• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan teori penulisan karya ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Landasan teori penulisan karya ilmiah"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam penelitian kuantitatif penggunaan teori secara deduktif dan menempatkannya di awal rencana penelitian. Tujuan penelitian kuantitatif adalah menguji atau membuktikan sebuah teori, bukannya untuk mengembangkan teori. Oleh karena itu, untuk memulai penelitian dengan mengajukan sebuah teori, mengumpulkan data untuk mengujinya dan menguji ulang apakah teori tersebut diperkuat atau diperlemah oleh hasil penelitian. Teori tersebut menjadi kerangka penelitian secara keseluruhan, suatu model terorganisir pernyataan atau hipotesa penelitian dan prosedur pengumpulan data.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

1. Apakah teori yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian? 2. Bagaimanakah teori penelitian bahasa Arab?

Dalam makalah ini akan dijelaskan:

1. Pengertian teori dan macam-macamnya

2. Teori yang diperlukan dalam penelitian dan sumbernya 3. Hubungan teori dengan fakta dan masalah

C. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk:

1. Mengetahui dan memahami arti teori dan macam-macamnya

2. Mengetahui apa saja teori yang digunakan dalam penelitian beserta sumbernya 3. Mengetahui dan memahami hubungan timbal balik antara teori, fakta, dan masalah

BAB II PEMBAHASAN

TEORI DALAM PENELITIAN A. Pengertian dan Macam-macam Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.[1] Teori menunjukkan hubungan antara fakta-fakta. Teori menyusun fakta-fakta dalam bentuk yang sistematis sehingga dapat dipahami.[2]

(2)

Bentuk teori dapat berupa serangkaian hipotesa, pernyataan logis “jika…maka”, atau model visual. Bentuk presentasi teori menunjukkan urutan sebab musabab variabel-variabel. Hopkins menyajikan teorinya sebagai serangkaian hipotesa.

Para ahli ilmu pengetahuan secara sistematis membangun teori dan mengetesnya untuk mengetahui internal konsistensi dan aspek-aspek subjektifnya dengan data-data empiris.[3] Menurut Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati, teori digolongkan kepada empat macam, yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.

1. Asumsi

Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverifikasi secara empiris.[4] Dalam penelitian ilmu sosial, setidaknya kita mengenal dua pendekatan yang memengaruhi proses penelitian, mulai dari merumuskan permasalahan hingga mengambil kesimpulan. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan di dalam pendekatan kualitatif. Asumsi dasar inilah yang memengaruhi pada perbedaan dari cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Adapun asumsi dasar pendekatan kuantitatif , yaitu:[5]

1. Asumsi Dasar Ontologi (Hakikat Dasar Gejala Sosial)

Gejala sosial dikatakan sebagai sesuatu gejala yang real, yang dapat diungkap dengan menggunakan indra manusia. Karena suatu gejala adalah real, bisa terjadi kesepakatan di antara individu-individu yang ada di sekitarnya, dan suatu ketika gejala tersebut menjadi sebuah fenomena yang sifatnya universal dan diakui oleh orang banyak.

2. Asumsi Dasar Epistemologi (Hakikat Dasar Ilmu Pengetahuan)

Suatu gejala adalah nyata. Karena gejala itu sifatnya nyata, gejala yang ada bisa dipelajari. Gejala yang ada bisa ditangtkap dengan menggunakan indra. Dengan demikian, kita bisa membuat perbedaan bantara yang satu dengan yang lain.

Epistemologi mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:

1) Keterkaitan antara ilmu dengan nilai

Ilmu pengetahuan berpendirian bahwa “tahu” lebih baik dari “tidak tahu” tentang apa pun. Pengetahuan yang diperoleh harus disebarluaskan dan menjadi milik umum dan tidak boleh dirahasiakan atau menjadi milik pribadi atau kelompok.

Karena pendirian bahwa “tahu” lebih baik daripada “tidak tahu” maka ilmu pengetahuan memerlukan kebebasan penuh untuk mengadakan penelitian. Kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan terhalang bila ada tekanan sosial politik yang menghambat atau

mengekang kebebasan itu.

(3)

dipersembahkan kepada umu, tanpa keuntungan pribadi, kebebasan dalam meneliti dan menyebarkan ilmu agar manusia lebih banyak tahu tentang dirinya dan dunia tempat ia hidup.

S. Nasution menambahkan bahwa “ada kemungkinan nilai-nilai ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan data empiris. Nilai-nilai masyarakat yang didasarkan atas takhayul, tradisi atau prasangka dibantah oleh hasil penelitian ilmiah.

Individu adalah seorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa indidvidu tidak dipengaruhhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orang-orang yang sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal. Dengan sifat yang universal itu, individu berasumsi bahwa orang-orang yang akan ia teliti memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang ia bawa.

2) Keterkaitan ilmu dengan akal sehat

Segala sesuatu yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan akal sehat belaka. Dengan demikian, pada saatnya nanti ilmu akan menggantikan akal sehat

3) Metodologi

Logika pemikiran ilmiah yang mencakup proses pembentukan ide dan gagasan diberlakukan secara ketat dengan memakai prinsip nomotetik dan menggunakan pola deduktif.[6]

3. Hakikat dasar manusia

Dengan adanya pola yang bersifat universal, pada gilirannya manusia sersungguhnya diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan, manusia bukan merupakan individu yang bebas. Dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, kita pasti

mengalami bahwa dalam setiap tindakan, perkataan, serta perilaku kita diatur oleh sebuah hukum yang universal.

4. Aksiologi (Tujuan dilakukannya sebuah penelitian)

Tujuan dilakukannya sebuah penelitian adalah dalam upaya untuk menemukan hukum universal dan mencoba menjelaskan mengapa suatu gejala atau fenomena terjadi, dengan mengaitkan antara gejala atau fenomena yang satu dengan gejala atau fenomena yang lain.

2. Konsep

Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu.[7] Bailey (1982) menyebutkan sebagai persepsi (mental Image). Atau abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus.

