• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian CBR (California Bearing Ratio) pada Stabilitas Tanah Lempung dengan Campuran Semen Portland Tipe I dan Abu Vulkanik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian CBR (California Bearing Ratio) pada Stabilitas Tanah Lempung dengan Campuran Semen Portland Tipe I dan Abu Vulkanik"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Tanah

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das,1991).

Tanah merupakan komposisi dari dua atau tiga fase yang berbeda. Jika tanah dalam keadaan kering maka tanah tersebut terdiri dari dua fase yaitu partikel padat dan pori-pori udara. Tanah yang jenuh seluruhnya juga terdiri dari dua fase yaitu partikel padat dan air pori. Sedangkan tanah dalam keadaan jenuh sebagian maka terdiri dari tiga fase yaitu partikel padat, pori-pori udara dan air pori (Fadilla, 2014). Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram fase seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.

(2)

Dari gambar tersebut diperoleh h persamaan hubungan antara volume-berat dari tanah berikut:

(2.1)

(2.2)

Dimana :

: volume butiran padat (cm3) :volume pori (cm3)

: volume air di dalam pori (cm3) : volume udara di dalam pori (cm3)

Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

(2.3)

Dimana:

: berat butiran padat (gr) : berat air (gr)

2.1.2 Sifat-sifat Fisik Tanah 2.1.2.1 Porositas (Porosity)

Porositas atau porosity (n) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume total ( ) dalam tanah, atau :

(2.4)

(3)

: volume rongga (cm3) : volume total (cm3)

2.1.2.2 Angka Pori (Void Ratio)

Angka pori atau void ratio (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume butiran ( ) dalam tanah, atau :

(2.5)

Dimana:

: angka pori

: volume rongga (cm3) : volume butiran (cm3)

2.1.2.3 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation)

Derajat kejenuhan atau degree of saturation (S) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air ( ) dengan volume total rongga pori tanah ( ). Bila tanah dalam keadaan jenuh, maka = 1. Derajat kejenuhan suatu tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.6)

Dimana:

: derajat kejenuhan : berat volume air (cm3)

(4)

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah (Hardiyatmo, 1992)

Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan

Tanah kering 0

Tanah agak lembab > 0 - 0,25 Tanah lembab 0,26 - 0,50

Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75 Tanah basah 0,76 - 0,99

Tanah jenuh 1

(Sumber: Mekanika Tanah Jilid I, Hardiyatmo, 2002)

2.1.2.4 Kadar Air (Moisture Water Content)

Kadar air atau water content (w) adalah persentase perbandingan berat air ( ) dengan berat butiran ( ) dalam tanah, atau :

(2.7)

Dimana:

(gr) (gr)

2.1.2.5 Berat Volume (Unit weight)

Berat volume (γ adalah berat tanah per satuan volume.

γ (2.8)

(5)

Dimana:

: berat volume basah (gr/cm3)

: berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.6 Berat Volume Kering (Dry Unit Weight)

Berat volume kering ( adalah perbandingan antara berat butiran tanah ( ) dengan volume total tanah ( ). Berat volume tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.9)

Dimana:

: berat volume kering (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.7 Berat Volume Butiran Padat (Soil Volume Weight)

Berat volume butiran padat ( ) adalah perbandingan antara berat butiran tanah ( ) dengan volume butiran tanah padat ( ). Berat volume butiran padat ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.10)

Dimana:

(6)

2.1.2.8 Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

Atterberg adalah seorang peneliti tanah berkebangsaan Swedia yang telah menemukan batas-batas Atterberg pada tahun 1911. Atterberg mengusulkan ada lima keadaan konsistensi tanah. Batas-batas konsistensi tanah ini didasarkan pada kadar air, yaitu batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit), batas susut (shrinkage limit), batas lengket (sticky limit) dan batas kohesi (cohesion limit). Tetapi pada umumnya batas lengket dan batas kohesi tidak digunakan (Bowles, 1991). Batas-batas konsistensi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Batas-batas Atterberg (Soedarmo, 1997)

2.1.2.8.1 Batas Cair (Liquid Limit)

(7)

Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool (Hardiyatmo, 1992)

2.1.2.8.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas plastis (plastic limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air pada tanah dimana pada batas bawah daerah plastis atau kadar air minimum. Untuk mengetahui batas plastis suatu tanah dilakukan dengan percobaan menggulung tanah berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3,2 mm (1/8 inchi) dengan menggunakan telapak tangan di atas kaca datar. Apabila tanah mulai mengalami retak-retak atau pecah ketika digulung, maka kadar air dari sampel tersebut adalah batas plastis.

2.1.2.8.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)

(8)

dikatakan bahwa tanah tersebut tidak akan mengalami penyusutan lagi meskipun dikeringkan secara terus menerus.

