BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum secara represif menempatkan Polisi Republik Indonesia
(Polri)1 sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana padahakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana2
Polri dalam melaksanakan tugas di bidang penegakan hukum pidana pada
dasarnya berdiri diantara dua kepentingan yaitu kepentingan yang selaras dengan tujuan adalah untuk mencari kebenaran materiil
(substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights).
Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana.
Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam
pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan
di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan
pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat
dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat diidentifikasikan
sebagai pelaku kejahatan.
1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
2
sosial dan memenuhi tujuan hukum yakni terciptanya kepastian hukum. Hukum dalam
konteks ketertiban masyarakat mensyaratkan bahwa hukum tidak hanya sebagai sarana
untuk mencapai kepastian namun harus memperhatikan ketertiban di tengah-tengah
masyarakat. Pelaksanaan antara kepastian hukum dan ketertiban ditengah-tengah
masyarakat yang dilaksanakan oleh Polri memungkinkan terjadinya konflik khususnya
dalam kasus-kasus yang kontroversial antara lain kasus pencurian pisang di Cilacap Jawa
Tengah, kasus Pencurian sandal jepit di Sulawasi Tengah, Kasus pencurian kakao/
cokelat dan masih banyak masalah lainnya, disisi lain dalam skala besar konflik berlatar
belakang ekonomi melahirkan konflik antara perusahaan pertambangan dan atau
perkebunan dengan masyarakat lokal, misalnya kasus Mesuji Lampung dan Palembang,
kasus Sape / Bima Nusa Tenggara Barat, PT Freeport yaitu konflik karyawan
perusahaan dengan perusahaan. Kasus yang berlatar belakang sosial budaya misalnya
konflik-konflik berlatar belakang keagamaan (Kasus Ahmadiyah dan Cikesik), benturan
kebudayaan (Dayak dengan Bugis dan Madura atau sebaliknya di Kalimantan),
perkelahian antar Warga Lampung dengan keturunan Bali, perkelahian antar warga di
Sultra, Perang antar suku di Papua, konflik sengketa lahan di Sumatera utara dan masih
banyak lagi konflik yang terjadi,3
3
Agus Andrianto, Strategi Penerapan Prinsip Restoratif Justice Guna Meningkatkan Pelayanan Prima Dalam Rangka Terwujudnya Kepercayaan Masyarakat, Mabes Polri, Pendidikan SESPIMTI Dikreg ke-20, 2012, hal. 3
sehingga Polri mengambil langkah-langkah untuk tidak
menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Polri
adalah penerapan prinsip-prinsip restorative justice.
Eksistensi restorative justice4 merupakan dimensi baru dikaji dari aspek teoretis
dan praktik khususnya bagi institusi Polri yang menjalankan tugas di bidang penegakan
hukum. Restorative justice dikaji dari dimensi praktik akan berkorelasi dengan proses
penegakan hukum pidana (law enforcement) yang dilakukan oleh Polri, misalnya
berkorelasi dengan proses penanganan perkara yang ditangani oleh fungsi Reserse dalam
proses penyidikan tindak pidana. Kerangka yang digunakan oleh fungsi reserse pada
proses penyidikan yakni berdasarkan yuridis formal maupun penghentian perkara
pidana,5
4
Pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan restorative justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime, Kluwer Deventer, Holland, 1972, hal. 57.
permasalahan yang muncul adalah telah terpenuhinya unsur-unsur pidana
apabila dihadapkan dengan penyelesaian masalah melalui restorative justice mana yang
didahulukan atau dikesampingkan, apakah yuridis formal yang berlandaskan pada
5
kepastian hukum (rechtzekerheid) atau rasa keadilan yang dianut oleh masyarakat dengan
syarat tidak berlawanan dengan asas hukum pidana.6
Sistem peradilan di Indonesia undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang bagaimana proses peradilan harus dilakukan oleh negara melalui
organ-organnya adalah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam kontek asas
kesamaan didepan hukum (equality before the law), berarti bahwa setiap aparat
penegak hukum (dalam segala tingkat pemeriksaan) sama kedudukannya dengan
tersangka atau terdakwa menurut KUHAP, bahkan termasuk pula perlakuan yang
diberikan kepada setiap orang (warga negara) yang diperiksa harus mendapat perlakuan
yang sama pula, tidak ada perbedaan tentang status, kekayaan, jabatan serta lainnya.
