• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Kedudukan Hak Waris Anak Dalam Perkawinan Poligami

Dalam KHI Pasal 99, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Anak sah ditentukan adanya perkawinan yang sah serta pembuktiannya menggunakan akta kelahiran, sejalan dengan penjelasan hukum mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan.

Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umun angka 4 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang asas-asas atau prinsip perkawinan menyatakan:

“... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang

121Ibid., h. 88.

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”

Kedudukan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah secara Islam Namun Tidak dicatatkan memiliki kedudukan sebagai anak sah sesuai hukum Islam karena anak dibuahkan dan dilahirkan dalam dan akibat perkawinan yang sah meskipun tidak dicatatkan. Apabila terjadi penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Agama tetap wajib diberlakukan hukum perkawinan Islam dan hukum Kewarisan Islam. Meskipun perkawinan orang tuanya tidak tercatat secara administrasi kenegaraan hal ini tidak mengurangi ataupun menghapus keberlakuan hukum Islam terhadap anak-anaknya.122

Berdasarkan penjelasan diatas tersebut nyatalah bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.

Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah dapat dilihat dari dua perspektif.123

Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan

122Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 314.

123Saefi Fatikhu Surur, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Waris Anak Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan, Tesis Universitas Sunan Kalijaga, 2018, h. 7.

dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Pasal 281 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan undnag-undnag, dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.124

Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak

124 Lihat Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945

dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.125

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatatkan dianggap sebagai anak yang sah dari hasil perkawinan yang sah hanya tidak tercatat. Hal ini juga dapat didasarkan pada Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa perkawinan di bawah tangan hukumnya adalah sah sepanjang terpenuhi rukun dan syaratnya, sepanjang tidak terdapat mudharat. Berdasarkan hal ini, maka anak-anak yang lahir dari istri-istri dalam perkawinan poligami yang tidak dicatatkan merupakan anak sah dan berhak atas harta waris orang tuanya jika perkawinan poligami orang tuanya dilakukan berdasarkan prosedur yang sudah ada. Berdasarkan perkawinan tersebut, maka saksi yang mengetahui perkawinan orang tuanya pada saat itu dapat dihadirkan dalam persidangan. Apabila hal itu dipenuhi semua oleh anak tersebut, maka dia berhak atas harta orang tuanya karena perkawinan poligami orang tuanya yang tidak dicatatkan dilakukan berdasarkan hukum agama dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, hanya saja tidak dicatatkan oleh negara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya secara tegas menyatakan nikah tersebut sah secara hukum agama.

Demikian pula anak dari pernikahan tersebut, jika pernikahan tersebut sah dalam syariat, anak dari pernikahan tersebut harusnya juga sah. Permasalahannya, keabsahan tersebut belum diakui secara undang-undang. Seorang anak yang sah

125 Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010, h. 33-34.

menurut undang-undang adalah anak hasil dari perkawinan yang sah, yakni tercatat dalam dokumen negara.126

Defenisi sahnya suatu pernikahan berbeda dari sudut pandang agama dan negara. Dalam agama, pernikahan di pandang sah jika terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan sah menurut negara, apabila pernikahan tersebut dicatatkan dalam dokumen negara atau Buku Nikah. Tidak sahnya perkawinan poligami bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya hal ini dijelaskan dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP dan Pasal 100 KHI.

Negara masih keberatan mengakui anak dari nikah yang tidak dicatatkan untuk memegang status anak yang sah secara hukum. Tidak jarang anak hasil nikah sirri tersebut disebut sebagai anak di luar nikah. Mereka masi sulit dalam pengurusan hak hukum, seperti nafkah, warisan, bahkan akta kelahiran. Karena pernikahan orang tua tidak tercatat dalam dokumen negara, anak hasil nikah yang tidak dicatatkan dinyatakan negara sebagai anak di luar nikah. Penyebutan istilah ini bisa menjadi masalah baru. Istilah ini bisa jadi masuk dalam ranah hukum Islam yang punya bab sendiri, yakni qazaq (tuduhan palsu kepada orang baik-baik bahwa dia telah melakukan zina).127

