• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Stunting pada Balita

Balita atau anak bawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima tahun, sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia pra-sekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan

(2)

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses lanjutan sejak dari konsepsi sampai maturasi atau dewasa yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan (Soetjiningsih, 1995). Menurut Khomsan (2004) pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi oleh dua faktor dominan yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul secara optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang kondusif, yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah asupan gizi. Apabila terjadi tekanan terhadap dua faktor di atas akan terjadi growth faltering. Pengukuran pertumbuhan penting untuk menentukan status gizi (Atmarita dan Veronica, 1992).

Status gizi merupakan keadaan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk anak balita, aktifitas, pemeliharan kesehatan, penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit dan proses biologis lainnya di dalam tubuh. Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena adanya variasi genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme. Sasaran yang dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa disertai oleh keadaan defisiensi gizi. Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak yang optimal (Depkes RI, 2008).

(3)

pengukuran antropometri dapat diperoleh informasi terhadap status gizi masa lampau. (Gibson, 2005). Penilaian status gizi secara antropometrik (menggunakan ukuran-ukuran tubuh) merupakan cara yang paling sering digunakan. Cara ini merupakan cara yang sederhana, bisa dilakukan oleh siapa saja yang telah dilatih, menggunakan alat yang relatif murah dan mudah dibawa, dan terdapat baku referensi yang memastikan validitas dari cara ini. Namun, pengukuran gizi antropometri tidak dapat digunakan untuk mendeteksi status gizi makro serta kesalahan saat pengukuran akan mempengaruhi validitas dan analisis status gizi.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umut (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

Z-score untuk kategori pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek

adalah <-3 SD.

Penggunaan istilah panjang badan jika anak yang diukur belum mencapai linier 85 cm, sementara tinggi badan baru diukur setelah anak mencapai 85 cm. Ukuran panjang 85 cm diambil sebagai patokan populasi di negara maju, sebaiknya di negara berkembang dipatok pada angka 80 cm karena pertumbuhan sebagian besar anak “terlambat” (Arisman, 2008). Pengukuran panjang badan atau tinggi badan anak

(4)

balita. Pengukuran tinggi badan tidak rutin dilakukan karena pertambahan yang sedikit dan tidak signifikan, sehingga tidak menjadi isu masalah di masyarakat.

Terpenuhinya kebutuhan gizi anak akan menentukan laju tumbuh kembang anak. Manifestasi dan adanya hambatan pertumbuhan adalah menjadi tidak sesuainya berat badan anak dengan usinya. Dengan membandingkan berat badan yang sama pada waktu KMS dapat diketahui ada tidaknya hambatan pertumbuhan (Moehji, 2003). Pertumbuhan balita dapat juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS. Pengukuran tinggi badan sering diabaikan petugas kesehatan di pencatatan KMS dikarenakan pertambahan tinggi badan tidak signifikan bertambah setiap bulannya, berbeda dengan berat badan yang fluktuatif berubah setiap bulan.

Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil penelitian

(5)

Tingkat kognitif rendah dan gangguan pertumbuhan pada balita stunting, merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kehilangan produktifitas pada saat dewasa. Orang dewasa yang pendek memiliki tingkat produktifitas kerja yang rendah serta upah kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan dewasa yang tidak pendek. Tinggi badan menjadi salah satu faktor yang menjadi syarat pada jenis pekerjaan tertentu, sehingga orang yang lebih tinggi memiliki kesempatan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi karena lebih besarnya peluang mendapatkan pekerjaan. Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh penghasilan yang lebih banyak, dimana peningkatan tinggi badan sebanyak 1 persen diasosiasikan dengan kenaikan upah sebesar persen (Strauss & Thomas, 1998).

Anak yang kurang diberi makan pada dua tahun pertama kelahirannya dan anak dengan kenaikan berat badan dengan cepat pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa akan lebih berisiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi seperti obesitas dan hipertensi (Victora C.G., Adair Linda, Caroline Fall, Hallal Pedro C., Martorell R., Richter L.,Sachdev H.S., 2008). Anak-anak yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupan pertama dan mengalami kenaikan berat badan yang cepat berisiko tinggi terhadap penyakit kronis, seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes (Hoddinott Hoddinott J , Behrman JR, Maluccio Jhon A, Melgar Paul, Quisumbing Agnes R, Ramirez-Zea Manuel, Stein Aryeh D, Yount Kathryn M, Martorell Reynaldo., 2008; World Bank, 2006). Hales dan Barker (2001) menyebutkan Hipotesis thrifty

phenotype phenomena yang menyatakan adanya asosiasi epidemiologi antara

(6)

dengan penyakit diabetes melitus tipe dua dan sindrom metabolik sebagai dampak dari gizi buruk pada awal kehidupan. Kondisi ini menghasilkan perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin.