Konsepsi hukum dengan tidak adanya perbedaan kedudukan warga negara (seorang
tersangka/terdakwa) menurut KUHAP, maka segala tindakan, perbuatan, perlakuan Yuridis formal dan rasa keadilan
masyarakat inilah yang menjadi kendala pada penerapan konsep restorative juctice bagi
institusi Polri yang melaksanakan proses penyidikan tindak pidana khususnya fungsi
reserse. Di samping itu, sistem peradilan pidana di Indonesia harus tetap mempedomani
asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) termasuk hak
tersangka untuk diproses dan diadili. Asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum
merupakan kerangka dasar sistem Negara hukum yang terkandung pada landasan
konstitusional yakni UUD 1945.
6
bahkan sikap sekalipun yang berbeda dari aparat penegak hukum yang tidak dibenarkan
oleh KUHAP kepada tersangka/terdakwa, merupakan tindakan yang tidak
mencerminkan pentaatan asas kesamaan dimuka hukum (equality before the law) yang
terdapat dalam KUHAP. Pentaatan atas asas di depan hukum di Indonesia merupakan
suatu keharusan, ini konsekuensi sebagai Indonesia negara hukum sangat menjunjung
tinggi persamaan derajat setiap orang dimuka hukum dengan tidak ada pengecualiannya.7
Dianutnya asas kesamaan di depan hukum dalam KUHAP yang senafas
dengan Pasal 27 ayat (1) UUD1945 secara definitif disebutkan dengan “perlakuan yang
sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan
perlakuan” yang sangat dijunjung oleh Pemerintah. Secara yuridis asas kesamaan
didepan hukum telah dirumuskan dalam huruf g Pejelasan Pasal 6 (1) Undang- Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan yang
menyatakan bahwa “Asas kesamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan adalah Pengaturan ini secara tegas terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 (amandemen ke-empat), yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, ini menunjukan kejelasan asas
kesedarajatan hukum yang ada disetiap warga di depan hukum, tanpa terkecuali harus
menjadi asas setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
7
bahwa materi muatan peraturan perundang- undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.” Asas kesamaan didepan hukum yang telah dirumuskan pada
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut, maka dalam
pelaksanaannya institusi atau aparat penegak hukum harus mengenyampingkan segala
bentuk latar belakang yang ada pada diri seorang tersangka atau terdakwa, hal ini
merupakan model dari pelaksaan proses hukum yang adil (due process model). Hal ini
penting untuk dilakukan guna menegakan hukum dalam rangka menanggulangi masalah
kejahatan. Lembaga peradilan yang merupakan institusi untuk mendapatkan dan
memperoleh keadilan bagi pencari keadilan dilakukan berdasarkan ketentuan normatif
(KUHAP) dalam pengertian melalui suatu proses menurut tata cara yang telah diatur dan
ditetapkan oleh hukum.8
Konsepsi asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law)
merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk
institusi kepolisian yang mengemban fungsi reserse untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana dengan memperhatikan asas equality before the law, namun
landasan kontitusional juga secara eksplisit merumuskan bahwa aparatur Negara dalam
melaksanakan penyelenggaraan Negara harus memperhatikan dan mendahulukan
8
kepentingan umum dan kesejahteraan umum. Hal ini sebagaimana dimaksud pada tujuan
negara yang tercantum di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD1945, yang
menyatakan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Konsepsi kepentingan umum dan kesejahteraan umum sebagai tujuan Negara
selanjutnya dideriviasi pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi
aparatur Negara untuk melaksanakan peranan dan fungsinya. Salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya yakni Undang-Undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan rumusan norma “dapat melakukan tindakan lain” demi
kepentingan umum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
(Harkamtibmas). Hal inilah yang menjadi salah satu konsepsi penerapan restorative
salah satu konsepsi hukumnya yakni asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum pada
penanganan kasus tindak pidana dengan memperhatikan kepentingan umum dan
Harkamtibmas. Implementasi restorative justice di institusi kepolisian khususnya yang
mengemban fungsi reserse banyak mengalami kendala.
