HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Ahsanul Minan, MH
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Disampaikan dalam Acara Sekolah Islam Gender,
Seputar Masuknya Islam ke Indonesia
Masih terdapat
kontroversi tentang
kapan tepatnya Islam
masuk ke
Indonesia
Terdapat
kontroversi tentang
metode penyebaran
Islam di Indonesia
Islam masuk
pada abad 7 M
Islam masuk
pada abad 11
M
Terdapat
kontroversi tentang
jalur penyebaran
Islam di Indonesia
Islam masuk
pada abad 13 M
Gujarat,
India
China
Iran
Arab
Perdagangan
Perkawinan
Dakwah
Pendidikan
(Pesantren)
Politik
(Kerajaan)
Mengusung Islam Puritan Mengusung Islam
Pergerakan & Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia
Pada masa awal,
hukum Islam
hanya
diberlakukan
sebagai hukum
sosial di
komunitas muslim
Pada masa
berkembangnya
kerajaan Islam, hukum
Islam diberlakukan
sebagai hukum positif
kerajaan
Pada masa penjajahan
Belanda, hukum Islam
diberlakukan dalam batas
tertentu;
Hukum waris diberlakukan
untuk kaum muslim
(statuta Batavia 1642),
Disusun kompilasi hukum
keluarga Islam (antara lain
compendium freijer, 1760)
Pada masa
penjajahan Jepang,
tidak banyak terjadi
perubahan, kecuali
pembentukan Kantor
Urusan Agama
(Shumubu)
Pada masa
Orla, tidk
banyak
terjadi
perubahan
terkait hukum
Islam, karena
kerasnya
pergulatan
politik
Pada masa
Orba,
perkembangan
hukum Islam
ditandai oleh
pengakuan
terhadap
eksistensi
Pengadilan
Agama dan
Kompilasi
Hukum Islam
Pada masa Orde
Reformasi,
perkembangan
hukum Islam sangat
signifikan, baik
dalam bentuk
penyerapan secara
sektoral hukum
Islam menjadi
hukum positif,
maupun pengakuan
atas keberlakuan
hukum Islam
ASAS NEGARA
INDONESIA adalah negara hukum —>
seluruh ketentuan yang berlaku mengikat
warga negara harus diatur melalui hukum
positif.
ISLAM DAN POLITIK
HUKUM DI INDONESIA
Ismail Sunny
Periode
persuasive source
, di
mana setiap orang Islam
diyakini mau menerima
keberlakuan hukum Islam itu
(hukum normatif)
Periode
authority source
, di
mana setiap orang Islam
MODEL-MODEL PENYERAPAN KONSEP ISLAM
DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Formalisasi
dalam
bentuk
Undang-Undang /
Perda
Hukum
Islam diformalisasikan
dalam kerangka
perundang-undangan
Formalisasi
dalam
bentuk
Peraturan di
bawah UU
Penyerapan
nilai/hukum
Islam untuk
dimasukkan
dalam norma
Undang-Undang
/ Perda
Hukum Islam
diserap dan dijadikan rujukan
dalam kerangka
perundang-undangan
Penyerapan
dalam bentuk
pengakuan atas
keberlakuan
hukum Islam
oleh hukum
positif
Contoh:
•
UU Wakaf
•
UU Haji
•
Perda
Syari’ah
Contoh:
•
Inpres
1/1991 ttg
KHI
Contoh:
•
UU 11/2006
ttg
Pemerintahan
Aceh (Ps 16
ayat (2))
Contoh:
•
UU 11/2006
ttg
PROBLEMATIKA DALAM UU PERKAWINAN
ISUHAM:KETENTUAN TENTANG SYARAT
SAH-NYA PERKAWINAN
ISU HAK ANAK: BATAS USIA CALON
MEMPELAI ISU HAM:
KEDUDUKAN DAN PERAN SUAMI & ISTRI
ISU HAK ANAK: KEDUDUKAN
ANAK
Pasal 2 ayat (1) & (2)
Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”tampaknya netral dan tanpa masalah,tetapi justru ketentuan ini bertentangan dengan kehidupan sosial di
masyarakat
Usia seseorang diperbolehkan menikah adalah 21 tahun sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun demikian, pasal ini memberi kebolehan bagi orang di bawah usia 21 tahun untuk menikah jika telah mendapat izin dari orangtua, sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas)
tahun”. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak sesuai
dengan undang-undang lain yang menyebutkan usia kedewasaan ditetapkan dengan usia 18 tahun. Misalnya, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) menetapkan batas usia anak-anak adalah sampai usia 18 (delapan belas) tahun
Pasal 31 (3): “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Pasal 34 (1): “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Pasal 34 (2): “Isteri wajib
mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya.”
Pasal 42 menentukan bahwa “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sementara Pasal 43 ayat (1) menetapkan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Ketentuan ini selain sangat diskriminatif ditinjau dari kepentingan anak, juga sangat memberatkan kaum perempuan.
Ketentuan pasal ini telah dirubah melalui Keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/ 2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) harus dibaca sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
UU
Perkawinan menganut asas monogami. Pasal 3 ayat (1).
Namun demikian, UU ini juga
membolehkan poligami.(ayat 2)
Dalam prakteknya, pengadilan tidak ketat
menerapkan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Banyak manipulasi persayaratan misalnya memalsukan identitas.
