• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum dan Politik di Indonesia Negara Hu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum dan Politik di Indonesia Negara Hu"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

RESENSI BUKU (BOOK REVIEW)

A. Hukum dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan (Daniel S. Lev)

1. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat (Bab I)

Dalam bab ini, Daniel S. Lev lebih banyak membahas tentang penerapan hukum waris adat dalam sejarah peradilan di Indonesia. Perilaku perdata sebagian besar orang Indonesia diatur oleh hukum adat. Secara umum hukum adat di Indonesia membahas mengenai pewarisan adat yang berhubungan dengan pengadilan adat yang ada di Indonesia. Ini ditandai dengan adanya pembagian harta warisan di beberapa daerah yang ada di nusantara memiliki aturan yang berbeda. Untuk itu timbul usaha untuk selalu memperbaiki hukum tersebut. Yang menjadi faktor untuk berkembangnya suatu hukum yang baru adalah faktor sosial dan ekonomi, meskipun ada beberapa faktor di luar dua itu yang mempengaruhi nya seperti seberapa jauh hukum yang baru tersebut dapat diterima di dunia Internasional. Karena tujuannya adalah untuk meningkatkan sistem hukum agar setingkat mutunya dengan sistem hukum bangsa-bangsa yang beradab dan modern. Sejalan dengan penegakan hukum tersebut melalui lembaga peradilan yang ada di Indonesia yaitu Mahkamah Agung yang saat itu memutus dalam tingkat kasasi permasalahan waris adat, terlebih dahulu mendapatkan pelimpahan dari pengadilan-pengadilan adat setempat tentunya dapat sejalan dengan hukum adat yang berlaku.

(2)

lembaga-lembaga peradilan secara umum berkait dengan proses politik dan ekonomi, dan dengan nilai-nilai budaya. Daniel S. Lev mengembangkan dua konsep yang perlu diberi definisi sekedarnya.

Konsep pertama adalah sistem hokum. Yang digunakan disini adalah prosedur. Suatu sistem hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga formal, bersama-sama dengan proses-proses informal di sekelilingnya. Dalam negara modern lembaga sentral sistem hukum adalah birokrasi, termasuk pula di dalamnya pengadilan. Sumber kekuasaan suatu sistem hukum yang pertama-tama adalah sistem politik yang kebasahanya (atau tiada kebahasaanya) meluas ke aturan-aturan substantif yang diterapkan oleh sistem hukum, dan yang organisasi, tradisi, dan gayanya menentukan seberapa jauh proses hukum tertentu digunakan (atau dapat digunakan) untuk menyelenggarakan pengelolaan sosial dan untuk mencapai berbagai tujuan bersama.

Konsep kedua adalah budaya hokum. Yang digunakan dalam perbincangan yang terdiri dari dua unsur yang berkaitan dengan nilai keacaraan (proscedural legal values) dan nilai-nilai hukum substantif. Nilai-nilai hukum keacaraan berkait dengan sarana-sarana penataan sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management). Nilai-nilai ini adalah landasan budaya sistem hukum, dan nilai-nilai ini membantu menentukan yang terpenting “ruang sistem” (sistem space) yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama, atau lembaga-lembaga lainnya yang berlainan di sembarang waktu dalam sejarah masyarakat. Unsur budaya hukum yang substantif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi dan penggunaan sumber daya dalam massyarakat, benar dan salah dari segi sosial dan sebagainya. Secara garis besar tulisan pada bab ini berkaitan dengan peranan dan perubahan peradilan dalam sistem hukum, dan juga hubungan antara sistem hukum dan budaya hukum yang diakhiri dengan evolusi sistem politik dan hukum nasional.

