• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bisnis Telekomunikasi di Indonesia Prosp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bisnis Telekomunikasi di Indonesia Prosp"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BISNIS TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

PROSPEK DAN TANTANGANNYA

Oleh Satrio Arismunandar

Pengantar

Telekomunikasi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia modern kita. Masyarakat dunia umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya kini tak bisa lagi hidup tanpa telekomunikasi. Pengembangan telekomunikasi di Indonesia juga merupakan salah satu wahana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Penyelenggaraan telekomunikasi juga mempunyai arti strategis dalam

upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Krisis ekonomi dan politik yang berlarut-larut, ditambah ancaman perpecahan, disintegrasi, konflik antarwarga masyarakat, dan sebagainya yang mengemuka akhir-akhir ini di Tanah Air, telah meningkatkan tuntutan terhadap sektor telekomunikasi, untuk memberi kontribusi bagi penanggulangan masalah-masalah di atas.

(2)

Dengan latar belakang situasi dan kondisi seperti demikian, bisnis telekomunikasi Indonesia umumnya dan bisnis telekomunikasi satelit khususnya menghadapi berbagai tantangan. Namun bersamaan dengan itu, juga terdapat potensi dan peluang-peluang yang masih bisa dieksplorasi lebih lanjut. Masalah-masalah inilah yang akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.

Pemanfaatan Satelit Komunikasi di Indonesia

Bisnis telekomunikasi di Indonesia sebenarnya sudah lama berlangsung. Namun sektor ini mencatat perkembangan pesat terutama sejak penggunaan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD), yang diresmikan penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1976. SKSD telah memperlancar

hubungan telepon, telegrap, dan telex di seluruh Indonesia, serta memperluas jangkauan siaran RRI dan TVRI ke seluruh provinsi.1

Di Indonesia sendiri, penggunaan satelit untuk berbagai tujuan sebenarnya sudah sangat luas. Selain untuk komunikasi, satelit juga bisa bermanfaat untuk siaran langsung (direct broadcasting satellite) dan penginderaan jarak jauh (remote sensing).2 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), misalnya, mengunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk menentukan daerah perairan Indonesia yang banyak ikannya, dan dengan teknologi ini BPPT mencoba membantu meningkatkan hasil tangkapan ikan para nelayan. Departemen Pertambangan juga memperoleh manfaat dari teknologi ini untuk mengetahui lokasi cadangan-cadangan mineral dan minyak bumi.

Di sektor telekomunikasi, dengan peluncuran Satelit Palapa generasi pertama (Palapa A), itulah pertama kalinya Indonesia memanfaatkan pelayanan satelit komunikasi milik sendiri. Manfaat ini sangat dirasakan terutama oleh daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas telekomunikasi yang dapat diandalkan, termasuk daerah-daerah terpencil di pedesaan. SKSD pada waktu

1

Ditjen Pos dan Telekomunikasi. 1981. Satelit Palapa Generasi Kedua. Jakarta: Dijen Postel – Dephub RI. Hlm. 8.

2 CNES. 1986. French Space Day, Thursday, June 26th, kumpulan makalah untuk dipresentasikan pada

(3)

itu terdiri dari satelit beserta 40 stasiun bumi, yang tersebar di 26 ibukota provinsi dan 14 tempat penting lainnya.

Selain sambutan positif dari pemerintah-pemerintah daerah, kalangan bisnis lokal dan internasional yang beroperasi di Indonesia juga menyambut positif perkembangan baru ini. PT. International Nickel Indonesia (INCO), perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi jauh di pedalaman Sulawesi Selatan itu, misalnya, mengatakan, SKSD Palapa telah memberi dimensi baru kepada corak komunikasi INCO terhadap dunia luar. Hubungan telex, yang semula menggunakan peralatan yang bisa dibilang "kuno", telah berubah drastis. SKSD memungkinkan INCO memperoleh private line dari kantornya di Soroako, Makassar, Jakarta, bahkan akhirnya ke kantor di New York dan Toronto.

Yang paling mendapat manfaat tentu adalah Pemerintah. Berkat adanya

SKSD, dengan mudahnya dan dengan kualitas yang lebih baik pula, siaran televisi telah menjangkau seluruh ibukota provinsi dan tempat-tempat lainnya di Tanah Air. Hal ini memungkinkan kebijaksanaan Pemerintah diketahui oleh masyarakat luas dari berbagai lapisan dalam waktu singkat. SKSD memungkinkan program-program penyuluhan pemerintah (seperti penyuluhan pertanian, kesehatan, keluarga berencana, transmigrasi, dan pendidikan) lebih mudah mencapai sasarannya.