(4)

instrument penelitian. Konsep juga dibangun dengan maksud agar masyarakat akademik atau masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian memahami apa yang dimaksud dengan pengertian variable, indikator, parameter, maupun skala

pengukuran yang dimaksud penelitiannya kali ini. Lebih konkrit, konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena yang sama[8]

Dalam membangun konsep ada dua desain yang perlu diperhatikan, yaitu generalisasi dan abstraksi. Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh prinsip dari berbagai

pengalaman yang berasal dari literatur dan empiris. Abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri umum yang khas dari fenomena yang dibicarakan.

3. Konstruk

Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diamati langsung seperti pemecahan masalah. Konsep seperti ini lebih tinggi tarafnya daripada abstraksi yang ciri-cirinya dapat diamati langsung. Jadi konstruk adalah konsep sedangkan tidak semua konstruk adalah konsep.[9] Menjadikan konstruk yang dapat kita ukur disebut operasionalisasi. Kata kerjanya

mengoperasionalisasikan.4. Proposisi

Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep.

B. Teori yang Diperlukan dalam Penelitian dan Sumbernya 1.

Deduksi 2.

Alam Konkrit Alam Abstrak Pengetahuan

Induksi Fakta

Pengujian/ Penelitian Hipotesis

Mengikuti proses terbentuknya ilmu pengetahuan seperti yang digambarkan dengan lingkaran/bagan di atas, dapat kita mengerti bahwa makin sering diuji dengan data (riset), maka derajat pengetahuannya makin tinggi. Dan apabila pengujiannya dengan data-data tersebut dilakukan dengan mengunakan prosedur ilmiah, maka pengetahuan yang diperoleh merupakan pengetahuan ilmiah yang disebut “Science-Ilmu pengetahuan”. Science inilah yang kemudian menelorkan teori ilmiah, “The basic aim of science is theory”.[10]

Dilihat dari proses hubungan antara teori dan riset, maka teori yang disusun dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu

(5)

Teori ini umumnya terdiri atas seperangkat hipotesis yang kemudian membentuk suatu system deduktif. Artinya teori ini tersusun dari seperangkat proposisi hipotesis, kemudian dari hipotesis-hipotesis yang lebih tinggi ditarik serangkaian deduksi secara logis. Bila disusun bagannya adalah sebagai berikut:[11]

Teori

Konsepsi-konsepsi logis, hipotesis-hipotesis, spekulasi, a priori

Dalam proses ini, ternyata penelitian empiris tidak ikut berperan. Teori sepenuhnya disusun berdasarkan renungan atau spekulasi tanpa didasari oleh data empiris.

2. Teori Induktif-empiris

Teori ini disusun atas dasar data empiris. Dengan mendeskripsi dan menganalisis data empiris, kita dapat menyusun konsep-konsep dan hipotesis-hipotesis, yang kemudian bisa muncul teori sebagai penjelasan dari data-data empiris tersebut. Bila digambar bagannya adalah sebagai berikut:

Data Deskriptif Data

Konsepsi, hipotesis yang berdasarkan data Teori

Dalam penyusunan teori yang macam kedua ini, penelitian justru menduduki tempat yang menentukan. Dalam hal ini justru data hasil penelitian menjadi sumber pokok penyususunan teori.

3. Teori spekulatif-empiris

Teori ini disusun atas dasar pengetahuan umum atau ilmu pengetahuan yang ada. Dengan cara deduktif disusunlah hipotesis-hipotesis. Kemudian hipotesis-hipotesis itu diuji dengan data-data empiris. Dari hasil pengujian inilah yang kemudian muncul suatu teori. Bagannya adalah sebagai berikut:

Teori Konsepsi atau hipotesis

Data

Kedudukan riset dalam teori yang macam ketiga inilah yang member peluang besart

(6)

C. Hubungan teori dengan fakta dan masalah

Science mempunyai konsep tersendiri tentang teori dan fakta serta hubungan antara keduanya. Fakta adalah hasil observasi yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori menunjukan hubungan antara fakta-fakta. Teori menyusun fakta-fakta dalam bentuk yang sistematis sehingga dapat dipahami. Fakta tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan jika dikumpulkan tanpa system. System disusun berdasarkan teori. Tanpa system, tanpa teori, science tidak dapat mengadakan ramalan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi dalam kondisi tertentu (jika…, maka…). Jadi fakta dalam ilmu pengetahuan adalah hasil observasi, bukan secara acakan, akan tetapi relevan dan bertalian dengan teori. Maka karena itu teori dan fakta saling berhubungan. Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi berkat interaksi antara fakta dan teori.

Teori merupakan alat science yang penting sekali. Fungsinya antara lain:

1. Teori mengarahkan perhatian. Teori member orientasi atau arah kepada penelitian dan dengan demikian membatasi fakta-fakta yang harus dikumpulkan dan dipelajari dari dunia kenyataan yang luas. Tiap ilmu pengetahuan dan tiap spesialisasi membatasi gejala-gejala bidang penelitiannya sehingga dapat dikuasai. Teori dapat membantu menentukan fakta-fakta mana yang relevan bagi suatu penelitian.

2. Teori merangkum pengetahuan. Teori merangkum fakta-fakta dalam bentuk generalisasi dan prinsip-prinsip, sehingga fakta-fakta lebih mudah dipahami dalam rangka generalisasi itu. Teori juga mencoba melihat hubungan antara generalisasi-generalisasi yang serba kompleks dengan membentuk sistem-sistem pemikiran ilmiah.

3. Teori meramalkan fakta. Dengan teori dicoba meramalkan kejadian yang akan dating dengan mempelajari kondisi-kondisi yang menuju kepada kejadian itu. Teknologi di dunia barat dan perkembangan industry menimbulkan urbanisasi dan gejala ini merenggangkan hubungan kekeluargaan tradisional. Majunya teknologi modern di Negara-negara yang berkembang diramalkan akan menimbulkan hal-hal yang bersamaan. Namun ilmu-ilmu sosial belum cukup berkembang untuk mengadakan ramalan atau prediksi seperti yang dapat dilakukan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam.

Sedangkan peranan atau fungsi fakta antara lain:

1. Fakta dapat merupakan alas an untuk menolak teori yang ada. Tiap teori harus cocok dengan fakta. Bila fakta tidak sesuai dengan teori yang berlaku, maka teori itu harus ditolak atau dirumuskan kembali dengan memhitungkan fakta yang tadinya belum tercakup oleh teori itu.

