• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 671 K/Ag/2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 671 K/Ag/2015)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FITRI AYU SARI WIJAYA 177011152/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

NAMA MAHASISWA KELAS

I{IM

PROGRAM STUDI

AGUNG NOMOR

: FITRI AYU SARI WIJAYA

: REGULER :177011152

: MAGTSTER KENOTARIATAN USU

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Idha Aprilvana Semtifrffie. SH.. M.Hum ---h

7lr'*4

Or. tefrizarffii. SU.. U.tlum

Pembimbingl

Tanggal Lulus : 29 Januari2020

(3)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum

ANGGOTA : 1. Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum 2. Dr. Idha Aprilyana, SH., M.Hum

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum 4. Dr. Afnila, SH., M.Hum

(4)

PERLINDUNGAN HUKIJM HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG NoMoR 67 | W As20ls)

Adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Kenotariatan Universitas SumateraUtara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pematr diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tingg

dan

sepanjang pengetahuan sayajuga tidak terdapat karya atau pendapatyang pernatt ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara terhllis diacu dengan naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medaq 07 lanran2020

(5)

Nama

: Fitri Ayu Sari Wijaya

NIM

: l770lll52

Program Studi : Magister Kenotariatan

Untuk pengerrbangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara tlak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non exclusive, royalty free right) unlr*.mempublikasikan tesis saya yang berjudul:

PERIINDUNGAN HT.JKUM HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH

AGLJNG NOMOR 67 1 Kl Asn0ls\

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/ memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat.lan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, 07 Januari 2020

(6)

Warga negara Indonesia yang beragama Islam selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, aturan-aturan mengenai perkawinan di Indonesia juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan poligami di Indonesia yang sering terjadi dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan pada lembaga pencatat perkawinan, sehingga menimbul permasalahan baik dilihat dari

Hukum Perdata dan Hukum Islam. Salah satu masalah yang rnuncul adalah mengenai warisan yang sering diperselisihkan dalam keluarga, terutama terkait dengan ketentuan mengenai siapa yang berhak dan tidak berhak atas harta warisan. Salah satu contoh permasalahan yang terjadi dimasyarakat diambil studi

dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 KlAg/2015. Adapun Rumusan masalah penelitian ini yaitu Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, Bagaimana kedudukan hak waris anak dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor

1

Tahun 7974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 671 WAg/2015 terkait dengan pemenuhan asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam.

Penelitian

ini

menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian

ini

menggunakan data primer yang di dapat dari hasil wawancara terhadap Hakim Pengadilan Agama, serta data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligarni yang tidak dicatatkan dapat diperoleh melalui pennohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama berdasarkan Pasal

7

ayat

(2) KHI.

Itsbat diajukan

ke

Pengadilan Agama, berdasarkan penetapan PA tersebut maka anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan tersebut mendapatkan kedudukan sebagai anak sah. I(edudukan

hak waris anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, adalah sama dengan kedudukan hak waris anak dari perkawinan yang sah dan tidak dapat digolongkan sebagai anak.luar kawin sebab perkawinan yang dilakukan telah memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UUP dan Pasal 100 KHI. Anak tersebut memiliki hak sebagai ahli waris rneskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan. Pertimbangan hukum hakirn dalam putusan

MA Nomor 671 WAgl2015 dari segi fonnil sudah'tepat, sebagain'rana gugatan para penggugat dinilai cacat fonnil karena tidak adanya buku nikah atau data-data otentik yang dapat rnernbuktikan kapan pernikahan pewaris dengan istri-istrinya (istri perlarna sampai istri ke tujuh). Para Penggugat merupakan subjek hukurr yang seharusnya rnendapatkan haknya sebagai

ahli

waris, sepanjang dapat memberikan bukti-bukti fonnil yang lengkap selama masa persidangan.

Kata Kunci: Hak waris. Anak, Poligarni yang tidak clicatatkan.