(3)

sampai pada saat kekuasaan kolonial Belanda mendirikan Negara yang mencakup segenap pulau di Nusantara. Sebelum itu berbagai tertib hukum yang berlain-lainan masing-masing mandiri dalam sistem sosial dan politik yang beragam. Bentuk hukum dan peradilan berkembang dari sistem keluarga yang ada. Pekerjaan hukum yang terutama dalam masyarakat tersebut adalah mempertahankan keutuhan kelompok-kelompok kekerabatan dan membela segala akibat penataaanya dan keyakinannya yang mendukung. Sebagian besar permasalahan perselisihan diserahkan penyelesaiannya kepada desa atau keluarga, dan cara penyelesaiannya yang lazim barangkali adalah kompromi.

Kekuasaan yang ada pada masyarakat bersifat askriptif terbalur oleh makna pentinganya keluarga dan agama, dan konsep-konsep hukum dikaitkan dengan tertib keluarga, kedaerahan, agama dan status yang dapat berubah dalam kenyataan tetapi tidak dapat berubah dalam teori. Hukum tertulis kurang berdaya paksa bila dibandingkan dengan kekuasaan istana dan pemerintahan aristocrat. Sehingga dalam kerajaan lebih sedikit jumlah hukum daripada kata-kata bijak yang memancar secara sporadik dari istana sebagai perintah penguasa yang bertahta.

(4)

Islam tidak mengembangkan pengendalian garis ekonomi dan administratif yang kuat di seluruh negeri.

Sifat sistem hukum Hindia Belanda yang mencolok adalah keterkaitanya yang sangat kuat dengan logika internal masyarakat kolonial dan tujuan-tujuannya. Tiap besar kelompok penduduk tunduk kepada hukum yang berbeda yang diterapkan dengan dua perangkat peradilan yang berlainan. Orang Belanda dan priyayi besar disediakan hak istimewa berupa pengadilan khusus untuk perkara-perkara hukum mereka dan diberi hak untuk mendaftarkan kelahiran dan kematian mereka pada capil. Selain orang Belanda dan priyayi ternyata terdapat golongan para pegawai tinggi dan para perwira tentara yaitu dengan menundukan diri kepada hukum Eropa atau masuk Kristen. Lain selain mereka menundukan diri kepada hukum acara untuk orang Indonesia yaitu HIR. Posisi ekonomi merupakan penentu kesamaan hukum yang tidak dapat ditawar-tawar.

Pertentangan adat dan islam merupakan perbincangan politik yang penting dan karenanya juga merupakan pokok perbincangan budaya hukum di Indonesia. Di dalam aturan Hukum adat pertama penghargaan terhadap hukum adat ke dalam tertib hukum melalui struktur, pendidikan, dan ideologi hukum, dan kedua masa depan hukum adat tidak bisa tidak terancam oleh munculnya politik dan administrasi tingkat nasional.

Mengenai lembaga-lembaga hukum, pada masa penyerahan Belanda kepada Jepang lembaga-lembaga berantakan; terjadi perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintah militer. Pada sekitar tahun 1942-1945 ada arah penyatuan. Struktur rangkap diganti oleh pengadilan tunggal dan berjenjang tiga dan menggunakan hukum acara yang semula hanya untuk orang Indonesia yang sampai sekarang masih tetap berlaku. Tetap dipertahankannya bentuk-bentuk hukum yang lama yang sudah dikenal baik.

(5)

jelas sama sekali sampai kurun Demokrasi Terpimpin terutama pada awal tahun 1960an. Suatu simbol tandingan “hukum revolusi” muncul di masa demokrasi terpimpin, pada saat Soekarno dengan tandas menentang simbol-simbol lain yang oleh ahli hukum diyakini sebagai sesuatu yang harus ad, sehingga melemahnya hukum dan meledaknya kegiatan politik.

Kelembagaan tidak penting karena sebagian lebih mengutamakan kontak pribadi, penjajahan pengaruh dan savoir faire birokrasi. Peranan penentu dan pengatur urusan menjadi elemen utamanya. Wertheim berpendapat bahwa semua yang terjadi akibat demoralisasi yang disebabkan oleh revolusi dan pendudukan. Pengaruh norma patrimonial tradisonal dan kesetiaan kepada kedudukan pribadi lebih kuat dibandingkan kepada negaranya. Geertz menggungkapkan ini adalah primodial dengan keluarga, kaum (clan), kelompok agama, dsb. Sedangkan primodial bertentangan dengan dinas pemerintah.