126 Saefi Fatikhu Surus, Op., Cit

127Ibid.,

Pasal 42 ayat (1) dalam UUP ini secara pemahaman syariat bertentangan Pasal 43 ayat (1) yang datang setelahnya. Dalam pasal ini disebutkan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jika anak hasil dari pernikahan yang tidak dicatatkan digolongkan pada Pasal 43 ayat (1) ini, tentu ini menjadi kezaliman negara kepada anak tersebut.128

Menurut Ali Mustafa, pernikahan yang sangat sakral dan menjadi syariat menjalankan agama harus dilindungi negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29, dimana tidak boleh adanya intevensi negara dalam menjalankan syariat agama, termasuk dalam urusan pernikahan. Jika agama sudah menyatakan sah, mau tak mau negara juga harus menyatakan sah. Tidak hanya di mata hukum, dalam tatanan sosial masyarakat, anak yang dianggap anak luar nikah mempunyai kedudukan lebih rendah dan buruk dibanding anak yang sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua. Sedangkan, yang dianggap tidak sah berada dibawah perwalian. Hal ini juga berlanjut pada warisan dan hak-hak anak lainnya.129

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara hukum negara masih dipandang tidak memiliki hubungan hukum denga ayahnya. Persis sama hukumnya dengan anak di luar nikah. Dalam pernikahan yang tidak dicatatkan tidak mencantumkan nama ayah. Hal tersebut berdasarkan Pasal 55 ayat 2 huruf A PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

128Ibid.,

129Ibid.,

Permasalahan ini baru menjadi terang ketika Mahkamah Konstitusi melakukan judicial riview melalui putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UUP, anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibunya. MK berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP ini disimpulkan, pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Pencatatan hanya kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban administrasi ini dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan. Akan tetapi hasil dari putusan MK tersebut masih belum tertuang dalam peraturan pelaksana sehingga masih terdapat kekosongan hukum tentang jaminan hak waris anak yang lahir dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan.

Sebelumnya telah dipahami bahwa suatu perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah di mata hukum agama para pihaknya. Namun belum memenuhi syarat perkawinan menurut hukum Negara. Sehingga dalam Pasal 100 KHI menyatakan bahwa anak hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Negara belum dapat mengakui perkawinan dan anak-anak dalam perkawinan yang tidak tercatat tersebut.

Sehingga berdasarkan penjelasan diatas, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan tersebut tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari ayah yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang tuanya, anak-anak tidak dapat mewarisi harta

orang tuanya karena tidak ada bukti autentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya dan tidak memperoleh hak-hak lainnya dalam pelaksanaan administrasi negara yang harus dipenuhi sebagai bukti diri.130

130 H. Endang Ali Ma’sum, Pernikahan Yang Tidak Dicatatkan dan Problematikanya, Jurnal Musawa, Volume 12 Nomor 2, Juli 2013, h.209

A. Kasus Posisi

Sengketa yang terjadi merupakan mengenai pembagian harta warisan dimana pewaris berinisial “H” yang meninggal dunia pada tanggal 2 Juli 2012, semasa hidupnya telah melakukan perkawinan sebanyak 7 (tujuh) kali. Dalam perkawinan pertamanya dikaruniai 3 (tiga) orang anak, lalu perkawinan keduanya dikaruniai 1 (satu) orang anak, perkawinan ketiga dikaruniai 1 (satu) orang anak, perkawinan keempat dikaruniai 6 (enam) orang anak, dan perkawinan kelima, keenam dan ketujuhnya dikaruniai masing-masing 1 (satu) orang anak. Uraian tentang silsilah ahli waris dari pewaris “H” selaku para penggugat dan para tergugat akan diuraikan sebagai berikut ini.

1. Kronologis Gugatan

Pewaris “H” semasa hidupnya telah melaksanakan perkawinan sebanyak 7 (tujuh) kali:

1) Perkawinan pertama dengan “T” selaku istri pertama yang telah becerai dan dikaruniai 3 (tiga) anak, yaitu: “SW” selaku Penggugat I, “S” selaku Penggugat II, dan “M” selaku Penggugat III.

