• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, antara lain:

1. Secara teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran untuk menambah ilmu pengetahuan hukum perdata tentang perkawinan dan hukum Islam khususnya tentang kedudukan mewaris anak dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum, advokat, hakim, pemerintah serta masyarakat agar dapat memahami dan mengetahui tentang kedudukan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penulisan

Judul tesis ini telah diuji bersih di Magister Kenotariatan USU dan tidak ada tesis yang menulis sama, dengan demikian judul tersebut belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Magister Kenotariatan USU. Namun, berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan, penelitian yang berkaitan dengan

“Kedudukan Hak Waris Anak Dalam Perkawinan Poligami Yang Tidak Dicatatkan (Studi Putusan MA No. 671 K/Ag/2015)” adalah:

1. Nama Ahmad Amin (NIM: 077011002), dengan judul tesis “Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bila perkawinannya putus?

b. Bagaimanakah pembagian harta bersama perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

c. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan poligami?

2. Nama Miranty (NIM: 087011081), dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan?

b. Bagaimanakah kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan?

c. Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat di berikan kepada anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan?

Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan tersebut, terdapat tesis yang memiliki persamaan pada topik yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada pokoknya yaitu pada rumusan masalah. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karya penelitian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berguna menjadi titik tolak atau landasan berfikir memecahkan atau menyoroti masalah.27 Guna untuk lebih mempertajam atau mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. Dimana teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.28

Dengan demikian, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.29Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori perlindungan hukum.

27 Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.224.

28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), h.121.

29 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 238.

a. Teori Keadilan

Teori keadilan menurut pandangan Aristoteles bahwa pada pokoknya sebagai suatu pemberian hak persamaan bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.

Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukan.30

Keadilan menurut Hukum Islam dinyatakan dengan istilah Adl dan qist.

Pengertian adil dalam AlQur’an sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Ibnu Qudamah, Ahli Fiqih Bermahzab Hambali, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.31 Dalam Islam berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil.32

Teori keadilan akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisis putusan pengadilan terhadap sengketa hak waris, agar terlihat apakah putusan pengadilan tersebut telah mencerminkan suatu rasa keadilan bagi para pihak, sehingga putusan yang dibuat tidak ada yang merasa dirugikan bagi masing-masing pihak.

30L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1996), h.11-12.

31Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2013), h. 99.

32Ibid., h. 95.

b. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Perlindungan hukum harus melihat tahapan, yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.33

Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.34 Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif.35

Berdasarkan uraian para ahli di atas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

33Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.

34Ibid., h.54.

35 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), h.118.

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penelitian ini, guna untuk mengetahui apakah putusan MA Nomor 671/K/Ag/2015 tersebut telah memberikan pengayoman Hak Asasi Manusia (HAM) kepada para pihak dan mewujudkan perlindungan yang tidak bersifat adaptif dan fleksibel.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi merupakan salah satu bagian yang hal yang paling penting dari sebuah teori. Dimana konsepsi menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gelaja tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Adapun definisi-definisi yang berhubungan dengan hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.36

b. Harta Warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan mayit, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya, yang kesemuanya itu harus terbebas dari kepemilikan orang lain.37

36 Martiman Prodjohamidjojo, Tanya-Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan disertai Yurisprudensi, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,1979), h. 23.

37Abu Umar Basyir, Warisan, (Surakarta: Rumah Dzikir, 2006), h. 48.

c. Ahli Waris yaitu yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan mayit dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikahan, atau lainnya.38

d. Poligami yaitu suatu perkawinan yang lebih dari seorang, seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu istri pada waktu bersamaan.39

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam yang ada dan mengimplementasikannya dalam praktik di masyarakat.

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga menganalisis putusan Hakim dan mengambil sebagian data di lapangan sebagai pendukung.40

2. Sumber Data

Penelitian ini diperoleh dari data sekunder yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan refrensi yang terkait dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

38Ibid., h.48.

39Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Balai Pustaka, 1998), h. 799.

40 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105-106.

a. Bahan Hukum Primer

Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

6. Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Nikah Di Bawah Tangan b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku-buku, artikel, jurnal, dan karya-karya ilmiah lainnya yang membahas tentang hak waris anak.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap badan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum dan kamus hukum yang berkaitan dengan hak waris dan hukum tentang perkawinan.

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan buku-buku, karya-karya ilmiah, jurnal, perundang-undangan, dokumen resmi pada instansi pemerintah, putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 sebagai bahan

dalam mengkaji permasalahan kedudukan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta didukung dengan hasil wawancara terhadap Hakim Pengadilan Agama.41

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data akan sangat menentukan hasil penelitian agar tercapainya suatu penelitian dengan baik. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini akan digunakan alat pengumpul data. Untuk memperoleh data, penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu:

a. Studi Dokumen

Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditunjukan langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis.

b. Pedoman Wawancara

Wawancara yaitu mencakup serangkaian pertanyaan beserta urutannya yang telah diatur dan disesuaikan dengan alur pembicaraan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Batam.