Ahli hukum tergantung pada seberapa luas nilai-nilai keahlian mereka diterima secara umum oleh sub sistem kelembagaan. Sehingga gambaran umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status sosial dan kekuasaan militer. Demokrasi terpimpin ini masyarakat hukum formal mendapat serangan sejadi-jadinya, dicap konservatif bahkan reaksioner bahkan dianggap sekedar embel-embel. Sukarno mendengungkan tema yang bertentangan yakni jati diri budaya tradisional dan gerakan revolusi. Masyarakat hukum formal selalu terikat dengan hukum tertulis “hukum kolonial” yang dalam Negara merdeka selalu mendapat serangan walaupun hukum nasional yang baru belum terbentuk.

(6)

dapat mengadakan revolusi bersama para ahli hukum” Mereka harus menyesuaikan diri atau ditinggal. Terdapat pertentangan antara ahli politik dan ahli hukum. Advokat awal kemerdekaan sedikit sekali akan tetapi bagi mereka yang mendapat label itu akan mudah berhubungan dengan lapisan atas atas birokrasi kolonial dan pengadilan Belanda dan bahkan terlibat dalam perekonomian uang. Hakim dan advokat merupakan masyarakat hukum yang berpendidikan.

Kejaksaan bercabang dua untuk masyarakat eropa ada officieren van justitie yang berpendidikan hukum, mereka terorganisir dalam sebuah paket yang sangat bergengsi yang setaraf dengan hakim dan advokat. Jaksa adalah pegawai rendahan yang sedikit pengetahuan pidana dan hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia tetapi tunduk pada pemerintah Residen Belanda.

(7)

Simbol-simbol direduksi sekedar menjadi senjata dalam perjuangan politik dengan taruhan yang sangat besar. Hal ini diindahkan adalah kekuasaan dan kemanfaatan nyata, dan kedua hal ini melahirkan perangkat status kelembagaan yang berbeda dengan perangkat yang dibentuk berdasarkan tolak ukur. Masa penjajahan peringkat teratas ada di lembaga pengadilan kemudian kejaksaan dan terakhir kepolisian. Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan terjadi kebalikan dari zaman kolonial kepolisian memegang kendali yang paling atas kemudian di susul kejaksaan baru pengadilan.

Kembali ke paham tradisional mengenai organisasi pemerintahan, dalam pandangan ini apa pun perbedaan fungsi yang ada ada kurang penting bila dibandingkan dengan sumber yang khas. Tentu akan ditentang oleh golongan cendikiawan dan profesi hukum yang konsep kelembagaannya nontradisional. Pencabutan UU No 19/1964 yang mengabsahkan campur tangan presiden dalam urusan proses peradilan dan juga meminta diberi kewenangan untuk menguji undang-undang di Majelis Konstituante, walapun pada Juli 1959 Konstituante di bubarkan.

Hukum kelembagaan pada saat itu menurut Gresham yakni proses formal cenderung dihindarkan dalam rangka menyelesaikan perselisihan melalui proses yang lebih bersifat kekeluargaan dan lebih akomodatif. Budaya hukum berupa “kompromi” yang memberi gambaran kontrasnya dengan budaya hukum yang cenderung dikaitkan dengan substansi perkara dan “hak”. Pengadilan sekuler berdampingan dengan pengadilan agama sehingga menimbulkan pertentangan diantara keduanya.

(8)

berbagai UU atau karena MA kadang mengesampingkan Yurisprudensi yang berasal dari masa kolonial.

B. Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasinal (Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL.)