Manfaat SKSD ternyata kemudian bukan cuma dirasakan oleh masyarakat di Indonesia, tetapi juga oleh warga negara-negara tetangga kita di ASEAN. Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura juga berminat menyewa transponder Palapa untuk keperluannya. Filipina lewat Domestic Satellite Philippines Inc (Domsatphil) waktu itu menyewa 1½ transponder, Malaysia lewat Jabatan Telekom Malaysia menyewa 1 transponder, Thailand lewat Bangkok Broadcasting TV and Co Ltd (BBTV) menyewa 1 transponder, sedangkan Singapura menyewa Palapa untuk keperluan hubungan lintas batas antara Singapura dan beberapa kota di Indonesia.3

3

(4)

Dengan perkembangan semacam itu, praktis Palapa bukan lagi sekadar satelit untuk kepentingan domestik, tetapi juga satelit yang bermanfaat untuk kepentingan regional negara-negara ASEAN. Setelah Palapa generasi pertama (Palapa A1 dan A2) habis masa operasionalnya pada tahun 1983, diluncurkanlah satelit Palapa generasi kedua (Palapa B1 dan B2) yang beroperasi sampai tahun 1990, dan begitulah seterusnya sampai sekarang. Dengan adanya Palapa, Indonesia termasuk negara berkembang pertama yang mempelopori penggunaan satelit untuk komunikasi domestik.

Pertumbuhan Ekonomi dan Krisis Ekonomi

Penggunaan satelit komunikasi ternyata dapat memberi dampak meluas.

Sejak dioperasikannya satelit Palapa, pembicaraan telepon di Indonesia tercatat meningkat. Pembicaraan telepon otomat pada tahun 1976 tercatat 1.137.971.712 pulsa. Ini meningkat menjadi 1.543.183.738 pulsa (tahun 1977), 2.164.647.936 pulsa (tahun 1978), 2.504.542.206 pulsa (tahun 1979), dan 3.353.441.979 pulsa (tahun 1980).4

Ekonomi Indonesia kemudian juga terus tumbuh secara mantap, sehingga

Indonesia dijuluki sebagai salah satu “macan Asia” (Asian tigers) bersama negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Taiwan, dan lain-lain. Bahkan Indonesia bersama negara-negara ini mendapat julukan “keajaiban

Asia” (the Asian miracles) dari Bank Dunia.

Tentu saja semua prestasi ekonomi itu tidak semata-mata karena Indonesia menggunakan satelit untuk telekomunikasinya. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, terutama stabilitas politik dan iklim investasi, ditambah lagi ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.

Dalam hal terakhir inilah, peran sarana dan prasarana perhubungan serta telekomunikasi --yang menentukan cepat-lambatnya pertukaran informasi dan data-- menjadi penting. Arti pentingnya karena kecepatan pertukaran informasi dan data ikut menentukan cepat-lambatnya pengambilan keputusan-keputusan

(5)

bisnis. Pada akhirnya, peran telekomunikasi ini akan memberi dukungan pada pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional.

Namun masa kemakmuran itu rupanya tidak bisa dinikmati Indonesia lebih lama. Krisis ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai dengan krisis moneter di Thailand pada Juli 1997, akhirnya juga melanda Indonesia. Persoalannya bukan terletak pada sektor telekomunikasi, tetapi pada kesalahan pengelolaan ekonomi negara, antara lain dengan menjamurnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Praktik KKN itu muncul sejalan dengan boom kenaikan harga minyak di pasar global, yang sempat memberi pemasukan besar buat negara. Ketika ekonomi sedang booming, dampak praktik-praktik KKN dan penyimpangan itu memang belum terasa. Namun begitu krisis ekonomi melanda, berbagai praktik menyimpang itu mempercepat keterpurukan Indonesia. Struktur ekonomi yang

ternyata tidak sekuat yang diperkirakan, serta ambruknya dunia perbankan yang mengucurkan kredit tanpa batas dan berkolusi dengan grup-grup perusahaan yang sama, membuat Indonesia terbenam dalam krisis tersebut.