1. Fakta menyebabkan lahirnya teori baru. Ada kalanya suatu fakta yang

diamatai secara kebetulan menimbulkan teori baru seperti penemuan penisilin. Kadang-kadang fakta-fakta yang biasa, dipandang dari segi baru, misalnya mimpi dari segi pandangan Freud.

2. Fakta dapat juga memberi dorongan untuk mempertajam atau memperluas rumusan teori yang telah ada.

Dalam penelitian masalah memegang peranan utama. Tanpa masalah tak ada penelitian. Masalah adalah jiwa penelitian.

(7)

harus mendorong pemahaman yang lebih mendalam, lebih fundamental, prinsipil dan kausal, seperti “Apa sebab alat peraga mempengaruhi proses belajar.”

Dalam thesis dan disertasi peneliti sering panjang lebar bicara tentang latar belakang masalah, sedangkan masalah hanya disebut dalam beberapa kalimat. Justru masalah yang perlu mendapat pemikiran yang banyak agar kita pahami seluk beluknya

S. Nasuition mengatakan:[13]

“Dalam pengalaman kami selama membimbing penulisan thesis dan disertai kami lihat berulang kali bahwa bagian “Latar Belakang M<asalah” sering disalahgunakan untuk “omong” panjang lebar, ada kalanya sampai 20-30 halaman. Uraiannya tak jelas ujung pangkalnya karena tidak terikat oleh rumusan masalahnya, sehingga penelitian merasa bebas untuk bicara sesuka hatinya saja. Masalahnya sendiri baru dirumuskan setelah beberapa puluh halaman. Maka krarena itu kami anjurkan agar “Latar Belakang Masalah” ditulis setelah masalah dirumuskan”

Maksud Latar Belakang Masalah yang utama adalah menjelaskan bahwa masalah yang kita pilih memang suatu masalah, bahkan suatu masalah yang sedang dihadapi dalam masyarakat jadi bukan masalah yang dibuat-buat saja yang tak ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat. Ada kriteria ilmiah yang perlu diperhatikan, yang pada pokoknya mensyaratkan agar masalah penelitian itu member sumbangan kepada perkembangan pengetahuan antara lain:

1. Masalah itu hendaknya bertalian dengan konsep-konsep yang pokok

2. Masalah itu hendaknya mengembangkan atau memperluas cara-cara mentest suatu teori

3. Masalah itu memberikan sumbangan kepada pengembangan metodologi penelitian denganm menemukan alat, teknik, atau metode baru

4. Masalah itu hendaknya memanfaatkan konsep-konsep, teori, atau data dan teknik dari disiplin-disiplin yang bertalian

5. Masalah hendaknya dituangkank dalam disain yang cermat dengan uraian yang teliti mengenai variabel-variabelnya serta mengfgunakan metode-metode yang paling serasi.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

antarkonsep.

(8)

3. Menurut Hopkins teori adalah sebagai serangkaian hipotesa.

4. Menurut Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati, teori digolongkan kepada empat macam, yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.

5. Ada tiga teori yang dapat digunakan dalam penelitian, yaitu: 1. Teori deduktif hipotesis

2. Teori induktif-empiris 3. Teori spekulatif-empiris

4. Antara teori, fakta, dan masalah mempunyai hubungan yang sangat erat. Teori yang tidak sesuai dengan fakta, berarti penelitian tidak bersifat ilmiah. Begitu juga dengan masalah yang tidak teoritis dan factual akan sulit untuk

dipertanggungjawabkan.

B. Kritik dan Saran

Sepanjang uraian yang telah pemakalah paparkan dalam makalah ini, pemakalah menyadari tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Di samping itu barangkali masih jauh dari kesempurnaan. Maka pemakalah sangat mengharapkan ide-ide yang cemerlang dari pembaca untuk memberikan kritikan dan saran yang mendukung makalah ini. Supaya tercapai apa yang kita inginkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bungin, M. Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana, 2008

Djojosuroto, Kinayati, & M.L.A. Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004

Hasan, M. Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor: Ghalia Indonesia, 2002

Kasiram, Moh., Metodologi Penelitian, Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008

Prasetyo, Bambang, & Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006

S. Nasution, Metode Research, Penelitian Ilmiah, Bandung: Jemmars, 1991

[1] Kinayati Djojosuroto & M.L.A Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra. Bandung, Yayasan Nuansa Cendekia: 2004, h. 17

(9)

[3] Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008 h. 36

[4] Kinayati, Op. Cit., h 20

[5] Bambang Prasetyo, & Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2006 h.28

[6] Bambanng Prasetyo, & Lina Miftahul Jannah, Op. Cit. h. 31

[7] M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor, Ghalia Indonesia: 2002 h. 17

[8] M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana: 2008 h. 57 [9] Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati. Op. Cit. h.18-19

[10] Fred N. Kerlinger, 1973: 8 dalam Moh. Kasiram. Metodologi Penelitian, Refleksi

Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008 h. 42

[11] Moh. Kasiram, Op. Cit. h. 43

[12] Hadi, 1980: 3 dalam Moh. Kasiram, Op. Cit h. 44 [13] S. Nasution, Op. Cit. h. 19

Manfaat Teori Dalam Penelitian

Teori Dalam Penelitian Ilmu Sosial

MANFAAAT TEORI DALAM PENELITIAN

ita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena ingin memahami dunia yang kompleks ini,baik demi ingin memuaskan rasa ingin tahu maupun mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi ataupun mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu, suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian.

Suatu yang ingin kita ketahui dapat dibedakan menjadi dua tingkatan, yaitu :

Pertama, suatu pertanyaan yang belum diketahui jawabannya sama sekali.

Misalnya,apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa deskripsi dan kesimpulan data dari suatu variabel. Hal yang ingin diketahui baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42% remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian Bapenkar Jatim).