Penerapan konsep restorative justice dalam sistem penyidikan pada bidang
Reserse saat ini mengalami beberapa kendala antara lain:9
1) Kewenangan penyidikan yang diberikan KUHAP adalah kewenangan untuk membuktikan suatu tindak pidana dan menemukan tersangka yang harus dipertanggungjawabkan di depan persidangan. KUHAP tidak memberikan kewenangan penyidik untuk menghentikan perkara apabila terpenuhi unsur pidana sebagaimana hasil penyidikan.
2) Dalam KUHAP penyidik diberi kewenangan untuk mengehentikan penyidikan dengan pertimbangan bukan tindak pidana, tidak cukup bukti sebagai tindak pidana, dan demi hukum. Namun KUHAP tidak memberikan kewenanga kepada penyidik untuk menyelesaikan perkara diluar sidang peradilan atau mengesampingkan perkara karena pertimbangan tertentu. 3) KUHAP mengatur tentang pencabutan laporan atau pengaduan hanya
terhadap kasus kasus tertentu yaitu yang merupakan delik aduan. Sehingga penyidik secara yuridis formal kecuali pada delik aduan harus meneruskan kepada Jaksa Penuntut Umum terhadap kasus-kasus yang berdasarkan penyidikan terbukti sebagai tindak pidana. Sementara dalam perkembangan kriminalitas para pihak lebih menghendaki penyelesaian perkara diluar peradilan meskipun pada kasus yang tergolong dalam delik murni/ bukan delik aduan.
Polri dalam melaksanakan proses penyidikan tentunya lebih mengedepankan
penegakan hukum secara yuridis formal untuk meminta pertanggungjawaban pelaku
9
berdasarkan asas kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)10 daripada pendekatan solutif
dengan pendekatan restorative justice. Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian yakni
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 telah dikenal konsep diluar yuridis formal bagi
institusi Polri dalam melaksanakan tugas antara lain Polri berwenang untuk melakukan
tindakan lain yang ditujukan dalam rangka penciptaan pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat serta keamanan dalam negeri.11
Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia mensyaratkan adanya konsep penyelesaian suatu
tindak pidana dengan mengenyampingkan proses pidana demi kepentingan
Harkamtibmas dan kepentingan umum melalui konsep restorative justice. Pengaturan
10
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 30, bahwa asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.10 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”.
11
yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia maka konsep restorative justice juga dikenal di dalam
undang-undang lainnya antara lain undang-undang-undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan
pidana anak yang merumuskan bahwa keadilan restorative merupakan suatu proses
diversi yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan.
Undang-undang peradilan anak yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah merumuskan restorative justice di dalam
Pasal 1 angka 6 yang menyatakan “keadilan restorative adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan”.
Polri dalam pelaksanaan tugas di bidang penegakan hukum,12
12
Sisiwanto, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 67-70 bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum.
telah menerapkan
konsep restorative justice dengan mengklasifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh
pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan dan tindak pidana yang berkaitan
perlindungan anak. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu
tindak pidana. Pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama
seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan
masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Berdasarkan pendekatan restorative justice,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam
sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Dimensi restorative justice memaknai kejahatan untuk menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat
terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban,
masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan
penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.
Pelaksanaan restorative justice dalam penanganan perkara pidana memberikan
banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah
tindak pidana. Konsep restorative justice mempunyai suatu kerangka fikir dalam upaya
mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana tanpa hukum pidana dengan
melibatkan korban, pelaku, pendukung korban, pendukung pelaku dan masyarakat serta
pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk
mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai
tetap memberikan hak masing-masing pelaku dan korban dalam mediasi sebagai sentral
dari pelaksanaan restorative justice.