Lebih buruk lagi, krisis ekonomi ini juga memicu krisis politik yang berkepanjangan hingga sekarang, Juli 2001. Sesudah berhentinya Presiden Soeharto akibat tekanan rakyat pada Mei 1998 dan diadakannya Pemilu 1999, yang menghasilkan pemerintahan baru di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, kondisi ekonomi Indonesia hanya sempat membaik sebentar, tapi lalu terpuruk lagi. Pertarungan politik antara DPR dan Presiden yang berlarut-larut, serta tidak jelasnya arah kebijaksanaan ekonomi karena Pemerintah terlalu sibuk mengurus politik, tidak membantu pulihnya ekonomi nasional.

Namun bahkan dalam kondisi keterpurukan di berbagai sektor, serta kondisi ekonomi yang belum terangkat semacam itu, bisnis telekomunikasi di Indonesia ternyata tetap menunjukkan perkembangan yang meningkat. Sebagai salah satu indikator, hal ini bisa dilihat pada kinerja keuangan dua pemain utama telekomunikasi di Indonesia, yakni PT. Telkom dan PT. Indosat.

Dalam laporan kinerja keuangannya, Telkom mencatatkan laba bersih Rp 2,54 trilyun pada tahun 2000. Jumlah itu meningkat 16,88 persen dari laba tahun

(6)

9,38 persen dari pendapatan tahun 1999 yang mencapai Rp 7,79 trilyun. Peningkatan beban usaha juga mengiringi peningkatan pendapatan. Tercatat beban usaha meningkat 10,14 persen dari Rp 4,85 trilyun pada tahun 1999. Sementara itu, beban utang jangka panjang Telkom tercatat Rp 10,36 trilyun. Jumlah itu meliputi 58,24 persen dalam mata uang asing dan 41,76 persen dalam mata uang rupiah.5

Sedangkan Indosat dalam laporan keuangannya mencatat laba bersih Rp 1,8 triliun. Jumlah itu dibagi untuk dividen 30 persen atau setara dengan Rp 540 miliar. Sedangkan laba tertahan yang digunakan untuk mengembangkan full

network service provider (FNSP) mencapai 67 persen atau sekitar Rp 1,2 triliun. Sisanya dicatatkan sebagai dana cadangan.6

Restrukturisasi Industri Telekomunikasi di Indonesia

Dunia telekomunikasi di Indonesia mengalami perkembangan baru pada pertengahan 2001 ini. Pertama, dari diterapkannya perundang-undangan telekomunikasi baru yang mendorong terjadinya iklim kompetisi yang lebih sehat di antara para pemain bisnis telekomunikasi utama, khususnya adalah PT. Telkom dan PT. Indosat. Pemberitaan media massa nasional pada pertengahan 2001 sempat diramaikan oleh pro-kontra masalah cross ownership antara dua badan usaha milik negara (BUMN) bidang telekomunikasi yang besar ini.

Masyarakat pengguna jasa telekomunikasi umumnya mungkin telah mengikuti perdebatan tentang cross ownership ini di media massa. Namun mereka belum menangkap secara jelas, apa pentingnya dan apa manfaat cross

ownership antara Telkom dan Indosat ini bagi mayarakat.

Cross ownership adalah program yang diminta Dana Moneter Internasional (IMF) kepada Pemerintah Indonesia, agar penyertaan saham Telkom dan Indosat di berbagai perusahaan swasta yang bergerak di bidang telekomunikasi diubah komposisinya, untuk suatu perusahaan hanya

(7)

diperbolehkan dikuasai salah satu saja: Indosat atau Telkom. Maka Telkom dan Indosat diharapkan memecah kepemilikan silangnya.

Tujuannya untuk jangka panjang adalah agar terjadi persaingan yang sehat antara keduanya untuk berbagai bidang jasa telekomunikasi. Ketentuan baru ini membuka ruang bagi iklim yang lebih liberal, kompetitif, antimonopoli, multi-operator dan berpihak pada pelanggan. Reformasi telekomunikasi Indonesia ini sebenarnya juga menjadi bagian dari reformasi sektor telekomunikasi dunia.

Selama ini, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang lama,

Telkom dan Indosat memang diberi semacam “monopoli” oleh Pemerintah untuk

mengelola jasa dasar sektor telekomunikasi. Telkom menguasai jasa dasar telekomunikasi domestik, sedangkan Indosat menguasai jasa dasar

telekomunikasi yang terkait dengan internasional (sambungan langsung internasional). Pihak swasta yang bergerak di bisnis telekomunikasi non-dasar harus bekerjasama dengan pengelola bisnis dasar, sehingga Telkom dan Indosat akhirnya terlibat dalam kepemilikan saham, baik secara sendiri maupun bersama, di perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Akibatnya, terjadi

semacam “monopoli” atau dominasi oleh keduanya terhadap sektor

telekomunikasi Indonesia.

