• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue

Dengue Fever (DF) adalah penyakit febris-virus akut, sering kali disertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leucopenia sebagai gejalanya. Demam berdarah dengue (DHF) ditandai oleh empat manifestasi klinis utama: demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan, pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut sindrom syok dengue (DSS) dan dapat menjadi fatal (WHO, 1997).

Pada beberapa epidemik, DBD dapat disertai dengan komplikasi perdarahan, seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan menoragi. Biasanya perdarahan dapat menimbulkan kematian pada kasus ini (WHO, 1997).

2.1.2 Pola Penyakit Demam Berdarah Dengeu Pola dari penyakit DBD adalah sebagai berikut 1. Interaksi Virus-Pejamu

(2)

a. Infeksi dengue jarang menimbulkan kasus ringan pada anak.

b. Infeksi dengue pada orang dewasa sering menimbulkan gejala yang sering tidak dikenali sebagai kasus dengue dan menyebar tanpa terlihat didalam masyarakat. c. Infeksi primer maupun sekunder dengue pada orang dewasa mungkin

menimbulkan perdarahan gastrointestinal yang parah. Contoh, tahun 1988 di Taiwan banyak orang dewasa yang mengalami perdarahan yang berat yang dihubungkan dengan DEN(dengue)-1 juga mengalami penyakit ulkus peptikum. 2. Faktor-Faktor Determinan pada DBD

(3)

2.1.3 Etiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue pada seseorang dapat disebabkan oleh virus Dengue termasuk family Flaviviridae dan harus dibedakan dengan demam yang disebabkan virus Japanese Encephalitis dan Yellow Fever (Demam Kuning) (Soegijanto, 2008).

Virus dengue termasuk family Flaviviridae, genus Flavivirus, terdirin dari 4 serotip, yaitu DEN (dengue)-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotype virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype virus DEN-3 sering menimbulkan wabah (Soegijanto, 2008).

Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta masa viremia yang pendek, sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan (Soegijanto, 2008).

2.1.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.

(4)

menimbulkan penurunan hemotrokit. Perubahan hemostasis pada DBD melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2008).

Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Ae. aegypti atau Ae. albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2008).

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen structural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2008).

2.1.5 Tanda dan Gejala Klinis

Menurut WHO (2001), manifestasi klinis dari DBD adalah:

1. Demam: awalnya akut, cukup tinggi, dan kontinu, berlangsung selama 2 – 7 hari. 2. Setiap manifestasi perdarahan (termasuk juga uji tourniquet positif): petekia,

purpura, ekimosis, epistaksis, gusi berdarah, dan hematemesis dan/atau malena. 3. Pembesaran hati (hepatomegali) tampak pada beberapa tahap penyakit yaitu

(5)

4. Syok, ditandai dengan denyut yang cepat dan lemah disertai tekanan denyut yang menurun (20 mmHg atau kurang), atau hipotensi, juga dengan kulit yang lembab, dingin dan gelisah.

2.1.6 Nyamuk Penular DBD

Di Asia Tenggara, Ae. aegypti merupakan vektor utama epidemik virus dengue. Ae. albopictus merupakan vektor sekunder, yang juga penting dalam mempertahankan keberadaan virus (WHO, 2001).

1. Aedes aegypti a. Status taksonomi

Ae. aegypti memperlihatkan spektrum pola sisik yang bersambungan di sepanjang penyebarannya mulai dari bentuk yang gelap, yang dikaitkan dengan perbedaan perikunya.

b. Distribusi

(6)

c. Ketinggian

Ketinggian merupakan faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Pada ketinggian yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter diatas permukaan laut nyamuk Ae. aegypti dapat ditemukan. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (diatas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah.

d. Perilaku Istirahat

Ae. aegypti suka beristirahat ditempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk dikamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun didapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju dan gorden, serta di dinding.

e. Jarak terbang

(7)

f. Penyebaran virus

Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran virus semakin besar.

2. Aedes albopictus

Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Ae. Aegypti (Stegomyia). Spesies ini tersebar luas di Asia dari Negara beriklim tropis sampai yang beriklim subtropics.

Ae. albopictus pada dasarnya adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan manusia di pedesaan, pinggiran kota, dan perkotaan. Nyamuk bertelur dan berkembang di lubang pohon, ruas bambu, dan pangkal daun sebagai habitat hutannya; serta penampung buatan di daerah perkotaan. Nyamuk ini merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik (memilih hewan) dari pada Ae. aegypti. Jarak terbangnya bisa mencapai 500 meter. Tidak seperti Ae. aegypti, beberapa strain dari spesies ini berhasil beradaptasi dengan cuaca dingin di wilayah Asia Utara dan Amerika, saat telurnya menghabiskan musim dingin dengan beristirahat.

(8)

2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian DBD 2.2.1 Perilaku

Green menganalisis bahwa kesehatan itu dipengaruhi oleh dua faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor non perilaku (non behavior causes). Sedangkan perilaku itu sendiri, khusus perilaku kesehatan dipengaruhi atau ditentukan oleh 3 (tiga) factor yakni:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya dari seseorang. b. Faktor-faktor penunjang (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan

fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan).

c. Faktor-faktor pendukung atau reinforcing factor yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya termasuk didalamnya keluarga dan teman sebaya.

Green kemudian berkesimpulan bahwa setiap perilaku kesehatan dapat dilihat sebagai fungsi dari pengaruh kolektif ketiga faktor. Gagasan penyebab kolektif itu penting terutama karena perilaku merupakan suatu fenomena yang majemuk.

Jika menelaah dari ketiga faktor tersebut maka terlihat bahwa perubahan perilaku yang berkaitan dengan rekayasa perilaku akan sangat berhubungan dengan faktor-faktor sebagai berikut:

(9)

b. Kemampuan mendapatkan informasi, kemudahan mendapatkan pelayanan serta ketersediaan alat dan bahan dalam melakukan pencegahan.

Pengetahuan dan sikap manusia (masyarakat) yang kurang mengetahui tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD mempunyai risiko terkena penyakit DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai gejala/tanda, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD perlu mendapat perhatian utama agar masyarakat lebih berperan aktif untuk melakukan pembersihan dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kebiasaan menggantungkan pakaian di dalam rumah merupakan habitat kesenangan nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan kebiasaan tidur siang mempunyai risiko untuk terjadinya DBD (Depkes RI, 1992).

2.2.2 Lingkungan

Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang diperhatikan di lingkungan yang berkaitan dengan vektor penularan DBD antara lain: a. Sumber air yang digunakan

Air yang di gunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat perindukkan yang potensial bagi vektor DBD.

b. Kondisi tempat penampungan air (TPA)

(10)

c. Kebersihan lingkungan

Kebersihan halaman dari kaleng kaleng/ban bekas, tempurung dan lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD (Depkes RI, 1997).

2.2.3. Mobilitas Penduduk

Mobilitas penduduk diartikan dengan perpindahan (Kusnadi, 2010), sementara menurut Prasetyo (2010) pengertian lain dari mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Dalam ilmu sosiologi mobilitas dibagi menjadi 3 (Prasetyo, 2010) yaitu:

1. Mobilitas horizontal adalah perpindahan penduduk dari satu lapangan hidup kelapangan hidup yang lain.

2. Mobilitas vertikal adalah perpindahan penduduk dari cara-cara hidup tradisional ke cara-cara hidup yang lebih moderen.

3. Mobilitas geografis adalah berpindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat atau daerah yang lain.

Mobilitas horizontal disebut juga dengan migrasi. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari tempat ke satu tempat yang lain melewati batas administrative dengan tujuan menetap (Kusnadi, 2010).

(11)

Migrasi komuter adalah pergi ke tempat atau kota lain di pagi hari dan pulang disore hari ataupun malam hari (Prasetyo, 2010).

2.3 Pengaruh Perilaku 2.3.1 Konsep Perilaku

Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahkluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Segala kegiatan yang dilakukan mahkluk hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan kehidupannya disebut dengan perilaku.

Menurut Skiner (1938), seorang ahli psikologi yang dikutip didalam buku Notoatmodjo (2010), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus → Organisme → Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.

Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokan menjadi dua, yakni:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

(12)

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimiliknya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

3. Tindakan atau praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.3.2 Perilaku Kesehatan

(13)

yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

2.3.3 Konsep Dasar Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Menurut WHO pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Selanjutnya menurut Poedjawijatna (1991), orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan adalah hasil dari tahu. Dengan demikian pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian Rogers (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi tahapan pengetahuan dalam diri orang tersebut terjadi adalah sebagai berikut:

(14)

b. Persuasion (kepercayaan), yakni orang mulai percaya dan membentuk sikap terhadap perubahan tersebut.

c. Decision (keputusan), yakni orang mulai membuat suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak perubahan tersebut.

d. Implementation (pelaksanaan), orang mulai menerapkan perubahan tersebut dalam dirinya.

e. Confirmation (penegasan), orang tersebut mencari penegasan kembali terhadap perubahan yang telah diterapkan, dan boleh merubah keputusannya apabila perubahan tersebut berlawanan dengan hal yang diinginkannya.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerima perubahan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Bloom (1908), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:

a. Tahu (know)

(15)

dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

(16)

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan. Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam mengambil suatu keputusan. Orang yang berpengetahuan di dalam kehidupan sehari-hari (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (overt behavior) dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang dasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan yaitu:

a. Pendidikan

(17)

tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitan dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh pada pendidikan nonformal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu.

b. Informasi

(18)

c. Sosial budaya dan ekonomi d. Lingkungan

e. Pengalaman f. Usia

2.4.1 Konsep Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2007): 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memerhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

(19)

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi

2.5.1 Konsep Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

Tingkat-tingkat praktik: 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai contoh adalah indikator praktik tingkat dua.

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

(20)

Penelitian yang dilakukan oleh Tedy,B (2005) menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian DBD, responden yang berpengetahuan kurang baik lebih besar 3,077 kali dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk OR=3,077 adalah 1,218-7,776. Sikap responden terhadap kejadian DBD adalah bahwa risiko kejadian DBD bagi responden yang bersikap kurang baik lebih besar 2,738 kali dibandingkan dengan responden yang sikapnya baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk OR=2,738 adalah 1,196 - 6,269. Sedangkan hasil penelitian tindakan terhadap kejadian DBD menunjukan bahwa risiko kejadian DBD bagi responden yang tindakannya kurang baik lebih besar 4,487 kali dibandingkan dengan responden yang tindakannya baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk OR=4,487 adalah 1,822 – 11,051.

2.4. Pengaruh Lingkungan Fisik Terhadap Kejadian DBD

Lingkungan adalah sekeliling tempat organisasi, berorganisasi, termasuk udara, air, tanah, sumber daya alam, flora, fauna, manusia serta hubungan didalamnya (Notoatmodjo, 2007).

(21)

termasuk semua tumbuhan, binatang, batuan dan fenomena alami yang terjadi dalam batas unit bentang alam tersebut. Sumber daya alam bersifat universal dan fenomena fisik yang bersifat lintas batas, seperti udara, air, iklim dan juga energi, radiasi, yang tidak berasal dari aktivitas manusia (Ling-geo, 2009).

Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Notoatmodjo, 2007).

Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

Manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memerbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup optimum bagi manusia yang hidup didalamnya (Notoatmodjo, 2007).

Manajemen lingkungan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang adalah (WHO, 2001):

1. Perbaikan persediaan air

(22)

nyamuk Ae. aegypti. Sebagian besar wadah yang digunakan memiliki ukuran yang besar dan berat (misal: gentong air) dan tidak mudah untuk dibuang atau dibersihkan.

2. Drainase instalasi persediaan air

Tumpah/bocornya air dalam bangunan pelindung, dari pipa distribusi, katup air, pintu air, hidran kebakaran, meteran air dan sebagainya menyebabkan air mengenang dan dapat menjadi habitat yang penting untuk larva Ae. aegypti jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.

3. Penyimpanan air rumah tangga

Sumber utama perkembangbiakan Ae. aegypti disebagian besar daerah perkotaan Asia Tenggara adalah wadah penyimpanan air untuk kebutuhan rumah tangga yang mencakup gentong air dari tanah liat,keramik serta teko semen yang dapat menampung 200 liter air, drum logam berkapasitas 210 liter (50 galon), dan wadah yang berukuran lebih kecil untuk menampung air bersih atau air hujan. Wadah penyimpanan air harus ditutup dengan tutup yang pas dan rapat yang harus ditempatkan kembali dengan benar setelah mengambil air.