Penggunaan restorative justice mengkontruksikan terhadap syarat
pertanggungjawaban bagi pelaku tindak pidana yakni adanya perbuatan melawan hukum
(wederwettelijk). Perbuatan melawan hukum sebagai salah satu syarat
pertanggungjawaban pidana disamping ada suatu tindakan (commission atau ommission)
oleh si pelaku, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang dan
pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.13 Ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana khususnya perbuatan melawan hukum materil dibatasi
penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan
maksud untuk menghindari pelanggaran asas legalitas sekaligus dapat menghindari
penggunaan analogi dalam hukum pidana dimaksudkan adalah perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi
ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara
dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan
delik tersebut.14
13
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hal. 32
Contohnya yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat
melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan
penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah suatu tindakan pada umumnya dapat hilang
14
sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam
perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas
hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.15
Proses penegakan hukum (law enforcement) secara normatif dalam sistem
pemidanaan yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia lebih mengarah pada
pemenuhan syarat pertanggungjawaban pidana berupa perbuatan melawan hukum
sebagai syarat prioritas tanpa memperhatikan asas ultimum remedium16
15
Ibid
yang dianut
dalam konsepsi hukum pidana. Penggunaan perbuatan melawan hukum yang lebih
diperioritaskan dalam menghadapi setiap gangguan dan permasalahan-permasalahan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat tentunya dapat berdampak pada ketidak puasan
masyarakat. Ketidak puasan masyarakat terhadap proses hukum normatif tidak hanya
terjadi di Indonesia, namun juga menjadi isu internasional, bahkan Pada kongres
Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders yang diselenggarakan di
tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga swadaya masyarakat dari beberapa negara
16
mensponsori sejumlah sessi pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang sebuah
konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini
untuk merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.17
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan terkait restorative justice di dalam peraturan
perundang-undangan?
2. Bagaimana penerapan restorative justice yang dilakukan Polri di Polres Binjai dalam
proses penanganan perkara pidana?
3. Bagaimana hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Binjai
dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana?
17
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, adapun yang menjadi
tujuan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan menyangkut restorative justice di
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis penerapan restorative justice yang dilakukan Polri
di Polres Binjai dalam proses penanganan perkara pidana.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri
khususnya Polres Binjai dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan
perkara pidana.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan pemikiran-pemikiran teoritis terhadap penerapan restorative justice
dalam penanganan perkara pidana yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi
penyidik Polri dalam menerapkan restorative justice pada penanganan perkara
pidana.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan penanganan perkara pidana di Polres Binjai dalam kurun
waktu dua tahun terakhir ini serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan
diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian ini yang mengangkat judul ”Peran
Polri dalam Mengimplementasikan Restorative Justice pada Penanganan Perkara Pidana
(Studi di Polres Binjai)” belum pernah dilakukan, baik dalam judul dan permasalahan
yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan
keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan,
kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Restorative justice dalam perkembangan mazab hukum dan penghukuman
poniendi kepada masyarakat dalam kerangka penyembuhan pemulihan dan recovery.18 Restoratif justice merupakan konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan pelaku, masyarakat
dan korban sebagai langkah penyembuhan/recovery sosial dalam hubungan sosial
kemasyarakatan. Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan
konvensional. Peradilan konvensional merupakan sebuah pengadilan yang menentukan
kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa
orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara menurut aturan yang
sistematik. Restorative justice proses penyelesaian dengan melibatkan korban, pelaku dan
masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Howard Zehr pada tahun 1990 dalam
bukunya yang menyatakan:19
“Restorative Justice sees things differently… crimes is a violation of people and relationships…it creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance” (bahwa restorative justice melihat sesuatu proses peradilan dengan pandangan yang berbeda. Kejahatan merupakan kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain atau lainnya. Restorative justice dijalankan untuk membuat segalanya menjadi baik atau pulih kembali. Keadilan dilaksanakan dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi dan perlindungan (reassurance).
Restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat
digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi integrited criminal justice system
18
Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 74
19
dalam mewujudkan Kemanfaatan dan Kepastian Hukum setelah para pihak
merasakan/memperoleh Keadilan dalam proses pelaksanaannya. Ada baiknya untuk
mencermati teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa ada tiga tujuan hukum
(yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan) dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini
dengan menggunakan “asas prioritas”. Akan tetapi keadilan harus menempati posisi yang
pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Berdasarkan ketiga tujuan
hukum tersebut tentunya tidak dapat dilaksanakan secara bersama karena sebagaimana
diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan
dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan
terjadi benturan dengan kemanfaatan.20 Tujuan hukum menurut Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.21 Menyangkut tujuan hukum terdapat beberapa teori yaitu:22
1. Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komulatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komulatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang yang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan.
2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa tujuan hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagium yang terkenal adalah the greatest happiness for the greatest number artinya kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga eudaemonisme atau utilitarisme.
