• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini

menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut (DeVito, 1997: 490).

Seperti halnya kultur (budaya) perkawinan yang dianut oleh masyarakat suku

Minang di daerah Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sjarifoeddin (2011: 476)

menyebutkan bahwa adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di

Minangkabau memiliki perbedaan. Tata cara perkawinan di Pariaman, berbeda

dari tata cara perkawinan di daerah lainnya seperti Payakumbuh, Bukittinggi dan

lainnya.

Pada masyarakat suku Minang yang menganut sistem matrilineal, posisi suami adalah sebagai urang sumando atau orang yang datang dalam keluarga istri. Oleh karena itu, untuk menghormati posisi laki-laki (suami), ibarat pepatah

datang karano dipanggia, tibo karano dianta” (datang karena dipanggil, tiba

karena diantar), masyarakat Pariaman mewujudkannya dalam bentuk proses

bajapuik pada adat perkawinan yang melibatkan barang-barang yang bernilai, seperti emas atau uang (Sjarifoedin, 2011: 477). Proses bajapuik atau menjemput

laki-laki dengan melibatkan uang inilah yang disebut sebagai tradisi uang

jemputan (japuik), pada adat perkawinan masyarakat Pariaman.

Maihasni, Sumarti, Wahyuni dan Tjondronegoro (2010: 178),

(2)

matrilineal suku Minang di Pariaman, di mana harta pusaka ditetapkan menjadi

milik perempuan, sementara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu,

wajar bila laki-laki yang diterima sebagai menantu, diberikan uang jemputan

sebagai modal bagi mereka untuk hidup berumah tangga. Sjarifoedin (2011: 474)

menambahkan dalam adat perkawinan di Pariaman, pihak wanitalah yang

melamar dan menjemput serta membayar pihak pria, ketika akan melangsungkan

perkawinan. Karena itu adat perkawinan Pariaman, lebih dikenal dengan

“perkawinan bajapuik” atau “perkawinan berjemputan”. Adat perkawinan

Pariaman yang demikian adalah adat lokal Pariaman, tidak berlaku untuk seluruh

wilayah Minangkabau Sumatera Barat.

Uang jemputan umumnya terdapat di daerah Pariaman dan Kota Padang.

Laki-laki dijemput oleh keluarga perempuan dengan sejumlah uang atau barang

berharga lainnya pada saat peminangan. Jika keluarga laki-laki setuju,

peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan

sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya (Yaswirman, 2011: 135).

Dari pernyataan tersebut, dapat digambarkan bahwa dalam tradisi uang jemputan,

terdapat aturan komunikasi yang bersifat transaksional antar keluarga calon

pengantin dalam mencapai kesepakatan mengenai jumlah uang jemputan, sebagai

syarat perkawinan. Tidak tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak

keluarga tersebut dapat berakibat pada gagalnya rencana perkawinan, di mana hal

ini menggambarkan tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan.

Seperti dikisahkan dalam sebuah cerpen yang dimuat pada harian

(3)

seorang gadis bernama Faraswati. Keluarga Faraswati tidak mampu memenuhi

uang jemputan sebesar sepuluh juta rupiah, sebagai syarat perkawinan yang

diminta oleh keluarganya. Tokoh Aku (penulis) sebenarnya menolak adanya

tradisi tersebut. Keinginannya menikahi Faraswati terhalang, karena harus

mematuhi adat istidat (sumber: http://manggopohalamsaiyo.blogspot.com). Kisah

tersebut menceritakan tentang, tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan

mengenai kesepakatan uang jemputan sebagai syarat perkawinan.

Proses komunikasi yang tidak efektif pada pelaksanaan tradisi uang

jemputan, juga dikisahkan dalam sebuah film pendek karya Ferdinand Almi,

berjudul “Salisiah Adaik” yang artinya “Selisih Adat”. Film tersebut menceritakan

tentang perjalanan cinta dua sejoli, bernama Muslim dan Rosa. Cinta keduanya

tidak dapat bersatu, karena memiliki adat perkawinan yang saling bertentangan.

