• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakwaris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 73k Ag 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hakwaris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 73k Ag 2015)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam interaksi antar manusia terbentuk

melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang yang berlainan jenis dengan tujuan

membentuk mahligai rumah tangga. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.1

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan menyatakan dalam ayat (1), Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan ayat (2)

menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.2 Sahnya suatu perkawinan selanjutnya akan menimbulkan

akibat hukum keperdataan serta hak dan kewajiban secara hukum bagi setiap individu

dalam perkawinan.

Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menjelaskan bahwa suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.3

(2)

Tujuan dari pengaturan hak dan kewajiban suami istri adalah agar suami istri

dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar dari susunan

masyarakat.Sehingga undang-undang memberikan hak dan kedudukan isteri adalah

seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.4

Hak dan kewajiban suami istri terkait harta benda dalam perkawinan telah

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan

terkait harta benda dalam perkawinan ini dirasa perlu guna mencegah terjadinya

perselisihan terkait harta benda dalam perkawinan jika dikemudian hari salah satu

individu dalam perkawinan meninggal dunia terlebih dahulu, yang menyebabkan

terbukanya harta warisan.

Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan

bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama5.

Artinya, sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

bersama menyeluruh antarà suami isteri. Harta bersama itu meliputi barang-barang

bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri, baik yang sudah ada maupun

yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma. Hukum,

sebagaimana ditentukan Pasal 122 KUHPerdata, mensyaratkan bahwa semua

penghasilan dan pendapatan suami-istri, begitu pula semua keuntungan-keuntungan

dan kerugian-kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan

(3)

dan kerugian harta bersama. Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta bersama

suami isteri ialah bertambahnya harta kekayaan mereka berdua, yang selama

perkawinan timbul dan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing,

usaha dan kerajinan masing-masing dan penabungan pendapatan yang tidak

dihabiskan. Sementara yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta

benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan. Adapun untuk

pemanfaatan dan penggunaan harta bersama, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan

menyatakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah

pihak.

Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur

dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga

mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam UU No. 1

Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi

Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh

baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan

berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Dikalangan masyarakat awam, terkait dengan harta bersama suami istri, sering

menjadi polemik adalah mengenai kedudukan serta hak janda cerai mati (istri yang

menjadi janda karena kematian suami) yang telah mendapatkan bagian dari harta

bersama tetapi menuntut pula bagian dari harta warisan almarhum. Sebagian kalangan

masyarakat awam tersebut menyatakan janda cerai mati tidak berhak atas harta

(4)

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum

yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah

masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

seseorang yang menjadi ahli waris.

Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda6, karena wafatnya

seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati

dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya. Pemindahan

harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati pada dasarnya diberikan kepada

keluarga tapi juga tidak menutup kemungkinan adanya pemindahan harta kekayaan

tersebut kepada pihak ketiga.

Terdapat aneka hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia,

yaitu:7

1. Hukum Waris Barat, tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Hukum Waris Islam, merupakan ketentuan yang diatur dalam Alquran dan Hadist.

3. Hukum Waris Adat, beraneka ragam tergantung di lingkungan mana masalah warisan itu terbuka.

6

H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 82.

(5)

Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika

terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Pewarisan hanya

berlangsung karena kematian.8 Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan

terbukanya warisan dan sebagai konsekuensinya seluruh kekayaan (baik berupa

aktiva maupun pasiva ) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih

dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama.9

Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan

siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar

bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian

pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang

berhak dalam pembagian harta warisan tersebut. Pihak yang berhak dalam pembagian

harta warisan atau harta peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan

orang-orang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka).

Pasal 174 KHI menyatakan mengenai kelompok ahli waris dalam hukum

Islam, yang berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman dan kakek.

2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dari nenek.

8Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(6)

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya

anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Dalam kajian fiqh islam, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang

dengan orang lain saling waris mewarisi, yaitu:

1. Karena hubungan pertalian darah

Ajaran islam mengatur bahwa kekerabatan melalui pertalian darah merupakan

factor penyebab antara seseorang dengan orang lain saling mewarisi.