Percobaan batas susut dilakukan dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Pada bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas susut dapat dinyatakan dalam persamaan :

{ } (2.12)

dengan :

= berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) = berat tanah kering oven (gr)

= volume tanah basah dalam cawan ( )

= volume tanah kering oven ( ) = berat jenis air

2.1.2.8.4 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

(9)

(2.13)

Dimana : LL = batas cair PL = batas plastis

Tabel 2.2 Indeks Plastisitas Tanah

PI Sifat Macam Tanah Kohesi

0 Non-Plastis Pasir Non – Kohesif

<7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian

7-17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif >17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif

(Sumber: Mekanika Tanah Jilid I, Hardiyatmo, 2002)

2.1.2.8.5 Indeks Cair (Liquidity Indeks)

Kadar air tanah asli relatif pada kedudukan plastis dan cair, dapat didefinisikan oleh indeks cair (liquidity indeks) dan dinyatakan menurut persamaan :

LI = indeks cair (liquidity indeks)

Wn = Kadar air dilapangan

(10)

0 sampai 1. lapisan tanah asli dengan wN > LI, akan mempunyai LL > 1. Tapi jika wN kurang dari PL, LI akan negatif.

2.1.2.9 Berat Jenis (Specific Gravity)

Berat jenis tanah atau specific gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat volume butiran tanah ( ) dengan berat volume air ( ) dengan isi yang sama pada temperatur tertentu. Berat jenis tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.11)

Dimana:

: berat volume padat (gr/cm3)

: berat volume air(gr/cm3) : berat jenis tanah

Batas-batas besaran berat jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Berat Jenis Tanah

Macam Tanah Berat Jenis Kerikil 2,65 - 2,68

Pasir 2,65 - 2,68

Lanau tak organik 2,62 - 2,68 Lempung organik 2,58 - 2,65 Lempung tak organik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80

(11)

2.1.2.10 Klasifikasi Tanah

Sistem klasisfikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda - beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok - kelompok dan subkelompok - subkelompok berdasarkan pemakaiannya (Das,1991). Sistem klasisfikasi tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisa saringan dan plastisitasnya. Tujuan dari pengklasifikasian tanah ini adalah untuk memungkinkan memperkirakan sifat fisis tanah dengan mengelompokkan tanah dengan kelas yang sama yang sifat fisisnya diketahui dan menyediakan sebuah metode yang akurat mengenai deskripsi tanah.

Beberapa sistem klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut yaitu :

1. Klasifikasi tanah sistem USCS 2. Klasifikasi tanah sistem AASHTO

2.1.2.10.1 Sistem Klasifikasi Unified Soil Classification System (USCS)

Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Casagrande (1942) sebagai sebuah metode untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang oleh The Army Corps of Engineers pada Perang Dunia II. Pada saat ini sistem ini telah dipergunakan secara luas oleh para ahli teknik. Sistem ini selain biasa digunakan untuk desain lapangan terbang juga untuk spesifikasi pekerjaan tanah untuk jalan.

Klasifikasi berdasarkan Unified System (Das, 1991), tanah dikelompokkan menjadi :

1. Tanah butir kasar (coarse-grained-soil)

(12)

atau S. G adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.

2. Tanah berbutir halus (fine-grained-soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck, dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi.

Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP, SM dan SC. Adapun simbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah :

W : well graded (tanah dengan gradasi baik) P : poorly graded (tanah dengan gradasi buruk) L : low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50) H : high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)

Untuk klasifikasi yang benar, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini: 1. Persentase butiran yang lolos ayakan no.200 (fraksi halus).

2. Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan no.40.

3. Koefisien keseragaman (Uniformity coefficient, Cu) dan koefisien gradasi (gradation coefficient, Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan no.200. 4. Batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas (PI) bagian tanah yang lolos ayakan

(13)
(14)

2.1.2.10.2 Sistem Klasifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Kemudian sistem ini mengalami beberapa perbaikan, sampai saat ini versi yang berlaku adalah yang diajukan oleh

Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road

of the Highway Research Board pada tahun 1945. Sistem ini mengklasifikasikan tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai A-7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3 adalah tanah berbutir yang 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan no. 200. Sedangkan tanah A-4 sampai A-7 adalah tanah yang lebih dari 35% butirannya lolos ayakan no. 200.

Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dari kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya dan pada awalnya membutuhkan data-data sebagai berikut :

1. Analisis ukuran butiran.

2. Batas cair, batas plastis dan IP yang dihitung. 3. Batas susut.

(15)

Gambar 2.5 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Das, 1991)

2.1.3 Sifat-sifat Mekanis Tanah

2.1.3.1 Pemadatan Tanah (Compaction)

Pemadatan tanah (compaction) adalah suatu proses dimana udara pada pori-pori tanah dikeluarkan dengan cara mekanis (digilas/ditumbuk) sehingga partikel-partikel tanah menjadi rapat. Dengan kata lain, pemadatan adalah densifikasi tanah yang jenuh dengan penurunan volume rongga diisi dengan udara, sedangkan volume padatan dan kadar air tetap pada dasarnya sama. Hal ini merupakan cara yang paling jelas dan sederhana untuk memperbaiki stabilitas dan kekuatan dukung tanah.

Maksud pemadatan tanah menurut Hardiyatmo (1992), antara lain : 1. Mempertinggi kuat geser tanah

(16)

4. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lainnya.

Tanah granuler merupakan tanah yang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan lapangan. Setelah dipadatkan tanah tersebut mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah granuler yang tinggi. Berbeda dengan pada tanah lanau yang permeabilitasnya rendah sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah.

Tanah lempung mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik dalam kondisi basah seperti halnya tanah lanau. Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan daya dukung yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya.

Pada tahun 1933, Proctor menemukan dasar-dasar pemadatan tanah, dimana terdapat 4 (empat) variabel yang digunakan dalam fungsi compaction, yaitu:

- Usaha pemadatan - Jenis tanah - Kadar air tanah

- Berat isi kering tanah (Bowles, 1991).

Hubungan berat volume kering ( ) dengan berat volume basah ( ) dan kadar air (%) dinyatakan dalam persamaan :

(2.14)

Pada pengujian compaction di laboratorium alat pemadatan berupa silinder

(17)

3 lapisan (standart Proctor) dan 5 lapisan (modified Proctor) dengan pukulan sebanyak 25 kali pukulan.

Pengujian-pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Standar ASTM maupun AASHTO hendaknya digunakan sebagai acuan untuk rincian pengujian tersebut.

Kadar air yang memberikan berat unit kering yang maksimum disebut kadar air optimum (OMC). Usaha pemadatan diukur dari segi energi tiap satuan volume dari tanah yang telah dipadatkan. Untuk usaha pemadatan yang lebih rendah kurva pemadatan bagi tanah yang sama akan lebih rendah dan tergeser ke kanan, yang menunjukkan suatu kadar air optimum yang lebih tinggi. Hasil dari pengujian pemadatan berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air dan berat volume kering tanah yamg ditunjukkan Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Hubungan antara kadar air dan berat isi kering tanah (Hardiyatmo, 1992)

(18)

tidak mengandung udara. Grafik ini berguna sebagai petunjuk pada waktu menggambarkan grafik pemadatan. Grafik tersebut berada di bawah ZAV dan biasanya grafik tersebut tidak lurus tetapi agak cekung ke atas. Apabila kurva pemadatan yang dihasilkan berada lebih dekat di bawah dengan garis ZAV maka hal tersebut menunjukan tanah yang dipadatkan memiliki derajat kejenuhan mendekati 100% dan sedikit mengandung udara. Pada penelitian ini, percobaan pemadatan tanah di laboratorium yang digunakan untuk menentukan kadar air optimum dan berat isi kering maksimum adalah percobaan pemadatan standar (standard compaction test).

2.1.3.2Pengujian California Bearing Ratio (CBR)

California Bearing Ratio (CBR) adalah percobaan daya dukung tanah yang dikembangkan oleh California State Highway Departement. Prinsip pengujian ini adalah pengujian penetrasi dengan menusukkan benda ke dalam benda uji. Dengan cara ini dapat dinilai kekuatan tanah dasar atau bahan lain yang dipergunakan untuk membuat perkerasan. Pengujian CBR adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu bahan terhadap bahan standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama. Nilai CBR dihitung pada penetrasi sebesar 0.1 inci dan penetrasi sebesar 0.2 inci dan selanjutnya hasil kedua perhitungan tersebut dibandingkan sesuai dengan SNI 03-1744-2012 diambil hasil terbesar. Ada dua macam pengukuran CBR yaitu :

1. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0.254 cm (0,1”) terhadap penetrasi

(19)

Nilai CBR = (PI/70,37) x 100 % ( PI dalam kg / cm2 )

2. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada penetrasi 0,508 cm (0,2”)

terhadap penetrasi standard yang besarnya 105,56 kg/cm2 (1500 psi)

Nilai CBR =PI/105,56) x 100 % ( PI dalam kg / cm2 )

Dari kedua hitungan tersebut digunakan nilai terbesar.

