• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne T1 712009001 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne T1 712009001 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua adalah Provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia. Provinsi Papua memiliki

banyak suku dan bahasa dan juga memiliki kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. Di

Papua terdapat berbagai macam suku, bahasa dan budaya. Pola hidup yang dianggap biasa oleh

salah suatu suku belum tentu sama dengan suku yang lain, meskipun masing-masing wilayah

saling berdekatan. Begitu pula dengan cara mereka bergaul dan menjalani kehidupan mereka

sehari-hari. Bahasa yang digunakan, kepercayaan yang dianut, dan budaya yang ada pada tiap

suku di Papua berbeda, sehingga Papua dikenal memiliki beragam suku dan bahasa.

Dahulu sebelum resmi bergabung dengan Indonesia, orang Papua memiliki gerakan

untuk menentukan nasib sendiri dan semuanya itu terjadi pada saat zaman pendudukan Jepang

pada tahun 1942-1946. Banyak manuskrip telah mencatat sejarah perlawanan rakyat Papua yaitu

gerakan Koreri di wilayah Biak yang paling spektakuler dan berpengaruh pada saat itu1. Gerakan ini sendiri dipimpin oleh Angganitha Menafaur. Ia menjuluki dirinya sebagai “Ratu emas dari Yudea” dan ia juga menahbiskan diri sebagai nabi perempuan titisan Manseren Manggoendi2.

Gerakan Koreri ini kemudian mengalami penjelmaan dari gerakan kebatinan kepada gerakan

kemerdekaan yang bersifat ethonasionalis-politis akibat salah seorang rekan seperjuangan Menafaur yang bernama Stephanus Simopyaref berambisi untuk menyatukan semua suku dan

klan Melanesia ke dalam suatu pandangan nasionalisme bangsa Papua3.

1

P.J. Droglever,”Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”, Kanisius, Yogyakarta, 2010,86

2 Ibid

3Decky Wospakrik, S.H, “

(2)

Perjalanan Papua untuk menentukan nasib sendiri kemudian memasuki babak baru.

Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945, status Papua sebagai wilayah bagian

dari Indonesia sangat alot diperdebatkan. Ada banyak pandangan yang beredar mengenai Papua

yang berintegrasi dengan Indonesia menurut Muhamad Yamin dan Ir. Soekarno dan juga ada

pandangan yang non-integratif dari Muh. Hatta4. Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, tetapi Papua secara administratif masih berada di bawah

naungan kerajaan Belanda. Kemudian Belanda memberikan kebebasan bagi bangsa Papua untuk

menentukan nasibnya sendiri. Belanda pada saat itu bertujuan untuk menyiapkan kemerdekaan

bangsa Papua sebagai sebuah negara di bawah naungan kerajaan Belanda. Kaum elit Papua

terdidik yang dipimpin Nicholas Jouwe, merespon baik niat Belanda itu dengan membentuk satu

organisasi yang bernama Nieuw Guinea Raad, yang bertujuan untuk mempersiapkan alat-alat dan simbol-simbol kelengkapan negara.

Negara yang telah dipersiapkan oleh bangsa Papua itu kemudian dinamakan Papua Barat

atau West Papua. Kemudian pada tanggal 1 Desember 1961, Bendera Bintang Kejora yang merupakan bendera nasional negara Papua Barat dikibarkan sejajar dengan bendera negara

Belanda. Lagu yang dipilih menjadi lagu kebangsan adalah lagu “Hai Tanahku Papua” karangan

Pdt. Izaak Samuel Kijne yang merupakan bagian karangan dari buku nyanyian Seruling Emas,

yang dikarang sekitar 30 tahun lebih, jauh sebelum kemerdekaan Papua barat diproklamasikan di

hadapan putra mahkota kerajaan Belanda5.

Proklamasi yang dilakukan oleh bangsa Papua Barat pada saat itu menyebar dan

kemudian diketahui oleh Pemerintahan Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1961 dari

alun-alun Yogyakarta, terdengar pidato Tri Komando Rakyat yang mengobarkan semangat

4

Drooglever, ibid, 127

5

(3)

pengembalian Papua kembali kepada NKRI dari Negara Boneka yang dianggap pembentukan

oleh Belanda. Tahun 1962, pasukan Indonesia mulai merencanakan dan melaksanakan operasi

pembebasan Papua dari Belanda. Di tengah konflik yang memanas, pada bulan Maret di Tahun

yang sama, Amerika Serikat mengajukan usulan kepada PBB mengenai permasalahan Papua

Barat. PBB kemudian menyetujui usulan tersebut dengan mengadakan New York Aggrement pada tanggal 15 Agustus 1962. Dalam perundingan ini terjadi kesepakatan yang berisi : 1.

Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintah Papua Barat kepada PBB

melalui UNTEA, 2. Terhitung 1 Mei 1963, UNTEA Menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia,

3. Pada akhir tahun 1969 diadakan act of free choice bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri di bawah pengawasan PBB 6.

Papua resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Tahun 1969.

Resmi bergabungnya Papua dengan NKRI melalui suatu perundingan yang disebut PEPERA.

PEPERA sendiri adalah singkatan dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera/act of free choice). Penentuan pendapat tersebut hanya diwakili oleh 1.205 orang Papua, sedangkan dalam Act of self-determination, yang mengaidahkan bahwa satu orang mempunyai hak satu suara. Proses untuk masuknya Papua ke dalam bagian Indonesia sendiri mengalami suatu proses yang sangat

panjang. Proses tersebut juga secara langsung terlihat menimbulkan adanya kekerasan fisik dan

mental. Menurut rakyat Papua sampai saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk

manipulasi Indonesia untuk menguasai Tanah Papua7. Kebanyakan orang juga menyatakan PEPERA ini sendiri telah dimenangkan oleh aparat melalui mencong senjata, tekanan, intimidasi

6

Decky Wospakrik, S.H, Ibid, 3

(4)

dan teror yang semuanya itu mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan kejahatan terhadap

kemanusiaan yang cacat secara hukum Internasional8.

Bangsa Papua sendiri yang menjadi saksi hidup kekejaman orang Indonesia pada waktu

itu mencatat bahwa, ketika Papua diserahkan secara administratif kepada UNTEA, keadaan

situasi politik sangat berubah drastis dan dirasakan ada yang sangat mengganggu. Orang Papua

juga dibodohi serta diperlakukan secara tidak manusiawi dengan jajak pendapat tersebut. Selain

itu juga terlihat praktik yang mendiskreditkan orang asli Papua mulai diterapkan oleh bangsa

Indonesia dan penggunaan kekuatan militer secara penuh, serta operasi-operasi intelejen yang

sangat terkoordinir membuat orang Papua sendiri berada dalam situasi yang tidak

memungkinkan untuk memerdekakan diri dan lebih memilih kepada NKRI karena takut

ancaman dan nyawa yang menjadi taruhannya9. Kekerasan yang dialami dahulu tidak dapat dipungkiri semua itu terjadi sampai pada masa sekarang ini.

Memasuki rezim orde baru dan runtuhnya rezim tersebut pada tahun 1998, keinginan

kemerdekan secara utuh dari orang Papua untuk lepas dari NKRI adalah salah satu pandangan

yang berkembang pada saat itu. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Papua dengan

mengusung isu10 :

1. Pertanggungjawaban pemerintah pusat atas terjadinya pelanggaran HAM di Papua,

2. Hak untuk berpartisipasi dalam jenjang kepegawaian di Papua,

3. Pengendalian perampasan kekayaan alam di Papua,

4. Persoalan hak ulayat atas tanah adat masyarakat Papua.

Tuntutan tersebut tidak direspon baik oleh pemerintah. Seiring dengan perubahan isu, terjadi

pula perubahan aktor. Demonstrasi yang pada awalnya dilancarkan oleh para pemuda dan

8

Pale Gwijangge, Kerkerasan Negara Terhadap Masyarakat Papua., Salatiga:Tesis MSA UKSW,2013, 2

9 Ibid, 3 10

(5)

mahasiswa, kemudian bergabunglah kelompok-kelompok tua dan tokoh-tokoh agama yang

kembali mengusung masalah lama yakni masalah PEPERA.

Perlu dilandasi juga pergolakan di Papua pada tahun 1998 merupakan suatu bentuk

kekecewaan masyarakat Papua akibat berbagai penderitaan baik secara politik, ekonomi, sosial

dan budaya. Bukan hanya itu saja, tetapi juga karena pelanggaran HAM akibat diberlakukan

Daerah Operasi Militer (DOM) dan stigmatisasi OPM sebagai kelompok pengacau keamanan

yang disematkan militer Indonesia kepada orang Papua. Ada juga pandangan bahwa Papua

kekayaan yang dimiliki oleh orang Papua dirampas oleh Indonesia dan termarginalnya

masyarakat Papua oleh kekuasaan pusat.