(7)

LEGAL PROTECTION FOR THE INHERITANCE RIGHTS OF CHILDREN FROM UNREGISTERED POLYGAMOUS MARRIAGES

ABSTRACT

Indonesian Muslims apply not only the provisions on marriage in Indonesia that are stipulated in Law No. 1/1974 on Marriage but also in the Compilation of Islamic Laws. That polygamous marriages in Indonesia are seldom to be registered Civil Registry Office raises problems in either the Civil Laws or Islamic Laws. One of the problems are about the inheritance that is often disputed within family, particularly concerning the determination of who are rightful and not rightful over the inheritance. One of the example for such problem is the case stated in the verdict of the Supreme Court Number 671 K/Ag/2015. The research problems are how about the legal protection for children from unregistered polygamous marriages, how about inheritance right status of the children from unregistered polygamous marriages in accordance with the provisions in Law No. 1/1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Laws, and how about the Judge’s legal consideration in the Verdict of the Supreme Court Number 671 K/Ag/2015 related to the fulfillment of justice principle in Islamic Inheritance Laws.

This is a normative juridical research with descriptive analysis. It uses primary data collected from interviews with the Judge at Religious Court, and secondary data obtained from primary, secondary and tertiary legal materials.

The legal protection for the children from unregistered polygamous marriages can be gained through an application for itsbat marriage or marriage ratification to the Religious Court pursuant to Article 7 paragraph (2) of the Compilation of Islamic Laws. The application is submitted to the Religious Court.

By the decree stipulated by the court, the children from the unregistered polygamous marriages will gain legal status as legitimate children. The inheritance right status of the children according to the Compilation of Islamic Laws is granted only to children who have nasab relationship or blood relation with the mother and mother’s family, pursuant to Article 100 of the Compilation of Islamic Laws. The Verdict of the Supreme Court Number 46/PUU-VIII/2010 is resulted from a judicial review to Article 43 of Marriage Act stating that the children from unregistered marriages also obtain the similar inheritance right status as the children from a registered one. The legal consideration of the judge in the Verdict of the Supreme Court Number 671 K/Ag/2015, according to the legal certainty stipulated in the laws, is already right, since it is in line with the provisions in Article 2 paragraph (1) and (2), Article 42 and Article 43 of the Marriage Act due to the absence of the marriage certificate that can prove when the marriages took place. However, the verdict has not fulfilled the justice value of inheritance right of children from the unregistered polygamous marriage.

Keywords: Inheritance Right, Child, Unregistered Polygomous Marriages.

(8)
(9)

Maha Penyayang, karena atas karunia-Nya lah Penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah berbentuk Tesis dengan judul, “Perlindungan Hukum Hak Waris Anak Dari Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan.

Oleh sebab itu, Penulis sangat mengharapkan adanya penulisan atau penelitian lanjutan guna kesempurnaan penulisan ini dan juga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis berterima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam menyelesaikan Tesis ini. Penulis mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan kepada pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalani kehidupan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(10)

dan juga selaku dosen penguji yang telah memberi masukan dan saran untuk perbaikan penulisan tesis.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Utary Maharani, SH., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Pertama yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Yefrizawaty, SH., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Kedua yang telah tulus ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

7. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Ketiga telah tulus ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

8. Ibu Dr. Afnilla, SH., M.Hum, selaku dosen penguji yang telah memberi masukan dan saran untuk perbaikan penulisan tesis.

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

10. Sahabat-sahabat, Jesika Dillon, S.H, M.Kn, Siti Maryam Hanum, S.H, M,Kn, Nazma Husna, S.H, M.Kn, Rizka Mauliyan, S.H, Nursara Siregar, S.H, M.Kn, Eunice Primsa Munthe, S.H, M.Kn, Diana Lubis, S.H, M.Kn, Tuty Anggrainy, S.H, M.Kn, serta rekan-rekan kelas Reguler Mahasiswa Magister

(11)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam proses administrasi mulai dari penulis masuk kuliah hingga penulis menyelesaikan tesis ini.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Almarhum Ayah tercinta, H. Hasan Wijaya dan Ibu tercinta, Hj. Harapan Br. Aruan yang sangat berjasa dan berperan luar biasa serta menjadi penyemangat terpenting dalam kehidupan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak-kakak tercinta, dr.Verawati, Dewi Fatmawati S.Farm, dan Nova Wijaya AMd.Keb yang mendoakan serta mendukung penulis untuk kesuksesan penulis hingga saat ini.

Semoga rahmat dan hidayah serta lindunganNya selalu dilimpahkam kepada kita semua selaku orang-orang yang selalu ingin mencari kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. KepadaMu kami menyerahkan diri dan ampunan. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 29 Januari 2020 Penulis,

Fitri Ayu Sari Wijaya 177011152

(12)

Tempat/Tanggal Lahir : Kutacane / 09 Maret 1993

Alamat : Komp. Taman Riviera Blok NCL 44

Jenis Kelamin : Perempuan

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : H. Hasan Wijaya

Nama Ibu : Hj. Harapan Br. Aruan III. PENDIDIKAN

2000-2006 : SD Angkasa 2 Lanud Medan.