Kekuatan tanah diuji dengan uji CBR sesuai dengan SNI-1744-2012.Nilai kekuatan tanah tersebut digunakan sebagai acuan perlu tidaknya distabilisasi setelah dibandingkan dengan yang disyaratkan dalam spesifikasinya.

a. CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR)

Pada pengujian CBR laboratorium rendaman pelaksanaannya lebih sulit karena membutuhkan waktu dan biaya relatif lebih besar dibandingkan CBR laboratorium tanpa rendaman. Disini penulis akan menggunakan pengujian CBR rendaman.

b. CBR laboratorium tanpa rendaman (Unsoaked Design CBR)

Hasil pengujian CBR laboratorium tanpa rendaman sejauh ini selalu menghasilkan daya dukung tanah lebih besar dibandingkan dengan CBR laboratorium rendaman.

2.2 Bahan-bahan Penelitian 2.2.1 Tanah Lempung (Clay)

(20)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

2. Terzaghi (1987)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagai tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan permeabilitas lempung sangat rendah. Sehingga bersifat plastis pada kadar air sedang. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

3. Bowles (1991)

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah apabila lebih dari 50 %.

4. Hardiyatmo (1992)

(21)

Secara umum dalam klasifikasi tanah, partikel tanah lempung memiliki diameter 2µm atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS). Dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel-partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1 µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.

2.2.1.1 Lempung dan Mineral Penyusun

Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks. Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra. Setiap unit tetrahedra terdiri dari empat atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon dan unit oktahedra terdiri dari enam gugus ion hidroksil (OH) yang mengelilingi atom aluminium (Das, 1991).

(22)

perubahan isi atau tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan-retakan atau terpecah-pecah.

Lempung merupakan mineral asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, dengan ukuran butir yang sangat halus dan mempunyai komposisi berupa hydrous aluminium dan magnesium silikat dalam jumlah yang besar. Mineral lempung sebagian besar mempunyai struktur berlapis dimana ukuran mineralnya sangat kecil yakni kurang dari 2 µm (1µm = 0,000001m), meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa batas atas lempung adalah 0,005 m (ASTM) dan merupakan partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

Bowles (1991) menyatakan bahwa sumber utama dari mineral lempung adalah pelapukan kimiawi dari batuan yang mengandung :

 felspar ortoklas

 felspar plagioklas

 mika (muskovit)

Dimana semuanya itu dapat disebut silikat aluminium kompleks (complex aluminium silicates). Lempung terdiri dari berbagai mineral penyusun, antara lain mineral lempung (kaolinite, montmorillonite dan illite group) dan mineral-mineral lain yang mempunyai ukuran sesuai dengan batasan yang ada (mika group,

serpentinite group). Satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari silika tetrahedron dan aluminium oktahedron. Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran.

(23)

(gibbsite sheet). Bila lembaran silika itu ditumpuk di atas lembaran oktahedra, atom-atom oksigen tersebut akan menggantikan posisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

( a ) ( b )

( c ) ( d )

( e )

Gambar 2.7 Struktur Atom Mineral Lempung ( a ) silica tetrahedra ; ( b ) silica sheet ; ( c ) aluminium oktahedra ; ( d ) lembaran oktahedra (gibbsite) ; ( e )

(24)

a. Kaolinite

Istilah “kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari

nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu (Bowles, 1991). Kaolinite merupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang mengandung karbonat pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan.

Struktur unit kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran silika tetrahedral yang digabung dengan lembaran alumina oktahedran (gibbsite). Lembaran silika dan gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1:1 dengan tebal kira-kira 7,2 Å (1 Å=10-10 m). Mineral kaolinite berwujud seperti lempengan-lempengan tipis dengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100 Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m2/gr yang memiliki rumus kimia:

(OH)8Al4Si4O10

Keluarga mineral kaolinite 1:1 yang lainnya adalah halloysite. Halloysite

memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan kaolinite

sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk. Halloysite memiliki rumus kimia sebagai berikut.

(OH)8Al4Si4O10 . 4H2O

(25)

Gambar 2.8 Struktur Kaolinite (Das, 1991)

b. Illite

Illite adalah mineral lempung yang pertama kali diidentifikasi di Illinois. Mineral illite bisa disebut pula dengan hidrat-mika karena illite mempunyai hubungan dengan mika biasa (Bowles, 1991). Mineral illite memiliki rumus kimia sebagai berikut:

(OH)4Ky(Si8-y . Aly)(Al4. Mg6 .Fe4 . Fe6)O20

Dimana y adalah antara 1 dan 1,5. Illite memiliki formasi struktur satuan kristal, tebal dan komposisi yang hampir sama dengan montmorillonite. Perbedaannya ada pada :

Kalium (K) berfungsi sebagai pengikat antar unit kristal sekaligus sebagai

penyeimbang muatan.

Terdapat ± 20% pergantian silikon (Si) oleh aluminium (Al) pada lempeng

tetrahedral.

Struktur mineral illite tidak mengembang sebagaimana montmorillonite.