Pemikiran Prof Bagir Manan tersebut tertuang dalam buku “Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia” dalam rangkan Liber Amicorum Prof. Dr. CFG. Soenaryati Hartono, S.H.

Terkait dengan arah politik pembangunan Hukum Nasional, Bagir Manan melihat perkembangan hukum di Indonesia saat ini khususnya pada era pasca reformasi, yang kurang mencerminkan politik hukum yang jelas dan terarah. Perubahan dalam masyarakat serta perkembangan hukum yang begitu dinamis dan saling mempengaruhi memberikan pandangan kepada penulis untuk menguji sampai sejauh mana ungkapan “hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat” oleh penganut aliran sociological yurisprudence dianggap relevan saat ini karena adanya fenomena terjadinya pergeseran pandangan aliran sociological yurisprudence saat ini yang lebih mengarah pada pembaharuan sistem penegakan hukum, dan bukan pada pembentukan hukum (pembaharuan dan pembentukan undang-undang). Dari apa yang diulas Bagir Manan tersebut, pembahasan mengenai sejarah politik hukum di Indonesia masih sangat menarik dan perlu untuk selalu dikaji mengingat politik hukum yang merupakan kebijakan di bidang hukum memang harus disusun dan dilaksanakan secara terarah sehingga hukum itu dapat efektif diterapkan di dalam masyarakat.

(9)

Ungkapan “KEMBALI” dalam tulisan Bagir Manan menggambarkan adanya suatu perbandingan politik hukum dalam sejarah hukum di Indonesia baik pada era Pra Orde Baru, Orde Baru maupun pada Masa Reformasi, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam perkembangannya lebih mengarah pada pembaharuan sistem penegakan hukum, dan bukan pada pembentukan hukum (pembaharuan dan pembentukan undang-undang). Terkait dengan pembangunan hukum Bagir Manan juga mengutip pandangan Yehezkel Dror bahwa antara hukum dan masyarakat selalu terjadi kesenjangan karena hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat, serta perubahan hukum seringkali menyebabkan adanya kesenjangan masyarakat, karena ada kalanya masyarakat menolak hukum yang dibentuk untuk mendorong suatu perubahan.

Bagir Manan juga mengungkapkan mengenai sejarah pembaharuan hukum di Indonesia mempengaruhi adanya perubahan sosial. Pra Orde Baru atau kususnya pada era orde lama yang sistem pemerintahannya terkesan represif telah melakukan pembaharuan hukum khususnya dibidang yudikatif. Hakim telah membuat suatu pembaharuan hukum tentang pemberlakuan Burgerlijke Wetboek maupun Wetboek van Koophandel kepada orang-orang Indonesia. Hal itu mencerminkan adanya perubahan kepada prisnsip non diskriminatif. Pada masa orde baru yang dikenal sebagai masa pembangunan tidak disertai dengan pembaharuan hukum secara substansial maupun integral sehingga terkesan kepentingan penguasa yang lebih dominan. Demikian pula keberlanjutannya pada masa reformasi yang mengedepankan penegakan hukum dengan tidak disertai dengan pembinaan hukum.

(10)

pendidikan tinggi hukum, program pembentukan hukum serta program penegakan hukum memalui politik penguatan lembaga penegak hukum.

BAB II

(11)