(10)

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya, tetapi orang masih meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah kontrol sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex di kalangan remaja (penjelasan yang dikemukan Zainuddin M.Z di Surabaya post, 2 November 1992). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan penjelasan atas suatu gejala yang terjadi. Dalam pertanyaaan ini terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai suatu bentuk prilaku menyimpang maka teori yang

dikemukakan oleh Emille Durkheim tentang integrasi sosial mungkin dapat digunakan untuk penjelasan gejala tersebut. ”Makin tinggi derajat diferensiasi struktural dan generasi nilai tanpa diikuti oleh spesisifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sitem sosial, makin besar pula derajat anomali sehingga makin tinggi pula tingkat

penyimpangan dalam kelompok tersebut”. Hal yang hendak kita ketahui, ialah betulkah derajat integrasi sosial rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah integrasi sosial yang rendah di kalangan remaja melahirkan perilaku free sex.

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi pertanyaan tipe kedua adalah menggunakan metode penelitian empiris untuk menyelidiki kedua variabel tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang ) dalam dunia nyata.

Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori ini juga berguna untuk tujuan tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi interprestasi data. Kedua, teori

menghubungkan satu studi dengan lainnya. Ketiga, teori menyajikan kerangka

sehingga konsep dan variabel mendapatkan arti penting. Keempat, teori memungkinkan kita menginterprestasikan data yang lebih besar dari temuan yang diperoleh dari suatu penelitian.

TEORI DAN PENJELASAN

Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam kenseptualisasi merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif

(kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala seperti ini.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab–akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis, dan sistematis antara dua atau lebih konsep maka teori tiada lain penjelasan suatu gejala: konsep atau variabel terpengaruh. Oleh karena itu, penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu menjelaskan

(explanan) dan dijelaskan (explanandum). Unsur tersebut menjelaskan terdiri atas dua jenis pertanyaan: generalisasi/konsep, dan kondisi anticendent atau yang menyebabkan

generalisasi/konsep tersebut. Kedua pertanyaan itu akan digunakan untuk menjelaskan explanandum. Mengikuti Durkheim tadi: diferensiasi struktural dan generalisasi nilai

(11)

Penjelasan atas pertanyaan mengapa suatu gejala yang terjadi harus dapat menunjukan bahwa gejala hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua model, yaitu model dedukatif dan model induktif-statistika.

Model deduktif ditandai oleh hubungan logis antara premis dan konklusi, antara explanan dan explanandum. Jika premis benar, maka konklusi juga benar. Dalam model ini keharusan tidak terletak pada premis, tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh premis. Selain itu suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan jika

generalisasinya didukung oleh fakta empiris. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara deduktif sebagai berikut :

1. Semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (single member district) memiliki sistem dua partai (generalisasi)

2. Sistem politik amerika menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (kondisi antecedent).

Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Oleh karena itu, generalisasi empiris harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan-statistika terhadap suatu kejadian

individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungkin saja benar, betapa konklusi tentang suatu kejadian bisa saja salah. Penjelasan tidak terletak pada mengapa konklusi benar, tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasikan diri secara politik kepada Golkar, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah anggota Golkar. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri, kemungkinan besar dia adalah anggota Golkar.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi, dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan. Dalam praktik penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan.

Pertama, penjelasan genetik atau historis memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalis, misalnnya merupakan penjelasan historis.

(12)

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa merujuk pada kecendrungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dan dalam situasi tertentu pula. Termasuk dalam kecendrungan ini adalah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai, dan ciri ciri kepribadian. Seorang liberal memilih parta demokrat (liberal menggambarkan disposisi) merupakan penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. X melakukan tindakan Y karena X ingin mendapatkan/mencapai T.

Berdasarkan generalisasi seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu. Mengapa kalangan massa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya? Jawaban yang diberikan intensional, ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena keinginannya ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan itu.

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efesien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila mencapai tujuannya secara efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik ialah keikutsertaannya gerakan menjelang mencapai tujuannya karena ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut yang dinilai paling sedikit resikonya.Mengikuti kegiatan sejak awal dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya,apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi kondisi antencedent) terhadap suatu gejala (explanandum) secara tepat, maka dengan sendirinya dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu makin tinggi derajat sentralisasi kekuasaan, paksaan, atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat

pengendalian masyarakat,maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat.

BUKAN TEORI

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat.

Pertama, pembedaan yang sering dibuat antara teori dan praktik: that is fine in theory, but it work in practice. Baik dalam teori ,tetapi tidak dalam praktiknya. Pandangan ini mencoba mengaitkan bahwa teori realistis. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang baik mestilah sesuai dengan kenyataan.

(13)

diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistemisasi, dan generalisasi atas realitas atau gejala yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkan denagn realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to queston), maupun menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksud dalam ilmu sosial adalah menggambarkan kenyataan empirik.

Sementara itu, teori acap kali digambarkan dalam bentuk procedural rule dan sistem klasifikasi. Durkheim dalam buku The Rules Of sociological Methods mengemukakan bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang mendahuluinya dan tidak diantara keadaaan kesadaran individual. Artinya, fungsi suatu fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungannya dengan beberapa tujuan kausal, yaitu mencari sebab sebab dari suatu gejala; dan mencari akibat akibat yang ditimbulkan suatu gejala. Sistem politik birokratik otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik tergantung yang tertunda (dependent and delayed capitaliastic economic

development) (sebab sebab gejala); penggunaan kriteria universal semakin meluas dalam recruitment berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan impersonal yang semakin berkembang dalam masyarakat,mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh birokrasi nasional.

Ketiga, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan

menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu gejala kompleks berdasarkan ereteia tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik, misalnya, bisa

diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua konsep ini; birokrasi patrimonial, negara birokrasi (bureaucratic policy) otoriter, dan

birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila akan menjelaskan gejala birokrasi dan poltik indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan menempatkan gejala birokrasi indonesia dalam empat kategori termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik tersebut.

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijelaskan apakah unsur dari suatu sistem itu sendiri.

Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala hendak dijelaskan itu mungkin hanya kelas menengah suatu masyarakat bukan sistem politiknya. Kelas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18, bukan di seluruh Benua Eropa,dan tidak pada abad ke-20.

(14)

Oleh karena itu persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, yang dianjurkan adalah prinsip parsimony, yaitu daya cukup tinggi teori yang bersyarat: sederhana bila dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas lingkupnya dapat diuji dalam dunia nyata.