Dengan adanya ketentuan perundang-undangan baru, yang menghapus praktik monopolistik-proteksionis di sektor telekomunikasi tersebut, tentu saja muncul sambutan positif dari kalangan bisnis. Dengan ketentuan baru ini, monopoli di bidang telekomunikasi akan berubah menjadi kompetisi. Ujung-ujungnya, ini akan bermuara pada persaingan harga, tingkat pelayanan, efisiensi kedua perusahaan, dan sebagainya. Bagi masyarakat dan pengguna jasa, sangat jelas keuntungannya. Mereka dapat memilih jasa atau produk yang diinginkan. Mereka juga dapat membandingkan tingkat layanan keduanya dan ini lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Bagi para karyawan Indosat dan Telkom sendiri jelas ada yang setuju dan tidak setuju dengan cross ownership. Namun jika dilihat dari sisi positifnya, ini

(8)

menciptakan peluang-peluang baru. Memang bisa dipahami, setiap perubahan, apalagi yang skala dan tingkat kecepatannya besar, mungkin menimbulkan penolakan-penolakan karena tidak semua orang siap dengan perubahan. Hanya yang dapat menyesuaikan diri secara cepat bisa mengambil manfaat dari program ini. Di sini diperlukan sosialisasi yang lebih intens, agar para karyawan memahami arti penting dan manfaat kesepakatan cross ownership ini.

Bagi pemerintah sendiri, dampak langsung dari transaksi antara Telkom dan Indosat adalah meningkatnya perolehan pajak. Pemerintah akan memperoleh masukan yang relatif lebih besar dan akan membantu membiayai operasional pemerintahan/APBN, yang tertekan oleh krisis ekonomi akhir-akhir ini.

“Tukar Guling” antara Telkom dan Indosat

Setelah menjadi polemik sekian lama di media massa, bahkan muncul sejumlah aksi penolakan dan unjuk rasa dari karyawan, transaksi silang atau tukar guling antara PT. Telkom dan PT. Indosat akhirnya terjadi juga. Tukar guling antara Telkom dan Indosat ini menandai era baru dalam retrukturisasi industri telekomunikasi di Indonesia. Pasar dan para analis menyambut positif terjadinya tukar guling senilai 1,54 miliar dollar AS antara kedua BUMN, yang menjadi operator jasa dasar dan pemain besar di bisnis telekomunikasi Indonesia ini.

Dengan dipecahnya kepemilikan ini, masing-masing pihak bisa lebih mandiri. Pada 15 Februari 2001, kedua perusahaan menandatangani MoU tukar guling saham empat perusahaan. Disepakati perjanjian jual-beli pemisahan saham silang di PT, Telkomsel, PT. Satelindo, PT. Aplikanusa Lintasarta, dan PT. Mitra Global Telekomunikasi Indonesia.

Transaksi tukar guling senilai US$ 1,5 miliar itu meliputi pengalihan 35 persen saham Indosat di PT. Telkomsel senilai US$ 945 juta kepada Telkom, 22,5 persen saham Telkom di PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) senilai

(9)

Lintasarta senilai US$ 38 juta kepada Indosat, dan pengalihan Telkom Divisi Regional IV (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) senilai US$ 375 juta kepada Indosat.

Transaksi ini membuat Telkom menguasai 77,7 persen saham PT. Telkomsel, operator telepon seluler terbesar di Indonesia.7 Sedangkan Indosat kemudian menguasai penuh seluruh saham PT. Satelindo, dengan mengakuisisi PT. Bimagraha Telekomunindo dari kelompok Bimantara, yang semula memegang saham mayoritas Satelindo.

Dengan restrukturisasi industri telekomunikasi tersebut, Telkom dan Indosat kini berkompetisi. Kedua BUMN tersebut akan berebut pasar, mengingat bisnis inti mereka sama: bidang jasa telekomunikasi terintegrasi. Kedua perusahaan ini akan bersaing ketat di empat bisnis utama, yakni: usaha layanan

telepon tetap, sambungan langsung internasional (SLI), telepon selular, dan multimedia.