20
Zulfa, Eva Achjani, Loc.cit
21
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 2000, hal. 10
22
3. Teori pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlansung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tidakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk didalamnya adalah mewujudkan ketertiban dan keteraturan, mewujudkan kedamaian sejati, mewujudkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berdasarkan pendapat Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikiran
Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus
memenuhi tiga nilai dasar, meliputi:23
1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).
3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.
Konsep keadilan restorative adalah konsep dalam penyelesaian perkara pidana
yang pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku dengan upaya perbaikan, termasuk didalamnya adalah perbaikan hubungan
antara pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut.24
23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, hal.19 bahwa nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu keadilan, kegunaan (Zweckmaszigkeit) dan kepatian hukum.
Pendekatan yang digunakan dalam
implementasi keadilan restorative justice adalah kesepakatan. Kesepakatan dalam hal ini
adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan korban dan
masyarakat atas kerugian dari tindak pidana yang terjadi.
24
Restorative justice merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Menurut Barda Nawawi Arief diartikan sebagai mediasi penal (penal
meniation). Mediasi ini sering disebut dengan ”mediation in criminal cases” atau
”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut ”Starfbemiddeling”.25 Mediasi penal digunakan untuk mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan
korban, maka mendiasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”victim offender
mendiation” atau ”offender victim arrangement”.26
Peranan aparat penegakan hukum khusunya Polri dalam penegakan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana,
Praktek mediasi penal muncul sebagai
salah satu pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah sistem peradilan pidana.
Wacana restorative justice berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan
pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk kedua belah pihak,
mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan pidana. Mediasi penal yang merupakan
bagian dari konsep restorative justice menempatkan sistem peradilan pidana pada posisi
mediator.
27
25
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2010, hal. 1-2
artinya fungsionalisasi
memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief
26
Yuarsi Susi Eja, Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan, Cet 1, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002, hal. 87
27
menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau
bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan
operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan
penegakan hukum.28 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara
nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi
hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Fungsionalisasi ini
terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap
perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan
aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan
administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.29 Pada tahapan kebijakan aplikatif inilah Polri dapat menerapkan diskresi melalui pendekatan
dan penguatan restorative justice penanganan perkara pidana. Diskresi menurut Erlyn
Indarti sebagai berikut:30
“Untuk memahami diskresi setidaknya dapat diidentifikasi dari 8 (delapan) unsur yang terkandung dalam pengertian diskresi yakni kemerdekaan, otoritas atau kewenangan, kebijaksanaan, pilihan, keputusan, tindakan dan ketepatan. Dengan memformulasikan 8 (delapan) unsur ini maka diskresi secara komprehensif bisa dirumuskan sebagai kemerdekaan dan/atau otoritas (seseorang/sekelompok orang/suatu institusi) untuk secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan/atau mengambil tindakan
28
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1994, hal. 157.
29
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 30
30
tertentu yang dipandang paling tepat. Perbuatan keputusan dan pengambilan tindakan ini pada dasarnya merupakan ujung dari suatu rangkaian proses yang sebenarnya panjang, walaupun pada kenyataannya bisa saja berlangsung hanya dalam sekejap. Proses dimaksud, melibatkan curahan kebijaksanaan yang dalam hal ini termuat pula kehati-hatian yang berpijak pada intelektualitas atau kecendikiawanan yang memadai. Proses tersebut juga melibatkan pertimbangan atau penilaian dari segala sudut pandang yang adil. Barulah kemudian sampai pada pilihan yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dan/atau pengambilan tindakan tertentu. Sementara itu secara salah kaprah kata diskresi cenderung direduksi maknanya dan diartikan semata-mata sebagai tindakan yang diambil. Padahal tindakan yang diambil sebenarnya merupakan hasil atau produk dari diskresi, bukab diskresi itu sendiri. Kesalahan ini antara lain berpangkal pada kenyataan bahwa tindakan yang diambil merupakan keluaran dari diskresi yang kasat mata sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pada kata kemerdekaan dan/atau otoritaslah semestinya focus dari makna kata diskresi diarahkan. Diskresi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan baik bagi aparat penegakan hukum itu sendiri maupun didalam pelaksanaan tugasnya, walaupun di permukaan tanpak bertentangan dengan rule of law. Sifat peraturan yang memang terbuka secara logika, membuat elemen diskresi, setidaknya yang implicit, dengan demikian tidak dapat ditolak”.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri merupakan suatu tindakan untuk
meminta pertanggungjawaban pelaku. Kosep pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku kejahatan tentunya harus dimulai dengan kriminalisasi yang menyatakan bahwa
perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana dan merupakan dasar untuk melakukan
penyidikan dalam rangka penegakan hukum, norma dasar penegkan hukum pidana yang
dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang
mensyaratkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.31
31
Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Rumusan
tersebut mengandung unsur antara lain: Pertama, hukum pidana harus bersumber pada
melaksanakan tugas peradilan terkait ketentuan perundang-undangan maka akan
terhindar dari kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya, hal ini berarti
terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan yang juga terikat kepada ketentuan
perundangan tersebut. Kedua, asas bahwa ketentuan pidana dalam
undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif). Hal ini mengandung pengertian
bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang berarti
segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan harus
merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana.