TEORI DALAM PENELITIAN SOSIAL TM Jamil

Abstract

PENDAHULUAN

Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan kebenaran, di dorong oleh hasrat ingin tahunya yang selalu ada dan tidak pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak rahasia tersingkap sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu muncul masalah-masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan lahir dari masalah-masalah kehidupan manusia sendiri yang memerlukan pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty), namun unsur-unsur ketidak tentuan karena kurangnya informasi itu dapat diperkecil dengan mempergunakan metode ilmiah. Metode ini akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi dari metode ilmiah. Dengan kata lain riset sinonim dengan metode ilmiah.

Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode penyimpulan. Suatu tulisan disebut ilmiah bila pokok pikiran yang dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur yang sistematis dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup meyakinkan. Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan fakta-fakta yang didapat secara objektif dan berhasil lolos dari berbagai proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian dapat bervariasi bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya dana yang tersedia dan waktu penelitian.

(15)

Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan menemukan fakta atau kenyataan. Ia ingin mencari dalil, yaitu generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil ini ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya. Sekumpulan data baru mempunyai arti dan guna kalau tersusun dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori. [1]

Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta; mungkin juga berupa dugaan yang menerangkan sesuatu seperti teori atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya. Jadi teori merupakan suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan menjadi fakta setelah pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori menjadi alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa teori ini sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam upaya mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh karena itu (1) teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling berhubungan (3) peneliti sangat

berkepentingan dengan keduanya - teori dan fakta.

Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah dalam proses ilmiah, sebaliknya fakta memegang peranan dalam mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu pengetahuan nampak dalam fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan menyimpang akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset tanpa interprestasi teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah melupakan pokok teori sebagai alat untuk mencapai suatu pemikiran yang ekonomi.[2]

Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya, mula-mula dibuat teori sementara yang dipergunakannya sebagai pedoman atau petunjuk untuk memecahkan masalah. Peneliti kemudian mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang dibuatnya itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap masalah yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang kali diperiksa kebenarannya.

Contoh:[3]

Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada umumnya lebih berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha sendiri dari pada yang dididik di dalam suasana penuh tekanan dan larangan.

Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut :

Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan keluar rumah untuk mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru.

Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”, dikemukakan anggapan dasar (postulate) sebagai titik tolak pemikiran.[4]

(16)

hubungan ini para petugas perencanaan yang menyusun pola pembangunan nasional harus memberi perhatian yang lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda.

Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas:

Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada umumnya (termasuk anak dan pemuda) masih sangat rendah.

Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat yang memadai untuk perkembangan anak dan pemuda.

Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan bahwa di Indonesia mayoritas penduduk berpenghasilan rendah yang sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka tidak mampu untuk menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya.

Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari segi pemecahan masalah. Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan hipotesa, teori dan dalil terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan anggapan dasar atau postulat yang menjadi sumber hipotesa ; sedangkan dalil adalah titik tolak yang lebih kuat tingkatannya.

Manfaat Teori dalam Penelitian

Kita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena kita ingin memahami dunia yang kompleks ini, baik demi memuaskan rasa ingin tahun maupun untuk mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi ataupun untuk mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian.

Yang ingin kita ketahui itu dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama suatu pernyataan yang belum diketahui jawabannya sama sekali. Misalnya, apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum nikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa diskripsi dan kesimpulan data dari satu variable. Yang ingin kita ketahui ini baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42 % remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian T.M. Jamil di Jawa Timur).

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya tetapi masih meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah control sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex

dikalangan remaja (penjelasan yang dikemukakan T.M. Jamil di Surabaya Post, 2 November 2007). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan penjelasan atas suatu gejala terjadi. Dalam pertanyaan ini telah terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

(17)

pula derajat anomie sehingga makin tingggi pula tingkat penyimpangan dalam kelompok tersebut”.[5] Yang hendak kita ketahui karena itu, ialah betulkah derajat integrasi sosial yang rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah intgrasi sosial yang rendah dikalangan remaja melahirkan perilaku free sex?

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi pertanyaan tipe kedua ialah menggunakan metode penelitian empiric untuk menyelidiki hubungan kedua variable tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang) dalam dunia nyata.

Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori juga berguna untuk tujuan-tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi intrepretasi data. Kedua, teori menghubungkan satu studi dengan studi lainnya.[6] Ketiga, teori menyajikan kerangka sehingga konsep dan variable mendapatkan arti penting. Dan keempat, teori memungkinkan kita mengintepratasi makna yang lebih besar dari temuan yang kita peroleh dari suatu penelitian.

Teori dan Penjelasan

Apabila konsep merupakan pertanyaan “what” sehingga yang dilakukan dalam

konseptualisasi tiada lain merupakan diskripsi realitas baik secara denotative (keluasan) maupun secara konotatip (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan “why” sehingga yang dilakukan dalam teoritisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Akan tetapi karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritik, maka sebenarnya selain berfungsi menjelaskan suatu gejala yang timbul teori juga berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis dan sistematik antara dua atau lebih konsep, maka teori tiada lain merupakan penjelasan suatu gejala konsep atau variable pengaruh menjelaskan mengapa konsep atau variable terpengaruh terjadi. Karena itu

penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu yang menjelaskan (explanan) dan yang dijelaskan (explanandum). Yang menjekaskan itu terdiri atas dua jenis pernyataan :

generalisasi/ konsep, dan kondisi antesendent atau yang menyebabkan generalisasi/ konsep tersebut. Kedua pernyataan ini akan digunakan untuk menjelaskan eksplanandum. Mengikuti Durkheim tadi deferensiasi structural dan generalisasi nilai merupakan suatu konsep

( generalisasi atas suatu fenomena yang kompleks), anomie merupakan kondisi

antesedentnya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai eksplanandumnya. Penjelasan sendiri terletak pada deferensiasi structural, generalisasi nilai dan anomie.