A. KRITIK

1. Hukum dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan (Daniel S. Lev)

a. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat

Hukum adat di Indonesia telah banyak di populerkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar, meskipun sebagian dari sumber sejarah ada yang mengatakan bahwa hukum adat atau hukum asli Indonesia ini merupakan temuan dari Snouck Hurgronje. Yang menjadi perhatian adalah seberapa besar pengaruh hukum adat terhadap pengadilan pada masa revolusi. Karena secara kita ketahui bahwa efek dari zaman kolonialisme Belanda membagi permasalahan hukum ke dalam 3 golongan (Eropa, Timur Tengah, dan Pribumi) sehingga permasalahan ini terus mengakar kepada masyarakat sampai kepada permasalahan warisan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Mahkamah Agung pada saat itu yang memutus permasalahan warisan haruslah secara teliti melihat latar belakang budaya yang berkembang di daerah. Terutama daerah-daerah yang menganut sistem kekerabatan timbal balik (bilateral) di Jawa, sistem patrilineal di Sumatera Utara, Bali, dan Lombik, dan yan terakhir adalah sistem matrilineal di daerah Sumatera Barat. Meskipun pada saat itu sudah menganut sistem hukum Eropa Kontinental, tetapi dalam ranah pengadilan, pengembangan yurisprudensi (case law) baru dalam hukum waris adat berkembang sangat pesat, yurisprudensi ini khususnya putusan yang diputus melalui Hakim Agung Wirjono Prodjodikoro menjadi sebuah patronisasi dari para hakim-hakim yang menjalankan tugasnya di pengadilan.

(12)

Legal Structure, Legal Substance, dan Legal Culture dapat dikatakan belum menjelaskan secara keseluruhan apa yang tertera di dalam bab tersebut. Karena berkembangnya yurisprudensi tersebut tidak bisa digunakan keseluruhan di nusantara, mengingat kasus yang terjadi banyak terdapat di Pulau Jawa, dan terlebih Mahkamah Agung pada saat itu secara tidak sadar memberlakukan putusan tersebut pada pengadilan-pengadilan yang terdapat di luar Pulau Jawa. Selain mengenai putusan, dalam bab ini tidak dijelaskan mengenai posisi janda yang sudah mendapatkan hak waris bagaimana statusnya apabila kemudian hari melangsungkan pernikahan kembali. Apakah harta warisan itu gugur atau tetap seperti yang diputuskan oleh hakim, jika memang gugur dengan dilangsungkannya pernikahan tersebut, apakah itu akan melanggar hukum adat, atau sebaliknya jika tidak gugur akan melanggar hukum positif yang ada pada masa tersebut. Titik pangkal dari bab ini adalah bahwa dari keseluruhan penjelasan mengenai perkembangan yurisprudensi yang di cetuskan oleh hakim Wirjono Projodikoro tidak ada data yang memperlihatkan secara jelas, apakah melalui sumber tertulis atau pengamatan langsung. Di dalam bab tersebut hanya terdapat penjelasan bahwa “hukum yang diciptakan oleh hakim”. Ia menambahkan, bahwa rasa keadilan memang merupakan sumber hukum. Jika di teliti lebih mendalam dengan tidak adanya sumber tertulis atau pengamatan di lapangan, lantas darimana hakim dapat memutus suatu perkara pada masa itu khususnya mengenai waris.

(13)

merupakan kendala di dalam kelembagaan hukum. Budaya hukum yang sangat kental melalui “kompromi” juga sangat kental di dalam kehidupan hukum sehingga kembali ke sistem hukum tradisional yang menitik beratkan pada kedekatan emosional. Proses-proses formal hukum dipinggirkan dikarenakan demoralisasi dari revolusi yang didengungkan oleh Soekarno dan pendudukan hukum terhadap HIR untuk semua golongan tanpa terkecuali bumiputera.

Selain itu juga ada hal yang tidak terjawab yaitu mengenai ciri pokok konsepsi keadilan Indonesia? Apa hubungannnya antara konsepsi ini dan hukum nasional? Sampai sekarang belum juga terjawab mengenai makna dan juga konsep keadilan menurut Indonesia. Sampai sekarang ini belum ada pendapat dari ahli hukum yang memberikan statement yang jelas mengenai konsep keadilan menurut versi Indonesia. Adil menurut versi Islam akan menjadi momok yang menakutkan untuk golongan tradisi keagamaan Jawa Pra-Islam dan juga Kristen. Kurang diperhatikannya aturan hukum yang berlaku jika dibandingkan dengan aturan hukum itu.