2.Kerangka Konsep
Konsep merupakan defenisi-defenis operasional agar tidak salah pemahaman dan
penafsiran terhadap istilah-istilah yang muncul dalam penelitian berdasarkan variable
yang diterapkan pada topik ini. Adapun kerangka konsep dalam penulisan tesis ini yakni:
1. Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom
dan pelayanan kepada masyarakat. Pengertian kepolisian sebagai lembaga adalah
organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga yang diberikan
kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pembicaraan terkait persoalan kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan
lembaga kepolisian. “Fungsi Kepolisian” harus memperhatikan semangat
dalam Pasal 2 tersebut merupakan aktualisasi dari UUD 1945 Pasal 30 ayat (4)
dan Pasal 6 (1) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang mengatur tentangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat substansi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.32
2. Penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.Pasal 4 KUHAP
ini secara umum telah menentukan, bahwa setiap pejabat negara Republik
Indonesia itu adalah penyelidik. Berarti semua pegawai kepolisian negara tanpa
kecuali telah dilibatkan di dalam tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya
merupakan salah bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Pendekatan keadilan restorative (restorative justice) yang akan dibahas dalam
penulisan tesis ini adalah konsep keadilan restorative justice dalam penyelesaian
perkara pidana yang cenderung dikehendaki oleh para pihak untuk diselesaikan
dalam tahap penyidikan Polri dan tidak dilanjutkan dalam tahap pengadilan.
4. Penanganan perkara adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan - tindakan penyidik dalam
32
melakukan penyidikan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara,
yang selanjutnya dikompulasikan menjadi sebuah berkas perkara. Berkas perkara
tersebutlah yang kemudian dlimpahkan kepada Jaksa selaku penuntut umum,
untuk diteliti. Setelah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum maka
kewajiban penyidik selanjutnya adalah melimpahkan tersangka dan barang bukti
atau dikenal dengan pelimpahan tahap dua. Setelah pelimpahan tahap dua, maka
tugas dan tanggung jawab penyidikan telah selesai dan selanjutnya masuk pada
tahap penuntutan oleh Jaksa penuntut umum.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum yang mempergunakan data
skunder yang penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif. Sifat penelitian adalah
deskriptif analitis yang ditujukan untuk menunjang diperolehnya data yang bersifat
faktual dan akurat. Penelitian deskriptif analitis dalam tesis ini dimaksudkan untuk
menggambarkan secara sistematis fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah
dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau
teori-teori.33
Berdasarkan spesifikasi penelitian maka penelitian tesis ini adalah penelitian
hukum
Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
34
dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif,35 dengan menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa
pendekatan, yaitu:36
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini harus dilakukan peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis. Kedua, All- inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekosongan hukum. Ketiga, Systematic, yaitu di samping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis.37
33
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 17
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 29, bahwa menurut Morris L Cohen: “Is the process of finding the law that governs activities in human society ... it involves locating both the rules are enforced by the states and commentaries which explain or analyse these rules”.
35
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, 1985, hal. 14 bahwa penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum.