(18)

Model deduktif ditandai oleh hubungan logic antara premis dan konklusi, antara eksplanan dan eksplandum. Jika premis benar maka konklusi juga benar. Dalam model ini, kaharusan tidak terletak pada premis tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh premis. Selain itu, suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan apabila generalisasinya didukung oleh fakta empiric. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara deduktif sebagai berikut : 1) semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (single member district) mempunyai sistem dua partai (generalisasi), 2) sistem politik Amerika menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (kondisi antesendent). Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Karena itu generasi emperik harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan induktif statistika terhadap suatu

kejadian individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungin saja benar, tetapi konklusi tentang suatu kejadian dapat saja salah. Penjelasan tidak terletak pada mengapa konduksi benar tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasi diri secara politik kepada GOLKAR, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah anggota GOLKAR. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan bahwa apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri kemungkinan besar dia adalah anggota GOLKAR. Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.[7] Dalam praktek penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan. Pertama, penjelasan genetic atau historic memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang telah terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalisme misalnya merupakan penjelasan historik.

Kedua, penjelasan fungsional memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan penataran P4 secara menyeluruh? Jawaban yang diberikan secara fungsional ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula. Termasuk kedalam kecenderungan ini ialah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai dan ciri-ciri kepribadian. “Seorang liberal memilih Partai Demokrat” (liberal menggambarkan disposisi) merupakan contoh penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. “X melakukan tindakan Y karena X ingin

mendapatkan/ mencapai T” berdasarkan generalisasi bahwa “seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu”. Mengapa kalangan masa cenderung

(19)

politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut.

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efisien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila ia mencapai tujuannya secara paling efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik itu ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut karena dinilai paling sedikit resikonya. Mengikuti kegiatan suatu gerakan sejak awal dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang bakal terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya, apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi dan kondisi antesendent) terhadap suatu gejala (eksplandum) secara tepat, maka ilmuan dengan sendirinya juga dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu “makin tinggi derajat

sentralisasi kekuasaan, maka paksaan atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat pengendalian masyarakat.[8] Maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi

kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat.

Hal yang Bukan Teori

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu kita menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat. Pertama, perbedaan yang sering dibuat, antara teori dan praktek; “that is fine in theory, but it won’t work in practice”. Baik dalam teori tetapi tidak dalam prakteknya. Pandangan ini mencoba mengatakan bahwa teori itu tidak realistic. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang “baik” mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak ingin sesuai dengan realitas empiric, maka teori itu tidak tepat lagi dikatagorikan sebagai teori karena telah kehilangan objektivitas. Suatu pernyataan dikatakan objektif kalau pernyataan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah

diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistimatisasi, dan generalisasi atas realitas atau fenomena yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkannya dengan realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to question) maupun untuk menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksudkan dalam ilmu sosial ialah yang menggambarkan kenyataan empirik.

(20)

mendahuluinya dan tidak diantara keadaan kesadaran individual.[9] Artinya, fungsi suatu fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungan dengan beberapa tujuan sosial. Awal mula semua proses sosial yang penting seyogyanya dicari di dalam konstitusi internal suatu kelompok sosial, bukan pada psikologi ataupun pisiologi anggota kelompok tersebut. Ketika menganjurkan kita untuk mengkaji “konstitusi internal” suatu kelompok sosial sebagai sumber perilaku sosial, Durkheim sesungguhnya tidak menyodorkan penjelasan melainkan menyodorkan aturan prosedural. Tidak seperti teori yang sesungguhnya, aturan procedural ini tidak dapat diuji kebenarannya dalam dunia empiric. Namun aturan prosedural dapat dinilai dari segi kemanfaatanya.

Sistem klasifikasi pada dasarnya menggolongkan satu kasus tertentu pada salah satu dari beberapa klas atau tipe yang disusun berdasarkan kriteria tertentu. Kalau tempat tinggal di daerah pemukiman elit dijadikan sebagai salah satu kriteria bagi keanggotaan dalam strata sosial “upper-upper sosial class” maka seseorang yang termasuk strata “upper-upper sosial class” tidak mungkin tinggal di pemukiman kumuh. Fakta ini tidak menggambarkan dunia nyata tetapi menggambarkan konsekuensi logis dari kriteria yang diadopsi oleh orang menyusun klasifikasi. Akan tetapi klasifikasi ini berguna untuk menyederhanakan fenomena sosial yang kompleks.

Strategi Menggunakan Teori

Untuk menjelaskan suatu gejala, kita dapat menggunakan salah satu dari tiga strategi berikut ini.[10] Pertama, strategi kausal yaitu mencari sebab-sebab dari suatu gejala. Sistem politik birokratik-otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik tergantung yang tertunda (independent and delayed capitalistic economic development) (sebab-sebab gejala); penggunaan kriteria universal yang semakin meluas dalam rekrutmen berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan-hubungan impersonal yang semakin berkembang dalam masyarakat, mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh birokrasi rasional.

Kedua, strategi komposisional yaitu mencari komponen-komponen yang membentuk suatu gejala, seperti organisasi jabatan yang hirarkis, pengangkatan hanya berdasarkan kualifikasi tehnis saja, dan setiap jabatan mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri merupakan komponen-komponen yang membentuk gejala birokrasi rasional. Atau, mencari konteks yang menjadi “induk” gejala yang diteliti (gejala yang diteliti merupakan bagian saja dari konteks yang lebih besar), seperti sistem politik, sistem budaya ataupun sistem ekonomi merupakan konteks gejala birokrasi tersebut.

(21)

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah dimensi lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijalankan apakah unsur dari suatu sistem ataukah sistem itu sendiri. Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala yang hendak dijelaskan itu mungkin hanya klas menengah suatu masyarakat, bukan sistem politiknya. Klas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke sembilan belas, bukan diseluruh benua Eropa dan tidak pada abad keduapuluh.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi kedekatan konsep-konsep yang terkandung dalam teori dengan observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki derajat abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua dimensi di atas berkaitan erat. Semakin tinggi tingkat abstraksi teori, semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.[11] Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas lingkup teori belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi.

Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, maka yang dianjurkan ialah prinsip parsimony, yaitu daya cakup teori yang bersyarat berikut sederhana bila

dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata.

PENUTUP

DATAR PUSTAKA

Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26.

(22)

Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53

[1] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.

Hasrat Ingin Tahu Manusia dan Pengertian Metode Ilmiah

[1] Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53 [2] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.

[3] Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54

[4] Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

[5] Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

[6] Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39.

[7] Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the

Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing

Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26.

(23)

[9] Halaman 110-111

[10] Wallace, The Logic…, halaman 101-106.