Pemerintah sendiri, melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli8, mendukung penuh kesepakatan itu agar restrukturisasi dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, nilai tambahnya akan meningkat dan mendorong investasi baru di bidang telekomunikasi. “Kita harus mempersiapkan diri mulai sekarang, untuk memperkuat sektor telekomunikasi menujui liberalisasi sektor

telekomunikasi,” tegasnya.

Analis independen juga berpendapat, tukar guling antara kedua perusahaan itu merupakan langkah maju ketimbang hanya ada satu perusahaan telekomunikasi yang memonopoli. Selain itu, transaksi tukar guling akan berdampak positif pada kinerja Telkom dan Indosat sendiri, daripada jika membiarkan pihak asing masuk di sektor telekomunikasi saat ini. Artinya, pasca tukar guling ini, kinerja dan mungkin juga perolehan keuntungan justru akan melaju.

(10)

Perkembangan Teknologi

Dalam bisnis telekomunikasi, faktor teknologi memegang peranan penting, kalau bukan peran yang sangat menentukan. Oleh karena itu, bicara tentang prospek bisnis telekomunikasi menjadi tidak bermakna tanpa bicara tentang perkembangan teknologi.

Kalau bicara tentang teknologi telekomunikasi, perlu dibedakan dua kategori besar dari fungsi jaringan (network).9 Pertama, transmisi jaringan (network transmission) yang diwakili oleh tagihan telepon, yang berkaitan dengan nada panggil dan penggunaan jaringan (lamanya pembicaraan, jarak, dan waktu ketika pembicaraan dilakukan). Kategori kedua, berkaitan dengan akses jaringan (network access). Akses secara harfiah berarti "kemampuan

untuk masuk." Teknologi-teknologi akses, seperti komputer dengan modem, unit konferensi-video, handset telepon, dan sebagainya adalah sesuatu yang

dibutuhkan konsumen untuk masuk ke jaringan (memanfaatkan pelayanan transmisi jaringan).

Teknologi akses biasanya padat modal. Teknologi ini menentukan atau membatasi cara dan gaya aplikasi jaringan yang tersedia untuk konsumen. Misalnya, sebuah komputer dan sebuah handset telepon menentukan cara penggunaan jaringan yang berbeda. Lebih banyak orang menggunakan telepon dari pada Internet sebagian karena lebih banyak orang yang memiliki pesawat telepon ketimbang komputer.

Sebaliknya, transmisi jaringan relatif tidak berkaitan dengan cara penggunaannya oleh konsumen. Untuk transmisi, secara digital ukurannya hanyalah bit, tidak peduli apakah konsumen menggunakan komputer atau pesawat telepon biasa.

Dengan penjelasan di atas, terlihat bahwa teknologi akses sangat mempengaruhi siapa yang berpartisipasi dalam masyarakat dan dalam peranan apa. Selama ini distribusi teknologi akses jarang dibahas, karena dianggap

9 Untuk penjelasan panjang-lebar tentang hal ini, lihat Siembab, Walter dan Thomas O'Brien, "Digital

(11)

hanya sekadar produk dari pasar yang kompetitif. Diasumsikan bahwa pengguna rumah tangga dan bisnis akan memperolehnya sesuai kebutuhan mereka. Padahal teknologi akses ini akan mempengaruhi pola penggunaan jaringan. Maka setiap perusahaan telekomunikasi harus tanggap terhadap perkembangan teknologi akses ini.

Saat ini, salah satu teknologi baru yang sedang dipasarkan di Indonesia dan sedang tren di dunia adalah DSL (Digital Subscriber Line). Teknologi DSL secara sederhana adalah menggunakan jalur telepon biasa untuk menyalurkan data, termasuk data multimedia, dengan kecepatan tinggi. Hanya sebagian dari frekuensi yang tersedia pada kabel itu yang digunakan. DSL membagi frekuensi tinggi untuk data dan frekuensi rendah untuk suara dan facsimile. Teknologi ini menjadi penting karena karena makin meningkatnya permintaan penggunaan Internet dengan akses kecepatan tinggi, untuk urusan bisnis, e-commerce, dan transaksi online.

Jasa DSL ini sekilas mirip SDL DOV, di mana kebutuhan akses komunikasi data pelanggan menggunakan jalur telepon yang sudah ada, dan jalur telepon tetap dapat digunakan oleh pelanggan. Namun dari sisi teknologi sebenarnya berbeda, karena jasa yang ditawarkan sudah menyentuh lapisan ketiga dalam protokol komunikasi, yaitu jasa multimedia (IP). Selain berfungsi sebagai modem, DSL juga mempunyai fungsi routing sederhana di dalamnya.