(26)

disubstitusikan kedalam lembaran aluminium dan mengisi seluruh posisi kation, maka mineral tersebut disebut brucite. Struktur mineral illite dapat dilihat dalam Gambar 2.9

Gambar 2.9 Struktur Illite (Das, 1991)

c. Montmorillonite

Montmorillonite adalah nama yang diberikan pada mineral lempung yang ditemukan di Montmorillon, Perancis pada tahun 1847 yang memiliki rumus kimia:

(OH)4Si8Al4O20 . nH2O

Dimana nH2O adalah banyaknya lembaran yang terabsorbsi air. Mineral

montmorillonite juga disebut mineral dua banding satu (2:1) karena satuan susunan kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng silika tetrahedral mengapit satu lempeng alumina oktahedral ditengahnya.

Struktur kisinya tersusun atas satu lempeng Al2O3 diantara dua lempeng SiO2. Inilah yang menyebabkan montmorillonite dapat mengembang dan mengkerut menurut sumbu C dan mempunyai daya adsorbsi air dan kation lebih tinggi. Tebal satuan unit adalah 9,6 Å (0,96 μm), seperti yang

(27)

sangat lemah diantara ujung-ujung atas dari lembaran silika, oleh karena itu lapisan air (nH2O) dengan kation dapat dengan mudah menyusup dan memperlemah ikatan antar satuan susunan kristal. Sehingga menyebabkan antar lapisan terpisah. Ukuran unit massa montmorillonite sangat besar dan dapat menyerap air dengan sangat kuat sehingga mudah mengalami proses pengembangan. Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat di dalam Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Struktur Montmorillonite (Das, 1991)

2.2.1.2 Sifat Umum Tanah Lempung

Bowles (1991) menyatakan beberapa sifat umum mineral lempung adalah: 1. Hidrasi

(28)

2. Aktivitas

Aktivitas tanah lempung adalah perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan persentase butiran lempung, dan dapat disederhanakan dalam persamaan:

(2.23)

Dimana persentase lempung diambil sebagai fraksi tanah yang < 2 µm untuknilaiA (Aktivitas),

A > 1,25 : tanah digolongkan aktif dan bersifat ekspansif 1,25 <A< 0,75 : tanah digolongkan normal

A < 0,75 : tanah digolongkan tidak aktif.

Nilai- nilai khas dari aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Aktivitas tanah lempung (Bowles, 1991) Minerologi Tanah Lempung Nilai Aktivitas

Kaolinite 0,4 – 0,5

Illite 0,5 – 1,0

Montmorillonite 1,0 – 7,0

Sumber: Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah), Bowles, 1994)

1 .Flokulasi dan Dispersi

(29)

dapat dengan mudah didispersikan kembali ke dalam larutan dengan menggoncangnya, menandakan bahwa tarikan antar partikel jauh lebih kecil dari gaya goncangan. Apabila lempung tersebut telahdidiamkan beberapa waktu dispersi tidak dapat tercapai dengan mudah, yang menunjukkan adanya gejala tiksotropik, dimana kekuatan didapatkan dari lamanya waktu.

2 .Pengaruh Zat Cair

Air berfungsi sebagai penentu plastisitas tanah lempung. Molekul air merupakan molekul yang dipolar, yaitu atom hidrogen tidak tersusun simetri di sekitar atom-atom oksigen (Gambar 2.12a). Hal ini berarti bahwa satu .molekul air merupakan batang yang mempunyai muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan atau dipolar (Gambar 2.11b).

Gambar 2.11 Sifat dipolar molekul air (Hardiyatmo, 1992)

(30)

1. Tarikan antara permukaan bermuatan negatif dari partikel lempung dengan ujung positif dari dipolar.

2. Tarikan antara kation-kation dalam lapisan ganda dengan muatan negatif dari ujung dipolar. Kation-kation ini tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif.

3. Andil atom-atom hidrogen dalam molekul air, yaitu dengan ikatan hidrogen antara atom oksigen dalam partikel lempung dan atom oksigen dalam molekul-molekul air (hydr ogen bonding).

Gambar 2.12 Molekul air dipolar dalam lapisan ganda (Das,1991)

Mineral lempung yang berbeda memiliki defisiensi dan tendensi yang berbeda untuk menarik exchangeablecation. Exchangeable cation adalah keadaan dimana kation dapat dengan mudah berpindah dengan ion yang bervalensi sama dengan kation asli. Montmorillonite memiliki defisiensi dan daya tarik exchangeable cation yang lebih besar daripada kaolinite. Kalsium dan magnesium merupakan exchangeable cationyang paling dominan pada tanah, sedangkan

potassium dan sodium merupakan yang paling tidak dominan. Ada beberapa Mekanisme 3

