• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembaruan Hukum Pemilu Melalui Pembentukan Peradilan Pemilu T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembaruan Hukum Pemilu Melalui Pembentukan Peradilan Pemilu T1 BAB I"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstitusi negara merupakan suatu cita-cita negara yang melandasi segala aspek kehidupan di suatu negara yang berdasarkan pada pemerintahan yang berkonstitusi. Menurut Aristoteles ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:1

a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;

b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;

c. Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan merupakan paksaan tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.

Pendapat Aristoteles tersebut menyebutkan bahwa yang pertama pemerintahan yang berkonstitusi pemerintahan dilaksanakan oleh kepentingan umum, kepentingan umum bersifat luas namun berpokok pada satu kepentingan bersama. Yang kedua, pemerintahan yang berkonstitusi dilaksanakan menurut hukum dan juga adanya kehendak rakyat. Artinya adanya konsep negara hukum atau dilaksanakan menurut hukum menghendaki rakyat dilindungi oleh hukum, hukum memberikan perlindungan penuh terhadap kepentingan umum. Hadirnya

1

(2)

hukum yang wujud nyatanya melalui peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk lain hadir bukan untuk memperlemah konstitusi namun memperkuatnya. Dan yang terakhir adalah pemerintah yang berkonstitusi melaksanakan kehendak rakyat. Kehendak rakyat merupakan bagian dari HAM yang secara umum diakui oleh negara. Konstitusi itu sendiri merupakan konsep yang sangat luas. Namun yang difokuskan dalam penulisan ini adalah salah satu ciri khas dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pemerintahan berdasarkan kehendak rakyat.

Berbicara mengenai kehendak rakyat maka dapat diartikan bahwa apa yang diinginkan oleh rakyat bentuk lainnya adalah pemerintahan rakyat. Dapat dikatakan seperti itu oleh karena di dalam pemerintahan rakyat maka tentu mengutamakan kehendak rakyat. Kehendak rakyat dalam bahasa umumnya dikenal dengan istilah demokrasi. Wujud nyata akan adanya demokrasi di suatu negara adalam Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi yang diwujudkan di dalam pemilu sebenarnya adalah kontrol utama dari negara tersebut. Indonesia adalah negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945, maka dari itu perwujudan dari kontrol negara hukum tersebut adalah demokrasi.

Menurut Franz Magnis Suseno, “demokrasi yang bukan negara hukum

bukan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum”.2 Demokrasi sebagai wujud pengendalian akan kekuasaan yang ada di negara hukum yang mana pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dapat dikendalikan oleh suatu sistem demokrasi yang memberikan wewenang tertinggi kepada rakyat sebagai

2

(3)

pemegang kedaulatan. Lahirnya negara hukum indonesia mengindikasikan indonesia sebagai negara yang menjalankan sistem demokrasi.

Demokrasi secara etimologis dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Rakyat sebagai individu memiliki Hak Asasi Manusia. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata dari demokrasi itu sendiri. Bahwa ketika rakyat dalam hal ini ikut andil dalam pemilu maka Hak Asasi nya terpenuhi. Lebih luas lagi hak untuk memilih atau dipilih menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi. Menurut model budaya demokrasi (civic culture), seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).3 Dorongan yang timbul dari dalam individu memberikan indikasi bahwa pemilu tidak hanya bagian penting dalam sistem ketatanegaraan namun juga merupakan dorongan batin individu, dan dorongan tersebut merupakan dorongan dari Hak Asasi Manusia. Dorongan batin yang merupakan kehendak rakyat diwujudkan dengan adanya pemilu itu sendiri yang tentu saja di dalam sistem penyelenggaraan pemilu.

Kenyataan yang ada adalah ketika suatu negara dijalanakan atau suatu kehendak rakyat (demokratis) maka penyelenggaraan pemilu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pemilu tidak dapat dijumpai di dalam negara dengan

3

(4)

sistem monarki atau otoriter. Secara teoritis penyelanggaran pemilu di dalam suatu negara menurut Jimly Asshiddiqie mempunyai tujuan:4

a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan secara tertib dan damai;

b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian jabatan yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;

d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa tujuan pemilu merupakan bentuk peralihan atau penggantian kekuasaan baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislate/lembaga perwakilan, tujuan yang tidak kalah penting adalah soal kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. tujuan akan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pelaksanaan hak asasi warga negara merupakan tujuan yang bersifat prinsipil, artinya tujuan tersebut memberikan posisi kuat pentingnya pelaksanaan pemilu. Tujuan penyelenggaraan pemilu tersebut dapat terwujud jika adanya suatu sistem pemilihan umum yang dicita-citakan serta ideal bagi warga negara. maka dari itu adanya perubahan diperlukan dan menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam hal penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Penyelenggaraan pemilu di beberapa negara tidak terlepas dari suatu sengketa pemilu. Baik negara maju maupun negara berkembang memiliki konflik dan kelemahan sistem hukum pemilu, namun setiap negara-negara di dunia