[11] Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

Manfaat Teori Dalam Penelitian

Teori Dalam Penelitian Ilmu Sosial

MANFAAAT TEORI DALAM PENELITIAN

ita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena ingin memahami dunia yang kompleks ini,baik demi ingin memuaskan rasa ingin tahu maupun mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi ataupun mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu, suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian.

Suatu yang ingin kita ketahui dapat dibedakan menjadi dua tingkatan, yaitu : Pertama, suatu pertanyaan yang belum diketahui jawabannya sama sekali.

Misalnya,apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa deskripsi dan kesimpulan data dari suatu variabel. Hal yang ingin diketahui baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42% remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian Bapenkar Jatim).

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya, tetapi orang masih meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah kontrol sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex di kalangan remaja (penjelasan yang dikemukan Zainuddin M.Z di Surabaya post, 2 November 1992). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan penjelasan atas suatu gejala yang terjadi. Dalam pertanyaaan ini terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai suatu bentuk prilaku menyimpang maka teori yang

dikemukakan oleh Emille Durkheim tentang integrasi sosial mungkin dapat digunakan untuk penjelasan gejala tersebut. ”Makin tinggi derajat diferensiasi struktural dan generasi nilai tanpa diikuti oleh spesisifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sitem sosial, makin besar pula derajat anomali sehingga makin tinggi pula tingkat

penyimpangan dalam kelompok tersebut”. Hal yang hendak kita ketahui, ialah betulkah derajat integrasi sosial rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah integrasi sosial yang rendah di kalangan remaja melahirkan perilaku free sex.

(24)

Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori ini juga berguna untuk tujuan tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi interprestasi data. Kedua, teori

menghubungkan satu studi dengan lainnya. Ketiga, teori menyajikan kerangka

sehingga konsep dan variabel mendapatkan arti penting. Keempat, teori memungkinkan kita menginterprestasikan data yang lebih besar dari temuan yang diperoleh dari suatu penelitian.

TEORI DAN PENJELASAN

Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam kenseptualisasi merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif

(kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala seperti ini.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab–akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis, dan sistematis antara dua atau lebih konsep maka teori tiada lain penjelasan suatu gejala: konsep atau variabel terpengaruh. Oleh karena itu, penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu menjelaskan

(explanan) dan dijelaskan (explanandum). Unsur tersebut menjelaskan terdiri atas dua jenis pertanyaan: generalisasi/konsep, dan kondisi anticendent atau yang menyebabkan

generalisasi/konsep tersebut. Kedua pertanyaan itu akan digunakan untuk menjelaskan explanandum. Mengikuti Durkheim tadi: diferensiasi struktural dan generalisasi nilai

merupakan suatu konsep (generalisasi atas gejala yang kompleks). Anomi merupakan kondisi antecedent-nya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai explanandum. Penjelasan sendiri terletak pada diferensiasi struktural, generalisasi nilai, dan anomi.

Penjelasan atas pertanyaan mengapa suatu gejala yang terjadi harus dapat menunjukan bahwa gejala hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua model, yaitu model dedukatif dan model induktif-statistika.

Model deduktif ditandai oleh hubungan logis antara premis dan konklusi, antara explanan dan explanandum. Jika premis benar, maka konklusi juga benar. Dalam model ini keharusan tidak terletak pada premis, tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh premis. Selain itu suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan jika

generalisasinya didukung oleh fakta empiris. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari tendensi umum.

(25)

1. Semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (single member district) memiliki sistem dua partai (generalisasi)

2. Sistem politik amerika menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (kondisi antecedent).

Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Oleh karena itu, generalisasi empiris harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan-statistika terhadap suatu kejadian

individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungkin saja benar, betapa konklusi tentang suatu kejadian bisa saja salah. Penjelasan tidak terletak pada mengapa konklusi benar, tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasikan diri secara politik kepada Golkar, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah anggota Golkar. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri, kemungkinan besar dia adalah anggota Golkar.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi, dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan. Dalam praktik penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan.

Pertama, penjelasan genetik atau historis memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalis, misalnnya merupakan penjelasan historis.

Kedua, penjelasan fungsional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan P4 secara menyeluruh? Jawaban yang diberikan secara fungsional, ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional, tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa merujuk pada kecendrungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dan dalam situasi tertentu pula. Termasuk dalam kecendrungan ini adalah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai, dan ciri ciri kepribadian. Seorang liberal memilih parta demokrat (liberal menggambarkan disposisi) merupakan penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. X melakukan tindakan Y karena X ingin mendapatkan/mencapai T.

(26)

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efesien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila mencapai tujuannya secara efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik ialah keikutsertaannya gerakan menjelang mencapai tujuannya karena ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut yang dinilai paling sedikit resikonya.Mengikuti kegiatan sejak awal dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya,apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi kondisi antencedent) terhadap suatu gejala (explanandum) secara tepat, maka dengan sendirinya dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu makin tinggi derajat sentralisasi kekuasaan, paksaan, atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat

pengendalian masyarakat,maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat.

BUKAN TEORI

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat.

Pertama, pembedaan yang sering dibuat antara teori dan praktik: that is fine in theory, but it work in practice. Baik dalam teori ,tetapi tidak dalam praktiknya. Pandangan ini mencoba mengaitkan bahwa teori realistis. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang baik mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak lagi sesuai dengan realitas empiris, maka teori itu tidak tepat lagi dikategorikan sebagai teori karena telah kehilangan obyektifitas. Suatu pertanyaan dikatakan obyektif kalau pertanyaan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistemisasi, dan generalisasi atas realitas atau gejala yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkan denagn realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to queston), maupun menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksud dalam ilmu sosial adalah menggambarkan kenyataan empirik.

(27)

development) (sebab sebab gejala); penggunaan kriteria universal semakin meluas dalam recruitment berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan impersonal yang semakin berkembang dalam masyarakat,mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh birokrasi nasional.

Ketiga, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan

menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu gejala kompleks berdasarkan ereteia tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik, misalnya, bisa

diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua konsep ini; birokrasi patrimonial, negara birokrasi (bureaucratic policy) otoriter, dan

birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila akan menjelaskan gejala birokrasi dan poltik indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan menempatkan gejala birokrasi indonesia dalam empat kategori termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik tersebut.