Konsep Unifikasi adalah motif utama perubahan hukum sejak 1945. Tidak adanya bantalan antara Hukum lokal dan nasional yang di satu pihak melindungi ketidak pekaan terhadap tradisi, dan di lain pihak terhadap ketidaktaatan dan tantangan-tantangan terhadap penguasa. Bantalan penahan ini keefektifitasannya diperbesar oleh tidak adanya kekuatan organisasional yang amat besar di tangan pemerintah untuk memberlakukan kekuatannya.

(14)

terhadap golongan menjadi satu warna. Penggunaan HIR di semua lapisan golongan merupakan langkah politik yang di ambil pada jaman ini.

Tidak adanya sistem hukum yang pasti merupakan salah satu kendala dalam penegakan hukum. Masih seringnya pengggunaan hukum kolonial yang dianggap bertentangan dengan nasionalisme walaupun perlawanan terhadapnya sangat keras dengan munculnya “Revolusi” yang menghendaki perubahan di segala bidang. Revolusi yang dimaksudkan juga tidak kalah hebat masuk ke dalam revolusi hukum. Revolusi menghendaki perubahan penggunaan produk kolonial diganti dengan undang-undang baru. Sehingga pada zaman itu banyak muncul undang-undang baru bermunculan dan yang tidak kalah menariknya masih dipergunakannya hukum kolonial di dalamnya.

(15)

ini melahirkan perangkat status kelembagaan yang berbeda dgn perangkat yang dibentuk berdasarkan tolak ukur. Ahli hukum tergantung pada seberapa luas nilai-nilai keahlian mereka diterima secara umum oleh subsistem kelembagaan. Sehingga gambaran umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status sosial dan kekuasaan militer. 2. Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasinal (Prof. Dr. Bagir

Manan, S.H., MCL.)

Terkait tulisan Bagir Manan Dalam mewujudkan suatu pembangunan hukum yang ideal yang dapat efektif diimplementasikan di dalam masyarakat Indonesia tidak terlepas dengan mengkaji sejarah politik hukum nasional. Membahas mengenai politik hukum memang tidak dapat terlepas dari sistem hukum suatu negara. Muncul beberapa pertanyaan terkait pembahasan mengenai tulisan Bagir Manan mengenai “Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional”

(16)

Culture, maka sebenarnya sesuai alasan yang pertama dari pentingnya pembentukan sistem hukum, Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri dalam membentuk suatu sistem hukum yang “mandiri” dengan menambahkan suatu politik unifikasi hukum yang berlaku umum bagi seluruh warga negara Indonesia. Akan tetapi pada kenyataanya secara konstitusional Indonesia telah mengabdikan diri pada sistem hukum kolonial (pasal II Aturan Peralihan). Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa yang dijelaskan Bagir Manan mengenai alasan pembentukan sistem hukum bertentangan satu sama lain.

Demikian pula dalam memaknai “KEMBALI” kepada politik Pembangunan Hukum Nasional apakah harus merujuk kepada politik pada saat orde baru yang menurut hemat kami syarat dengan politik hukum adopsi dari belanda bahkan tersirat adanya sifat meneruskan.

(17)

sistem hukum apa yang sekarang relevan dan efektif diterapkan di Indonesia.

B. ANALISA

1. Analisa atas review dan kritik buku Daniel S. Lev a. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat

putusan pengadilan yang menjadi sumber untuk pemutusan warisan terhadap janda pada saat itu dapat dikatakan tepat namun hanya untuk beberapa wilayah saja. Sebelum membahas mengenai hukum waris adat, haruslah diketahui terlebih dahulu definisi mengenai hukum adat tersebut.

Pasal 75 Regeringsreglement menyebutkan bahwa hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.

Nico Ngani dalam bukunya Perkembangan Hukum Adat di Indonesia, menyebutkan 3 hal yang perlu dipahami dalam definisi tersebut : 1. Definisi tersebut menimbulkan kesan seakan-akan hukum adat

sebagian besar merupakan peraturan agama, sehingga apabila peraturan agama berubah maka berubah pulalah hukum adat.

