• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

2. Sumber Data

Penelitian ini diperoleh dari data sekunder yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan refrensi yang terkait dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

38Ibid., h.48.

39Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Balai Pustaka, 1998), h. 799.

40 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105-106.

a. Bahan Hukum Primer

Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

6. Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Nikah Di Bawah Tangan b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku-buku, artikel, jurnal, dan karya-karya ilmiah lainnya yang membahas tentang hak waris anak.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap badan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum dan kamus hukum yang berkaitan dengan hak waris dan hukum tentang perkawinan.

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan buku-buku, karya-karya ilmiah, jurnal, perundang-undangan, dokumen resmi pada instansi pemerintah, putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 sebagai bahan

dalam mengkaji permasalahan kedudukan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta didukung dengan hasil wawancara terhadap Hakim Pengadilan Agama.41

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data akan sangat menentukan hasil penelitian agar tercapainya suatu penelitian dengan baik. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini akan digunakan alat pengumpul data. Untuk memperoleh data, penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu:

a. Studi Dokumen

Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditunjukan langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis.

b. Pedoman Wawancara

Wawancara yaitu mencakup serangkaian pertanyaan beserta urutannya yang telah diatur dan disesuaikan dengan alur pembicaraan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Batam.

41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 24.

5. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam analisis ini. 42 Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

42Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 66.

A. Pengaturan Tentang Perkawinan Poligami

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Unsur-unsur dari rumusan pasal ini adalah :43

1) Adanya seorang pria dan wanita, menunjukkan bahwa tidak terbuka pintu hukum bagi sesama wanita atau sesama laki-laki atau yang memiliki dua jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan. Identitas jenis kelamin harus jelas secara fisik dan biologis.

2) Ikatan lahir dan batin, menunjukkan bahwa manusia (pria dan wanita) merupakan suatu sistem yang terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu lahiriah dan batiniah. Sendi perkawinan adalah ikatan batin yang berisikan kekuatan iman, kepercayaan, hati nurani, kesadaran berperilaku, nilai etis yang tidak gampang hancur dan rapuh dalam gelombang kehidupan yang dinamis.

3) Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal, menunjukkan untuk apa dilangsungkan perkawinan jika tidak memiliki

43 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata : Hukum Orang dan Keluarga, Medan, Penerbit USU Press, 2011, h. 68.

tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri. Bahagia dalam arti materil dan immaterial menjadi suatu kepuasan dalam keluarga. Perkawinan bersifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia.

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan hal yang sangat

“fundamental norm” atau “basic norm”. Unsur Ketuhanan yang melandasi suatu perkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi saja melainkan urusan religius.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.44 Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu: “…dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”45

Ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu

44 Juraida, Analisis Kasus Tentang Poligami Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor : 130/PDT-G/2013/MS-BNA), USU, Magister Kenotariatan, 2016, h. 54.

45Yola Ardiza, Tesis: Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya Dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan), USU, Magister Kenotariatan, 2010. h. 38.

sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin suami istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri.46

Beberapa para ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian perkawinan, pendapat para ahli adalah sebagai berikut:

1) Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan bathin dengan dasar iman.47

2) Idris Ramulyo, mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.48

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: 49

1) Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

2) Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan kaidah Tuhan Yang Maha Esa.

46 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1993), h.74.

47 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1981), h. 7-8.

48Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 1995), h. 44.

49Rafiki, Tinjauan Hukum Perkawinan Sirri Yang Tidak Dicatatkan Terhadap Kedudukan Istri Dalam Hukum Dan Undang-Undang Perkawinan, Jurnal Ilmiah Fakultas UMA, Volume 2 Nomor 2, Desember 2015, h. 173.

3) Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.

4) Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga.

5) Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Politik hukum pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatatkan.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa: “suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa

“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk tertib administrasi perkawinan, memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak dan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran, dan lain-lain.

Pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.50

Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi pihak suami dan isteri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan pewarisan. Timbulnya akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh apabila perkawinan dilakukan secara sah, yaitu memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UUP. Pengaturan yang demikian menunjukkan adanya ketentuan yang tegas yang harus dipatuhi oleh seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan, sehingga dengan dipenuhinya ketentuan tersebut diatas maka perkawinan tersebut akan diakui dan mempunyai kekuatan hukum yang sah.

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Asas monogami ditegaskan dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa:

“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”

50 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), h. 46.

Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian, terhadap asas monogami tersebut, yang mana pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.51

a. Pengertian Poligami

Poligami merupakan salah satu perkawinan yang dikenal dalam masyarakat dan dibenarkan oleh ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Perkataan poligami berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua pokok kata yaitu “polu” dan

“gamein”. “Polu” berarti “banyak”, “gamein” berarti “kawin”. Jadi poligami

berarti perkawinan yang banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut “permaduan”.52 Pengaturan tentang poligami dalam UUP diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 65. Mengenai pengertian poligami sendiri tidak secara eksplisit terdapat dalam UUP, dalam Pasal 3 ayat (2) UUP hanya disebutkan bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.”

Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami relatif yang artinya bahwa seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri, namun demikian apabila seorang istri tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri karena sesuatu hal atau suatu halangan di luar kehendaknya maka terbuka kemungkinan bagi seorang suami

51 Lihat ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

52Sutoyo Prawirohamijoyo R, Pluralism Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 9.

untuk beristri lebih dari satu dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang jumlah istri yang diperbolehkan dimiliki oleh seorang suami yang berpoligami, namun ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang suami untuk dapat berpoligami.53

b. Syarat Poligami

Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Maksudnya adalah suami dapat melakukan poligami apabila telah mendapatkan persetujuan dari istri. Syarat untuk mengajukan permohonan izin berpoligami yaitu ke Pengadilan Agama.54

Pada dasarnya perkawinan poligami memang tidak ada bedanya dengan perkawinan biasa sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi yang membedakannya disini yaitu persyaratannya. Adapun persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

53Dyah Septari Marito Siregar, Tesis: Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, USU, Magister Kenotariatan, 2015, h. 90.

54Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta: Yayasan Alhikmah, 1993), h. 124.

2) Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada seorang suami untuk berpoligami apabila terbukti bahwa :

a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui, bahwa suami dapat melakukan poligami apabila telah mendapat persetujuan istri dengan adanya izin dari pengadilan. Serta adanya kepastian bahwa suami yang bersangkutan mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dengan demikian perkawinan poligami yang telah memenuhi persyaratan maka perkawinan poligami dapat dilaksanakan, dengan tetap melakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah, seperti halnya melakukan perkawinan biasa. Sehingga istri kedua

dan seterusnya dan anak yang dilahirkan dapat kepastian hukum dan diakui sebagai ahli waris.

c. Alasan Poligami

Alasan untuk poligami tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (2) UUP, yang berbunyi:

“Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada seorang suami untuk berpoligami apabila terbukti bahwa:

d) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

e) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

f) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal diatas dapat disebut sebagai persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Namun syarat pada bagian pertama terkadang ditemui kendala bagaimana pembuktian bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya karena cakupan maknanya yang luas. Berbeda dengan syarat kedua dan ketiga yang dapat dibuktikan secara nyata dan berdasarkan keterangan dari dokter atau pihak yang terkait.55

Alasan berpoligami tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang sesuai dengan historikal sebab berpoligami pada masa sebelum Islam dan sesudah Islam dan juga tidak secara keseluruhan sebab berpoligami itu berdasarkan pada hal-hal yang telah diatur dalam ketentuan UUP maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI).

55Nadia Akass, Tesis: Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011), USU, Magister Kenotariatan, 2012. h. 36.

alasan yang dikemukakan pelaku poligami cenderung berkaitan dengan kondisi perkembangan di masyarakat, oleh sebab itulah banyak hal yang baru dijadikan sebagai alasan untuk berpoligami, seperti kebutuan seksual suami, kehadiran wanita lain, istri kurang merawat diri, penyakit istri yang tidak dapat disembuhkan, masalah ekonomi, kurangnya pelayanan istri dan adat dan budaya.56

Berbagai faktor penyebab poligami pada prakteknya di masyarakat berakibat kurangnya permohonan izin untuk berpoligami melalui jalur Pengadilan Agama.

Permohonan yang masuk dalam hal izin poligami terbatas pada permohonan yang berdasarkan pada alasan atau faktor penyebab poligami karena penyakit istri yang tidak dapat disembuhkan dan karena adanya kebutuhan seksual suami yang tinggi sehingga istri tidak dapat melayani kewajiban sebagai istri. Selain kedua faktor ini tidak ada lagi ditemui permohonan izin poligami yang disebabkan faktor penyebab lainnya. Dengan kata lain, pelaku poligami lebih memilih berpoligami secara sirri dari pada secara resmi apabila mereka menganggap alasan mereka berpoligami menyimpang dari ketentuan kaedah hukum yang telah ada.57

d. Prosedur Perkawinan Poligami

Prosedur pelaksanaan poligami diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 40 sampai dengan Pasal 45.58 Inti dari prosedur dibolehkannya poligami dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu suami

56 Idha Aprilyana Sembiring, Berbagai Faktor Penyebab Poligami Di Kalangan Pelaku Poligami Di Kota Medan, Jurnal Equality, Volume 12 Nomor 2, Agustus 2007, h. 117

57 Ibid., h.118

58 Zaid Alfauza Marpaung, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/PID/2012), USU, Magister Kenotariatan, 2014, h. 112.

wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan yang selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan tentang ada atau tidaknya alasan dan syarat dibolehkannya poligami, dengan memanggil dan mendengar pernyataan istri yang bersangkutan dengan waktu pemeriksaan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.59

Dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa:

“Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.”