2) Perkawinan kedua dengan “A” selaku istri kedua yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu “SLM”. Sewaktu pewaris meninggal dunia

“SLM” beragama Budha.

3) Perkawinan ketiga dengan “SR” selaku istri ketiga yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “DS” selaku turut Tergugat IV.

4) Perkawinan keempat dengan “HH” selaku Tergugat I, merupakan istri keempat yang telah bercerai mati dan dikaruniai 6 (enam) anak, yaitu: “V”

selaku Tegugat II, “DW” selaku Tergugat III, “DN” selaku turut Tergugat I,

“NV” selaku Tergugat IV, “F” selaku Tergugat V, dan “AL” selaku turut Tergugat II.

5) Perkawinan kelima dengan “RS” selaku istri kelima yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “VN” selaku Penggugat IV.

6) Perkawinan keenam dengan “JL” selaku istri keenam yang telah bercerai dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AWS” selaku turut Tergugat III.

7) Perkawinan ketujuh dengan “U” selaku turut Tergugat V, merupakan istri ketujuh yang telah cerai mati dan dikaruniai seorang anak, yaitu: “AG”

selaku turut Tergugat VI.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui para penggugat berjumlah 4 (empat) orang terdiri dari:

1) 3 (tiga) anak dari hasil perkawinan pertama yaitu “SW”, “S” dan “M”

2) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan kelima yaitu “VN”

Para Tergugat berjumlah 3 (tiga) orang yaitu istri keempat pewaris “HH”

dan anak hasil dari perkawinan keempat antara pewaris dengan “HH” yaitu “V”

dan “NV”. Serta Turut Tergugat yang berjumlah 8 (delapan) orang yaitu:

1) 4 (empat) anak dari hasil perkawinan keempat yaitu “DW”, “DN”, “F” dan

“AL”

2) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan keenam yaitu “AWS”

3) 1 (satu) anak dari hasil perkawinan ketiga yaitu “DS”

4) 1 (satu) orang istri perkawinan ketujuh pewaris yaitu “U”, beserta anaknya hasil dari perkawinan pewaris dengan “U” yaitu “A”.

Pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan 2 (dua) orang janda yaitu istri keempat (istri sah) dan istri ketujuh (perkawinan yang tidak dicatatkan).

Beserta 6 (enam) orang anak laki-laki dan7 (tujuh) orang anak perempuan tersebut diatas, dan almarhum juga meninggalkan harta peninggalan/warisan berupa:

1) Harta Bawaan, yaitu Tanah kebun seluas 50 x 50 m 2) Harta Bersama dengan “HH”

a) Sebuah gudang seluas 30 x 15 m dan sebuah rumah seluas 10 x 30 m, berdiri diatas tanah kebun seluas 50x50 m yang merupakan harta bawaan pewaris.

b) Tanah pertapakan seluas 5x20 m, berdiri diatasnya sebuah rumah dengan luas 5x20 m.

c) Sawah dengan luas 1/4 Ha di Desa Rema d) Sawah dengan luas 1/4 Ha di Desa Darussalam e) Tanah pertapakan seluas 15x15 m

f) Tanah kebun dengan luas 30x20 m

g) Satu unit kendaraan roda 4 merk Daihatsu Xenia

Para penggugat telah berusaha meminta kepada “HH” (Tergugat I), agar semua harta harta bawaan maupun harta bersama peninggalan dari almarhum “H”

dibagi sesama ahli waris yang berhak, sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Pihak Tergugat menguasai harta warisan dan bahkan pihak Tergugat melakukan tindakan seperti menggadaikan dan menjual harta warisan dari almarhum “H”. Atas tindakan para Tergugat tersebut, pihak Penggugat yang merasa memiliki hak atas warisan tersebut merasa dirugikan, maka para Penggugat memilih mengajukan gugatan ke pengadilan tingkat pertama yaitu Mahkamah Syar’iyah Kutacane tertanggal 23 Juli 2013 dengan Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC.