Untuk meredam hal tersebut pemerintah Indonesia mencoba merespon semuanya itu

dengan mengeluarkan undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan provinsi

Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten

Puncak Jaya, dan Kota Sorong11. Hal tersebut membuat Papua pada saat itu terpecah menjadi 3 bagian Provinsi. Jalan pemecahan masalah dari Pemerintah Pusat tersebut ditolak secara luas

oleh seluruh rakyat Papua. Pemerintah Indonesia kembali merespon dalam Sidang Umum MPR

12-21 Oktober 1999 dengan mengeluarkan TAP MPR No. 4/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang berisi tentang “Integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan Undang-undang”

Ini adalah pernyataan awal adanya Otonomi Khusus yang terdapat dalam undang-undang

Nomor 21 Tahun 2001 bagi Provinsi Papua, untuk meredam dan menyelesaikan konflik yang

berkepanjangan tersebut. Otonomi Khusus di Papua pada dasarnya bertujuan untuk memberikan

(6)

kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan

memimpin diri sendiri dalam kerangka NKRI12. Kewenangan ini juga adalah bagaimana upaya untuk mengembangkan semua potensi dari berbagai bidang tetapi juga memberikan peran yang

memadai bagi orang Papua untuk dapat berkembang. Sifat dari Otonomi Khusus ini juga secara

tidak langsung melindungi dan memberikan hak-hak dasar bagi orang asli Papua untuk dapat

berkembang.

Tetapi dalam kenyataannya Otonomi Khusus sendiri seiring berjalannya waktu

mengalami banyak permasalahan. Permasalahan yang terjadi adalah13 :

1. Tidak adanya kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua. Pemerintah

Pusat sendiri tidak mempunyai komitmen yang kuat dalam pelaksanaan Otonomi Khusus ini

tetapi juga Pemerintah Papua ini sendiri tidak siap dengan pelaksanaan otsus di Papua.

Pemerintah pusat berpandangan adalah Otsus Papua ada sebagai sarana bagi gerakan separatis

Papua, sehingga banyak penyimpangan yang terjadi di daerah-daerah pemekaran dibiarkan begitu

saja.

2. Adanya juga temauan penyelewengan dana Otsus Papua oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebesar

Rp.4,2 Triliun dari total 28,8 Triliun sejak periode 2002-2010. Dana tersebut seharusnya

dialokasikan untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua.

3. Pembentukan MRP di wilayah Provinsi Papua Barat telah melenceng dari semangat Otonomi

Khusus di Papua mengenai UU Otsus Papua, PP No. 54/2004 dan Perdasus No 4/2010 tentang

Pemilihan Majelis Rakyat Papua yang hanya mengenal satu MRP. Ini mengakibatkan adanya

dualisme MRP yang dapat menyebabkan perpecahan.

4. Terjadi pemaksaan dalam pemekaran di wilayah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia dengan membagi Papua menjadi tiga Provinsi.

12

Ibid 13

(7)

5. Pemerintah Pusat melarang penggunaan lambang dan simbol kedaerahan yang berhubungan

dengan gerakah separatis dan hal ini sangat bertentangan dengan amanat penggunaan lambang

yang terdapat dalam Pasal 2 UU Otonomi Khusus.

6. Terjadi masalah dalam pembagian sumber daya alam Papua untuk wilayah Papua sendiri dan di

pusat. Ini terlihat dari permasalahan yang terjadi dengan kontrak antara Pemerintah Indonesia dan

PT. Freeport Indonesia.

Banyaknya persoalan yang terjadi di Papua ini mengakibatkan orang Papua merasa jenuh dengan

ketidakadilan yang terjadi. Beberapa orang Papua mulai kembali melihat sejarah dan mulai

mengingat kembali akan perkataan seorang zending pekabaran injil, Pdt. Izaak Samuel Kijne.

Kijne adalah seorang penginjil Zending yang berasal dari Belanda, datang dan diutus untuk mengajar dan mendidik orang Papua dahulu melalui sekolah-sekolah peradaban yang

dibangun zending pada saat itu. Dalam mendidik orang Papua, ia menggunakan pendekatan

agama, bahasa dan budaya14. Dari pendekatan yang ia lakukan, ia dapat mengenal dan membentuk suatu pola peradaban baru bagi orang Papua melalui Pendidikan. Banyak hal yang

telah dilakukan olehnya, akhirnya ia dianggap sebagai nabi bagi orang Papua.