Kekerabatan melalui hubungan darah dapat dalam bentuk hubungan

kekerabatan garis lurus ke atas, atau garis lurus ke bawah, atau kekerabatan

dalam garis menyamping.10

2. Karena ikatan perkawinan yang sah

Ikatan perkawinan yang dianggap sah sehingga karena nya timbul hak saling

mewarisi antara suami dan istri, adalah ikatan perkawinan yang telah

memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan.11 Ketentuan pasal 2 tersebut berbunyi sebagai

berikut:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu;

10 M. Anshary, Hukum Kewarisan Islam, dalam teori dan praktik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013, hal. 25

(7)

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

3. Karena kesamaan iman pewaris dan ahli waris

Kompilasi Hukum Islam memberikan satu syarat lagi tentang sebab adanya

saling mewaris di samping karena adanya hubungan pertalian darah dan

pertalian perkawinan sebagaimana di atas, adalah bahwa seorang ahli waris

dan pewaris harus memiliki iman dan akidah yang sama, yaitu sama-sama

berakidah islam.12 Ketentuan ini diatur dalam pasal dalam pasal 171 huruf b

dan c Kompilasi Hukum Islam, bunyinya sebagai berikut:

(b) pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan pengadilan agama Islam, meninggalkan

ahli waris dan harta peninggalan.

(c) ahli waris adalan orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat

Al Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat

dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian

pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat terlihat dari

hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Darru Quthni sebagaimana dikutip Mukhlis

Lubis yang menyatakan bahwa “Pelajarilah faraidh (hukum waris) dan ajarkanlah

(8)

kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraidh) adalah setengah ilmu dan dia

(faraidh) mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari

umatku”.13

Ketentuan-ketentuan hukum waris mengenai warisan untuk janda terdapat

perbedaan yang sangat signifikan antara ketentuan KUHPerdata dan hukum Islam.

Dalam KUHPerdata janda karena kematian suami mendapatkan warisan yang sama

besar dengan anak-anak yang ditinggalkan dan apabila tidak terdapat keterununan

maka janda tersebut berhak atas seluruh warisan.14 Suami atau istri yang hidup

terlama tersebut mengesampingkan orang tua, saudara laki-laki dan perempuan

seandainya mereka masih ada.

Dalam Hukum Islam warisan untuk janda dibagi berdasarkan dengan bagian

tertentu.15 Dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 7 memberi ketentuan bahwa

laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas warisan orang tuanya dan kerabatnya.

Menurut Hukum Islam, istri adalah ahli waris dari almarhum suaminya. Janda

termasuk Dzul fara-idh yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, dalam

sistem Hukum Waris Islam walaupun tidak ada anak, janda tidak mewaris seluruh

warisan. Janda mewaris bersama orang tua dan saudara-saudara pewaris.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dalam penelitian ini akan

dikaji putusan Mahkamah Agung Nomor 73K/Ag/2015. Perkara ini diawali DH bin

13Mukhlis Lubis,Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al Manar, Medan , 2011, hal. 87 14

Riki Budi Aji,Perbandingan Pembagian Warisan Untuk Janda Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam, JOM Fakultas Hukum, 2015, hal. 2

(9)

JH telah melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan yang bernama Hj.

SL binti BNS, dan dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai 9 orang anak kandung,

masing-masing bernama:

1. HBH (almarhum/suami Tergugat);

2. BSH (Saudara alm HBH);

3. KH (Saudara alm HBH);

4. Alm. H. IEH (almarhum/ Saudara alm. HBH);

5. OH (Saudara alm HBH);

6. NH (Saudari alm HBH);

7. ATH (Saudara alm HBH)

8. LKH (Saudari alm HBH);

9. GSH (Saudara alm HBH);

Pada Tahun 1985, semasa hidupnya alm. HBH/saudara laki-laki kandung para

Penggugat telah menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hj. NN/Tergugat

di mana pernikahan tersebut dilangsungkan di Lingkungan I, Kelurahan Pasar

Sibuhuan, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas dahulu Kabupaten

Tapanuli SelatanKabupaten Padang Lawas. pada hari Jum’at tanggal 21 September

2012, HBH/suami Tergugat meninggal dunia disebabkan sakit, dan dalam keadaan beragama Islam. Selama pernikahan alm. HBH dengan Tergugat Hj. NN hingga

meninggal dunia tidak dikaruniai keturunan atau anak, sehingga ketika alm. HBH

meninggal dunia, beliau meninggalkan ahli waris yaitu:

(10)

2. Hj. NN (istri/Tergugat);

3. BSH (Saudara alm. HBH);

4. KH (Saudara alm. HBH);

5. Alm. H. IEH, dengan ahli waris pengganti:

1. MH;

2. AAH;

3. MAH;

4. CH;

5. SMH;

6. OH (Saudara alm. HBH);

7. NH (Saudari alm. HBH);

8. ATH (Saudara alm. HBH);

9. LKH (Saudari alm. HBH);

10. GSH (Saudara alm. HBH);

Semasa hidupnya dalam pernikahan antara alm. HBH dengan Tergugat/Hj.