Muslim adalah pemuda Pariaman, sedangkan Rosa adalah gadis Payakumbuh.

Bagi keluarga Muslim, dalam adat perkawinan Pariaman mengharuskan adanya

pemberian uang jemputan dari pihak perempuan. Sementara bagi keluarga Rosa,

dalam adat perkawinan Payakumbuh mengharuskan adanya pelaksanaan tradisi

sasuduik. Tradisi sasuduik adalah kewajiban calon suami untuk memenuhi tanggung jawab dalam memberikan perlengkapan kamar kepada perempuan yang

akan dinikahi. Perselisihan adat tersebut membuat kisah cinta Muslim dan Rosa,

sulit dipersatukan dalam sebuah ikatan perkawinan (sumber:

http://www.warta-andalas.com).

Pada awalnya uang jemputan diberikan kepada laki-laki yang memiliki

(4)

sosial tinggi, seperti gelar kesarjanaan. Sekarang ini uang jemputan bukan lagi

untuk laki-laki yang dijemput, melainkan untuk ibunya (Navis, 1984: 201).

Kuntjaraningrat mengemukakan bahwa penetapan besarnya uang jemputan,

merupakan masalah sulit yang harus ditempuh oleh keluarga perempuan dalam melakukan peminangan. Uang jemputan telah berubah

pelaksanaannya menjadi “uang hilang”. Istilah “hilang” berarti pemberian pihak keluarga perempuan, tidak dibalas oleh pihak keluarga laki-laki. Sementara dalam prosesi yang sebenarnya, pemberian uang jemputan seharusnya dibalas atau dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki dalam bentuk pemberian perhiasan atau benda berharga lainnya yang disebut

panibo. Pemberian ini dilaksanakan pada saat anak daro (pengantin perempuan), datang mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk pertama kali (dalam jurnal Depdikbud, 1978: 11).

Pernyataan di atas didukung oleh Al Reza (2011: 72) yang menyebutkan,

di dalam agama Islam hanya dikenal dengan mahar sebagai pemberian laki-laki untuk calon istrinya, bukan sebaliknya seperti yang berlaku pada tradisi uang

hilang. Oleh karena itulah uang hilang bertentangan dengan hukum Islam. Meskipun demikian perkawinan yang tidak memakai uang jemputan itu tetap sah,

karena pemberian uang jemputan itu adalah syarat tersendiri yang timbul karena

kebiasaan masyarakat Pariaman. Perkawinan dapat dilakukan asalkan rukun dan

syarat perkawinan terpenuhi, seperti terdapat dalam ketentuan Hukum Islam dan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada

ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ke tiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan

Undang-undang Negara. Pendapat senada disampaikan Ibrahim (1984: 15), bahwa

adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” merupakan ungkapan yang

mencerminkan masyarakat Sumatera Barat, di samping mereka teguh memegang

(5)

(1987: 104) mengemukakan, pada mulanya antara adat Minang dan Islam

memang terjadi konflik, setidaknya demikian menurut peneliti-peneliti barat sejak

masa penjajahan.

Pendapat tersebut didukung Yaswirman (2011: 112), bahwa perbenturan

persepsi antara adat dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan,

terutama bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal,

sedangkan Islam menganut sistem patrilineal. Di Minangkabau, suami tinggal bersama di rumah keluarga istri, sedangkan dalam Islam sebaliknya, istri tinggal

di rumah yang disediakan suami. Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan,

perwalian, kepemilikan harta dan pewarisan. Kendati telah ada konsensus “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”,

namun mewujudkan persentuhan adat dan Islam dalam persoalan ini, mengalami

proses yang sangat panjang.