Satu dari empat anak di dunia mengalami stunted (de Onis, M Blossne and E Borghi, 2011). Di beberapa negara berkembang bahkan lebih tinggi, yakni satu dari tiga anak. Ini menunjukkan bahwa tubuh dan otak mereka gagal untuk berkembang dengan baik karena malnutrisi. Malnutrisi menjadi penyebab utama dari meniggalnya 2,6 juta jiwa setiap tahun dari sepertiga total kematian anak (Black R.E, Valentiner-Branth P., Lanata C.F., 2008). Pada tahun 2005-2011 Indonesia menduduki peringkat kelima prevalensi stunting tertinggi (WHO, 2012).

(7)

tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi nasional yaitu 37,2 persen serta provinsi-provinsi disekitarnya yaitu provinsi Aceh sebesar 41,4 persen dan Provinsi Sumatera Barat 39,2 persen (Riskesdas, 2013). Menurut WHO 2010, dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat menurut indikator tersebut adalah Prevalensi tinggi bila kependekan (TB/U) sebesar 30-39 persen, dan prevalensi sangat tinggi bila ≥ 40 persen.

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi

penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi. Pertama, faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine growth

restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak kehamilan yang pendek, dan

hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah.

(8)

dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman.

Ketiga, Air Susu Ibu (ASI) yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat. Dan faktor yang keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare,

environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan

yang kurang akibat infeksi dan inflamasi.

2.2 Faktor – faktor yang berhubungan dengan Kejadian stunting

2.2.1 Karakteristik Balita

1. Usia Balita

(9)

ditemukan dengan kejadian stunting adalah usia 24 bulan keatas. Pada penelitian Linda Adair (1997) kejadian stunting paling banyak terjadi pada anak usia 2-3 tahun.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita. Perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya yang berarti bahwa lebih banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat badan yang sama dengan anak laki. Energi yang diperlukan 10 persen lebih rendah dari laki-laki. Kebutuhan gizi anak laki-laki lebih besar dari perempuan (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).

(10)

sayuran. Mahgoub, S.E., Nnyepi, M., & Bandeke, T. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa kejadian wasting, stunting dan undernutrition secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

3. Berat badan lahir

Menurut WHO (2003), BBLR dibagi menjadi tiga group yaitu prematuritas,

intra uterine growth restriction (IUGR) dan karena keduanya. Berat lahir yang

dikategori-kan normal (≥2500 g) dan rendah (<2500g) (Kemenkes RI, 2010). Defisiensi energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. (Keef, 2008). Tingginya angka BBLR diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia.

Menurut Puffer dan Serano (1987), BBL (Berat Bayi Lahir) dibagi menjadi tiga kategori yaitu : 1) bayi dengan BBL <2500 gram, bayi dengan BBL rendah (low

birth weight); 2) Bayi dengan BBL 2500-2999 gram, BBL kurang (deficient birth

weight) ; 3) Bayi dengan BBL 3000 gram atau lebih, BBL baik (favorable birth

weight).

Bayi dengan BBL 2000-2499 gram memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami kematian neonatal dibandingkan bayi dengan BBL 2500-2999 gram, dan 10 kali lebih berisiko mengalami hal tersebut dibandingkan bayi dengan BBL 3000-3499 gram (ACC SCN,2000). BBL <3000 gram sering dihubungkan dengan kejadian

growth faltering atau gangguan pertumbuhan (Achadi, EL., Herawati Anis,

(11)

asosiasi epidemiologi antara pertumbuhan janin yang buruk yang berakibat pada rendahnya outcome kehamilan dengan penyakit diabetes melitus tipe dua dan sindrom metabolik sebagai dampak dari gizi buruk pada awal kehidupan. Kondisi ini menghasilkan perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin. Risiko ini lebih tinggi pada wanita atau pria yang memiliki berat badan lahir kurang dari 3000 gram.