NN telah memperoleh harta bersama yang merupakanharta pencaharian bersama

berupa: rumah, tanah, mobil. Setelah meninggalnya alm. HBH, maka seluruh objek

perkara tersebut dikuasai oleh Hj. NN.

Oleh karena itu penggugat melakukan gugatan terhadap tergugat yang tetap

menguasai harta warisan alm. HBH dan menuntut hak-hak mereka atas harta warisan

(11)

Berdasarkan uraian di atas tesis ini akan difokuskan untuk melakukan

penelitian terkait dengan hak waris janda dengan mengambil judul “Hak Waris Janda

Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan Mahkamah

Agung Nomor Perkara 73K/AG/2015)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan janda tanpa keturunan terhadap harta warisan suami

menurut Hukum Islam?

2. Berapakah bagian warisan untuk janda tanpa keturunan menurut Hukum Islam?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung

Nomor Perkara 73K/AG/2015dalam pandangan Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang disebut diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui kedudukan janda tanpa keturunan terhadap harta warisan suami

menurut Hukum Islam.

2. Mengetahui bagian warisan untuk janda tanpa keturunan menurut Hukum Islam.

3. Mengetahuipertimbangan hukum hakim dalam putusanMahkamah Agung Nomor

(12)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun

secara Praktis dibidang hukum perdata dan hak waris janda.

1. Secara Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya mengenai kedudukan

janda sebagai ahli waris.

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih

lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan

andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya

mengenai kedudukan janda sebagai ahli waris.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para

Notaris sehubungan dengan hak waris janda dalam perkawinan yang tidak

memiliki keturunan.

b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan

hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan hak

waris janda dalam perkawinan yang tidak memiliki keturunan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

(13)

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Hak

Waris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Kasus

Mahkamah Agung Nomor Perkara73K/AG/2015) belum pernah dilakukan. Akan

tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini

diantara lain :

1. Rizki Febri Hadiyati, NIM. 087011102, dengan judul Kedudukan Janda

Terhadap Harta Peninggalan Suami Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi

Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Desa Kertalangu Kecamatan Kesiman

Kabupaten Badung Denpasar Timur).

Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah pergeseran kedudukan janda dalam hukum waris adat Bali?

b. Bagaimanakah pembagian harta warisan dalam hukum waris adat Bali?

c. Upaya yang dilakukan oleh janda apabila pembagian warisan suami yang

meninggal dunia tidak dapat diselesaikan menurut hukum adat waris Bali?

2. Fedy Ridho, NIM. 087011141, dengan judul Hak Mewaris Bagi Ahli Waris

Golongan Kedua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara :

127/PDt.G/2008/PN.Mdn.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya

penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?

b. Bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan

(14)

c. Bagaimana kekuatan pembuktian surat ke terangan ahli waris yang dibuatkan

oleh Notaris ?

3. Villa Sari, Nim. B4B001210, dengan judul Kedudukan Janda dalam Hukum

Waris Adat di Kabupaten Semarang.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimana kedudukan janda dalam hukum waris adat terhadap harta gono

gini dan harta gono di Kabupaten Semarang ?

b. Bagaimanakah kedudukan janda dalam hukum waris adat terhadap harta

gono-gini dan harta gono sehubungan dengan adanya dua putusan yang

berbeda antara Pengadilan Negeri Kab. Semarang dan Pengadilan Tinggi Jawa

Tengah ?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila

pembahasan dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan

asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan

pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan

yang muncul dalam penelitian hukum.16

(15)

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini

adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan

gejala yang diamati.17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar

penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari hak waris

janda yang tidak memiliki keturunan. Hal ini berarti teori yang digunakan untuk

menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sebagai pisau analisis dalam

penelitian ini adalah teori kepastian hukum dan teori keadilan.

Pembahasan mengenai hak waris janda jika tidak memiliki keturunan pada

hakekatnya tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum dan

keadilan, dimana adanya kepastian hukum dan keadilan hak waris janda. Teori

kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu:

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim

(16)

yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.18

Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan

sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu

perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh

negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian

di konkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau

menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam

hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum

melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk Undang-undang

memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah Undang-undang bagi para subjek hukum

yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam

memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu

kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar

subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum

adalah perwujudan dari itikad baik.