2. Termasuk dalam definisi itu semua peraturan yang berlaku dalam masyarakat, seperti tata susila, adat sopan santun, kebiasaan-kebiasaan, dan sebagainya.

3. Adanya perbedaan antara kebiasaan dan hukum adat. Hukum kebiasaan tidak tertulis, sedangkan hukum adat memang ada yang tidak tertulis tetapi ada pula yang tertulis (pada daun lontar, dan sebagainya)

(18)

warisnya setelah dikeluarkannya putusan tersebut, maka secara aturan putusan tersebut telah melanggar dan merubah peraturan yang telah ada. Tetapi, Mahkamah Agung dengan mengeluarkannya putusan tersebut adalah untuk membentuk sebuah aturan yang berlaku dan berhubungan dengan hukum nasional.

Karena sering kali bahwa aturan hukum adat sering bersinggungan dengan aturan hukum nasional.

Cornellis van Vollenhoven menetapkan 19 lingkaran hukum adat (adatrechtskringen) yang selanjutnya setiap lingkaran dibagi lagi dalam kukuban hukum (adatrechtsgouwen). Artinya bahwa dengan adanya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan haruslah dapat diterima oleh semua wilayah tidak hanya kepulauan Jawa saja. Meskipun pada saat itu zaman sudah memasuki revolusi dalam artian penjajahan sudah lah berakhir.

Hukum waris adalah hukum yang berisi seluruh peraturan hukum yang mengatur pemindahan harta milik, barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur mati (yang mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris). Maka untuk daerah yang kental dengan agama Islam maka hukum adat nya dipengaruhi oleh hukum agama, dan hampir disemua daerah bahwa hukum adat sering dipengaruhi oleh spiritual baik itu yang tradisional ataupun bukan. Harus dihindari bahwa pertemuan antara hukum adat dan hukum agama akan menimbulkan konsekuensi yang menyesatkan seperti yang dijelaskan oleh L.W.G. van den Berg yang berjudul Afwikijngen van het Mohammedaansche Familie en efrecht op Java en Madura yang terbit pada tahun 1894. Dikatakan bahwa hukum adat pada pokoknya adalah terdiri atas hukum fikih dengan penyimpangan di sana-sini.

(19)

2. Analisa atas review dan kritik tulisan Prof. Bagir Manan

BAB III KESIMPULAN

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Pada Pada transek 3 memiliki 2 jenis mangrove yaitu Avicennia officinalis, Rhizophora stylosa berdasarkan matriks kesesuaian lahan wisata mangrove maka masuk pada

Waktu tunggu yang lama dan Length Of Stay (LOS) di IGD yang panjang akan menunjukkan rendahnya mutu pelayanan suatu rumah sakit yang akan berakibat pada tingkat kepuasan

Keluarga merupakan tempat dimana seseorang mulai membentuk dan menemukan karakter dirinya. Dalam sebuah keluarga, seorang anak memerlukan peranan orang tua dalam

Hasil sidik ragam terhadap berat volume ta- nah, porositas tanah total menunjukkan bahwa dengan perlakuan kompos (P1, P2, P3, dan P4) berpengaruh nyata untuk memperbaiki BV dan

Karyawan yang siap untuk berubah akan percaya bahwa organisasi akan mengalami kemajuan apabila organisasi melakukan perubahan, selain itu mereka memiliki sikap

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa growth opportunities tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi karena besar maupun kecilnya peluang

Romos teisininkai, plėtodami stoikų prigimtinės teisės idėjas, formavo aiškesnį požiūrį į juridinę žmo- gaus teisių koncepciją ir šią koncepsiją grindė moksliš-

Namun, masih saja banyak yang melakukan penyimpangan dengan mengikuti nilai yang dianggap tidak baik tersebut.Hal ini lah yang mendasari seorang manusia melakukan