Putusan MK No 12/PUU-V/2007
ISU HAK PEREMPUAN:
PROBLEMATIKA DALAM
KOMPILASI HUKUM ISLAM
PERSPEKTIF PROSES
PEMBENTUKAN
HUKUM
PERSPEKTIF MATERI
HUKUM
PERSPEKTIF
IMPLEMENTASI
HUKUM
PERSPEKTIF FUNGSI
HUKUM
Proses
pembentukan KHI
bersifat semi-responsif,
karena proses
pembentukannya
didominasi oleh pihak
eksekutif (Kemenag) dan
Yudikatif.
Sedangkan pihak
legislatif sebagai
perwakilan masyarakat
tidak terlibat dalam
proses pembentukan
KHI. Adapun pihak
komunitas masyarakat
(ormas dan perguruan
tinggi) hanya dilibatkan
secara terbatas
Materi KHI bersifat
otonom, reduksionistik
dan konservatif.
Artinya, materi hukum
Islam pada KHI secara
substansial diakui
sebagai fiqh
(yurisprudensi Islam),
namun hanya sebagian
kecil materi hukum
Islam yang
dilegislasikan
[perkawinan,
kewarisan, dan
perwakafan] dengan
formulasi bahasa dan
pokok masalah yang
tidak adaptif dan
inovatif
KHI memiliki
karakter fakultatif,
tidak mengikat
secara utuh
kepada umat Islam
KHI memiliki karakter
regulatif dan limitatif, dalam arti
pengaturannya lebih bersifat
teknis-prosedural dan
praktis-operasional ketimbang
strategis-konsepsional. aturannya
cenderung membenarkan
praktek birokratis yang telah
ada sebelumnya dan
No Diskusi KHI- Impres No1 /1991 CLD- KHI
1 Pernikahan Pernikahan adalah bentuk ibadah (Pasal 2) Pernikahan bukan bentuk ibadah ('ibadah), tetapi milik mu'amalat (kontrak berdasarkan kesepakatan bersama antara dua pihak) (Pasal 2)
2 Wali Ini adalah pilar (RUKN) pernikahan (Pasal 14)
Hal ini tidak pilar pernikahan (Pasal 6) 3 Administrasi Pernikahan Tidak pilar perkawinan (Pasal 14) Pilar perkawinan (Pasal 6)
4 Perempuan saksi dalam pernikahan
Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi saksi (Pasal 25)
Perempuan, seperti laki-laki diperbolehkan untuk menjadi saksi dalam pernikahan (Pasal 11)
5 Usia minimal Tua untuk pengantin 16 tahun, dan 19 yeras tua untuk pengantin pria (Pasal 15)
Tua untuk kedua pengantin 19 tahun (Pasal 7)
6 Pernikahan untuk Virgin (gadis yang pernah menikah sebelumnya)
Tidak peduli usia, dia harus menikah di bawah kendali walinya atau orang atas nama walinya (Pasal 14)
Gadis dalam 21 tahun dia berusia bisa menikah tanpa izin darinya
wali (Pasal 7) 7 Mahar Diberikan oleh pengantin pria ke pengantin
(Pasal 30)
Dapat diberikan oleh pengantin untuk pengantin pria dan sebaliknya (Pasal 16)
8 Sikap suami& istri Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah kiper rumah tangga (Pasal 79)
Stance, hak dan kewajiban suami dan istri adalah sama (Pasal
49) 9 Kebutuhan dasar hidup
(nafkah) Kewajiban suami
(Pasal 80 angka 4) Kewajiban suami dan istri (Pasal 51)
10 Perjanjian tentang periode waktu tertentu pernikahan
Tidak Diatur, Diatur; pernikahan berakhir bersama-sama dengan akhir periode tercantum dalam perjanjian (Pasal 22, 28, dan 56 titik 11 Antar-agama pernikahan Benar-benar dilarang
(Pasal 44 dan 61)
Diizinkan, asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan (Pasal 54)
12 Poligami (ta'addud al-zawjât)
Diizinkan, dengan beberapa kondisi (Pasal 55-59)
Tidak diizinkan sama sekali, haram li ghairihi (Pasal 3)
13 Iddah (masa transisi) Iddah hanya diterapkan pada istri (Pasal 153)
Iddah diterapkan untuk kedua suami dan istri (Pasal 88) 14 Iddah cerai Berdasarkan dukhûl (Pasal 153) Berdasarkan akad, bukan pada dukhûl
(Pasal 88). 15 Ihdâd (berkabung) Ihdâd hanya diterapkan pada istri (Pasal
170)
Selain untuk istri, ihdâd juga diterapkan pada suami (Pasal 112)
16 Nusyuz (memberontak Dari melakukan Kewajiban)
usyuz hanya mungkin
dilakukan oleh istri (Pasal 84)
Nusyuz dapat dilakukan dengan istri dan suami (Pasal 53 [1])
17 Khulu` (perceraian oleh inisiatif istri)
Khulu` dinyatakan sebagai Thalaq bâ'in Sughra, baik suami dan istri yang diizinkan untuk mendamaikan dengan kontrak
pernikahan baru (Pasal 119)