2006-2009 : Ponpes AlkautsarAl-Akbar, Medan.

2009-2012 : SMAN Perisai, Aceh Tenggara.

2012-2016 : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Acara.

2017-2020 : Universitas Sumatera Utara, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan.

(13)

ABSTRAK ABSTRACT

KATA PENGANTAR

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Alat Pengumpulan Data ... 22

5. Analisis Data ... 23

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN 24 A. Pengaturan Tentang Perkawinan Poligami ... 24

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 24

a. Pengertian Poligami... ... 29

b. Syarat Poligami ... 30

c. Alasan Poligami... ... 32

d. Prosedur Perkawinan Poligami.... ... 33

2. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam... ... 37

a. Perkawinan Poligami.... ... 41

b. Prosedur Perkawinan Poligami... ... 42

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan ... 47

1. Itsbat Nikah ... 52

2. Mengajukan Gugatan Ke Pengadilan ... 54

(14)

1. Pengertian Hukum Waris ... 61

2. Asas Kewarisan Dalam Hukum Islam ... 63

3. Ahli Waris... ... 67

4. Bagian Ahli Waris ... 68

5. Pembagian Waris Dalam Perkawinan Poligami.. ... 74

B. Kedudukan Hak Waris Anak Dalam Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan ... 77

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 671 K/Ag/2015 TERKAIT PEMENUHAN ASAS KEADILAN DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM ... 85

A. Kasus Posisi ... 85

1. Kronologis Gugatan ... 85

2. Dasar Pertimbangan dan Isi Amar Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015 ... 91

B. Analisis Terhadap Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015 ... 92

1. Analisis Kedudukan Hak Waris Anak Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan Terkait Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015... ... 94

2. Analisis Pemenuhan Asas Keadilan Terhadap Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015... ... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(15)

Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. 1 Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur tentang perkawinan dan keluarga.2

Hukum memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat.

Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara invidu maupun dalam berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan.3 Masalah penegakan hukum adalah suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakternya masing-masing, mungkin

1Anonim, “Definisi, Fungsi dan Bentuk Keluarga” melalui https;//kajian.pustaka.com, Defenisi, fungsi dan bentuk keluarga, diakses pada tanggal 20 Juni 2019, pukul 13.00 wib.

2 Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni,1979), h. 146-147.

3 Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: Cahaya Ilmu, 2006), h.

2.

(16)

memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakkan hukumnya.4

Masyarakat Indonesia berkeinginan untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Sebenarnya, pada zaman kerajaan Nusantara sudah ada hukum perkawinan di Indonesia, namun pada saat itu hukum perkawinan tidak memiliki aturan yang baku dan masih berbeda-beda dalam pelaksanaannya di masing-masing daerah, lalu kemudian di tahun 1954 melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia yang sebelumnya hanya berlaku di Jawa, Madura dan Sumatera.5 Setelah melalui proses yang panjang dan dapat penolakan dari berbagai kalangan akhirnya harapan memiliki hukum perkawinan tersebut baru dapat terwujud pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam ayat (2), menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Dalam pasal ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing–

4Syafruddin Kalo, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat (Suatu Sumbangan Pemikiran), Medan. h. 1.

5Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:

Ghalia Indonesia,1992), h. 96.

6 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(17)

masing agamanya dan kepercayaannya termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dengan undang-undang ini.

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, aturan-aturan mengenai perkawinan di Indonesia juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman peraturan dalam melangsungkan perkawinan. Jadi, bagi warga negara yang beragama Islam, perkawinannya baru dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Tetapi disamping itu ada keharusan pencatatan suatu perkawinan sama dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang telah disediakan.7

Pernikahan pada hakikatnya akan melahirkan akibat hukum yang melekat pada suami dan istri. Oleh sebab itu, pencatatan perkawinan merupakan suatu yang harus dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan dan kepastian hukum.8 Dengan dilakukannya suatu pencatatan perkawinan akan membantu menjaga masing-masing pihak mendapatkan haknya dan sekaligus menjadi bukti autentik jika ada perselisihan ataupun wanprestasi.9

Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai nikah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan

7Itsnaatul Lathifah, Juni 2015, Pencatatan Perkawinan: Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat Indonesia terhadap Pencatatan Perkawinan, Al-Mazahib, Volume 3 Nomor 1, h. 47.

8Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 122.

9 Itsnaatul Lathifah, Op. Cit., h. 48.

(18)

Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang non-Islam.10Perkawinan yang tidak dicatatkan atau disebut juga nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam Fatwa MUI adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.11

Perkawinan yang tidak dicatatkan sangat merugikan bagi para istri dan anak, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah. Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, perempuan yang perkawinannya tidak dicatatkan sering dianggap istri tidak sah. Selain itu status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.12

Selain perkawinan yang tidak dicatatkan, terdapat juga masalah mengenai perkawinan poligami yang marak terjadi pada masyarakat, sering menjadi persoalan dikarenakan perkawinan poligami tersebut tidak dilakukan sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang diperbolehkannya poligami. Dasar hukum yang

10 Miranty, Tesis: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, USU, Magister Kenotariatan, 2010. h. 23.

11Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Nikah Dibawah Tangan

12Liky Faizal, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan, Fakultas Syariah, Universitas IAIN, hlm. 65-66, dalam https://media.neliti.com/media/publications/58206-ID-akibat-hukum- pencatatan-perkawinan.pdf, diakses pada tanggal 04 Agustus 2019 pada pukul 18.21 WIB.

(19)

memperbolehkan poligami dalam Islam terdapat dalam Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa Ayat 3:13

“Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut bahwa tiada akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau pakailah hamba sahaya. Yang demikianlah itu lebih dekat kepada tiada aniaya.”14

Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sebenarnya menganut asas monogami yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan, bahwa pada asasnya pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dimana wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini berarti disarankan oleh undang-undang adalah perkawinan monogami. Akan tetapi, undang-undang memberikan pengecualian, dimana dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:15

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk dapat mempunyai istri lebih dari satu dengan persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.”

Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri bagi suami yang bermaksud ingin menikah lagi dengan wanita lain (berpoligami) adalah salah satu syarat untuk mengajukan permohonan izin berpoligami ke Pengadilan Agama. 16 Perkawinan poligami sebagai suatu perbuatan hukum tentu akan membawa konsekuensi hukum tertentu diantaranya dalam lapangan harta kekayaan

13Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana,2009), hlm. 35.

14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Al-Qur’an, 1984)

15Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

16 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), h. 124.

(20)

perkawinan, yang apabila dikemudian hari perkawinan berakhir baik oleh karena kematian maupun perceraian. Kemudian perkawinan poligami akan melahirkan peristiwa hukum yaitu hukum waris sebab anak yang lahir dengan selamat dianggap sebagai pendukung hak dan kewajiban. 17

Hukum waris sangat erat hubungannya dengan ruang lingkup kehidupan setiap manusia, hal ini dikarenakan pada kehidupan setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.18 Menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.19 Apabila hendak menyimpang dari dari prinsip harta benda perkawinan ini, maka dibuatlah perjanjian perkawinan seperti yang telah dijelaskan diatas.

Dengan demikian, harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah harta terpisah, artinya segala harta yang dibawa ke dalam perkawinan (yang disebut harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang membawa. Sedangkan untuk harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama kecuali diperoleh karena warisan atau hibah.

Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang, berdasarkan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:

17Bambang Sugianto, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami, Al’Adl, Volume 9, Nomor 2, Agustus 2017, h. 225.

18 Effendi Prangin-angin, Hukum Waris, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), h. 30.

19 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

(21)

1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya

2. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan berikutnya itu terjadi 3. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak

perkawinan masing-masing.

Pengaturan harta bersama dalam perkawinan poligami ialah masing-masing istri memiliki harta bersama secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri, dimana pemilikan harta bersamanya dihitung sejak berlangsungnya akad nikah yang kedua, ketiga atau yang keempat. Menurut hukum Islam Pasal 1 huruf (f) ketentuan umum Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Sejak perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Apabila seseorang hendak menyimpang dari peraturan umum itu, harus melakukan suatu “perjanjian perkawinan”.20

Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya,

20Bambang Sugianto, Op. Cit., h. 225.

(22)

sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.21 Hal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (12) dengan terjemahan sebagai berikut:

“para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh satu perdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang- hutangmu”.22

Berdasarkan pengaturan tersebut, maka diketahui bagian istri (istri-istri) dari harta warisan suaminya yaitu masing-masing seperempat, jika pasangan tersebut tidak memiliki anak. Dengan demikian jika si pewaris memiliki lebih dari satu istri maka bagian sebesar seperempat tersebut akan dibagikan secara pro-rata kepada seluruh istri-istri pewaris.