4

(5)

memiliki lembaga tertentu dalam menangani sengketa pemilu. Penanganan sengketa pemilu di Indonesia di bawah kewenangan beberapa lembaga negara. Bahwa sengekta pemilu yang ditangani oleh beberapa lembaga negara mengakibatkan lembaga-lembaga tersebut terbebani akan tanggungjawab menangani sengketa pemilu yang bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum sengketa pemilu. Penegakan hukum terhadap sengketa pemilu mempunyai dampak yang baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

(6)

permohonan lebih banyak, pada Pemilu Legislatif 2009 MK menerima 628 permohonana dan meningkat di Pemilu Legislatif 2014 menjadi 702. Permohonan lain PHPU adalah Pilkada yang masih ditangani oleh MK tingkat Provinsi sampai Kabupaten atau Kota. Penanganan sengketa Pemilu tentu saja menjadi beban pada MK yang tentu saja menghambat tugas utama MK sebagai pengawal Konstitusi.

Kewenangan penanganan sengketa pemilu telah diamanatkan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi, namun terhadap perselisihan hasil pemilu. 5 Sementara untuk pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, dan tindak pidana pemilu telah ditangani oleh beberapa lembaga negara seperti KPU, Bawaslu, DKPP, Mahkamah Agung juga termasuk PTUN. Dalam bidang perkara sengketa hasil oleh Mahkamah Konstitusi, dalam bidang sengketa pidana ada kepolisian dan kejaksaan, dan bidang sengketa administratif ada KPU dan Bawaslu. Banyaknya campur tangan lembaga negara di penyelesaian sengketa pemilu mengakibatkan penyelesaian tidak fokus dan memakan waktu yang lama, adanya tarik-menarik kepentingan penyelesaian sengketa, dan di setiap lembaga juga mempunyai kewenangan lain yang pada pokoknya tidak memiliki hubungan langsung dengan penyelesaian sengketa pemilu. Bilamana sengketa pemilu tetap diselesaikan dengan beberapa lembaga negara maka proses pemilihan umum yang berkualitas diragukan.

Tatanan hukum yang berlaku sekarang, baik yang masih berasal dari jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, maupun setelah Indonesia merdeka

5 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

(7)

yang berasal dari jaman pemerintahan Orde Lama dan Pemerintahan Orde Baru, harus diperiksa kembali dan diubah. Tujuan pengubahan adalah untuk menciptakan masyarakat sipil yang demokratis yang menghargai hak-hak individu dan hak-hak budaya komuniti.6 Pembaruan hukum dengan cara mengubah merupakan salah satu upaya dalam menampung kehendak-kehendak warga negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis oleh karena pembaruan hukum merupakan hal yang biasa terjadi di suatu negara.

Maka jadilah manusia dan kemanusiaan sebagai wacana awal dari hukum. Membicarakan dan mengerjakan hukum lebih dahulu diawali dengan membicarakan manusia dan kemanusiaan7 Kehendak rakyat merupakan bagian dari pembahasan mengenai manusia dan kemanusiaan yang merupakan bagian penting dari HAM. Sebelum membicarakan dan mengerjakan hukum dalam hal ini sebelum memulai pembaruan hukum harus terlebih dahulu mengulas lebih jauh tentang HAM. HAM menjadi suatu hal yang dasar dalam melakukan perubahan hukum. Maka dari itu pembaruan hukum pemilu tepat bila mengulas lebih jauh tentang HAM sebagai warga negara terkait dengan pemilu harus didengarkan, ditampung, dan diselesaikan oleh hukum itu sendiri. Penanganan sengketa pemilu merupakan bentuk dari gambaran bagaimana negara hadir dalam memenuhi hak warga negara terkait dengan pemilu.

Pergerakan suatu hukum di suatu negara senantiasa berkembang tak terkecuali di Indonesia. Konsekuensi dari sistem demokrasi dan negara hukum menuntut terus adanya perubahan hukum yang menjadi tuntutan atau kehendak rakyat. Wujud nyata dari perubahan tersebut adanya hukum yang diperbarui.

6

Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2009), hlm.79.

7

(8)

Termasuk pembaruan hukum pemilu juga tidak dapat dihindari. Guna mewujudkan tujuan-tujuan pemilu maka adanya hukum pemilu yang ideal menjadi suatu kebutuhan yang penting.

