lalu   apa   yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? “Mungkin” Proklamasi 17 Agustus 1945   yang   saat   itu   terjadi   dan   konon   bukan   merupakan   tindakan   hukum

(18)

karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum,   dapat   (memenuhi   syarat)   menjadi     presuposisi   validitas   terakhir. Proklamasi   bisa   dianggap   sebagai   tonggak   terbentuknya   suatu   tata   hukum baru   yang   dapat   mempresuposisikan   validitas   tata   hukum   Indonesia berdasarkan UUD 1945.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

(19)

yang memandang hukum dari teropong legal atau perundang­undangan dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang­ undang   dengan   kaca   mata   kudanya,   atau   bahkan   ada   yang menyimpulkan  positivism  hanya   bertumpu   pada   ruang   hampa   kedap suara yang berwujud rumusan atau kata­kata dalam undang­undang. 2. Pandangan   hukum   positif   terhadap   peraturan   perundang­undangan   di

Indonesia   diwujudkan   dalam   peraturan   hukum   yang   keseluruhannya diturunkan   dari   norma   dasar   yang   berada   di   puncak   priamida,   dan semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang. Berkaitan   dengan   ini   dalam   pembentukan   peraturan   perundang­ undangan   di   Indonesia   jelaslah   dapat   kita   lihat   pada   Undang­Undang Nomor   12   Tahun   2011   tentang   Pembentukan   Peraturan   Perundang­ undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum Indonesia   yang   divalidasikan   sesuai   dengan   tata   urutan   norma sebagaimana dijelaskan oleh teori stufenbau Hans Kelsen.

DAFTAR PUSTAKA

Agus   Brotosusilo,  Materi   Kuliah   Filsafat   Hukum,  Bentham,  Austin  and Classical  English Positivism,  Program  Studi   Magister   Ilmu  Hukum  UPN “Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014

(20)

Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 7,  Sekretariat   Jenderal   dan   Kepaniteraan   Mahkamah   Konstitusi   RI, Jakarta, 2006

Bagir   Manan.   1985.   “Peranan   Hukum   Administrasi   Negara   dalam Pembentukan   Peraturan   Perundang­undangan.”.   Makalah   pada

Penataran   Nasional   Hukum   Administrasi   Negara.   Fakultas   Hukum Universitas Hasanudin. Ujung Pandang. 

Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004

Johni   Najwan,   Jurnal   Implikasi   Aliran   Positivisme   Terhadap   Pemikiran Hukum,  Magister Ilmu Hukum UNJA, Jambi, 2010

Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, FH UI, Jakarta, 2010

Referensi

Dokumen terkait

Erityisesti männyn ja koivun, mutta myös kuusen taimi koissa puuntuotannollisena tavoitteena on tuottaa korkealaatuista puuta. - kookkaita, suoria ja hieno-oksaisia

Tetapi bila Anda tidak minum teh dan ingin melakukan perawatan dengan manfaat teh basi untuk wajah, Anda dapat secara khusus menyeduh teh untuk diendapkan semalaman dan

a. Variasi dalam Pembelajaran.. Menulis di Papan Tulis. Menilai Hasil Belajar. Pelaksanaan Ujian Program Mengajar. Pelaksanaan Ujian praktik mengajar dilaksanakan pada minggu

Untuk mengatasi gangguan seperti di atas kadang saya berusaha mendekatinya kemudian bertanya tentang perihal pelajaran yang terkait, ketika dia tidak dapat

Penelitian tentang relasi agama dan budaya lokal (adat) pada kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia antara lain dilakukan oleh Philip van Akkeren 4 , yang meneliti

Jika banyak berisi ikan koki adalah x, dan banyak kolam berisi ikan koi adalah y, maka model matematika untuk masalah.. ini

(Ikan Goreng Tepung panir dengan Saos Tartar). John Dory Fish with Butter Cream

Jika semen yang dinyatakan tidak memenuhi syarat tersebut telah dipergunakan untuk beton, maka Konsultan Pengawas dapat memerintahkan untuk membongkar beton tersebut dan diganti