Adapun isi petitum dalam gugatan tersebut ialah sebagai berikut:

1) Menyatakan para tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir ke persidangan, tidak hadir.

2) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian dengan verstek 3) Menetapkan “H” telah meninggal dunia pada tanggal 02 Juli 2012 4) Menetapkan ahli waris dari “H” adalah:

4.1 “HH” (Janda)

5) Menetapkan hutang bersama almarhum “H” dan “HH”

5.1 kepada Tuan “JR” sebesar Rp. 110.000.000,- 5.2 kepada Tuan “ALM” sebesar Rp.65.000.000,-

5.3 kepada Nyonya “R” berupa emas 8 (delapan) mayam dan uang tunai sebesar Rp.4.500.000,-

5.4 kepada Tuan “SW” (Penggugat I) sebesar Rp.110.000.000,- 5.5 kepada Tuan “AJS” sebesar Rp.120.500.000,-

5.6 kepada panitia pembangunan Masjid sebanyak 150 (seratus lima puluh) sak semen

6) Menetapkan 1/2 (seperdua) dari hutang bersama sebagaimana tersebut di atas adalah hutang almarhum “H” semasa hidupnya dan 1/2 (seperdua) sisanya menjadi hutang “HH”

7) Menetapkan harta bawaan “H” adalah tanah kebun seluas 50 x 50 m 8) Menetapkan harta bersama almarhum “H” dengan “HH” sebagai berikut:

8.1 Sebuah gudang seluas 30 x 15 m dan sebuah rumah seluas 10 x 30 m, 8.4 Sawah dengan luas 1/4 Ha di desa darussalam 8.5 Tanah pertapakan seluas 15x15 m

8.6 Tanah kebun dengan luas 30x20 m

8.7 Satu unit kendaraan roda 4 merk Daihatsu Xenia

9) Menghukum seluruh ahli waris “H” pada diktum angka 4 (empat) untuk melunasi hutang-hutang almarhum “H”

10) Menetapkan bagian masing-masing ahli waris

11) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan harta warisan “H” kepada seluruh ahli waris dengan bagian masing-masing.

12) Membebankan biaya perkara ini kepada Penggugat.

Terhadap gugatan dari para Penggugat, para Tergugat melakukan perlawanan (verzet) yang mana dalam posita berisikan sebagai berikut :

1) Mengenai ketidakhadiran, pihak Tergugat telah diwakilkan kepada kuasa hukum dengan disertai surat kuasa. Akan tetapi Majelis Hakim mempermasalahkan soal legalitas penerima kuasa dan Majelis Hakim tidak dapat menerima surat kuasa tersebut kemudian memanggil para Tergugat secara in person. Para Tergugat telah menerima surat panggilan dan telah menyampaikan surat permohonan untuk pengunduran sidang. Akan tetapi Majelis Hakim tetap membuka sidang tanpa kehadiran para Tergugat.

2) Penetapan ahli waris dari almarhum “H” pada putusan verstek butir 4 (empat) tidak benar dan tidak berdasar hukum sebagai ahli waris karena tidak ada suatu peristiwa hukum atau pertimbangan hukum yang menimbulkan keadaan. Yang mana ahli waris dari almarhum “H” hanyalah 7 (tujuh) orang yaitu: “HH”,”V”, “DW”, “DN”, “NV”, “F”, dan “AL”.

3) Mengenai penetapan bagian masing-masing ahli waris secara hukum kewarisan Islam dianggap tidak sinkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Sebab dalam dalil gugatan tidak ada diminta mengenai penetapan bagian masing-masing ahli waris.

4) Hutang bersama yang ditetapkan pada putusan verstek butir 5 (lima) tidak benar dan tidak berdasar sebab semasa almarhum “H” masih hidup tidak pernah ada penagihan hutang atau pelunasan hutang kepada almarhum “H”

maupun kepada “HH” (Tergugat I).