Dalam keluarga DSL terdapat beberapa alternatif produk. Yaitu: HDSL (High-bit-rate Digital Subcriber Line), SDSL (Symmetric Digital Subscriber Line), ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line), VDSL (Very high bit rate Digital Subscriber Line), dan IDSL (ISDN Digital Subscriber Line). Masing-masing berbeda dari segi kecepatan dan kapasitas penyaluran datanya.

(12)

perangkat untuk mengakses jasa Internet. Dari PC maupun LAN (local area network) skala kecil bisa langsung dapat tersambung dengan Internet. DSL ini sekarang sedang dipasarkan gencar oleh PT. Aplikanusa Lintasarta, yang sekarang dikuasai Indosat, karena saham Telkom di perusahaan itu telah dijual ke Indosat.

Selain teknologi DSL, masih ada sejumlah teknologi lain yang perlu dicermati. PT. Pasifik Satelit Nusantara, misalnya, baru-baru ini meluncurkan PASTI (ACeS Satellite Fixed Aplication), yakni sebuah aplikasi tetap dari layanan telekomunikasi bergerak berbasis satelit yang menggunakan jaringan ACeS (ASIA Cellular Satellite). PASTI didesain secara sederhana untuk memenuhi semua kebutuhan telekomunikasi melalui telepon. Tingal dibeli, dipasang sendiri, dan langsung kring. Cara memasangnya semudah memasang peralatan rumah

tangga lainnya.

Wilayah cakupannya meliputi seluruh Indonesia dan Asia, mulai dari India, Pakistan, Cina, Jepang, sampai Papua Niugini. Teknologi ini memungkinkan pemakai terhubung di manapun berada, meski di tempat terpencil seperti hutan belantara dan pelosok pedesaan sekalipun. PASTI menggunakan satelit yang akan menerima sinyal dari antena dan menyambungkannya ke telepon tujuan, baik telepon biasa, handphone, maupun telepon PASTI lainnya.

Perkembangan teknologi Internet juga harus diwaspadai. Bisnis sambungan langsung internasional (SLI) Telkom dan Indosat, bahkan perusahaan telekomunikasi sejenis di negara-negara lain, bisa terancam dengan berkembangnya telepon Internet (VoIP). Telepon Internet ini sudah hadir dan memberi solusi tarif lebih murah ketimbang biaya SLI yang ditetapkan Indosat. Cukup dengan beberapa ribu rupiah sudah bisa tersambung ke Amerika, ketimbang harus membayar belasan ribu rupiah jika menggunakan jasa SLI 001.10

Tentu masih banyak perkembangan tekonologi telekomunikasi lain, yang belum tercakup dalam tulisan singkat ini. Namun tiga teknologi ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telekomunikasi

(13)

memang cukup pesat, dan para pemain di bisnis ini harus selalu awas dan tanggap jika ingin tetap bertahan di pasar.

Prospek, Tantangan dan Langkah-langkah Strategis

Semua yang telah diuraikan di atas menunjukkan besarnya prospek, tetapi sekaligus juga tantangan bagi para pelaku bisnis telekomunikasi Indonesia. Menko Perekonomian Rizal Ramli, telah menyatakan bahwa Indonesia mulai sekarang harus mempersiapkan diri dan memperkuat sektor telekomunikasi, menuju liberalisasi sektor sektor telekomunikasi. Karena menyadari hal itulah, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi Agum Gumelar11 telah membentuk dewan telekomunikasi yang independen.12

Dalam mengantisipasi perkembangan lebih lanjut dari bisnis telekomunikasi yang berubah cepat, sangatlah tepat jika para pemain di bisnis ini melakukan langkah-langkah pembenahan internal dan pada saat yang sama menetapkan langkah-langkah strategis ke depan. PT. Telkom, misalnya, secara prinsip telah menyetujui restrukturisasi bisnis dan reorganisasi. Telkom akan mengubah portofolio usaha dan menyelaraskan pembagian tugas direksi dengan portofolio baru.13

Ketika transaksi cross-ownership antara PT. Telkom dan PT. Indosat sedang dilakukan, Telkom memiliki satu direktur utama dan empat direktur (keuangan, sumberdaya manusia, perencanaan dan teknologi, serta direktur operasi dan pemasaran). Sesudah pembenahan, Telkom akan memiliki satu direktur utama dengan lima direktur. Yakni: direktur pengembangan usaha, direktur jasa selular dan multimedia, direktur sistem network, direktur pemasaran, serta direktur keuangan dan sumberdaya manusia.