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijelaskan apakah unsur dari suatu sistem itu sendiri.

Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala hendak dijelaskan itu mungkin hanya kelas menengah suatu masyarakat bukan sistem politiknya. Kelas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18, bukan di seluruh Benua Eropa,dan tidak pada abad ke-20.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi ”kedekatan’” konsep-konsep yang terkandung dalam teori observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang tinggi. Terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua dimensi diatas berkaitan erat. Semakin tinggi abstraksi teori,semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori tersebut, belum tentu semakin luas tingkat abstraksinya. Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempitnya lingkup teori. Akan tetapi, perubahan luas lingkup teori belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi.

Oleh karena itu persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, yang dianjurkan adalah prinsip parsimony, yaitu daya cukup tinggi teori yang bersyarat: sederhana bila dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas lingkupnya dapat diuji dalam dunia nyata.

Landasan Teori 28 Nov

Pengertian Teori

(28)

Wiliam Wiersma (1986) menyatakan bahwa teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik.

Menurut Siti Rahayu (1999), suatu teori akan memperoleh arti penting bila dapat melukiskan, menerangkan dan meramalkan gejala yang ada.

Jenis-jenis Teori

1. Teori deduktif: teori yang memberi keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan/pikiran spekulatif tertentu ke arah data akan diterangkan. 2. Teori induktif: cara menerangkan dari data ke arah teori.

3. Teori fungsional: data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.

Fungsi Teori dalam Penelitian

 Menjelaskan (Explanation)

 Meramalkan (Prediction)

 Mengendalikan (Control)

Dalam penelitian kuantitatif teori berfungsi untuk memperjelas masalah yang diteliti, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen

penelitian.

Apa itu landasan teori???

Suatu landasan teori dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Salah satu contoh karya tulis yang penting adalah tulisan itu berdasarkan riset.

Melalui penelitian atau kajian teori diperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat-pendapat para ahli, kemudian dirumuskan pada pendapat baru.

Penulis harus belajar dan melatih dirinya untuk mengatasi masalah-masalah yang sulit, bagaimana mengekspresikan semua bahan dari bermacam-macam sumber menjadi suatu karya tulis yang memiliki bobot ilmiah.Yang dibahas pada landasan teori adalah teori-teori tentang ilmu-ilmu yang diteliti. Teori yang dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar bidang yang diteliti. Selain itu, pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian.

Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuri karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang lain.

(29)

Jenis kutipan di bagi menjadi 2 yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung 1. Kutipan langsung

Kutipan langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris atau tidak lebih dari 40 kata ditempatkan didalam paragraf sebagaimana baris yang lain, tetapi diapit oleh tanda petik dua (“…”) yang dimulai atau ditutup dengan identitas rujukan.

Contoh

Tolla (1996:89) menegaskan “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan

pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain. Cara yang lain adalah “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.” (Tolla, 1996:89).

2. Kutipan tidak langsung

Kutipan tidak langsung yang terdiri atas lebih dari 3 baris atau lebih dari 40 kata diketik dalam paragraf tersendiri dengan spasi tunggal yang didahului dan ditutup dengan tanda petik dua (“…”)

Contoh

“Perihal perbedaan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus diwarnai oleh aktivitas berbahasa secara dinamis dan kreatif. Keaktifan secara intelektual tanpa disertai dengan keaktifan verbal tidak dapat dikatakan CBSA dalam pengajaran bahasa karena hakikat bahasa adalah tuturan lisan yang kemudian dikembangkan menjadi aturan lisan dan tulisan. Oleh karena itu, CBSA dalam pengajaran bahasa harus dimuati dengan kreativitas berbahasa sehingga nama yang poaling tepat adalah CBSA Komunikatif.”

Langkah menyusun landasan teori

1) Menentukan teori yang sesuai dengan permasalahan

2) Mencari referensi buku, artikel makalah yang membahas teori atau topik yang bersangkutan.

3) Mengurutkan referensi berdasarkan tahun terbitnya untuk mengetahui alur perkembangan teori tersebut.

4) Mengkaji masing-masing referensi untuk untuk menemukan kelemahan dan keunggulannya.

(30)

6) Merumuskan kembali berdasarkan kajian masing-masing hasil teori dan dijadikan sebagai landasan teoritis dalam melakukan penelitian.

Contoh masalah: Landasan teori dan pendekatan sistem(sebuah landasan dalam teknologi pendidikan.)

Contoh landasan teori:

Pengertian pendidikan sebagai sebuah sistem adalah pendidikan sebagai suatu keseluruhan, baik teori mengenai sistem hingga sistem pendidikan nasional dan sekolah (Suparlan: 2008).

Referensi

Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan ( pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R &D)

Heri Maulana. Landasan Teori Dan Penbekatan Sistem ( sebuah landasan dalam teknologi Pendidikan)

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil penelitian ini tergambarkan bahwa 67,2% dari 58 responsden yang berusia &lt;60 tahun memiliki perilaku diet dengan kategori baik, sedangkan dalam hal

Anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik adalah anak-anak yang mengalami hambatan satu/beberapa proses psikologis dasar, seperti: koordinasi motorik,

Farmasi adalah profesi yang harus selalu berinteraksi dengan profesional kesehatan lainnya, dan kepada penderita pemberian konsultasi dan informasi tentang obat

Pada saat substrat buffer tersebut dicampurkan ke permukaan, enzim yang bertaut dengan antibodi atau antigen spesifik yang berinteraksi dengan antibodi atau antigen sampel akan

Mengacu dari Schiffman dan Kanuk (2010) bahwa ketidakpastian dan konsekuensi negatif yang mungkin dihadapi dapat menjadi pertimbangan sebelum melakukan pembelian day cream

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Saran dari penelitian ini bagi korban perkosaan adalah agar dapat memaafkan kejadian dan pelaku dengan mengubah pola pikirnya tentang perkosaan dan mengembangkan empati kepada

Dan apabila dilihat dengan menggunakan T-Test Independent, dapat dijelaskan bahwa kadar protein dari keripik tempe yang digoreng menggunakan teknik penggorengan