41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 24.

5. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam analisis ini. 42 Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

42Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 66.

A. Pengaturan Tentang Perkawinan Poligami

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Unsur-unsur dari rumusan pasal ini adalah :43

1) Adanya seorang pria dan wanita, menunjukkan bahwa tidak terbuka pintu hukum bagi sesama wanita atau sesama laki-laki atau yang memiliki dua jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan. Identitas jenis kelamin harus jelas secara fisik dan biologis.

2) Ikatan lahir dan batin, menunjukkan bahwa manusia (pria dan wanita) merupakan suatu sistem yang terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu lahiriah dan batiniah. Sendi perkawinan adalah ikatan batin yang berisikan kekuatan iman, kepercayaan, hati nurani, kesadaran berperilaku, nilai etis yang tidak gampang hancur dan rapuh dalam gelombang kehidupan yang dinamis.

3) Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal, menunjukkan untuk apa dilangsungkan perkawinan jika tidak memiliki

43 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata : Hukum Orang dan Keluarga, Medan, Penerbit USU Press, 2011, h. 68.

tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri. Bahagia dalam arti materil dan immaterial menjadi suatu kepuasan dalam keluarga. Perkawinan bersifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia.

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan hal yang sangat

“fundamental norm” atau “basic norm”. Unsur Ketuhanan yang melandasi suatu perkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi saja melainkan urusan religius.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.44 Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu: “…dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”45

Ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu

44 Juraida, Analisis Kasus Tentang Poligami Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor : 130/PDT-G/2013/MS-BNA), USU, Magister Kenotariatan, 2016, h. 54.

45Yola Ardiza, Tesis: Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya Dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan), USU, Magister Kenotariatan, 2010. h. 38.

sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin suami istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri.46

Beberapa para ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian perkawinan, pendapat para ahli adalah sebagai berikut:

1) Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan bathin dengan dasar iman.47

2) Idris Ramulyo, mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.48

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: 49

1) Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

2) Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan kaidah Tuhan Yang Maha Esa.

46 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1993), h.74.

47 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1981), h. 7-8.

48Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 1995), h. 44.

49Rafiki, Tinjauan Hukum Perkawinan Sirri Yang Tidak Dicatatkan Terhadap Kedudukan Istri Dalam Hukum Dan Undang-Undang Perkawinan, Jurnal Ilmiah Fakultas UMA, Volume 2 Nomor 2, Desember 2015, h. 173.

3) Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.

4) Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga.

5) Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Politik hukum pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatatkan.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa: “suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa

“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk tertib administrasi perkawinan, memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak dan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran, dan lain-lain.

Pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.50

Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi pihak suami dan isteri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan pewarisan. Timbulnya akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh apabila perkawinan dilakukan secara sah, yaitu memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UUP. Pengaturan yang demikian menunjukkan adanya ketentuan yang tegas yang harus dipatuhi oleh seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan, sehingga dengan dipenuhinya ketentuan tersebut diatas maka perkawinan tersebut akan diakui dan mempunyai kekuatan hukum yang sah.

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Asas monogami ditegaskan dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa:

“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”

50 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), h. 46.

Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian, terhadap asas monogami tersebut, yang mana pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.51

a. Pengertian Poligami

Poligami merupakan salah satu perkawinan yang dikenal dalam masyarakat dan dibenarkan oleh ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Perkataan poligami berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua pokok kata yaitu “polu” dan

“gamein”. “Polu” berarti “banyak”, “gamein” berarti “kawin”. Jadi poligami

berarti perkawinan yang banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut “permaduan”.52 Pengaturan tentang poligami dalam UUP diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 65. Mengenai pengertian poligami sendiri tidak secara eksplisit terdapat dalam UUP, dalam Pasal 3 ayat (2) UUP hanya disebutkan bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.”

Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami relatif yang artinya bahwa seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri, namun demikian apabila seorang istri tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri karena sesuatu hal atau suatu halangan di luar kehendaknya maka terbuka kemungkinan bagi seorang suami

51 Lihat ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

52Sutoyo Prawirohamijoyo R, Pluralism Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 9.

untuk beristri lebih dari satu dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang jumlah istri yang diperbolehkan dimiliki oleh seorang suami yang berpoligami, namun ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang suami untuk dapat berpoligami.53

b. Syarat Poligami

Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Maksudnya adalah suami dapat melakukan poligami apabila telah mendapatkan persetujuan dari istri. Syarat untuk mengajukan permohonan izin berpoligami yaitu ke Pengadilan Agama.54

Pada dasarnya perkawinan poligami memang tidak ada bedanya dengan perkawinan biasa sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi yang membedakannya disini yaitu persyaratannya. Adapun persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

53Dyah Septari Marito Siregar, Tesis: Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, USU, Magister Kenotariatan, 2015, h. 90.

53Dyah Septari Marito Siregar, Tesis: Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, USU, Magister Kenotariatan, 2015, h. 90.

Dokumen terkait