4. Panjang badan lahir

Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagalnya proses pertumbuhan yang berkelanjutan atau stunting, sedangkan anak-anak ini mencermin-kan pernah kegagalan pertumbuhan atau menjadi stunted. Panjang badan diukur setiap setiap bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6-12 bulan, panjang badan diukur setiap dua bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam waktu yang lama, jadi penilaian status gizi pengukuran antrorpmetri panjang badan terhadap umur saja dapat mencerminkan terjadinya malnutrisi pada bayi dalam beberada keadaan. Kemungkinan pengaruh genetik dan ras terhadap terjadinya defisit tinggi badan terhadap umur (Gibson, 2005).

(12)

faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan, dan penelitian di Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa anak yang lahir dengan panjang badan dibawah persentil 10 lebih berisiko tumbuh stunting (Anugrahen HS, 2012). Bayi dengan panjang badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk tumbuh pendek dibanding anak panjang badan lahir normal (Kusharisupeni, 2002).

5. Riwayat imunisasi dasar

Riwayat imunisasi juga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stunting (Picauly & Toy, 2013). Salimar, dkk. (2009) menyatakan bahwa kelengkapan imunisasi berpengaruh signifikan terhadap stunting. Karena imunisasi memberikan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.

Bayi dan balita rentan terkena risiko penyakit infeksi. Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.

6. Riwayat Diare

(13)

diare sangat kompleks, beberapa penelitian menemukan hubungan antara stunting dan patogen beberapa penyakit disebabkan oleh diare.

Tingginya angka kejadian diare pada dua tahun pertama kehidupan berhubungan dengan tingginya angka kejadian stunting. Studi yang dilakukan di sembilan penelitian dari lima negara (Bangladesh, Brazil, Ghana, Guinea-Bissau dan Peru) menunjukkan bahwan 25 persen balita stunting usia 24 bulan terkena diare 5 kali bahkan lebih di 2 tahun pertama kehidupannya (Checkley, W., Buckley, G., Gilman, R.H., Assis, A.M., Guerrant, R.L., Morris, S.S., & Black, R.E., 2008). Diare dihubungkan dengan gagal tumbuh karena terjadi karena malabsorbsi zat gizi selama diare. Jika zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare tidak diganti, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Dewey dan Mayers, 2011). Kejadian diare dapat menyebabkan efek jangka panjang berupa defisit pertumbuhan tinggi badan pada penelitian di Peru.

7. Riwayat ISPA

Proses anak tersebut menjadi stunting, akibat terbatasnya asupan dan/atau seringnya terkena penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi sering menderita penyakit infeksi akan menderita kurang gizi. Demikian pula pada anak yang makanannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Sehingga makanan dan penyakit infeksi merupakan penyebab kurang gizi (Supariasa, I.D.N., Bakri B., Fajar Ibnu., 2002).

(14)

sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,3 persen dari seluruh kematian balita (Depkes, 2008). ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Dari seluruh kematian, yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20-30 persen. Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caulfield, L.E., Richard, S.A., Rivera, J.A., Musgrove, P., & Black, R. E., 2006).

Infeksi terjadi pada balita salah satu penyebabnya adalah pemberian ASI yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini sehingga dapat meningkatkan risiko

stunting karena saluran pencernaan bayi yang belum sempurna baik diare maupun

Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (Rahayu, 2011). Penelitian pada anak-anak di Sudan menguji hubungan antara kurang gizi dan kematian. Didapatkan hasil terdapat hubung signifikan yang kuat antara infeksi dan bayi kurus atau pendek menjadi prediktor kematian pada anak (Fawzi,1997).

(15)

tedokumentasi dengan baik. Meskipun demikian, penyakit infeksi lebih berpengaruh dibandingkan makanan yang menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan (Campbell D.I., Elia M. & Lunn P.G., 2003). Infeksi saluran pernafasan yang paling sering terjadi adalah infeksi saluran atas. Tetapi infeksi saluran pernafasan (termasuk demam) menjadi faktor risiko tertinggi dari kejadian stunting. Ini dibuktikan dari penelitan longitudinal study anak-anak di Filiphina usia 24 bulan, dampak kumulatif dari infeksi saluran pernafasan hampir sama dengan diare sebagai risiko kejadian

stunting (Adair & Guilkey, 1997). Anak stunting lebih memiliki kemungkinan yang

lebih besar untuk menderita penyakit infeksi ini dengan durasi waktu yang lebih lama. Juga lebih cenderung mengalami gejala sisa (sekuel) akibat infeksi umum yang akan melemahkan keadan fisik anak (Gibney MJ, 2002).

(16)

menurunkan nafsu makan. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Retardasi pertumbuhan atau

stunting pada anak-anak di negara berkembang terjadi terutama sebagai akibat dari

kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi 30 persen dari anak-anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, 2004).

2.2.2 Karakteristik Rumah Tangga

1. Tinggi badan ibu

Tinggi badan orang tua berkaitan dengan stunting. Ibu yang pendek memiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil penelitian di Egypt menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi stunting (Zottarelli, L. K., Sunil, T. S., & Rajaram, S., 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin yang akhirnya mempengaruhi outcome kehamilan. Jenis kelamin, urutan kelahiran, dan bayi kembar dapat meningkatkan risiko berat bayi lahir rendah, sebagian besar dipengaruhi oleh pertambahan berat badan ibu pada masa konsepsi, perempuan bertumbuh pendek maupun perempuan yang tinggal di dataran tinggi, dan perempuan yang melahirkan di usia muda memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki bayi yang lebih kecil.

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian

stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,

(17)

badannya normal (Supariasa, 2002). Tinggi badan ibu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang paling tinggi memiliki anak dengan resiko kejadian stunting adalah ibu dengan tinggi badan kurang dari 155 cm (Yang XL, Ye RW, Zheng JC, Jin K, Liu JM, & Ren AG ; 2010). Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya (Amigo H, Buston P, Radrigan ME, 1997).

2. Usia ibu

(18)

3. Jumlah anggota keluarga

Besar jumlah anggota keluarga sangat penting dalam hal pembatasan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan yang tersedia dalam rumah tangga terutama pada keluarga dengan perndapatan rendah. jika jumlah anggota keluarga bertambah, biasanya dalam hal menyiasati kebutuhan dan ketersediaan, rumah tangga tersebut lebih memilih untuk mengurangi konsumsi bahan pangan hewani diganti menjadi lebih murah atau tetap mengonsumsi dengan jumlahnya dikurangi (Suhardjo, 1989).

Jumlah anggota dalam rumah tangga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita adalah jumlah anggota keluarga yang banyak (Oktarina, 2012). Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketersediaan makanan bagi setiap anggota keluarga yang berasal dari jumlah anggota yang lebih banyak akan menjadi lebih rendah persediaan makanannya. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak akan berpeluang memiliki anak yang malnutrisi dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit (Ajao, K.O., Ojofeitimi, E.O., Adebayo, A.A., Fatusi, A.O., & Afolabi, O.T., 2000).

4. Pendidikan ibu

(19)

rendah umumnya menyebabkan kepercayaan diri ibu dalam mengakses sarana gizi dan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas, termasuk aktivitas bina keluarga balita (BKB) rendah, sehingga amat perlu untuk dimotivasi. Aktivitas posyandu tampak menurun seiring berkurangnya perhatian dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan posyandu. Posyandu dengan kader umumnya sudah tua dan tidak terjadi regenerasi yang baik. Mengingat peran pentingnya sebagai agen perubahan di pedesaan, peningkatan kualitas dan kuantitas kader posyandu diperlukan dalam memperbaiki status gizi dan kesehatan masyarakat.

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba, R. D., de Pee, S., Sun, K., Sari, M., Akhter, N., & Bloem, M.W., 2008). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah (Dangour, A. D., Hill, H. L., & Ismail, S.J., 2002). Berdasarkan penelitian Norliani, Sudargo T, Budiningsari DR (2005) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunting pada usia sekolah. Pada penelitian Leni Sri tahun 2008 telah dilakukan skrining status

stunting pada bayi (6-12 bulan) di kota dan kabupaten Tangerang dan diperoleh data

prevalensi stunting sebesar 15,7 persen.

