PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDONESIA
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis versus positivis, ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama, meskipun demikian aliran positif baru mulai berkembang pesat pada abad ke19 ketika empirisme mendominasi pemikiran.1 Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme, artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.2 Pesatnya perkembangan positivisme terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan gereja yang menawarkan basis pemikiran transendental.3
Begitu juga aliran hukum positif (positivism) yang berkembang pada abad pertengahan, dimana positivism merupakan reaksi penolakan atas aliran hukum alam (natural law) yang menggabungkan hukum dan moral.4 Untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivism tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari positivism itu pada awalnya, bahwa sebelum abad ke18 pikiran berkenaan dengan positivism
sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara negara modern. Positivism memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat hukum, positivism sangat mengagungkan objektivisme daripada subjektivisme serta lebih menggunakan pendekatan sekuler dan positivis dalam menganalisis hukum itu sendiri.
Secara garis besar positivism terpecah menjadi 2 aliran yaitu
positivism analisis yang digagas oleh John Austin dan positivism murni
1 Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jambi: Magister Ilmu Hukum UNJA, 2010) hlm.19.
2 Ibid.
3 Ibid.
yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam pandangan Austin, hukum itu adalah sekelompok tandatanda (sign) yang mencerminkan kehendak (wish) dan disusun atau diadopsi oleh pemegang kedaulatan (the sovereign). Sementara itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Normanorma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen menyakini bahwa ada ketidakmungkinan memunculkan kesimpulan dari kejadian faktual bagi
das sollen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum yang merupakan pernyataanpernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi aksi alamiah.
mengungkapkan tekanantekanan dari pemikiran positivism yang dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih kompleks terhadap pengaruh positivism yang menganggap hukum itu tidak memiliki sangkut paut dengan moral maupun keadilan. Dengan berlatar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh
Positivism Dalam Hukum Di Indonesia” dalam penulisan makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta halhal yang menjadi akibat dari pengaruh
positivism seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk diangkat dan dibahas, maka dari itu dalam makalah ini dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apa peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia? 2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap peraturan perundang
undangan di Indonesia?
C. LANDASAN TEORI
1. JOHN AUSTIN
penguasa. Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan unsurunsur sebagai berikut: command (perintah),
sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi). Jadi menurut Austin, hukum positif merupakan kehendak (perintah) dari penguasa yang wajib untuk dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Kehendak yang memuat sanksi tersebut harus diungkapkan dengan jelas sehingga menjamin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa orang yang berdaulat, untuk keperluan anggotaanggota dari masyarakat politik yang merdeka, dimana penguasa atau badan tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan tertinggi. Austin juga mengklasifikasi hukum sebagai berikut:
Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
Yang termasuk dalam hukum yang sebenarnya (laws properly so called) adalah:
Laws of God Laws by metaphor
Laws properly so called Laws improperly so called
Laws set by men, not as political superiors (nor in pursuance of
legal right)
Laws by analogy
Positive Morality Human Laws
a. Hukum Tuhan (Laws of God)
b. Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk manusia lain. Hukum manusia (human laws) dibedakan lagi menjadi:
(1) Hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orangorang yang secara politis ada di bawah kekuasaannya. Hukum ini disebut hukum positif (Positive Laws), contohnya peraturan perundang undangan.
(2) Aturanaturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, misalnya aturan yang dibuat ustad kepada santrinya, majikan kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya. Aturanaturan ini menghasilkan suatu moral positif (positive morality).
Yang termasuk dalam hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called) adalah:
a. Hukum hasil analogi (laws by analogy), yang diciptakan dan diberlakukan melalui pendapat umum, misalnya etika berpakaian, etika makan dengan table manner dan hukum internasional. Aturan melalui bentukan pendapat umum ini dilakukan dengan cara menganalogikan “hukum” tersebut. Sekelompok masyarakat bersamasama memiliki nilainilai yang disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat dengan nilainilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan oleh negara. Laws by analogy ini menghasilkan suatu moral positif.
2. HANS KELSEN : THE PURE THEORY OF LAW
Kelsen menolak pendapat aliran Natural Law yang menggabungkan antara hukum dengan moralitas.5 Sebagai seorang positifis, Kelsen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dengan hukum itu sendiri. Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah norma hukum yang terlepas dari pertimbanganpertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre).
Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu dan tempat. Teori hukum harus bebas dari bidangbidang lainnya di luar hukum. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis
(nomodinamic ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia.6 Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu
5Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlmn.272.
pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsurunsur
Sebagai suatu teori tentang normanorma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas normanorma hukum.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubahubah menurut jalan atau pola yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib hukum menjadi suatu tertib negaram, hal itu terjadi apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badanbadan atau lembagalembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum. Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem norma. Norma bukanlah suatu pernyataan mengenai realita sehingga dengan demikian tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah” dengan ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.8
Bagi Kelsen, hukum terdiri dari normanorma dimana normanorma tersebut bersumber dari norma lainnya.9 Kelsen berpendapat bahwa suatu norma selalu diukur dari norma lain yang menjadi dasar
7 Ibid., hlm. 8.
8Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law, (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.274.
keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk suatu ikatan antara normanorma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan. Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika hukum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur dalam norma dasar.
Setiap sistem norma mempunyai sanksi masingmasing. Sanksi merupakan suatu karakteristik esensial dari hukum.10 Setiap norma untuk dapat menjadi “legal” harus dilengkapi dengan sanksi. Terkait dengan hal ini, Kelsen menyebut setiap pelanggaran norma hukum sebagai “delict”. Tidak ada satu perilakupun dapat dikatakan sebagai
delict kecuali diatur sanksinya.11
D. METODOLOGI
Dalam rangka penulisan makalah ini metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Sasaran kajian yuridis normatif diarahkan untuk menganalisis hubunganhubungan hukum antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asasasas
10Ibid., hlm.277.
hukum.12 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritisnormatif bertolak dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.13
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif yaitu merumuskan dan mengajukan pedomanpedoman dan kaidah kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum, dan bersifat kritis.14 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyeksubyek, sehingga hasil kajiannya bersifat intersubyektif. Kajian ini dilandasi perspektif internal, sehingga Peneliti bersikap sebagai partisipan/pengamat terlibat, dan hasilnya adalah pengetahuan yang intersubyektif.15
12 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
13 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FHUI, 2005) hlm.2.
14 Ibid.
BAB II PEMBAHASAN
A.PERANAN HUKUM POSITIF DALAM PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Perkembangan Positivism saat ini dianggap memiliki pengaruh besar dalam pemikiran hukum di Indonesia, dimana dalam implementasinya terlihat jelas peranan aliran positivism semacam roh dalam penerapan hukum yang
existing. Positivism lebih menekankan pada aspek legalitas hukum itu sendiri tanpa perlu memperhatikan halhal diluar itu. Tokoh positivism, Austin dan Kensel pun sependapat memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang dicitacitakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum dengan moral. Tanpa memperdulikan baik dan buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Tidak hanya itu, positivism yang menurut John Austin dilakukan oleh pihak penguasa kemudian dihadapkan dengan kekuatan legalitas yang tak terbantahkan, tidaklah mengherankan apabila kemudian muncul kritik terhadap positivism ketika hukum “dapat” berubah menjadi atau dijadikan penguasa sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan berkuasa dan bukan tujuan hukum. Seperti halnya dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 (sebelumnya diubah dengan UUDS 1950), dalam peristiwa tersebut penguasa yang berdaulat dapat melakukan
norma hukum dalam sebuah pertingkatan dan akan menimbulkan kritik bagaimana dengan status legalitas UUD 1945.