Dalam melakukan pekerjaannya dan pelayanannya, ia banyak melakuakan nubuatan. Hal

ini disebabkan Kijne terlihat mempunyai tujuan yang baik bagi orang Papua dan juga ia melihat

adanya potensi bagi orang Papua untuk dapat berkembang sama seperti bangsa lain. Salah satu

perkataan nubuatnya yang terkenal dan dikenang oleh orang Papua, diucapkan di Miei, Wasior

pada tanggal 26 Oktober 1925. Ia mengatakan“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”15. Kalimat

14

Pdt. J.F. Onim, M.Th, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua, Jayapura:GMT,2004, 28

(8)

inilah yang mulai berkembang dalam pemikiran orang Papua dan menjadi penyemangat bagi

orang Papua untuk bagaimana dapat memimpin dirinya sendiri tanpa tekan dari siapapun.

Bertolak dari latar belakang diatas, Penulis ingin melakukan penelitian mengenai Suatu

Studi Terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne.

B. Perumusan Masalah

Dalam hal ini masalah yang diangkat dari judul ini adalah apa maksud dari perkataan Pdt.

Izaak Samuel Kijne mengenai memimpin diri sendiri.

Berdasarkan pokok masalah ini, maka untuk pemecahannya penulis memfokuskannya

pada beberapa pertanyaan dibawah ini :

1. Apa makna dari ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne dulu mengenai “Memimpin Diri Sendiri”?

2. Bagaimana pemahaman Tokoh Gereja dan Tokoh Masyarakat Papua kini tentang perkataan Pdt. Izaak Samuel Kijne mengenai “Memimpin Diri Sendiri”?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk meneliti:

1. Mendeskripsikan makna dari ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne dulu mengenai “Memimpin Diri Sendiri”.

2. Mendeskripsikan pemahaman Tokoh Gereja dan Tokoh Masyarakat Papua kini tentang

ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne mengenai “Memimpin Diri Sendiri”.

(9)

Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi seluruh masyarakat Papua

pada khususnya dan Sinode GKI di Tanah Papua pada umumnya, serta mahasiswa Fakultas

Teologi selaku calon pemimpin gereja.

E. Kerangka Berpikir

“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki

kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan

bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ini merupakan kutipan dari perkataan Pdt. Izaak

Samuel Kijne yang di anggap menjadi nabi bagi orang Papua. Perkataan ini dianggap juga

sebagai suatu perkataan penyemangat bagi orang Papua. Dalam hal ini saya menemukan

beberapa hal yang saya anggap bertentangan dengan maksud dari perkataan tersebut.

Masalah yang ditemukan adalah bagaimana sumber daya alam Papua yang melimpah,

namun orang Papua sendiri masih belum menikmati hasil tersebut dan belum dapat

memimpin dirinya sendiri. Dengan kata lain, orang Papua belum dapat menjadi tuan di

negerinya sendiri. Masalah tersebut yang mengakibatkan adanya salah penafsiran dari

perkataan tersebut, ditambah dengan adanya suatu anggapan adanya kesenjangan sosial

kepada orang Papua. Maka dalam masalah ini saya ingin meluruskan maksud yang

sebenarnya dari perkataan Pdt. Izaak Samuel Kijne mengenai memimpin diri sendiri.

F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Kualitatif yang bersifat

Deskriptif untuk memandu peneliti dalam mengeksplorasi dan memotret situasi sosial

(10)

2. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : Kota Jayapura

Waktu : 1 Bulan

3. Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam proses penelitian ini, diperoleh dari data Primer dan

sekunder. Yaitu data yang diperoleh dari informan (Kunci) yaitu Tokoh Gereja terdiri dari, Ketua Sinode dan Mantan Badan Pekerja Am Sinode GKI di Tanah Papua,

guru-guru jemaat (Murid Kijne) dan beberapa Tokoh Masyarakat, serta berbagai Literatur yang

dapat membantu penulis dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data berupa:

Wawancara: Teknik Pengumpulan Data di mana peneliti melakukan dialog langsung secara terbuka dengan informan untuk mendapatkan gambaran tentang fokus penelitian.16 Teknik ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara

terbuka pula.

Kajian Literatur : Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengkajinya dari buku-buku yang sesuai dengan persoalan yang sementara dibahas.

5. Teknik Analisa Data

Data yang dikumpulkan di analisa secara kualitatif bertujuan memaparkan secara

tepat fungsi, peran, sifat, dari persoalan yang sementara dibahas, sehingga ia dapat

memberikan fakta mengenai objek penelitian. Sedangkan metode analisa yang dipakai

adalah Metode Deskrisptif.

6. Cara Penyajian 16

(11)

Penulisan ini disajikan dalam empat Bab, yakni Bab I berisikan Latar Belakang

Masalah, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Kerangka berpikir, dan Metode Penelitian. Bab II Kerangka Teori, Bab III

Laporan Penelitian Lapangan, Analisa Data dan Refleksi Teologis, Bab IV Penutup serta

Referensi

Dokumen terkait