Ketentuan tentang pembagian waris didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan hukum perkawinan. Maka untuk mendapatkan kedudukan dan status sebagai ahli waris dalam perkawinan poligami, maka perkawinan dilakukan sebagaimana menurut Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan, yaitu harus mendapat persetujuan dari pengadilan. Pengajuan persetujuan dari pengadilan harus mendapat izin dari istri pertama, pelaksanaan perkawinan harus dilakukan dan dicatatkan di lembaga Pencatatan Perkawinan dan diperlukannya perjanjian perkawinan sehingga bisa membedakan harta bawaan dengan harta bersama.23

Dalam perkawinan poligami baik dilihat dari Hukum Perdata, Hukum Adat atau dilihat dari Hukum Islam banyak mendapat kesulitan untuk menentukan harta

21Pasal 190 Kompilasi Hukum Islam

22 Departemen Agama RI, Op.Cit

23Bambang Sugianto, Op.Cit., h.225.

(23)

bersama, karena dalam perkawinan poligami yang sering terjadi di Indonesia dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan pada lembaga pencatat perkawinan.

Sebab untuk mencatatkan perkawinan dalam perkawinan poligami haruslah mendapat persetujuan atau izin dari istri pertama dan kedua dan seterusnya melalui pengadilan. Sehingga dalam prakteknya jarang terjadi seorang perempuan atau istri pertama dan kedua dan seterusnya memberikan izin suami dapat melakukan perkawinan poligami. Karena perkawinan poligami ini tidak tercatat, akan menimbulkan hambatan dikemudian hari dalam pembagian waris dalam perkawinan poligami.24

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat banyak permasalahan yang muncul akibat hukum tidak dicatatkannya perkawinan, salah satunya adalah masalah mengenai warisan. Masalah harta warisan biasanya menjadi sumber perselisihan dalam keluarga, terutama terkait dengan ketentuan mengenai siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak serta ketentuan mengenai bagian masing-masing yang memicu perselisihan, hingga akhirnya dapat berujung pada keretakan ikatan kekeluargaan.25

Salah satu contoh permasalahan yang terjadi dimasyarakat diambil studi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015, yaitu mengenai sengketa hak waris. Dikemukakan disini “SW”, “S”, “M” dan “VN” sebagai para Pihak Penggugat I, II, III dan IV, melawan “HH”, “V” dan “N” sebagai para Pihak Tergugat I, II dan IV. Sengketa tersebut merupakan sengketa hak waris dimana

24Ibid., h. 227.

25Darmawan, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014), h. 7.

(24)

pewaris semasa hidupnya telah melakukan perkawinan sebanyak 7 (tujuh) kali, yaitu:

1. Perkawinan pertama dengan “T” selaku istri pertama yang telah becerai dan dikaruniai 3 (tiga) anak, yaitu: “SW” selaku Penggugat I, “S” selaku Penggugat II, dan “M” selaku Penggugat III.

2. Perkawinan kedua dengan “A” selaku istri kedua yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu “SLM”. Sewaktu pewaris meninggal dunia

“SLM” beragama Budha.

3. Perkawinan ketiga dengan “SR” selaku istri ketiga yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “DS” selaku turut Tergugat IV.

4. Perkawinan keempat dengan “HH” selaku Tergugat I, merupakan istri keempat yang telah bercerai mati dan dikaruniai 6 (enam) anak, yaitu: “V”

selaku Tegugat II, “DW” selaku Tergugat III, “DN” selaku turut Tergugat I,

“NV” selaku Tergugat IV, “F” selaku Tergugat V, dan “AL” selaku turut Tergugat II.

5. Perkawinan kelima dengan “RS” selaku istri kelima yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “VN” selaku Penggugat IV.

6. Perkawinan keenam dengan “JL” selaku istri keenam yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AWS” selaku Turut Tergugat III.

7. Perkawinan ketujuh dengan “U” selaku Turut Tergugat V, merupakan istri ketujuh yang telah cerai mati dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AG”

selaku Turut Tergugat VI.