Teori kepastian hukum menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan

kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi

keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya

kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum.Tetapi dapat pengecualian

(17)

bilamana pertentangan antara isi tata hukum tentang keadilan begitu besar. Sehingga

tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.19

Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah

peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Dengan

tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan

mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai,

bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa

yang ada didalam.20

Tentang teori kepastian hukum, Soerjono Soekanto mengemukakan: Wujud

kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku

umum diseluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku

umum, tetapi bagi golongan tertentu, selain itu dapat pula peraturan setempat, yaitu

peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja,

misalnya peraturan kotapraja.21

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,

kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum

itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum.22

a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht).

19Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta, Kanisius, 1982) hal. 163

20 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah

Sosial,(Bandung, Alumni, 1982) hal. 21

21 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan

Indonesia, Jakarta, UI Pres, 1974) hlm. 56

(18)

b. Hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan pada suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti “kemauan baik” dan ”kesopanan”.

c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.

d. Bahwa hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa

hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara

yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping

itu juga bertujuan agar mudah dijalankan. Jika dikaitkan dengan teori kepastian

hukum tersebut bahwa hak waris janda kurang memiliki kepastian hukum yang jelas,

disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang belum baku mengenai hak

waris janda di Indonesia sangat sering menimbulkan permasalahan dan kebingungan

dalam masyarakat.

Keadilan menjadi isu penting dalam penerapan hukum yang diberlakukan

pada masyarakat. Untuk menjamin situasi adil tersebut perlu ada jaminan terhadap

sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti kebebasan untuk berpendapat,

kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik dan kebebasan di

mata hukum.23 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, memberikan konsep mengenai

teori keadilan :

a. Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan sendiri.

23Hesti Armiwulan Sochmawardiah,Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM, Studi Tentang

(19)

b. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini anya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.

c. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.24

Rawls melahirkan 3 (tiga konsep) prinsip keadilan, yang sering dijadikan

rujukan oleh beberapa ahli yakni :

a. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle) b. Prinsip perbedaan (difference principle)

c. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)

Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka :Equal liberty principle harus diprioritaskan daripada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan Equal opportunity principle harus diprioritaskan daripada difference principle.25

Teori Keadilan John Rawls juga mempersoalkan kebenaran dari Teori

Utilitarianisme atau Utilisme yang selama ini digunakan untuk memahami hakekat

dari norma hukum dalam suatu negara.26 Dalam Teori Utilitarianisme, pada

hakekatnya hukum dibentuk dibentuk tentu dimaksudkan tidak hanya sekedar sebagai

norma yang mengatur masyarakat namun hukum tentu dibentuk untuk mencapai

kebahagian individu atau setidak-tidaknya untuk sebagian terbesar masyarakat. Teori

Utilitarianisme selama ini digunakan untuk menganalisis tentang makna hukum.

Teori Utilitarianisme atau Utilisme adalah alliran yang meletakkan kemanfaatan

sebagai tujuan utama hukum.27

24

Ibid.

(20)

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walalupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu

tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

sebesarnya-sebesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan tertentu, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.28Teori

ini mengemukakan bahwa nilai keadilan berlaku apabila dapat dinikmati oleh

masyarakat banyak.

Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan

ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan

keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu

hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah).

Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan

Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang

bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah,

dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam

yaitu:mu`tazilahdanasy`ariyah.

Dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung

jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan

kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada

wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu

melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis

pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang

(21)

baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum

menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan

kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan

demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.29

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dalam teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal- hal yang khusus yang disebut definisi operasional.30Oleh

karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan

beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini

yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan konsep merupakan alat yang dipakai

oleh hukum disamping yang lain- lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu

kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal- hal yang

dirasakan penting dalam hukum.

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh

suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.31Suatu

konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah

atau pedoman yang lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih

bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang- kadang

29

Mumtaz Ahmad ,Masalah-Masalah Teori politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 154-155. 30

Samadi Suryabrata,Metodelogi Penelitian, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998) , hal. 3

(22)

dirasa masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang

akan dapat menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian.32

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan

beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :

a. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan

pada orang yang masih hidup.33

b. Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris

setelah dikurangi dengan semua hutangnya. Harta warisan menjadi hak ahli

waris.34

c. Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan

berkewajiban menyelesaikan hutang-hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut

timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris ini didasarkan pada

hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam

undang-undang.35

d. Janda adalah orang yang tidak bersuami, baik karena perceraian hidup maupun

mati.36 Janda dalam hukum waris adalah sebagai suami atau istri yang hidup

terlama dalam hubungan perkawinan yang putus akibat peristiwa kematian atau

32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2008, hal 13

33 Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia.Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 270.