Poligami yang berlangsung di luar undang-undang perkawinan biasanya berlangsung di bawah tangan (perkawinan sirri), alias tidak dilangsungkan di hadapan petugas pencatatan pernikahan (KUA). Perkawinan di bawah tangan ini dapat dianggap sah menurut hukum Islam, selama syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinannya dipenuhi. Sebab, kebanyakan orang meyakini bahwa pernikahan sirri dipandang sah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, meskipun pernikahan tersebut tidak dicatatkan secara resmi. Begitu

59 Pasal 42 dan 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

pula sebaliknya, suatu perceraian dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, meskipun perceraian itu dilakukan diluar pengadilan.60

Setiap perkawinan yang telah dilaksanakan secara sah menurut ketentuan agama yang dianut oleh kedua mempelai, maka wajib dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), bagi muslim di Kantor Urusan Agama (KUA), dan bagi non-muslim di Kantor Pencatatan Sipil. Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk melindungi hak-hak dan kewajiban masyarakat (baik dari suami ataupun isteri) sebagai akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya ikatan perkawinan, yang menyangkut harta benda, warisan, hak asuh anak, nafkah, dan sebagainya. Apabila perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dilakukan sah secara agama namun tidak dicatatkan di KUA atau di Kantor Catatan Sipil, maka akan menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, baik isteri dan suami, maupun anak yang lahir dari pernikahan tersebut, hasilnya mudharat lebih besar daripada manfaat.61

Perkawinan sirri tidak berkekuatan hukum di negara Indonesia karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan, tentu saja suami-istri tersebut tidak memiliki buku nikah. Karena tidak adanya buku nikah, anak yang akan lahir nantinya dapat terancam tidak memiliki akta kelahiran, karena perkawinan kedua orangtuanya tidak tercatat dalam dokumen negara.62

60Burhanuddin, Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan Tentang Nikah Siri, (Yogyakarta: MedPress Digital, 2012), h. 18.

61Irfan , Perkawinan Dibawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat Hukumnya, ADIL: Jurnal Hukum, Volume 8 Nomor 1, h. 83-84.

62Wulaning Tya Warni, Dya Wijaningsih, dan Tity Wahyu Setiawati, Perkawinan Poligami Menurut Hukum Dan Perundang-Undangan Di Indonesia, Diponegoro Law Journal, Volume 7 Nomor A, 2018, h. 433.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa keharusan izin pengadilan untuk berpoligami sangat menyangkut eksistensi perkawinan dalam pengakuan hukum maupun pergaulan masyarakat. Nilai-nilai filosofi yang diusung ketentuan undang-undang yang mengharuskan adanya izin untuk berpoligami adalah bahwa eksistensi perkawinan yaitu:63

1) Tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah telah ada, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.

2) Tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu kepentingan hukum secara legal-formal atas segala hal-hal yang menyangkut hubungan hukum dari perkawinan itu.

3) Tidak dapat dijadikan dasar untuk semua tuntutan hukum ke Pengadilan atas sengketa yang timbul dari perkawinan itu dikemudian hari.

4) Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak-hak suami istri termasuk anak-anak mereka secara legal-formal dalam kehidupan bernegara maupun dalam pergaulan sosial kemasyarakatan.

Sebaiknya perkawinan poligami dilakukan sesuai dengan peraturan undang-undang yang telah ditentukan, agar eksistensi dan konsekuensi dari perkawinan poligami itu berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki syariat agamanya, yaitu terciptanya rumah tangga yang dapat menghidupkan nilai-nilai keadilan atas dasar mawaddah dan rahmah serta terwujudnya kehidupan keluarga yang tentram sehingga menuai kebahagian yang diharapkan oleh masing-masing suami istri.

63Nora Sari Dewi Nasution, Tesis: Perlindungan Terhadap Hak-Hak Istri Pada

63Nora Sari Dewi Nasution, Tesis: Perlindungan Terhadap Hak-Hak Istri Pada

Dokumen terkait