Tuntutan pembaruan hukum di negara demokrasi dapat dipastikan merupakan tuntutan perubahan atau pembaruan yang bersumber pada kehendak rakyat. Konsep Eugen Ehrlich (1862-1922), seorang ahli hukum dari Austria yang menganut teori pluralisme hukum (legal pluralism) yang menyebut living law of the people (hukum yang hidup dari rakyat). Dalam konsepnya itu, Ehrlich

berpendapat bahwa hukum yang hidup itu adalah berasal dari rakyat atau hukum yang relevan sesuai kehendak rakyat.8 Hukum yang tumbuh masyarakat pluralitas Indonesia menuntut suatu pembaruan hukum termasuk di dalam bidang pemilu. Pemilu bagian dari demokrasi, pemerintahan yang berdasar pada kehendak atau tuntutan rakyat. Pemilu bagian dari konstitusi yang menjunjung tinggi HAM sebagai bagian penting dari penyelenggaraan pemerintahan yang di dalamnya terdapat hak-hak yang melekat termasuk hal untuk dipilih dan memilih serta bagaimana penjaminan atas hak tersebut. Konsep pemikiran tentang pembaruan hukum menjadi kehendak yang timbul dari masyarakat, kehendak tersebut wajib untuk diberikan jaminan hukum. Jaminan hukum yang senyatanya ada di Indonesia yang menjadi tempat letaknya keadilan ada di peradilan itu sendiri. Tingkatan peradilan yang berbeda, tugas serta kewenangan yang berbeda pula juga.

Hukum pemilu di Indonesia bagian dari rumpun Hukum Tata Negara. Indonesia sebagai negara hukum yang tertuang di dalam UUD 1945 sebagai

8

(9)

konstitusi mengisyaratkan bahwa hukum menjadi bagian dari diri masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum di Indonesia tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Melihat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam perbedaan atau dapat dikatakan adanya pluralitas masyarakat maka kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum akan selalu berbeda-beda. Adanya tuntutan yang tinggi terhadap suatu perubahan atau pembaruan hukum menjadi suatu keniscayaan.

(10)

Untuk senantiasa mengikuti perkembangan hukum yang ada dan bagian dari suatu pembaruan hukum maka Indonesia haruslah melihat dari negar lain terhadap penanganan sengketa pemilu. Beberapa negara di dunia juga telah mempunya badan peradilan khusus pemilu dan mampu menciptakan demokrasi yang baik di dalam pemilu. Pengadilan Pemilu (Electoral Court/Corte Electoral) seperti di Uruguay dan Tribunal Pemilu (Tribunal for Qualifying Elections/Tribunal Calificador de Elecciones) di Chile yang sudah didirikan sejak 1924 dan 1925.9 Di Meksiko, terdapat Tribunal Pemilu, yaitu Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación (TEPJF) yang sudah hadir sejak 1996.10 Di Inggris, fungsi peradilan pemilu ditangani oleh dua hakim dari “the King’s (Queen’s) Bench Division of the High Court of Justice”. Di Meksiko, terdapat

Tribunal Pemilu, yaitu Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación (TEPJF) yang sudah hadir sejak 1996. TEPJF ini memiliki kewenangan mengadili setiap sengketa yang timbul selama pemilu sekaligus mengesahkan hasil pemilu. TEPJF ini memiliki regional chamber di 5 kota yang berada di tengah-tengah diantara negara-negara bagian Meksiko. Di Brasil, bentuk dan kewenangan pengadilan pemilu hampir sama persis dengan Meksiko. Terdiri dari dua tingkat, di tingkat federal bernama Tribunal Superior Eleitoral (TSE) dan di tingkat negara bagian bernama Tribunal Regional Eleitoral (TRE). TRE bertanggung jawab untuk mengontrol dan memeriksa seluruh proses pemilu di bawah yurisdiksi mereka, mulai dari proses pendaftaran parpol peserta pemilu sampai proses

9

Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Penanganan Sengketa Pemilu, (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), hlm. 22.

10 Oryza A. Wirawan, “

(11)

penghitungan suara. TRE juga harus menyelesaikan setiap konflik maupun sengketa yang terjadi selama pemilu termasuk mengadili jika terdapat gugatan pemilu. 11 Beberapa lembaga peradilan khusus di negara-negara tertentu menandakan bahwa hadirnya lembaga peradilan khusus bukan hanya menjadi kebutuhan Indonesia saja namun beberapa negara di dunia juga membutuhkannya dan hal ini membuktikan lembaga tersebut bukan sebagai lembaga pelengkap namun menjadi lembaga yang penting di dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjadikan pemilu sebagai landasan demokrasi menjadi suatu kewajiban untuk hadirnya lembaga peradilan khusus pemilu.

Hadirnya lembaga peradilan pemilu di Indonesia memberi nuansa pembaruan sistem hukum pemilu di Indonesia dalam rangka menciptakan pemenuhan HAM dan prinsip kedaulatan rakyat dengan cara lebih tepat, efisien, dan independen. Pembaharuan hukum pemilu tidak dapat lepas dari hukum pemilu itu sendiri sebagai suatu kesatuan sistem hukum khusus pemilu. Hukum selalu dapat ditemukan sebagai pedoman dalam penyelesaian setiap masalah yang mucul dalam pergaulan manusia, yaitu ketika yang ideal yang diharapkan (keadilan) tidak tercapai dalam pergaulan tersebut.12 Pemilu sebagai bagian dari pemerintahan konstitusi dan demokrasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pemilu adah suatu keidealan (yang seharusnya) di dalam sistem pemilu yang berkonstitusi dan berdemokrasi, eksistensi hukum pemilu tersebut tidak dapat dipisahkan di dalam pelaksanaan pemilu secara nyata di Indonesia. Keberadaan

11

Patty Regina, Rafli Fadilah Achmad, dan Valeryan Natasha, Peradilan Khusus Pemilu (Depok: Universitas Indonesia, 2015), hlm.9.

12

(12)

hukum pemilu penting di dalam penataan sistem hukum indonesia sebagai negara yang berdemokrasi di dalam menerapkan sistem ketatanegaraanya.

Peralihan beberapa kewenangan penyelesaian sengketa pemilu haruslah terpusat pada satu lembaga. Peradilan pemilu menjadi kebutuhan dan menjadi bagian dalam penyelenggaran pemilu di Indonesia. Sebagai upaya dan wujud indepedensi peradilan yang lebih fokus akan pemilu. Peradilan khusus ini membawa dampak positif bagi sistem dan pembaruan hukum di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menulis tentang :"PEMBARUAN HUKUM PEMILU MELALUI PEMBENTUKAN

PERADILAN PEMILU".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka

permasalahan pokok yang akan diteliti oleh penulis adalah 

Mengapa diperlukan kehadiran badan peradilan pemilu di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

Untuk mengetahui alasan-alasan pentingnya peradilan pemilu terhadap penegakan hukum pemilu di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

(13)

sengketa pemilu dan dari segi praktis dapat menjadi referensi terhadap pihak berwenang di dalam penyelesaian sengketa pemilu yang dapat terjadi di Indonesia, yang dapat diselesaikan oleh peradilan pemilu.

E. Metode Penilitian

Metode penelitian adalah metode yang digunakan untuk dapat mengelola data sesuai dengan tujuan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Dikatakan demikian karena menggunakan norma-norma hukum yang bersifat menjelaskan dengan cara meneliti dan membahas peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini.

Bahan yang dikumpulkan dalam penelitian ini, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Bahan primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari norma-norma dan asas-asas hukum, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Peraturan perundangan-undangan yang terkait.

2. Bahan sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan data primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang terdiri dari buku, jurnal, pendapat para ahli, dan karya-karya ilmiah lainnya yang terkait topik.

(14)

Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari

kaidah dasar yang terdiri dari 

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemilu

e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

f. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang dibangun antara pihak lembaga keuangan dengan IAIN Metro juga menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi dalam memilih pelayanan transaksi keuangan,

Masing-masing indikator terdapat pada lembar observasi. Untuk menentukan apakah keaktifan siswa sudah berjalan baik atau belum, peneliti membuat 2 kategori yaitu

Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana fungsi pengawasan, pembinaan dan kewenangan penegakan hukum dan apakah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan

Tanggapan “Hayo, siapa lagi yang dapat” pada wacana tersebut merupakan penggunaan gaya bahasa pertanyaan retoris dengan kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban

Dijelaskan, secara bersamaan pada waktu itu Polsek Grabag menerima permintaan penangkapan DPO dari Polsek Kemuning atas nama MA tersangka kasus pencurian dengan pemberatan

2 Termasuk dalam ranah kekuasaan tersebut adalah kekuasaan pemerintah (eksekutif), yaitu merumuskan dan menjalankan kebijakan pemerintahan. Lazimnya, diskusi tentang

Respon siswa merupakan tanggapan/ pendapat siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan yang meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, cara guru mengajar,

unsur hara dan cahaya sebaik-baiknya dan tanaman mampu bersaing dengan.. Metode Pengendalian Gulma Secara Kultur Teknis Sebagai Upaya Meningkatkan Produktivitas