4. Pot/vas bunga

(23)

5. Perkembangbiakan Ae.aegypti di genangan air incidental

Pendingin air tempat kering (water (evaporasi) cooler), wadah penampungan hasil kondensasi dibawah lemari es, dan pendingin udara (air conditioner) harus diperiksa, dikeringkan dan dibersihkan secara teratur. Pendingin air tempat kering yang biasa dipakai di wilayah gersang/semigersang.

6. Bagian luar bangunan

Dilakukan pemeriksaan berkala terhadap bangunan selama musim Desain bangunan penting untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes. Pipa aliran dari talang atap sering tertsumbat dan menjadi lokasi perkembangbiakan nyamuk Aedes. Dengan demikian perlu hujan untuk menemukan lokasi potensial perkembangbiakan.

7. Pembuangan sampah padat

Sampah padat, seperti kaleng, botol, ember, atau benda tak terpakai lainnya yang berserakan di sekeliling rumah harus dibuang dan dikubur di tempat penimbunan sampah. Barang-barang pabrik dan gudang yang tak terpakai harus disimpan dengan benar sampai saatnya dibuang. Peralatan rumah tangga dan kebun (ember, mangkuk, dan alat penyiram tanaman) harus disimpan dalam kondisi terbalik untuk mencegah tergenangan air hujan.

8. Pengelolaan ban

(24)

yang penting. Ban bekas harus ditutup untuk mencegah tergenangnya air hujan dalam ban.

9. Pengisian rongga pada pagar

Pagar yang terbuat dari kayu berongga seperti bambu harus dipotong di bagian beton agar tidak menjadi habitat larva Aedes.

10. Botol kaca dan kaleng

Botol kaca, kaleng dan wadah lainnya harus di timbun di tempat penimbunan sampah atau dihancurkan dan didaur ulang untuk industri.

11. Jarak rumah

Jarak rumah adalah ukuran yang menunjukan seberapa jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya.

12. Tata rumah

(25)

Penelitian yang dilakukan oleh sitorus (2005) menunjukan bahwa ada kemungkinan orang yang menderita DBD ditemukan ada jentik di rumahnya 5,8 kali dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DBD.

2.5. Landasan Teori

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari segi-segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah ‘sehat-sakit’ atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang memengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L. Blum (1974) mengatakan bahwa faktor perilaku, lingkungan, keturunan dan pelayanan masyarakat disamping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya (Notoatmodjo, 2007).

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan dari sektor lingkungan akan memengaruhi host, akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang berhubungan dengan lingkungan.

(26)

populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang berpengaruh dengan individu dan lingkungan. Pada prinsipnya status kesehatan individu di pengaruhi oleh perilaku, lingkungan, keturunan dan pelayanan kesehatan.

(27)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan Fisik terhadap Kejadian DBD

Kejadian DBD Perilaku Individu

- Pengetahuan - Sikap - Tindakan

Lingkungan Fisik - Jarak antar rumah

- Tata rumah (pengaturan barang dalam rumah)

Gambar

Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan Menurut
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan Silabus dan SAP pada mata kuliah praktik pencabutan gigi tetap pada mahasiswa Poltekkes

Pada saat kompresor memampatkan udara atau gas, ia bekerja sebagai penguat ( meningkatkan tekanan ), dan sebaliknya kompresor juga dapat berfungsi sebagai pompa

Pada tahapan historiografi peneliti memaparkan dalam bentuk dokumen tertulis data-data yang didapat selama melakukan penelitian mengenai Peran Kyai Haji Abdul Halim

Sistem Informasi Akademik Berbasis Web Pada SMK Pelayaran Sinar Bahari Palembang..

“Inilah Lima Kudapan Khas Orang Jepang di Musim Panas”.Japanese Station Portal Berita Jepang.10 Mei 2014.5 Juni. “Oyatsu Cemilan Sore

Maka, dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk menyempurnakan penelitian tersebut, agar gagasan Amien Rais mengenai teologi dapat tersampaikan sebagai sebuah

Pemberian dekokta eceng gondok ( E. crassipes ) pada dosis 200 mg/KgBB, 400 mg/KgBB dan 800 mg/KgBB dapat menurunkan kadar MDA ginjal dan persentase nekrosis sel

1. Kelengkapan mesin dalam proses produksi sesuai dengan kebutuhan. Ketersediaan bahan baku. Kualitas bahan baku yang baik. Selama ini masih diperlukan rangka sepeda balap