(20)

penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian

stunting di Indonesia dan Bangladesh. Pada individu (ibu batita), karena ibu sebagai

pembina pertama dan utama terhadap pendidikan dan kesehatan anak, dan pengelola atau penyelenggara makanan dalam keluarga, memiliki peranan yang besar dalam peningkatan status gizi anggota keluarga.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki peluang anaknya mengalami stunting sebesar 0,049 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi (Picauly Intje & Toy Sarci Magdalena, 2013). Peneliti lain sebelumnya seperti Yustika (2006), Semba, R.D., de Pee, S., Sun, K., Sari, M., Akhter, N., & Bloem, M.W. (2008) dan Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, & Dibley MJ., (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan formal dan pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh pada peluang terjadinya stunting.

5. Pekerjaan ibu

(21)

6. Pekerjaan ayah

Pekerjaan ayah menjadi faktor penting sebagai tolak ukur kemampuan sosial dan ekonomi dalam rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi selaras dengan kemampuan rumah tangga tersebut dalam menyediakan makanan. Hasil penelitian oleh Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, & Dibley MJ (2009) pada 2168 bayi dibawah lima tahun menunjukkan bahwa pendapatan, status pekerjaan ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting.

7. Wilayah tempat tinggal

(22)

pekerjaan sehingga orang tua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi dibandingkan di pedesaan yang umumnya jenis pekerjaanya di bidang pertanian.

8. Kebiasaan Merokok

Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya mereka dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka dengan pendapatan rendah. Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok terbesar di dunia. Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap hari untuk membeli rokok (WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008). Tahun 2013 rata-rata jumlah bantang rokok yand dihisap 12,3 batang per hari. Pengeluaran untuk rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran penting seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, telur, susu, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali lebih banyak dari pengeluaran untuk daging (Infodatin Kemenkes RI, 2015).

(23)

paling banyak dibanding dengan kelompok rumah tangga lainnya (Saliem dan Ariningsih, 2012).

Merokok dapat menghambat kemajuan status gizi anak melalui kejadian infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkungan dengan asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Hawamdeh A, Kasasbeh FA, & Ahmad MA, 2003). Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada anak yang orangtuanya merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan kondrosit (sel tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang (Kyu HH, Georgiades K, & Boyle MH, 2009).

9. Sumber Air

(24)

Penelitian di Tanzania, determinan kejadian balita pendek dengan jumlah responden 7324 anak, yakni ibu yang tidak sekolah, bayi laki-laki, ukuran tubuh yang kecil, dan sumber dari air minum yang tidak aman (ChirandeLulu, Charwe D., Mbwana H., Victor Rose , Kimboka Sabas , Issaka AI, Baines SK., Dibley MJ., & Agho KE., 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Citaningrum Wiyogowati (2012) menunjukkan bahwa hubungan air bersih dan stunting adalah kejadian stunting 2,1 kali lebih besar berpeluang terjadi pada responden yang tindak memiliki air bersih dibandingkan dengan responden yang memiliki air bersih.

10.Fasilitas Sanitasi

UNICEF (2013) melaporkan 51 juta penduduk melakukan praktik buang air besar sembarangan. Indonesia merupakan negara kedua tertinggi di dunia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan. Tiga puluh sembilan persen dari rumah tangga tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang baik. Air dan Sanitasi sangat berhubungan dengan pertambahan tinggi badan anak (Merchant AT, Jones C, KiureA, Kupka R, Fitzmaurice G, Herrera MG & Fawzi WW, 2003).

(25)

sanitasi dan air. Balita usia 24 bulan rata-rata memiliki tinggi badan lebih pendek 2,4 cm. Balita dengan kasus diare sekitar 16% mengalami defisit sebesar 0,4-2,4 cm, sedangkan 40% balita terjadi defisit 1-2,4 cm akibat buruknya sanitasi dan air.

Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank tahun 2008 me-nunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta kurang gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan sanitasi. Telah dibuktikan bahwa cuci tangan dengan air bersih dan sabun mengurangi kejadian diare 42-47 persen. Dengan demikian program air bersih dan sanitasi tidak diragukan sangat sensitif terhadap pengurangan risiko infeksi. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya (Bappenas, 2012).