(31)

faktor yang mempengaruhi exchangeable cation, yaitu valensi kation, besarnya ion dan besarnya ion hidrasi. Kemampuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:

Al+3>Ca+2>Mg+2>NH+4>K+>H+>Na+>Li+

Kation Li+ tidak dapat mendesak kation lain yang berada dikirinya (Das, 2008) Semakin luas permukaan spesifik tanah lempung, air yang tertarik secara elektrik disekitar partikel lempung yang disebut air lapisan ganda jumlahnya akan semakin besar. Air lapisan ganda inilah yang menyebabkan sifat plastis pada tanah lempung. Konsentrasi air resapan dalam mineral lempung memberi bentuk dasar dari susunan tanahnya sebagai berikut, tiap partikelnya terikat satu sama lain lewat lapisan air serapannya. Selain itu jarak antara partikel juga akan mempengaruhi hubungan tarik menarik atau tolak menolak antar partikel tanah lempung yang diakibatkan oleh pengaruh ikatan hidrogen, gaya Van der Walls serta macam ikatan kimia dan organiknya. Bertambahnya jarak akan mengurangi gaya antar partikel.

Sehingga ikatan antar partikel tanah yang disusun oleh mineral lempung akan sangat dipengaruhi oleh besarnya jaringan muatan negatif pada mineral, tipe, konsentrasi dan distribusi kation-kation yang berfungsi untuk mengimbangi muatannya.

(32)

Gambar 2.13 Kation dan anion pada partikel (Das,1991)

Pada penelitian ini akan dilakukan usaha penggantian kation-kation yang terdapat pada lempung dengan kation-kation dari bahan semen yang dicampurkan dengan abu vulkanik dengan variasi yang berbeda-beda.

2.2.2 Semen 2.2.2.1 Umum

Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan pengikat. Semen juga merupakan perekat hidrolis dimana senyawa-senyawa yang terkandung di dalam semen dapat bereaksi dengan air dan membentuk zat baru yang bersifat sebagai perekat terhadap batuan. Semen mimiliki susunan yang berbeda-beda, dan semen dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Semen hidrolik

(33)

pozzolan, semen alumina, semen portland-pozzolan, semen terak, semen alam dan lain-lain.

2. Semen non-hidrolik.

Semen non hidrolik adalah semen yang tidak memiliki kemampuan untuk mengikat dan mengeras di dalam air, akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh dari semen non hidrolik adalah kapur.

2.2.2.2 Semen Portland

Semen portland adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan klinker dengan kandungan utamanya adalah kalsium silikat yang bersifat hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan.

Unsur penting dalam semen portland yaitu: a. Dikalsium silikat (2CaO. SiO2) atau C2S b. Trikalsium silikat (3CaO.SiO2) atau C3S

c. Kalsium sulfat dihidrat (gypsum) (CaSO4.2H2O) d. Trikalsium aluminat (3CaO.Al2O3) atau C3A

e. Tetrakalsium aluminoferit (4CaO.Al2O3. Fe2O3) atau C4AF

2.2.2.2.1 Hidrasi Semen

Ketika air ditambahkan ke dalam campuran semen, proses kimiawi yang disebut hidrasi akan berlangsung. Senyawa kimia dalam semen akan bereaksi dengan air dan membentuk komponen baru. Proses kimia untuk reaksi hidrasi dari unsur C2S dan C3S dapat ditulis sebagai berikut:

(34)

Kekuatan semen yang telah mengeras tergantung pada jumlah air yang dapat dipakai waktu proses hidrasi berlangsung. Pada dasarnya jumlah air yang diperlukan untuk proses hidrasi sekitar 20 % dari berat semen (Nugraha, 2007).

2.2.2.2.2 Jenis-jenis Semen Portland

Sesuai dengan kebutuhan pemakaian semen saat ini, dalam perkembangannya dikenal berbagai jenis semen portland antara lain:

1. Semen portland biasa

Semen portland ini digunakan dalam pelaksanaan konstruksi secara umum jika tidak diperlukan sifat-sifat khusus, seperti ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi rendah, kekuatan awal yang tinggi dan sebagainya. ASTM mengklasifikasikan semen portland ini sebagai tipe I.

2. Semen portland dengan ketahanan sedang terhadap sulfat

Semen ini digunakan pada konstruksi jika sifat ketahanan terhadap sulfat dengan tingkat sedang, yaitu dimana kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,8% - 0,17% dan 125 ppm, serta PH tidak kurang dari 6. ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai tipe II.

3. Semen portland dengan kekuatan awal tinggi

Semen portland ini mengandung tricalsium silikat (C3S) lebih banyak dibanding semen portland biasa. Semen jenis ini memiliki kekuatan awal yang tinggi dan kekuatan tekan pada waktu yang lama juga lebih tinggi dibanding semen Portland biasa. ASTM mengklasifikasikan semen ini sebagai tipe III.