Langkah restrukturisasi ini tampaknya sangat tepat. Jika kita melihat tren perkembangan teknologi telekomunikasi, misalnya, teknologi selular, multimedia, dan Internet sedang marak saat ini. Berdasarkan struktur baru, Telkom telah

11 Sekarang, Juli 2001, menjabat Menko Polsoskam. 12 Suara Pembaruan, 10 Mei 2001, hlm. 4.

(14)

menempatkan satu direktur untuk menangani jasa selular dan multimedia. Ini baru langkah pertama, karena banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menjadi full network and services provider.14

Tentu saja, Telkom bukan satu-satunya perusahaan telekomunikasi yang melakukan restrukturisasi dan reorganisasi. PT. Indosat yang semula mengelola satelit dan SLI (sambungan langsung internasional) kini juga sudah mengubah misi bisnisnya. Kini Indosat sedang menyiapkan investasi hingga Rp 15 triliun untuk menggarap empat bisnis utamanya, yaitu backbone, fixed access (telepon tetap), selular, serta internet/multimedia.15

Indosat akan mengedepankan bisnis selularnya, karena bisnis telepon selular dianggap dengan cepat bisa mengembalikan investasi. Jika investasi cepat kembali, maka Indosat akan punya modal untuk mengembangkan usaha

lainnya.

Masalah Hubungan Masyarakat

Namun di luar masalah restrukturisasi dan reorganisasi itu, tampaknya ada hal-hal yang kurang mendapat perhatian. Hal yang sering kurang diperhatikan itu adalah aspek hubungan masyarakat (humas). Banyak kebijaksanaan tidak bisa efektif bahkan tidak bisa dilaksanakan karena ditentang oleh masyarakat. Ini terlihat dalam kasus penolakan terhadap rencana kenaikan tarif telepon, walau yang menikmati sambungan telepon saat ini baru 15 persen penduduk atau sekitar 32 juta penduduk lewat 6,7 juta SST (satuan sambungan telepon).16

Dalam proses usulan kenaikan tarif telepon terakhir, Juni 2001, tarif secara umum naik rata-rata 21,67 persen dan diberlakukan zona tunggal (single

zone) untuk telepon berkode akses 021. Ada kesan, Pemerintah secara terburu-buru telah mengumumkan kenaikan tarif ini tanpa sosialisasi dan penjelasan

14 Pernyataan Direktur Pemasaran dan Operasi Telkom, Komarudin, sebagaimana dikutip Republika, 11

Mei 2001.

15 Keterangan Direktur Pengembangan Perusahaan Indosat, Budi Prasetyo, sebagaimana dikutip Republika,

11 Mei 2001.

(15)

yang cukup kepada masyarakat. Bahkan kepada Komisi IV DPR yang dianggap mewakili masyarakat pun masih kurang diberi penjelasan.

Persoalannya bukan terletak pada kekeliruan kebijaksanaan kenaikan tarif yang diusulkan PT. Telkom, tetapi lebih kepada kurang pasnya cara memberi penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat. Apalagi pada bulan yang sama, berbagai tarif lain juga mengalami kenaikan, seperti: listrik, BBM, transportasi umum, dan tentu saja harga-harga kebutuhan pokok. Jadi ada suasana psikologis di kalangan masyarakat yang sangat peka terhadap pengumuman kenaikan tarif tertentu.

Kebijaksanaan pemberlakuan zona tunggal, yang tampaknya ingin diberlakukan PT. Telkom untuk seluruh kota metropolitan di Indonesia, memang sudah menjadi kecenderungan dunia. Selain itu sistem zona tunggal juga lebih

sederhana dari sistem sebelumnya. Dari segi pelanggan, karena proses dan hitungan lebih sederhana, tingkat kesalahan tagihan menjadi lebih rendah. Selain itu, di pihak Telkom, kerancuan perhitungan tarif semakin kecil dan klaim pulsa diharapkan makin berkurang.

Dari sudut pandang pihak Telkom, penerapan zona tunggal juga bisa menguntungkan dari segi ekonomi, terutama di bidang perdagangan. Lebih murahnya biaya telepon dari daerah non-DKI akan menyebabkan pergeseran kegiatan ekonomi dan perdagangan ke wilayah pinggiran non-DKI. Pada gilirannya, karena pergeseran ini maka bisnis akan lebih kebal terhadap gejolak sosial-politik di DKI.