Sanitasi menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat karna diperkirakan 40 persen dari populasi kekurangan akses sanitasi yang aman dan 15 persen masih buang air ditempat terbuka (UNICEF & WHO, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah, dkk. (2014) pada anak usia 0-23 bulan di beberapa provinsi seperti Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan data Riskesdas 2010 sebanyak 1554 anak menunjukkan berat badan lahir rendah, tinggi badan ibu kurang dari 150 cm, sanitasi kurang baik dan pemberian makanan pre-lakteal menjadi faktor risiko stunting.

(26)

adalah sanitasi dan air menjadi indikator yang lebih sensitif dalam peningkatan pertumbuhan dibandingkan dengan diare. Peningkatan kualitas sanitasi dan air dapat meningkatkan 0,1-0,6 poin SD pada pengukuran antropometri TB/U. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi (Schmidt & Charles W., 2014).

2.3 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas berskala nasional sampai tingkat kabupaten/kota yang dilakukan setiap 5-6 tahun sekali. Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI dengan kerangka sampel yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lima sampai enam tahun dianggap interval yang tepat untuk menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan.

(27)

kesehatan gigi, tekanan darah, haemoglobin dan gula darah. Dilakukan pula pengambilan specimen darah dan urin untuk parameter terkait dengan faktor risiko penyakit.

Tahun 2007 Badan Litbangkes telah melakukan Riskesdas pertama, meliputi semua indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), konsumsi rumahtangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV-AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layananan, pembiayaan kesehatan). Telah dikumpulkan pula sekitar 33.000 sampel serum, bekuan darah, dan sediaan apus, untuk test-test lanjutan di laboratorium Badan Litbangkes.

(28)

Pada tahun 2010, untuk kepentingan memberikan informasi terkait indikator MDGs bidang kesehatan dilakukan Riskesdas yang sampelnya mewakili tingkat provinsi dan nasional. Data Riskesdas 2010 mencakup indikator: penyakit menular (Malaria,TBC Paru), status gizi, kesehatan reproduksi, kesehatan bayi dan balita, serta faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti sanitasi lingkungan, pengetahuan dan perilaku kesehatan (HIV, Merokok), konsumsi makan individu dan akses pelayanan kesehatan. Dilakukan juga pemeriksaan darah di lapangan untuk Malaria dengan metode RDT dan Pemeriksaan. Entri data dilakukan di lapangan pada semua blok sensus.

Dalam persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013, dilakukan evaluasi Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 untuk memutuskan informasi yang perlu dikumpulkan. Diperhatikan pula beberapa pertanyaan yang perlu dikoreksi, dikurangi, atau ditambah untuk pelaksanaan Riskesdas 2013. Selain itu manajemen data, termasuk waktu pelaksanaan pengumpulan data dan entri data menjadi pertimbangan untuk memperbaiki response rate rumah tangga dan anggota rumah tangga. Beberapa data dan informasi program yang berkaitan dengan data IPKM dan indikator MDG dikumpulkan kembali dalam Riskesdas 2013.

(29)

perubahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat di tiap tingkat wilayah pemerintahan, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatannya.

Riskesdas 2013, sebanyak 1060 variabel dikelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik. Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, pada bayi lahir sampai dewasa. Informasi diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis

Upaya Penjaminan mutu data Riskesdas 2013 penjaminan mutu data Riskesdas 2013 adalah melakukan uji coba instrumen dan validasi. Uji coba dilakukan oleh peneliti Badan Litbangkes, akademisi, dan organisasi profesi. Validasi dilakukan oleh tim universitas (Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin).

(30)

dalam masing-masing blok, untuk menghindari kesalahpahaman pengisian dan menyeleksi isi dari kuesioner

Enumerator dilatih terlebih dahulu oleh tim teknis Riskesdas sebelum dilakukannya pengumpulan data di lapangan. Pelatihan dilaksanakan selama tujuh hari di Medan. Selama pelatihan enumerator diberikan pemahaman mengenai kuesioner yang akan mereka tanyakan kepada responden dan juga cara pengukuran serta pengambilan sampel biomedis. Setelah pelatihan, enumerator langsung turun lapangan untuk melaksanakan pengumpulan data di BS yang telah ditentukan. Rumah tangga yang dikunjungi di setiap BS berjumlah 25. Pada rumah tangga tersebut dilakukan wawancara, observasi, pengukuran, dan pemeriksaan. Kuesioner uji coba Riksesdas 2013 terdiri dari 12 blok pertanyaan. Selama pengumpulan data ditemui banyak kendala, antara lain waktu wawancara terlalu lama yang disebabkan banyaknya pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner. Selain itu dari hasil uji coba kuesioner disepakati kuesioner dengan muatan pertanyaan yang sudah diseleksi. Proses pembuatan kuesioner didiskusikan dengan para pakar terkait semua topik Riskesdas 2013.