(35)

Semen jenis ini memiliki kandungan tricalsium silikat (C3S) dan tricalsium aluminat (C3A) yang lebih sedikit, tetapi memiliki kandungan C3S yang lebih banyak dibanding semen Portland biasa dan memiliki sifat-sifat : a. Panas hidrasi rendah

b. Kekuatan awal rendah, tetapi kekuatan tekan pada waktu lama sama dengan semen Portland biasa

c. Susut akibat proses pengeringan rendah

d. Memiliki ketahanan terhadap bahan kimia, terutama sulfat ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai tipe IV. 5. Semen portland dengan ketahanan tinggi terhadap sulfat

Semen jenis ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Semen ini diklasifikasikan sebagai tipe V pada ASTM. Semen jenis ini digunakan pada konstruksi apabila dibutuhkan ketahanan yang tinggi terhadap sulfat, yaitu kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,17% - 1,67% dan 125 ppm – 1250 ppm, seperti pada konstruksi pengolah limbah atau konstruksi dibawah permukaan air.

(36)

Tabel. 2.5. Komposisi kimia semen Portland

Sumber : ASTM Standart On Soil Stabilization With Admixure 1992.

2.2.3 Abu Vulkanik Gunug (AVG)

Gunung Sinabung adalah gunung api di daratan Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung ini mendadak aktif kembali dengan meletus pada tahun 2010. Letusan terakhir gunung ini terjadi sejak September 2013 dan berlangsung hingga sekarang. Material vulkanik terdiri dari batuan yang berukuran besar hingga berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar kawah dalam radius 5-7 km, sedangkan yang berukuran halus sampai ratusan bahkan ribuan km dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin. Material yang paling sering menyebabkan bahaya dari peristiwa gunung meletus adalah seperti lahar, lava, abu vulkanik dan material batu.

(37)

disemburkan ke udara pada saat terjadi letusan. Abu vulkanik tidak larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif.

Secara umum komposisi abu vulkanik terdiri atas Silika dan Kuarsa, sehingga abu vulkanik digolongkan kedalam bahan yang bersifat pozolan. Bahan pozolan didefinisikan bahan bukan semen yang mengandung silika dan alumina. Sementara klasifikasi bahan pozolan terbagi menjadi dua bagian, pozolan alam (natural) dan buatan (sintetis), contoh pozolan alam adalah: tufa, abu vulkanis, tanah diatomae dan trass adalah sebutan pozolan alam yang terkenal di Indonesia.

Selanjutnya contoh pozolan buatan adalah hasil pembakaran tanah liat, abu sekam padi, abu ampas tebu dan hasil pembakaran batu bara (fly ash).

Abu vulkanik menjadi material yang paling bermanfaat untuk manusia. Abu vulkanik mengandung beberapa jenis mineral yang penting untuk mempengaruhi kesuburan tanah seperti magnesium, seng, mangan, zat besi dan selenium. Komponen ini akan menambah kesuburan tanah ketika bercampur dengan senyawa tanah. Beberapa kegunaan abu vulkanik yaitu:

- Dapat menyuburkan tanah, abu vulkanik yang keluar dari gunung berapi mengandung berbagai mineral yang sangat penting untuk tanah. mineral yang bercampur dengan tanah akan membentuk tanah yang lebih subur. Dampak ini dapat kita lihat secara langsung yaitu kawasan di sekitar pegunungan selalu subur.

(38)

Bahkan di beberapa daerah abu vulkanik sering dijadikan bahan campuran untuk membuat semen dan material beton.

Pada penelitian ini sebelum abu vulkanik digunakan untuk membuat benda uji, maka abu vulkanik tersebut perlu dilakukan pengujian komposisi kimianya. Pengujian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera utara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap abu vulkanik yang digunakan, diperoleh hasil seperti yang terlihat pada tabel 2.6.

Tabel 2.6. Hasil Pengujian Analisis Kimia Abu Vulkanik Gunung Sinabung

No. Parameter Hasil Metode

1. SiO2 84,08 % Gravimetri

2. Fe2O3 0,03 % Spektrofotometri

3. Al2O3 9,94 % Gravimetri

4. CaO 0,14 % Titrimetri

Sumber : Hasil Percobaan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU.

2.3 Stabilisasi Tanah

Ketika tanah di lapangan bersifat sangat lepas atau sangat mudah tertekan atau pun memiliki indeks konsestensi yang tidak stabil, permeabilitas yang cukup tinggi, atau memiliki sifat-sifat lain yang tidak diinginkan yang membuatnya tidak sesuai untuk digunakan di dalam suatu proyek konstruksi, maka tanah tersebut perlu dilakukan usaha stabilisasi tanah.