Dalam urusan perjodohan generasi muda Minang, tidak hanya orang tua

yang berperan, seorang “mamak” atau paman (saudara laki-laki ibu) juga ikut berperan. Mamak termasuk orang yang berkuasa terhadap keturunan. Keturunan

yang dimaksud adalah kemenakan yang menjadi anak dalam keluarga inti. Jika

tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya sampai mereka dewasa, maka

tanggung jawab dan kekuasaan mamak terhadap kemenakannya, seakan-akan bukan dalam waktu terbatas. Kekuasaan itu mulai terlihat sejak kemenakan masih

kecil, mencarikan jodoh sampai berumah tangga (Yaswirman, 2011: 167-168).

Sebuah novel berjudul “Memang Jodoh” karangan Marah Rusli,

menceritakan tentang peranan keluarga dalam urusan perjodohan yang dikisahkan

(6)

perkawinan Minang. Hamli (tokoh utama dalam novel) selalu mendapat desakan

dari para mamak (paman)nya untuk mau menerima pinangan, di antara beberapa perempuan sesama suku Minang yang akan memberinya uang jemputan. Hamli

diperbolehkan melakukan poligami dengan alasan agar perempuan Minang yang

akan ia nikahi, mendapat keturunan yang baik darinya, sebagai seorang keturunan

bangsawan dari kerajaan Pagaruyung di Kota Padang. Sikap Hamli yang sangat

menentang poligami dan tradisi uang jemputan, membuatnya memilih meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Bogor untuk melanjutkan

pendidikan. Akhirnya terjadi konflik antara Hamli dengan keluarga besarnya,

disebabkan Hamli memutuskan menikahi seorang perempuan dari suku Jawa,

yang kini menjadi istrinya. (Rusli, 2013: 10).

Kisah lain tentang peranan keluarga dalam perjodohan dengan tradisi

uang jemputan yang cukup menarik, ditulis oleh Desni Intan Suri dalam sebuah

novel fiksi, berjudul “Aku Tidak Membeli Cintamu”. Novel tersebut menceritakan

kisah seorang gadih gadang indak balaki (gadis yang telah dewasa, namun belum bersuami). Tokoh utama pada novel tersebut bernama Suci Intan Baiduri. Ia

sangat menentang keinginan ibunya, untuk menikahkan dirinya kepada laki-laki

Pariaman dengan sejumlah uang jemputan. Suci memandang sistem matrilineal,

membuat perempuan Minang menjadi lebih berkuasa dari pada laki-laki, apalagi

dengan adanya tradisi uang jemputan. Suci melihat hal tersebut pada karakter

ibunya yang selalu memegang setiap keputusan dalam urusan rumah tangga. Suci

berpendapat bahwa adat Minang yang sesungguhnya, bertujuan untuk melahirkan

watak bundo kanduang bagi wanita Minang, yaitu sebuah watak kepemimpinan

(7)

perjodohan tersebut setelah mengetahui bahwa laki-laki yang dijodohkan dengan

dirinya adalah laki-laki yang ia kagumi selama ini dan memiliki prinsip, tidak

menginginkan adanya tradisi uang jemputandalam perkawinan (Suri, 2012: 70).

Dari kedua kisah pada novel di atas, penulis mencoba menyampaikan

adanya persepsi berbeda tentang tradisi uang jemputan. Persepsi tersebut

digambarkan oleh tokoh Hamli dan Suci yang bersikap menolak tradisi uang

jemputan, setelah keluarga berperan dalam memprakarsai perjodohan dengan

tradisi uang jemputan. Berbeda dengan hasil penelitian Yunita, Muhammad dan

Basri (2010) yang mendapati bahwa persepsi masyarakat Padang Pariaman di

Kota Lampung, tentang tradisi uang jemputan adalah persepsi yang positif.

Tradisi tersebut menurut responden, merupakan upaya untuk melestarikan adat

istiadat Minang Pariaman (sumber: http//jurnal.fkip.unila.ac.id). Ini menunjukkan

bahwa setiap orang memiliki cara pandang atau persepsi yang berbeda-beda

dalam memaknai suatu budaya. Samovar & Porter (dalam Lubis, 2012: 63)

menyebutkan, ada 3 (tiga) elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi

budaya, yaitu: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem

kepercayaan, nilai-nilai dan sikap perilaku; (2). sistem lambang (verbal dan non

verbal); dan (3). organisasi sosial.