Entri data dilakukan di lapangan. Rekam data dilakukan dengan dua cara yaitu secara paperless (tanpa menggunakan kuesioner, data langsung di entri dengan

software yang sudah disiapkan oleh tim mandat) dan secara manual menggunakan

(31)

lebih lama, dan masalah teknis komputerisasi. Disimpulkan pengumpulan data Riskesdas 2013 dilakukan secara manual menggunakan kuesioner, selanjutnya data diedit dan dientri di lapangan.

Variabel yang dipilih untuk validasi Riskesdas 2013 adalah variabel dalam kuesioner RT dan kuesioner individu yang menjawab tujuan Riskesdas dan yang relatif stabil dalam kurun waktu 1-2 minggu setelah kunjungan enumerator Riskesdas 2013. Sebanyak 50 persen variabel RT dan 30 persen variabel individu digunakan dalam survei validasi untuk menilai reliabilitas variabel tersebut. Pada pelaksanaan Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 1.060 variabel yang terkelompokkan menjadi 2 (dua) jenis kuesioner, yaitu Kuesioner rumah tangga (RKD13.RT) yang terdiri dari kurang lebih 160 variabel dan Kuesioner individu (RKD13.IND), yang terdiri dari 900 variabel meliputi:

Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilakukan di kabupaten/kota yang terdiri dari kegiatan: pengumpulan data,

receiving-batching (penerimaan-pembukuan), editing (kontrol kualitas data), data entry, dan

pengiriman data elektronik. Proses receiving-batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner. Pencatatan dilakukan pada electronic file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah RT dan ART yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri.

Program entri data Riskesdas 2013 dikembangkan oleh tim manajemen data Riskesdas Badan Litbangkes menggunakan software CSPro 4.1 dengan operating

(32)

kuesioner RT, individu, dan hasil pemeriksaan biomedis (formulir spesimen darah, urin, garam, dan air, termasuk sticker nomor laboratorium). Entri data kuesioner kesmas dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data, sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen darah dan urin dilakukan oleh tim biomedis di Jakarta dan Balai GAKI – Magelang.

Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda, sehingga kuesioner disusun dengan beberapa lompatan pertanyaan (skip questions) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi data dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi. Hasil entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.

File data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data pusat. Langkah selanjutnya dilakukan penggabungan data dan

cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara

(33)
(34)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Stunting pada Balita usia

24-59 bulan Karakteristik Balita

-Usia balita

-Jenis kelamin

-Berat lahir

-Panjang lahir

-Riwayat imunisasi

-Riwayat diare

-Riwayat ISPA

Karakteristik Rumah Tangga

-Usia Ibu

-Tinggi badan ibu

-Jumlah Anggota Keluarga

-Pendidikan Ibu

-Pekerjaan Ayah

-Pekerjaan Ibu

-Wilayah Tempat tinggal

-Kebiasaan Merokok

-Sumber air minum

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

pasangan tersebut memiliki kerabat seorang pendeta dan itu akan menjadi sangat bermakna bagi mereka yang memiliki kerabat untuk melangsungkan pernikahan, tidak ada yang salah

Unilever Tbk dari tahun 2012-2014 berada dibawah standar yang berarti perusahaan memiliki kas yang belum cukup untuk membayar kewajiban jangka pendek atau utang lancar

Puji syukur kehadirat Allah SWT tuhan yang menciptakan segalanya, dan tak ada sesembahan selain Dia, karena rahmat dan kasih sayang Nya kami mampu menyelesaikan

[r]

Hal ini disebabkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah bahwa jawaban responden memperoleh nilai rata-rata sebesar 5.54 yang berarti sangat

Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian

Laporan akhir ini dibuat untuk melengkapi tugas dari kewajiban setelah mengikuti seluruh mata kuliah adapun materi yang diuraikan dalam laporan ini diperoleh dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan Dukungan keluarga terhadap kunjungan lansia dalam mengikuti Posyandu lansia di Posyandu lansia Kelurahan