(39)

pengaruh air dan menyebabkan tanah mengembang dan menyusut dalam jangka waktu yang relatif cepat. Stabilisasi tanah adalah pencampuran tanah dengan bahan tertentu, guna memperbaiki sifat-sifat teknis tanah, atau dapat pula, stabilisasi tanah adalah suatu usaha untuk merubah atau memperbaiki sifat-sifat teknis tanah agar memenuhi syarat teknis tertentu.

Bowles (1991) menyatakan bahwa stabilisasi tanah mungkin dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Meningkatkan kepadatan tanah.

2. Menambahkan bahan-bahan inert untuk meningkatkan kohesi dan/atau kekuatan geser dari tanah.

3. Menambahkan bahan-bahan yang mampu mengakibatkan perubahan secara kimiawi ataupun fisik dari tanah.

4. Merendahkan permukaan air tanah.

5. Memindahkan dan/atau mengganti tanah yang bersifat buruk tersebut. Proses stabilisasi tanah ada 3 cara yaitu :

1. Mekanis

Stabilisasi mekanis dilakukan dengan cara pemadatan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis peralatan mekanis seperti: mesin gilas

(roller), benda berat yang dijatuhkan, ledakan, tekanan statis, tekstur, pembekuan, pemanasan dan sebagainya.

2. Fisis

(40)

3. Kimiawi (Modification by Admixture)

Stabilisasi secara kimiawi dilakukan dengan cara menambahkan bahan kimia tertentu sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan kimia tersebut dapat berupa Portland cement (PC), kapur, gypsum, abu terbang (fly ash), semen aspal, sodium dan kalsium klorida, ataupun limbah pabrik kertas dan bahan-bahan limbah lainnya yang memungkinkan untuk digunakan seperti abu sekam padi, abu ampas tebu, abu cangkang sawit dan lain-lain.

2.3.1 Stabilisasi Tanah dengan Semen

Stabilisasi tanah dengan semen adalah pencampuran antara tanah yang telah dihancurkan, semen dan air, kemudian dipadatkan dan menghasilkan suatu material baru yaitu tanah – semen dimana karakteristik deformasi, kekuatan, daya tahan terhadap air, cuaca dan sebagainya dapat disesuikan dengan kebutuhan.

Pada penelitian ini digunakan semen dengan jenis Portland Cement tipe-I dan abu vulkanik. Kelebihan penggunaan semen sebagai bahan stabilisasi tanah adalah:

a. Meningkatkan kekuatan dan kekakuan (stiffness)

b. Stabilitas volume yang lebih baik c. Meningkatkan durabilitas

2.3.2 Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah dengan Semen

Suardi (2005) mengatakan tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan semen adalah sebagai berikut:

(41)

Jika semen portland ditambahkan pada tanah, ion kalsium Ca++ dilepaskan melalui proses hidrolisa dan pertukaran ion berlanjut pada permukaan partikel-partikel lempung, Butiran lempung dalam kandungan tanah berbentuk halus dan bermuatan negatif. Ion positif seperti ion hidrogen (H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+), serta air yang berpolarisasi. Sehingga membentuk kalsium silikat dan kalsium aluminat yang mengakibatkan kekuatan tanah meningkat. Reaksi pozolan; semuanya melekat pada permukaan butiran lempung. Dengan reaksi ini partikel-partikel lempung menggumpal sehingga mengakibatkan konsistensi tanah menjadi lebih baik. b. Reaksi pembentukan kalsium silikat dan kalsium aluminat;

Secara umum hidrasi adalah sebagai berikut:

2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+3Ca(OH)2 2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+ Ca(OH)2

(42)

2.3.3 Stabilisasi Tanah dengan Abu Vulkanik

Gambar

Gambar 2.1 (a) elemen tanah dalam keadaan asli; (b) tiga fase elemen tanah
Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah (Hardiyatmo, 1992)
Gambar 2.2 Batas-batas Atterberg (Soedarmo, 1997)
Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool (Hardiyatmo, 1992)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada bilangan 9.749 yang menjadi nilai tempat ratusan adalah angka .... Urutan bilangan mulai terbesar yang

Untuk mengoperasikannya Receiver ini menggunakan remote sebagai transmitter dan juga menggunakan beberapa software agar keberadaan InfraRed Receiver ini dapat dikenali oleh

Simulasi mobile robot (mobot) pada PC adalah suatu perangkat lunak yang dapat digunakan untuk sebuah penelitian, salah satunya adalah untuk mengetahui cara kerja dari mobot itu

[r]

[r]

[r]

• Peforma Sosial merupakan perilaku organisasi yang ditujukan untuk mendemonstrasikan kerja sama dan kesopanan dengan orang lain.. • Peforma Politis merupakan perilaku organisasi

[r]