36
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Noramtif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 185-191
37
b. Pendekatan konsep (Conseptual Approach). Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.
c. Pendekatan analitis (Analytical Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.
d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan satu atau beberapa peraturan perundang-undangan negara-negara lain. Dapat juga dengan membandingkan keputusan pengadilan negara-negara lain, atau juga dapat dilakukan dengan membandingkan pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur suatu materi tertentu dengan pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur hal yang sama di satu atau beberapa negara lain. Di samping itu perbandingan hukum ini dapat juga dilakukan terhadap lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain sehingga dengan mengadakan perbandingan tersebut peneliti dapat melakukan analisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan.
e. Pendekatan sejarah (Historical Approach). Pendekatan sejarah ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti. Penelaahan ini diperlukan apabila peneliti memang ingin mengungkap materi yang diteliti pada masa lalu dan menurut peneliti hal ini mempunyai relevansi dengan masa sekarang, lebih-lebih mempunyai relevansi dalam rangka mengungkap atau menjawab permasalahan yang diajukan.
f. Pendekatan filsafat (Philosophical Approach). Pendekatan filsafat ini dipilih karena peneliti menginginkan dilakukannya penelaahan tentang materi penelitian tersebut secara mendalam. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat yaitu mendasar, menyeluruh dan spekulatif sehingga pendekatan filosofis ini akan mengupas isu hukum atau materi penelitian secara menyeluruh, radikal dan mendalam.
Penelitian dalam tesis ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan
pendekatan yuridis kualitatif yang terdapat di dalam perundang-undangan.38 Kajian ini berorientasi kepada hukum positif menyangkut restorative justice yang diatur dalam
undang-undang. Penelitian dengan pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan untuk mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang
tersebut.39
2. Sumber Data
Mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang diharapkan
mampu menangkap maksud dari pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapat
konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran yang konseptual sebagai ciri
dari penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan kepada data
sekunder atau data kepustakaan yang berupa :
38
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 83 bahwa dalam penelitian kualitatif dikenal ada dua strategi analisis data yang sering digunakan bersama-sama secara terpisah yaitu model strategi analisis deskriptif kualitatif dan atau model strategi analisis verifikatif kualitatif. Kedua model analisis itu memberi gambaran bagaimana alur logika analisis data pada penelitian kualitatif sekaligus memberi masukan terhadap bagaimana teknis analisis data kualitatif digunakan. Dalam analisis data kualitatif, sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kuantitatif. Karena data ini sebenarnya bermanfaat bagi pengembangan analisis data kualitatif itu sendiri.
39
a. Bahan hukum primer seperti Undang-Undang yang berkaitan dengan peran Polri dalam
penanganan perkara pidana khususunya dalam menerapkan restorative justice antara lain
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan KUH Pidana serta KUHAP. Di samping itu peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan obyek penelitian.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah buku-buku ilmiah
dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder,
antara lain kamus hukum, kamus bahasa, dan lain sebagainya.
Secara umum penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan yang bersumber dari
perpustakaan, dan dokumen-dokumen perusahaan. Penelitian tesis ini juga menggunakan
data primer yakni melakukan wawancara dengan informan yang ditujukan untuk
mendapatkan bahan-bahan dalam kerangka melengkapi atau mendukung bahan
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan cara studi
kepustakaan melalui penelitian hukum normatif guna memperoleh asas-asas,
konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaedah hukum yang
diperoleh dari dua referensi utama yaitu yang bersifat umum (perundang-undangan,
peraturan, buku-buku teks, kamus) dan yang bersifat khusus (Jurnal laporan penelitian
dan lain-lain) serta menggunakan teknik studi dokumen, yaitu metode pengumpulan data
yang berupa dokumen-dokumen. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk menunjang data
sekunder sebagai data pendukung.
4. Analisis Data
Data yang telah diperoleh oleh penulis, dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif dengan logika induktif, yaitu berfikir dari hal khusus menuju hal
umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat
komparatif, yaitu dilakukan pembatasan kerangka studi dengan suatu analisis tanpa
secara langsung untuk membangun atau menguji hipotesis atau teori-teori, dengan kata
lain penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan
perbandingan penelitian data-data sekunder. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara
pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang
akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini. Uraian terhadap hasil dan pembahasan tidak dilakukan secara terpisah,
melainkan secara bersamaan agar tidak ada data yang luput dari penganalisaannya.40
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya
semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan penelitian tesis ini.
40