5) Sangkaan pada penjualan dan penggadaian harta warisan yang dilakukan para Tergugat tidak benar dan tidak berdasar. Para Tergugat tidak pernah melakukan perbuatan hukum terhadap harta warisan tersebut.

6) Putusan Majelis Hakim pada putusan verstek dianggap telah melanggar asas ultra petitum partium, sehingga gugatan yang diajukan oleh para penggugat harus ditolak untuk seluruhnya.

Setelah proses acara dijalani dengan menghasilkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC yang memenangkan para Penggugat dengan menguatkan putusan verstek. Berdasarkan Tergugat merasa keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding, ke Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang kemudian membuahkan hasil yaitu Putusan dengan Nomor 106/Pdt.G/2014/MS-Aceh yang membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0052/Pdt.G/2013/MS.KC, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak di terima. Oleh karena keluarnya putusan tersebut, Pihak Penggugat merasa adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, serta ketidakmanfaatan dari putusan banding tersebut.

Penggugat mengajukan Kasasi dengan Nomor 671 K/Ag/2015 ke Kepaniteraan Mahkamah Agung dan tidak membuahkan hasil. Hasil dari pertimbangan Hakim, bahwa gugatan Penggugat dinilai cacat formil karena tidak didapati buku nikah sehingga tidak dapat menjelaskan kapan perkawinan pewaris dengan istri-istrinya (istri pertama-istri ketujuh). Demikian juga kapan harta bersama dengan istri keempat tersebut di peroleh, dan alasan-alasan kasasi dinilai bersifat mengulang.

2. Dasar Pertimbangan dan Isi Putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015

Dalam mengadili perkara dalam peradilan tingkat kasasi dilakukan dengan permusyawaratan Majelis Hakim lahirlah putusan Mahkamah Agung Nomor 671 K/Ag/2015 pada tanggal 27 oktober 2015 dengan pertimbangan hakim dan amar putusan yaitu sebagai berikut :

Bahwa gugatan para Penggugat dinilai cacat formil karena tidak menjelaskan kapan pernikahan pewaris dengan istri-istrinya (istri pertama sampai istri ke tujuh). Demikian juga kapan harta bersama dengan istri ke empat tersebut diperoleh, apakah pada saat itu pewaris masih terikat dengan istri lainnya atau hanya istri ke empat saja dan sebagai satu-satunya pewaris. Hal tersebut sangat penting dijelaskan karena harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan poligami akan berbeda pembagiannya dengan harta bersama yang di peroleh dalam perkawinan monogami.

Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena dianggap kabur (obscuur libel) sudah tepat dan benar, semuanya sudah dipertimbangkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Alasan-alasan kasasi selebihnya bersifat mengulang dan juga mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan

yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, bahwa putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum/atau undang-undang.

Berdasarkan pertimbangan hakim pada tingkat kasasi tersebut, maka majelis hakim mengeluarkan amar putusannya yaitu:

a) Menolak permohonan kasasi Penggugat.

b) Menghukum para Pemohon Kasasi/Para Penggugat untuk membayar biaya perkara.

B. Analisis Terhadap Putusan MA Nomor 671 K/Ag/2015

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “Peradilan Negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. ”Ketentuan tersebut jelas mensyaratkan bagi setiap komponen peradilan, dalam membangun penalaran hukumnya harus tunduk kepada hukum penalarannya. Kata “berdasarkan...” memiliki keidentikan makna pada frase “....berdasar kepada....” yang termuat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Munculnya frase “....berdasar kepada...” tersebut memberikan landasan filosofis kepada seluruh penyelenggaraan negara, termasuk peradilan negara, harus ada mulai dari semenjak masuk pada tahapan memeriksa,

mengadili, dan memutus, wajib dinuansai oleh paradigma berfikir yang didasarkan kepada Pancasila.131

Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi suatu kesesuaian ketika dikaji berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48/2009 yang menegaskan

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam konteks hukum privat, implementasi asas kemandirian dan independensi hakim.

Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (systemdenken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara

Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (systemdenken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara

Dokumen terkait