(25)

Sengketa berawal dari keberatan para Penggugat terhadap para pihak Tergugat, yang mana para Penggugat merasa sebagai anak dari pewaris yaitu almarhum “H”, yang memiliki hak waris, meminta kepada pihak Tergugat untuk membagikan harta warisan kepada seluruh ahli waris dari almarhum “H”. Akan tetapi para pihak Tergugat menolak, sebab pengakuan dari pihak Tergugat ahli waris almarhum “H” hanyalah 7 (tujuh) orang. Adapun itu ialah “HH” selaku Tergugat I yang merupakan istri keempat dari alhamrum “H”, beserta anak- anaknya yang berjumlah 6 (enam) orang yang merupakan hasil perkawinan antara Tergugat I “HH” dengan pewaris.

Para Penggugat merasa dirugikan terhadap tindakan para Tergugat, yang menguasai harta warisan secara keseluruhan dengan cara menggadaikan dan bahkan menjual sebagian harta warisan dari pewaris. Dengan demikian, pihak Penggugat menyatakan bahwa para Tergugat telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, sebab para Tergugat menghilangkan hak waris para pihak Tergugat dan yang lain-lainnya, yaitu merupakan anak-anak dari perkawinan almarhum “H” dengan istri-istri yang telah dinikahi pewaris semasa hidupnya. Untuk medapatkan kembali haknya sebagai ahli waris maka para Penggugat mengajukan surat gugatan dengan Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC ke Pengadilan Mahkamah Syar’iyah.

Hasil dari pertimbangan hakim di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah dengan Putusan Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS-KC, yaitu menyatakan para Tergugat yang telah di panggil secara resmi dan patut untuk hadir ke persidangan, tidak hadir.

Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dengan verstek. Dalam

(26)

putusan ini Penggugat mendapatkan hak sebagai ahli waris. Atas putusan verstek pihak Tergugat melakukan Perlawanan (verzet). 26 Dalam verzet, hakim memutuskan bahwa, menolak perlawanan (verzet) Tergugat dan menguatkan verstek.

Tergugat merasa keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang kemudian menghasilkan Putusan Nomor 106/Pdt.G/2014/MS-Aceh yang membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak di terima. Oleh karena keluarnya putusan tersebut, Pihak Penggugat merasa adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, serta ketidakmanfaatan dari putusan banding tersebut. Penggugat mengajukan kasasi dengan Nomor 671 K/Ag/2015 ke Kepaniteraan Mahkamah Agung dan tidak membuahkan hasil.

Hasil dari pertimbangan Hakim, bahwa gugatan Penggugat dinilai cacat formil karena tidak didapati buku nikah dan sehingga tidak dapat menjelaskan kapan perkawinan pewaris dengan istri-istrinya (istri pertama-istri ketujuh). Demikian juga kapan harta bersama dengan istri keempat tersebut di peroleh, dan alasan- alasan kasasi dinilai bersifat mengulang.

Hasil dari Putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor 106/Pdt.G/2014/MS-Aceh kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 yang menghilangkan hak waris Pihak Penggugat “SW”,” S”,”M” dan “VN” karena tidak dapat menjelaskan kapan

26Perlawanan (verzet) adalah perlawanan (upaya hukum) yang dilakukan terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat, perlawanan terhadap putusan verstek. Bambang Sugeng, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana, 2009), h. 90.

(27)

perkawinan pewaris dengan istri-istrinya. Sebab menurut Penggugat pada masa dulu sangat jarang perkawinan terdaftar di Kantor Urusan Agama sehingga tidak didapati buku nikah. Berdasarkan latar belakang kasus yang telah diuraikan diatas, tertarik untuk melakukan penelitian tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Hak Waris Anak Dari Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan (Studi Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015)”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan?

2. Bagaimana kedudukan hak waris anak dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?

3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 terkait dengan pemenuhan asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hak waris anak dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan menurut ketentuan Undang-

(28)

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 terkait dengan pemenuhan asas keadilan dalam hukum mewaris Islam.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, antara lain:

1. Secara teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran untuk menambah ilmu pengetahuan hukum perdata tentang perkawinan dan hukum Islam khususnya tentang kedudukan mewaris anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum, advokat, hakim, pemerintah serta masyarakat agar dapat memahami dan mengetahui tentang kedudukan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penulisan

Judul tesis ini telah diuji bersih di Magister Kenotariatan USU dan tidak ada tesis yang menulis sama, dengan demikian judul tersebut belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Magister Kenotariatan USU. Namun, berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan, penelitian yang berkaitan dengan

(29)

“Kedudukan Hak Waris Anak Dalam Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan (Studi Putusan MA No. 671 K/Ag/2015)” adalah:

1. Nama Ahmad Amin (NIM: 077011002), dengan judul tesis “Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bila perkawinannya putus?

b. Bagaimanakah pembagian harta bersama perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

c. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan poligami?

2. Nama Miranty (NIM: 087011081), dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan?

b. Bagaimanakah kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan?

c. Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat di berikan kepada anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan?

(30)

Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan tersebut, terdapat tesis yang memiliki persamaan pada topik yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada pokoknya yaitu pada rumusan masalah. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karya penelitian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berguna menjadi titik tolak atau landasan berfikir memecahkan atau menyoroti masalah.27 Guna untuk lebih mempertajam atau mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. Dimana teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.28

Dengan demikian, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.29Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori perlindungan hukum.

27 Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.224.

28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), h.121.

29 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 238.

(31)

a. Teori Keadilan

Teori keadilan menurut pandangan Aristoteles bahwa pada pokoknya sebagai suatu pemberian hak persamaan bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.

Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukan.30

Keadilan menurut Hukum Islam dinyatakan dengan istilah Adl dan qist.

Pengertian adil dalam AlQur’an sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Ibnu Qudamah, Ahli Fiqih Bermahzab Hambali, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.31 Dalam Islam berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil.32

Teori keadilan akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisis putusan pengadilan terhadap sengketa hak waris, agar terlihat apakah putusan pengadilan tersebut telah mencerminkan suatu rasa keadilan bagi para pihak, sehingga putusan yang dibuat tidak ada yang merasa dirugikan bagi masing-masing pihak.

30L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1996), h.11- 12.

31Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2013), h. 99.

32Ibid., h. 95.

(32)

b. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Perlindungan hukum harus melihat tahapan, yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.33

Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.34 Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif.35

Berdasarkan uraian para ahli di atas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

33Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.

34Ibid., h.54.

35 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), h.118.

(33)

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penelitian ini, guna untuk mengetahui apakah putusan MA Nomor 671/K/Ag/2015 tersebut telah memberikan pengayoman Hak Asasi Manusia (HAM) kepada para pihak dan mewujudkan perlindungan yang tidak bersifat adaptif dan fleksibel.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi merupakan salah satu bagian yang hal yang paling penting dari sebuah teori. Dimana konsepsi menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gelaja tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Adapun definisi-definisi yang berhubungan dengan hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.36

b. Harta Warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan mayit, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya, yang kesemuanya itu harus terbebas dari kepemilikan orang lain.37

36 Martiman Prodjohamidjojo, Tanya-Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan disertai Yurisprudensi, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,1979), h. 23.

37Abu Umar Basyir, Warisan, (Surakarta: Rumah Dzikir, 2006), h. 48.

(34)

c. Ahli Waris yaitu yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan mayit dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikahan, atau lainnya.38

d. Poligami yaitu suatu perkawinan yang lebih dari seorang, seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu istri pada waktu bersamaan.39

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang- undangan tentang perkawinan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam yang ada dan mengimplementasikannya dalam praktik di masyarakat.

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga menganalisis putusan Hakim dan mengambil sebagian data di lapangan sebagai pendukung.40

2. Sumber Data

Penelitian ini diperoleh dari data sekunder yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan refrensi yang terkait dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

38Ibid., h.48.

39Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Balai Pustaka, 1998), h. 799.

40 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105-106.

(35)

a. Bahan Hukum Primer

Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

6. Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Nikah Di Bawah Tangan b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku-buku, artikel, jurnal, dan karya-karya ilmiah lainnya yang membahas tentang hak waris anak.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap badan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum dan kamus hukum yang berkaitan dengan hak waris dan hukum tentang perkawinan.

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan buku-buku, karya- karya ilmiah, jurnal, perundang-undangan, dokumen resmi pada instansi pemerintah, putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 sebagai bahan

(36)

dalam mengkaji permasalahan kedudukan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta didukung dengan hasil wawancara terhadap Hakim Pengadilan Agama.41

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data akan sangat menentukan hasil penelitian agar tercapainya suatu penelitian dengan baik. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini akan digunakan alat pengumpul data. Untuk memperoleh data, penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu:

a. Studi Dokumen

Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditunjukan langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis.

b. Pedoman Wawancara

Wawancara yaitu mencakup serangkaian pertanyaan beserta urutannya yang telah diatur dan disesuaikan dengan alur pembicaraan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Batam.

41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 24.

(37)

5. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam analisis ini. 42 Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

42Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 66.

(38)

A. Pengaturan Tentang Perkawinan Poligami

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Unsur-unsur dari rumusan pasal ini adalah :43

1) Adanya seorang pria dan wanita, menunjukkan bahwa tidak terbuka pintu hukum bagi sesama wanita atau sesama laki-laki atau yang memiliki dua jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan. Identitas jenis kelamin harus jelas secara fisik dan biologis.

2) Ikatan lahir dan batin, menunjukkan bahwa manusia (pria dan wanita) merupakan suatu sistem yang terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu lahiriah dan batiniah. Sendi perkawinan adalah ikatan batin yang berisikan kekuatan iman, kepercayaan, hati nurani, kesadaran berperilaku, nilai etis yang tidak gampang hancur dan rapuh dalam gelombang kehidupan yang dinamis.

3) Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal, menunjukkan untuk apa dilangsungkan perkawinan jika tidak memiliki

43 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata : Hukum Orang dan Keluarga, Medan, Penerbit USU Press, 2011, h. 68.

(39)

tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri. Bahagia dalam arti materil dan immaterial menjadi suatu kepuasan dalam keluarga. Perkawinan bersifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia.

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan hal yang sangat

“fundamental norm” atau “basic norm”. Unsur Ketuhanan yang melandasi suatu perkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi saja melainkan urusan religius.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.44 Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu: “…dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”45

Ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu

44 Juraida, Analisis Kasus Tentang Poligami Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor : 130/PDT-G/2013/MS-BNA), USU, Magister Kenotariatan, 2016, h. 54.

45Yola Ardiza, Tesis: Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya Dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan), USU, Magister Kenotariatan, 2010. h. 38.

(40)

sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin suami istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri.46

Beberapa para ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian perkawinan, pendapat para ahli adalah sebagai berikut:

1) Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan bathin dengan dasar iman.47

2) Idris Ramulyo, mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.48

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: 49

1) Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

2) Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan kaidah Tuhan Yang Maha Esa.

46 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1993), h.74.

47 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1981), h. 7- 8.

48Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 1995), h. 44.

49Rafiki, Tinjauan Hukum Perkawinan Sirri Yang Tidak Dicatatkan Terhadap Kedudukan Istri Dalam Hukum Dan Undang-Undang Perkawinan, Jurnal Ilmiah Fakultas UMA, Volume 2 Nomor 2, Desember 2015, h. 173.

(41)

3) Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.

4) Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga.

5) Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Politik hukum pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatatkan.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa: “suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa

“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk tertib administrasi perkawinan, memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak dan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran, dan lain-lain.

(42)

Pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.50

Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi pihak suami dan isteri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan pewarisan. Timbulnya akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh apabila perkawinan dilakukan secara sah, yaitu memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UUP. Pengaturan yang demikian menunjukkan adanya ketentuan yang tegas yang harus dipatuhi oleh seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan, sehingga dengan dipenuhinya ketentuan tersebut diatas maka perkawinan tersebut akan diakui dan mempunyai kekuatan hukum yang sah.

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Asas monogami ditegaskan dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa:

“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”

50 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), h. 46.

Referensi

Dokumen terkait

Apapun dilakukan demi mendukung Persib Bandung padahal ia hanya mempunyai uang pas untuk membeli tiket saja, lalu ada yang naik di atas kereta sampai-sampai ada

perlu ada pemahaman bahwa media sosial bukan hanya milik pribadi atau untuk dikonsumsi sendiri sehingga bisa melakukan apapun yang kita mau, melainkan media sosial

Objektif kajian adalah untuk mengenal pasti tahap pengaruh televisyen (pelakon, keganasan, senjata, situasi, ditiru, kesan) terhadap murid-murid sekolah, mengenal pasti

Untuk menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional, yang berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, memilih obat

Model pembelajaran Talking Chips sangat sesuai dengan siswa yang memiliki kecerdasan interpersonal tinggi karena model pembelajaran Talking Chips memberikan kesempatan

Melaksanakan tugas spesifik dengan menggunakan alat, informasi, dan prosedur kerja yang lazim dilakukan serta memecahkan masalah sesuai dengan bidang kerja Dasar-dasar

Latar belakang dari permasalahan ini yaitu dengan melihat dari tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap individu dalam organisasi maka dituntut kinerja yang

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kepuasan