(16)

Kesimpulan dan Saran

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa bisnis telekomunikasi di Indonesia telah memiliki sejarah cukup panjang dan menunjukkan peningkatan pesat, terutama sejak pemanfaatan Sistem Komunikasi Satelit Domestik. Perkembangan positif ini sempat terganggu oleh krisis ekonomi, ditambah krisis politik, yang berlarut-larut di Indonesia. Namun bahkan dalam kondisi terpuruk seperti itu pun masih ada peningkatan bisnis, dan itu menunjukkan prospek dan potensi bisnis telekomunikasi sebenarnya cukup cerah.

Selain terdapat peluang, tentu juga terdapat tantangan-tantangan. Tantangan itu antara lain adalah perkembangan bisnis telekomunikasi dunia, liberalisasi, dan globalisasi, yang menuntut para pelaku bisnis telekomunikasi

Indonesia untuk siap bersaing dalam pasar yang terbuka.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, para pelaku bisnis telekomunikasi perlu melakukan pembenahan, dalam bentuk restrukturisasi dan reorganisasi, serta perumusan kembali misi dan core bisnis yang ditekuni.

Langkah-langkah semacam ini telah mulai dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi utama, seperti PT. Telkom dan PT. Indosat, dan tentu akan diikuti oleh yang lain-lain.

Namun selain langkah-langkah itu, untuk kasus Indonesia, ada satu aspek yang tak boleh dilupakan yaitu aspek hubungan masyarakat (humas). Kasus penolakan masyarakat terhadap usulan kenaikan tarif telepon membuktikan hal ini. Pihak pelaku bisnis telekomunikasi perlu memberi perhatian lebih besar pada aspek humas, supaya segala pembenahan, restrukturisasi, dan reorganisasi yang dilakukan benar-benar bisa diterapkan dan ditetrima oleh masyarakatnya. Hal ini penting, karena memang tidak ada perusahaan yang bisa berkembang sendiri tanpa dukungan masyarakat konsumen yang membeli produk dan jasanya. ***

(17)

Daftar Pustaka :

1. Bisnis Indonesia, 14 Mei 2001.

2. CNES. 1986. French Space Day, Thursday, June 26th, kumpulan makalah untuk dipresentasikan pada Indonesia Air Show, 1986, Jakarta.

3. Ditjen Pos dan Telekomunikasi. 1981. Satelit Palapa Generasi Kedua. Jakarta: Dijen Postel – Dephub RI.

4. Kompas, 3 Juli 2001.

5. Koran Tempo, 11 Mei 2001. 6. Media Indonesia, 10 Mei 2001 7. Republika, 11 Mei 2001.

8. Siembab, Walter dan Thomas O'Brien, "Digital Broadband Networks for Economic Development and Mobility: A Bricks and Bits Strategy for Retrofitting Cities", dalam Journal of Municipal Telecommunications, Vol. 1

No. 1, April 1999.

9. Suara Pembaruan, 10 Mei 2001.

10. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat juga memahami pelaksanaan ritus Esmaket karena ada makna. nilai-nilai positif yang berguna bagi masyarakat yaitu nilai

Dalam hubungannya dengan keputusan Majelis Badan Penyelesaian'Sengketa Konsumen {BPSK),yang tidak diterima oleh para pihak dan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri (Pasal 56

adanya fasilitas yang memadai maka penegakan hukum bisa ditegakan dengan seutuhnya, prasarana juga harus mendukum dalam penegakan hukum seperti yang diperlukan oleh

Langkah-langkah dalam pelaksanaan supervisi akademik, penulis melakukan tahapan sebagai berikut: 1) Penulis menyiapkan instrumen supervisi akademik tentang pelaksanaan

Oleh karena itu penentuan daya adsorpsi maksimum zeolit pada proses penyerapan logam chrom (VI) dihitung dengan menggunakan persamaan adsorpsi Langmuir karena dilakukan

[r]

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fluktuasi arus dalam skala intra-musiman di dekat dasar di pintu masuk Laut Halmahera berhubungan erat dengan perturbasi angin

Vasovagal merupakan efek samping anestesi karena stimulasi N. Vagus, hal ini disebabkan peningkatan tonus saraf parasimpatis. Pada penggunaan anestesi spinal, obat