34

Ibid, hal.292 35Ibid,282

(23)

cerai mati.

e. Hak waris janda adalah sesuatu yang menjadi hak milik seorang janda yang

berasal dari harta peninggalan suaminya.37

f. Keturunan adalah adanya hubungan darah antara orang seorang dengan orang

lain atau pertalian keluarga.38

g. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha.39

h. Harta bersama adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga

sehingga menjadi hak berdua suami istri. Sedangkan dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia yang dimaksud harta bersama atau harta gono-gini adalah harta

perolehan bersama selama bersuami istri.40

i. Harta asal (bawaan) adalah harta benda yang telah dimiliki masing-masing

suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari

warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh

masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri.41

j. Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili

pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah

37Muhammad Najich Chamdi,Hak Waris Janda Dalam Tradisi Masyarakat Osing Di Desa

Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2008, hal. 1.

38Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003) hal. 672 39

Pasal 1Undang-undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

40 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 2

(24)

undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya

yang diberikan oleh undang-undang.42

k. Boedel harta adalah warisan yang berupa kekayaan saja, dan Yang perlu segera

dikeluarkan dari harta orang meninggal dunia antara lain ialah :

1. Biaya pengurusan mayat.

2. Dibayarkan utangnya.

3. Dilaksanakan wasiatnya/hibah wasiatnya.

4. Dalam Hukum Waris Islam diambil zakatnya/sewanya.

5. Sisanya adalah harta warisan.

Umumnya biaya pengurusan mayat ditanggung oleh pihak keluarganya.43

l. Boedel menurut Hukum Islam adalah seluruh harta kekayaan berupa atau yang

terdiri dari aktiva dan passiva yang dimiliki oleh seorang muslim semasa

hayatnya dan yang ditinggalkan saat wafatnya.44

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

42Pasal 24A angka (1) Undang-undang Dasar 1945. 43

Subekti Raden, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita,

1995.

44M. Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan,

(25)

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.45

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu penelitian

hukum kepustakaan. Pendekatan normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah

hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam

arti sempit (value), Peraturan hukum konkret. Penelitianyang berobjekan hukum

normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan

horisontal.46

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka

yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang

hukum atau bahan rujukan bidang hukum.47

b. Sifat Penelitian

Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat

deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran

secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis

45Soerjono Soekanto.Opcit, hal. 42.

(26)

dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis

secara cermat untuk menjawab permasalahan.48

2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang

dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut

meliputi sebagai berikut:

a. Data Sekunder

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan

data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap

berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.49Data sekunder berasal dari

penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1) Bahan Hukum Primer.

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan

utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu : Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Studi Kasus Mahkamah Agung

Nomor Perkara 73K/AG/2015.

2) Bahan Hukum Sekunder.

Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Fiqh islam, Al-Qur’an dan

48

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung Alumni, 1994), hal 101.

(27)

Hadist, hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan

seterusnya.50

3) Bahan Hukum Tertier.

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan ensiklopedia

lain.51

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan

melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan

untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan

hasil-hasil permikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan

alat pengumpulan datanya adalah mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan

permasalahan yang diajukan dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian

dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan

untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

(28)

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun

penuh dengan variasi (keragaman).52

Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang

menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang

terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek

penelitian.53

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data

diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila

dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari

hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan

menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori,

dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik

kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, guna menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

52Burhan Bungin,Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis

Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

Referensi

Dokumen terkait

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap

Jika sebelumnya perjanjian perkawinan hanya mengatur mengenai harta kekayaan calon pasangan suami-istri yang tujuannya agar para pihak bisa mengatur sendiri harta

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda

dan tidak saling berkesesuaian, yang kedua dengan adanya penemuan fakta bahwa pemohon II yaitu pihak istri ketika menikah berstatus janda yang masih terikat dengan

Harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta bersama suami-istri seperti halnya barang asal, yang tetap terikat kepada kesatuan kerabat asal, maka lazim pulalah

Adapun Rumusan masalah penelitian ini yaitu Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, Bagaimana kedudukan hak

Menimbang, bahwa dalam melangsungkan sebuah perkawinan harus terdapat calon suami dan istri atau mempelai pria dan wanita yan g telah mencapai umur yang

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap