• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

A. Kasus Posisi

1. Kronologis Gugatan

Pewaris “H” semasa hidupnya telah melaksanakan perkawinan sebanyak 7 (tujuh) kali:

1) Perkawinan pertama dengan “T” selaku istri pertama yang telah becerai dan dikaruniai 3 (tiga) anak, yaitu: “SW” selaku Penggugat I, “S” selaku Penggugat II, dan “M” selaku Penggugat III.

2) Perkawinan kedua dengan “A” selaku istri kedua yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu “SLM”. Sewaktu pewaris meninggal dunia

“SLM” beragama Budha.

3) Perkawinan ketiga dengan “SR” selaku istri ketiga yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “DS” selaku turut Tergugat IV.

4) Perkawinan keempat dengan “HH” selaku Tergugat I, merupakan istri keempat yang telah bercerai mati dan dikaruniai 6 (enam) anak, yaitu: “V”

selaku Tegugat II, “DW” selaku Tergugat III, “DN” selaku turut Tergugat I,

“NV” selaku Tergugat IV, “F” selaku Tergugat V, dan “AL” selaku turut Tergugat II.

5) Perkawinan kelima dengan “RS” selaku istri kelima yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “VN” selaku Penggugat IV.

6) Perkawinan keenam dengan “JL” selaku istri keenam yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AWS” selaku turut Tergugat III.

7) Perkawinan ketujuh dengan “U” selaku turut Tergugat V, merupakan istri ketujuh yang telah cerai mati dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AG”

selaku turut Tergugat VI.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui para penggugat berjumlah 4 (empat) orang terdiri dari:

1) 3 (tiga) anak dari hasil perkawinan pertama yaitu “SW”, “S” dan “M”

2) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan kelima yaitu “VN”

Para Tergugat berjumlah 3 (tiga) orang yaitu istri keempat pewaris “HH”

dan anak hasil dari perkawinan keempat antara pewaris dengan “HH” yaitu “V”

dan “NV”. Serta Turut Tergugat yang berjumlah 8 (delapan) orang yaitu:

1) 4 (empat) anak dari hasil perkawinan keempat yaitu “DW”, “DN”, “F” dan

“AL”

2) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan keenam yaitu “AWS”

3) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan ketiga yaitu “DS”

4) 1 (satu) orang istri perkawinan ketujuh pewaris yaitu “U”, beserta anaknya hasil dari perkawinan pewaris dengan “U” yaitu “A”.

Pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan 2 (dua) orang janda yaitu istri keempat (istri sah) dan istri ketujuh (perkawinan yang tidak dicatatkan).

Beserta 6 (enam) orang anak laki-laki dan7 (tujuh) orang anak perempuan tersebut diatas, dan almarhum juga meninggalkan harta peninggalan/warisan berupa:

1) Harta Bawaan, yaitu Tanah kebun seluas 50 x 50 m 2) Harta Bersama dengan “HH”

a) Sebuah gudang seluas 30 x 15 m dan sebuah rumah seluas 10 x 30 m, berdiri diatas tanah kebun seluas 50x50 m yang merupakan harta bawaan pewaris.

b) Tanah pertapakan seluas 5x20 m, berdiri diatasnya sebuah rumah dengan luas 5x20 m.

c) Sawah dengan luas 1/4 Ha di Desa Rema d) Sawah dengan luas 1/4 Ha di Desa Darussalam e) Tanah pertapakan seluas 15x15 m

f) Tanah kebun dengan luas 30x20 m

g) Satu unit kendaraan roda 4 merk Daihatsu Xenia

Para penggugat telah berusaha meminta kepada “HH” (Tergugat I), agar semua harta harta bawaan maupun harta bersama peninggalan dari almarhum “H”

dibagi sesama ahli waris yang berhak, sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Pihak Tergugat menguasai harta warisan dan bahkan pihak Tergugat melakukan tindakan seperti menggadaikan dan menjual harta warisan dari almarhum “H”. Atas tindakan para Tergugat tersebut, pihak Penggugat yang merasa memiliki hak atas warisan tersebut merasa dirugikan, maka para Penggugat memilih mengajukan gugatan ke pengadilan tingkat pertama yaitu Mahkamah Syar’iyah Kutacane tertanggal 23 Juli 2013 dengan Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC.

Adapun isi petitum dalam gugatan tersebut ialah sebagai berikut:

1) Menyatakan para tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir ke persidangan, tidak hadir.

2) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian dengan verstek 3) Menetapkan “H” telah meninggal dunia pada tanggal 02 Juli 2012 4) Menetapkan ahli waris dari “H” adalah:

4.1 “HH” (Janda)

5) Menetapkan hutang bersama almarhum “H” dan “HH”

5.1 kepada Tuan “JR” sebesar Rp. 110.000.000,- 5.2 kepada Tuan “ALM” sebesar Rp.65.000.000,-

5.3 kepada Nyonya “R” berupa emas 8 (delapan) mayam dan uang tunai sebesar Rp.4.500.000,-

5.4 kepada Tuan “SW” (Penggugat I) sebesar Rp.110.000.000,- 5.5 kepada Tuan “AJS” sebesar Rp.120.500.000,-

5.6 kepada panitia pembangunan Masjid sebanyak 150 (seratus lima puluh) sak semen

6) Menetapkan 1/2 (seperdua) dari hutang bersama sebagaimana tersebut di atas adalah hutang almarhum “H” semasa hidupnya dan 1/2 (seperdua) sisanya menjadi hutang “HH”

7) Menetapkan harta bawaan “H” adalah tanah kebun seluas 50 x 50 m 8) Menetapkan harta bersama almarhum “H” dengan “HH” sebagai berikut:

8.1 Sebuah gudang seluas 30 x 15 m dan sebuah rumah seluas 10 x 30 m, 8.4 Sawah dengan luas 1/4 Ha di desa darussalam 8.5 Tanah pertapakan seluas 15x15 m

8.6 Tanah kebun dengan luas 30x20 m

8.7 Satu unit kendaraan roda 4 merk Daihatsu Xenia

9) Menghukum seluruh ahli waris “H” pada diktum angka 4 (empat) untuk melunasi hutang-hutang almarhum “H”

10) Menetapkan bagian masing-masing ahli waris

11) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan harta warisan “H” kepada seluruh ahli waris dengan bagian masing-masing.

12) Membebankan biaya perkara ini kepada Penggugat.

Terhadap gugatan dari para Penggugat, para Tergugat melakukan perlawanan (verzet) yang mana dalam posita berisikan sebagai berikut :

1) Mengenai ketidakhadiran, pihak Tergugat telah diwakilkan kepada kuasa hukum dengan disertai surat kuasa. Akan tetapi Majelis Hakim mempermasalahkan soal legalitas penerima kuasa dan Majelis Hakim tidak dapat menerima surat kuasa tersebut kemudian memanggil para Tergugat secara in person. Para Tergugat telah menerima surat panggilan dan telah menyampaikan surat permohonan untuk pengunduran sidang. Akan tetapi Majelis Hakim tetap membuka sidang tanpa kehadiran para Tergugat.

2) Penetapan ahli waris dari almarhum “H” pada putusan verstek butir 4 (empat) tidak benar dan tidak berdasar hukum sebagai ahli waris karena tidak ada suatu peristiwa hukum atau pertimbangan hukum yang menimbulkan keadaan. Yang mana ahli waris dari almarhum “H” hanyalah 7 (tujuh) orang yaitu: “HH”,”V”, “DW”, “DN”, “NV”, “F”, dan “AL”.

3) Mengenai penetapan bagian masing-masing ahli waris secara hukum kewarisan Islam dianggap tidak sinkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Sebab dalam dalil gugatan tidak ada diminta mengenai penetapan bagian masing-masing ahli waris.

4) Hutang bersama yang ditetapkan pada putusan verstek butir 5 (lima) tidak benar dan tidak berdasar sebab semasa almarhum “H” masih hidup tidak pernah ada penagihan hutang atau pelunasan hutang kepada almarhum “H”

maupun kepada “HH” (Tergugat I).

5) Sangkaan pada penjualan dan penggadaian harta warisan yang dilakukan para Tergugat tidak benar dan tidak berdasar. Para Tergugat tidak pernah melakukan perbuatan hukum terhadap harta warisan tersebut.

6) Putusan Majelis Hakim pada putusan verstek dianggap telah melanggar asas ultra petitum partium, sehingga gugatan yang diajukan oleh para penggugat harus ditolak untuk seluruhnya.

Setelah proses acara dijalani dengan menghasilkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC yang memenangkan para Penggugat dengan menguatkan putusan verstek. Berdasarkan Tergugat merasa keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding, ke Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang kemudian membuahkan hasil yaitu Putusan dengan Nomor 106/Pdt.G/2014/MS-Aceh yang membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak di terima. Oleh karena keluarnya putusan tersebut, Pihak Penggugat merasa adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, serta ketidakmanfaatan dari putusan banding tersebut.

Penggugat mengajukan Kasasi dengan Nomor 671 K/Ag/2015 ke Kepaniteraan Mahkamah Agung dan tidak membuahkan hasil. Hasil dari pertimbangan Hakim, bahwa gugatan Penggugat dinilai cacat formil karena tidak didapati buku nikah sehingga tidak dapat menjelaskan kapan perkawinan pewaris dengan istri-istrinya (istri pertama-istri ketujuh). Demikian juga kapan harta bersama dengan istri keempat tersebut di peroleh, dan alasan-alasan kasasi dinilai bersifat mengulang.

2. Dasar Pertimbangan dan Isi Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015

Dalam mengadili perkara dalam peradilan tingkat kasasi dilakukan dengan permusyawaratan Majelis Hakim lahirlah putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 pada tanggal 27 oktober 2015 dengan pertimbangan hakim dan amar putusan yaitu sebagai berikut :

Bahwa gugatan para Penggugat dinilai cacat formil karena tidak menjelaskan kapan pernikahan pewaris dengan istri-istrinya (istri pertama sampai istri ke tujuh). Demikian juga kapan harta bersama dengan istri ke empat tersebut diperoleh, apakah pada saat itu pewaris masih terikat dengan istri lainnya atau hanya istri ke empat saja dan sebagai satu-satunya pewaris. Hal tersebut sangat penting dijelaskan karena harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan poligami akan berbeda pembagiannya dengan harta bersama yang di peroleh dalam perkawinan monogami.

Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena dianggap kabur (obscuur libel) sudah tepat dan benar, semuanya sudah dipertimbangkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Alasan-alasan kasasi selebihnya bersifat mengulang dan juga mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan

yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, bahwa putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum/atau undang-undang.

Berdasarkan pertimbangan hakim pada tingkat kasasi tersebut, maka majelis hakim mengeluarkan amar putusannya yaitu:

a) Menolak permohonan kasasi Penggugat.

b) Menghukum para Pemohon Kasasi/Para Penggugat untuk membayar biaya perkara.

B. Analisis Terhadap Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “Peradilan Negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. ”Ketentuan tersebut jelas mensyaratkan bagi setiap komponen peradilan, dalam membangun penalaran hukumnya harus tunduk kepada hukum penalarannya. Kata “berdasarkan...” memiliki keidentikan makna pada frase “....berdasar kepada....” yang termuat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Munculnya frase “....berdasar kepada...” tersebut memberikan landasan filosofis kepada seluruh penyelenggaraan negara, termasuk peradilan negara, harus ada mulai dari semenjak masuk pada tahapan memeriksa,

mengadili, dan memutus, wajib dinuansai oleh paradigma berfikir yang didasarkan kepada Pancasila.131

Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi suatu kesesuaian ketika dikaji berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48/2009 yang menegaskan

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam konteks hukum privat, implementasi asas kemandirian dan independensi hakim.

Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (systemdenken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memperhatikan keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan (problemdenken). Akibat putusan hakim yang hanya menerapkan pada hukum tanpa menggunakan hati nuraninya akan berakibat pada kegagalan menghadirkan keadilan dan kemanfaatan, meskipun putusan hakim (vonnis) sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan.132

Berkaitan dengan keseluruhan teori tentang kepastian hukum dan keadilan, maka kedua teori inilah yang dapat digunakan untuk mengemukakan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015, dimana analisis tersebut dapat dilihat dari dua aspek yaitu analisis terhadap kedudukan hak waris anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan sesuai dengan kronologis

131 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press, 2006). h. 28

132HM. Soerya Respationo,“Putusan Hakim: Menuju Rasio-nalitas Hukum Refleksif dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, h. 43.

dalam kasus dan analisis terhadap pemenuhan asas keadilan dalam Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015.

1. Analisis Kedudukan Hak Waris Anak Perkawinan Poligami Tidak Dicatatkan Terkait Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015

Apabila seorang suami yang memiliki dua orang istri atau lebih meninggal dunia, maka yang berhak menjadi ahli waris adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat:

a. Pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris;

b. Beragama Islam

c. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Berdasarkan hal tersebut, jika dihubungkan dengan perkawinan poligami yang dilakukan tanpa adanya pencatatan, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak mendapatkan harta warisan dari sepeninggalan orang tua laki lakinya atau ayahnya. Akan tetapi anak tersebut hanya dapat mewarisi atau hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Sebagaimana hal tersebut telah jelas diuraikan dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, perkawinan dikataka sah oleh negara apabila telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) (2), apabila tidak terpenuhi maka dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Hal ini juga dikuatkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam mengenai waris

yaitu Pasal 186 yang berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.

Seorang anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pasal tersebut harus dibaca :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Sementara lainnya berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya syarat kelengkapan administrasi perkawinan. Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Tujuan pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun dihadapan hukum.133

133D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UUP, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2012), h.142.

Berdasarkan hal tersebut, maka terkait dengan Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015 seharusnya Hakim dalam memutuskan perkara dapat mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Sehingga seharusnya hak waris yang dimiliki oleh anak maupun istri dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan tetap mendapat warisan dan dikatakan sebagai ahli waris yang sah.

Putusan MK ini juga mencerminkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak diperlakukan berbeda. Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam, menurut Pasal 2 ayat (2) UUP. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) UUP.134

134 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Sehingga terhadap kedudukan hak waris para Penggugat dalam kasus ini yang memang merupakan anak yang sah dari perkawinan yang sah dilakukan secara agama namun tidak dicatatkan dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah.

Dengan demikian hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan atau anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami yang tidak tercatatkan, karena kedudukannya adalah sebagai anak sah dan mempunyai hak sebagai ahli waris.

2. Analisis Pemenuhan Asas Keadilan Terhadap Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015

Terkait dengan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Kasasi, dalam hal ini dilakukan wawancara terkait dengan sudah sesuai tidaknya putusan yang dijatuhkan pada putusan kasasi tersebut. Sebagaimana hasil dari wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Batam, yang mengatakan bahwa:

“Poligami non prosedural, tanpa izin pengadilan, maka tidak mempunyai kekuatan hukum”.135

Terhadap putusan tersebut Hakim Pengadilan Batam (informan) menyatakan bahwa Hakim yang satu tidak dapat menilai putusan Hakim lainnya.

Dalam artian informan menganggap bahwa Putusan Mahkamah Agung tersebut sudah tepat dan bernilai keadilan.136 Sehingga atas hal tersebut, maka terkait dengan sesuai tidaknya penerapan asas keadilan yang dijatuhkan hakim, maka

135Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Azizon, SH., MH., selaku Hakim Pengadilan Agama Batam, Tanggal 10 September 2019.

136Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Azizon, SH., MH., selaku Hakim Pengadilan Agama Batam, Tanggal 10 September 2019.

dapat melihat dan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

Putusan MK tersebut menguraikan bahwa apabila anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, anak tersebut dapat membuktikan dengan dengan ilmu pengetahuan bahwa anak tersebut memiliki hubungan darah dengan ayahnya dan apabila terbukti merupakan anak pewaris (anak ayahnya), maka anak tersebut berhak atas bagian waris yang sama dengan ahli waris lainnya.

Seharusnya Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut dapat melihat dan beracuan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Sebab kepastian hukum tidak hanya berwujud pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang, melainkan juga dapat terwujud sebagai akibat karena konsistensi dalam putusan hakim yaitu antara putusan hakim yang satu dengan lainnya untuk kasus yang hampir serupa, seperti yang telah diputus sebelumnya. Kepastian hukum dapat dicapai apabila substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Aturan hukum yang mampu menciptakan adalah hukum lahir dari dan mencerminkan budaya yang terdapat dalam masyarakat. Dimana kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksankan, serta dapat menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Berdasarkan ini maka penerapan asas kepastian hukum dapat sejalan dengan penerapan asas keadilan.

Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim kasasi dalam putusan tersebut terlihat lebih condong untuk menerapkan asas kepastian hukum yang telah

tercantum dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam, sehingga hak dari seorang anak yang tidak dicatatkan pernikahan orang tuanya menjadi terabaikan ketika hakim memutus perkara a quo dengan dasar asas kepastian hukum yang berwujud dari pasal-pasal saja. Jika saja hakim dapat mempertimbangkan dari sisi kepastian hukum yang terwujud sebagai akibat karena konsistensi dalam putusan hakim yaitu antara putusan hakim yang satu dengan lainnya untuk kasus yang serupa, seperti putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan sisi keadilan yang diperoleh masing-masing pihak, sehingga putusan yang dibuat oleh hakim dapat menjadi puncak akhir bagi para pihak untuk dapat menikmati hak-haknya atas hasil dari keputusan yang dibuat oleh hakim.

A. Kesimpulan

1. Perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan dapat diperoleh melalui permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 7 ayat (2) KHI. Itsbat nikah dapat diajukan oleh anak maupun pasangan suami istri. Setelah mengajukan itsbat ke Pengadilan Agama, kemudian penetapan Pengadilan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dan bukti sahnya suatu perkawinan. Sehingga, berdasarkan penetapan tersebut maka anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut mendapatkan kedudukan sebagai anak sah.

2. Kedudukan hak waris anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan menurut KHI adalah anak hanya bernasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini berdasarkan pada Pasal 100 KHI. Akan tetapi dalam perkembangan hukum di Indonesia melalui putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010, yang melakukan judicial riview terhadap Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan juga mempunyai kedudukan hak waris yang sama dengan kedudukan hak waris anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Sebab perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap sah karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara agama. Ayah biologis dari anak tersebut dapat memberi pengakuan secara sukarela atau anak dapat membuktikannya menggunakan teknologi/ilmu pengetahuan yaitu melakukan tes DNA. Namun Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dapat diberlakukan secara efektif, sebab sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur lebih lanjut.

3. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 dilihat dari kepastian hukum yang berwujud pasal-pasal yaitu Pasal 2 ayat (1),(2), Pasal 42, Pasal 43 UUP dan Pasal 100 KHI ialah sudah tepat, dimana terkait gugatan para penggugat dinilai cacat formil karena tidak

3. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 dilihat dari kepastian hukum yang berwujud pasal-pasal yaitu Pasal 2 ayat (1),(2), Pasal 42, Pasal 43 UUP dan Pasal 100 KHI ialah sudah tepat, dimana terkait gugatan para penggugat dinilai cacat formil karena tidak

Dokumen terkait