Berbagai kritik yang diarahkan pada aliran positivism selama ini pada intinya selalu menyorot atas esensinya, bahwa semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat ditujukan kepada yang diperintah dengan sanksi apabila perintah itu dilanggar. Dalam perspektif negara hukum yang demokratis pemikiran Austin banyak dianggap tidak sesuai lagi karena hanya melihat hukum sebagai perintah dari penguasa (command of sovereign/command of lawgiver). Tapi bagi yang berbeda pandangan, menganggap hal ini masih relevan karena hukum sebagaimana pemikiran Austin tidak boleh dilihat secara parsial atau bahkan hanya pada unsur “perintah” dan “penguasa”nya saja dengan mengesampingkan unsur kedaulatannya. Kedaulatan inilah yang memiliki korelasi kuat dengan eksistensi dari penguasa itu sendiri. Esensi dari positivism ini tidak dapat kita ambil setengahsetengah, sebaliknya kita harus memahaminya sebagai sesuatu yang inheren atau satu kesatuan yang utuh, dengan kata lain tanpa salah satu unsur itu diasumsikan batal teori positivism tersebut.
mengambil peran penting dibandingkan unsur penguasa maupun unsur perintah yang telah dilegalitas.
Apabila Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan atau penguasa tidak terikat oleh peraturan manapun, tidak sepenuhnya terjadi demikian. Sebagaimana halnya dengan positivism di Indonesia, kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari positivism dan dapat dikatakan bersifat pra legal maupun postlegal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) mampu menempatkan penguasa kedalam keterikatan hukum positif itu sendiri yang tentunya telah dilengkapi juga dengan instrumeninstrumen sanksinya. Akhirnya bayangan positivism hanya relevan pada negara totaliter gugur sudah, dan kedaulatan dapat dianggap sebagai sesuatu yang mengancam penguasa serta arah pembentukan hukum dalam kenyataan berikutnya.
Selain hal diatas, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diinspirasi oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundangperundangan, sedangkan nilainilai moral dan norma di luar undangundang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang undang. Atau dapat dikatakan positivism tidak menghiraukan adanya nilai nilai moral di masyarakat.
Masih ingat kasus seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 buah kakao? Hal itu banyak menuai kontroversi dimana hakim dianggap tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Secara hukum tidak ada yang salah dengan putusan hakim tersebut karena putusan yang diberikan telah diatur legal dalam peraturan perundangundangan. Meskipun hakim memiliki kompetensi menggali nilainilai hukum untuk mengenal perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun dalam melaksanakan tugasnya hakim kurang mendapatkan ruang gerak dalam perundang undangan yang didominasi aliran positivism (pandangan Legalisme). Positivism
positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap suara yang berwujud rumusan atau katakata dalam undangundang.
Secara sederhana positivism menganut dua prinsip dasar, yakni, Pertama, hanya undangundang yang disebut hukum, di luar undangundang tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas yang berdaulat merupakan satusatunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa setiap undangundang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Dalam konteks positivism, adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan sesuai aspek legalitas memiliki kelebihan yaitu akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatan yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negara pun kemudian dapat bertindak dengan tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan.
Namun disamping kebaikankebaikan yang ada, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaranajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran
Positivism adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undangundang yang harus diterapkan dalam masyarakat maka seketika juga hakim akan menjadi terikat pada Undangundang yang telah ditetapkan tersebut. Padahal peraturan perundangundangan juga memiliki kelemahan atau kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:16
1. Peraturan perundangundangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara
mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundangundangan dengan masyarakat. 2. Peraturan perundangundangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.
Meskipun hal tersebut tidak identik dengan positivism sebagai penyebab kegagalan hukum, khususnya kegagalan dalam penegakan hukum. Tapi secara kompleks pemikiran positivism ditempatkan sebagai faktor menjauhnya rasa keadilan dari masyarakat serta kegagalan hukum dalam memainkan peranan yang sejati pada pembangunan hukum di Indonesia. Oleh karena adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakomodir keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan, hukum tak tertulis ini mempunyai peranan sebagai berikut:17
a. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum dari suatu peraturan perundangundangan.
b. Merupakan instrumen yang memberikan dinamika atas peraturan perundangundangan.
c. Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan perundang undangan agar lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan, rasa keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu political will dalam proses pralegal harus dapat menempatkan atau setidaknya memberikan ruang pada aspek sosial ditengahtengah kakunya peraturan legal. Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, sekalipun ia berkeinginan untuk mengatakan suatu pikiran universal. Dengan demikian kita baiknya bersikap untuk selalu tidak melepaskan teoriteori tersebut dari konteks waktu pemunculannya. Hukum diharapkan menjadi suatu bentuk kontrol masyarakat, meskipun dalam bentuk yang sederhana namun harus dapat membuktikan bahwa hukum mampu mempertahankan kelangsungan hidup bermasyarakat dan mampu menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan penguasa.
17 Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara.
B.PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
Ranah pembentukan hukum serta tata negara di Indonesia juga masih kental dengan aroma Positivism, dalam hal ini teori hukum murni masih tercermin menjadi pakem dalam sistem secara yuridis dan ketatanegaraan. Diantaranya dalam tata urutan peraturan perundangundangan yang dipengaruhi oleh Stufenbau theory dari Kelsen. Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum. Artinya Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Naviasky. Menurut Naviasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basicnorm) dalam suatu negara “sebaiknya” tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staats fundamentalnorm, atau norma fundamental negara.18 Grundnorm pada dasarnya tidak berubahubah dan tidak dilegalisasi, sedangkan norma tertinggi dapat berubah dan dapat dilegalisasi. Teori Naviasky disebut dengan
theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah19:
18 Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 170, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006)
1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staats grundgesetz);
3. Undangundang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Dalam penyataan Naviasky muncul kebimbangankebimbangan bagi penganut positivism, apakah Staats fundamentalnorm adalah norma yang dianggap mutlak menggantikan grundnorm atau hanya “sebaiknya” dianggap demikian. Kata “sebaiknya” masih memunculkan perdebatan dalam memaknainya, karena apapun itu secara prinsip dua istilah tersebut memiliki perbedaan syarat validitasnya.
Posisi hukum dari suatu Staats fundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Begitu pula grundnorm yang terbentuk terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah Staats fundamentalnorm dapat berubahubah dan validitasnya dapat dilegalisasikan, sedangkan grundnorm memiliki sifat yang tetap dan dipostulasikan valid tanpa legalisasi.
Perdebatan tersebut merambah pada cara pandang hukum di Indonesia memposisikan Pancasila yang dianggap sebagian orang adalah sebagai
grundnorm dan sebagian lagi menolak hal itu dan cukup menempatkan Pancasila sesuai teori Naviasky yang menyatakan “sebaiknya” disebut sebagai
staats fundamentalnorm. Memang masih debatable apakah Pancasila berada di luar piramida hukum secara abstrak sebagai norma dasar atau Pancasila berada di pucuk teratas piramida hukum yang secara empiris terlegalisasi disebut sebagai norma fundamental negara.
Berdasarkan teori Hans Naviasky, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Naviasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah20:
1. Staats fundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2. Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: UndangUndang.
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hirarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Namun secara legalitas dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menunjukkan struktur hirarki tata hukum Indonesia sebagai berikut :
Hans Kelsen membahas validitas normanorma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendentallogical pressuposition.21
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)? Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Naviasky dengan membedakan antara staats fundamentalnorm dengan grundnorm, dimanan grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staats fundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.
Jika Pancasila bukan merupakan grundnorm lalu apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? “Mungkin” Proklamasi 17 Agustus 1945 yang saat itu terjadi dan konon bukan merupakan tindakan hukum
karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum, dapat (memenuhi syarat) menjadi presuposisi validitas terakhir. Proklamasi bisa dianggap sebagai tonggak terbentuknya suatu tata hukum baru yang dapat mempresuposisikan validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
yang memandang hukum dari teropong legal atau perundangundangan dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang undang dengan kaca mata kudanya, atau bahkan ada yang menyimpulkan positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap suara yang berwujud rumusan atau katakata dalam undangundang. 2. Pandangan hukum positif terhadap peraturan perundangundangan di
Indonesia diwujudkan dalam peraturan hukum yang keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang. Berkaitan dengan ini dalam pembentukan peraturan perundang undangan di Indonesia jelaslah dapat kita lihat pada UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum Indonesia yang divalidasikan sesuai dengan tata urutan norma sebagaimana dijelaskan oleh teori stufenbau Hans Kelsen.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Bentham, Austin and Classical English Positivism, Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 7, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Bagir Manan. 1985. “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.”. Makalah pada
Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara. Fakultas Hukum Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, Magister Ilmu Hukum UNJA, Jambi, 2010
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, FH UI, Jakarta, 2010