Masyarakat Minangkabau, sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya

di Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya

(culture shocks) yang sangat hebat, akibat tantangan dan serangan yang datang dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi. Di samping itu juga akibat proses

pelapukan yang terjadi dari dalam, yang semua ini bisa membahayakan eksistensi

(8)

pada orang Minang perantauan atau yang tinggal di perkotaan, tanpa

mengenyampingkan adat, masalah uang jemputan dapat diatasi. Misalnya secara

simbolis jumlahnya tetap dibunyikan, tapi dalam praktiknya tidak dilaksanakan.

Kecuali di antara pihak itu, ada yang tidak mempunyai itikad baik dalam

perkawinan. Kalau hal ini yang terjadi, memang lebih baik rencana perkawinan

tersebut dibatalkan dini hari. Seperti pepatah “kumbang tidak seekor, bunga tidak

setangkai”(Sjarifoedin, 2011: 481).

Menurut Provencher, model migrasi masyarakat Minangkabau sering

disebut merantau dalam bentuk perpindahan tradisional, institusional dan normatif (dalam Pelly, 2013: 9). Selanjutnya Thomas & Znaniecki menyebutkan,

fungsi migrasi adalah sebagai cultural transmitter atau penyalur arus budaya

(dalam Naim, 2013: 13). Kota Medan menempati urutan pertama, setelah Binjai,

Tebing Tinggi, dan Kota lainnya di Sumatera Utara yang merupakan tempat

tujuan perantau Minangkabau dengan jumlah yang besar, berdasarkan hasil sensus

penduduk pada tahun 1930 (Naim, 2013: 105). Sementara itu pada tahun 1981,

penduduk etnis Minangkabau, merupakan urutan ke lima sebagai penduduk

terbanyak di Kota Medan, setelah etnis Jawa, Batak Toba, Tionghoa dan

Mandailing (Pelly, 2011: 97).

Kehadiran orang Minangkabau di Kota Medan dalam jumlah yang besar,

merupakan faktor yang menempatkan mereka, tidak merasa tersudut oleh situasi

atau merasa terasing sebagai pendatang. Orang Minang berprinsip seperti apa

yang dikatakan pepatah “dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang”, yang

artinya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minang dapat

(9)

organisasi berdasarkan daerah asal di Sumatera Barat, seperti Pariaman, Batu

Sangkar, Maninjau, Pasaman dan sebagainya (Naim, 2013: 108-109).

Penelitian yang pernah peneliti lakukan pada tahun 2005, mendapati

bahwa tradisi uang jemputan masih dilaksanakan orang Minang yang berasal dari

daerah Tujuh Koto, Kabupaten Pariaman yang ada di Kota Medan, sebagai lokasi

penelitian. Persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh remaja putri Minang

sebagai informan penelitian, cenderung bersifat subjektif, di mana perempuan

sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak layak atau tidak pantas (Susanti,

2005: 73). Sedangkan di daerah asal tradisi ini, Bupati Padang Pariaman sendiri

pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman, menghapus tradisi uang japuik

atau uang hilang. Pada tanggal 25 Januari 1990, dikeluarkan keputusan bersama

antara Bupati, Lembaga Adat dan Lembaga Agama setempat untuk menghapus

tradisi uang hilang (Al Reza, 2011: 1).

Sementara itu masyarakat di luar suku Minang, sering mengartikan

tradisi uang jemputan sebagai tradisi “membeli laki-laki”. Dahulu seluruh masyarakat di daerah Sumatera Barat, memakai tradisi uang jemputan pada adat

pernikahan. Sekarang ini, Kota Pariaman adalah satu dari sedikit daerah di

Sumatera Barat yang tetap mempertahankan adat tersebut. Tradisi “membeli laki-laki” dengan sejumlah uang ini, ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga (sumber: http://www.infominang.com). Adanya stereotip tentang

tradisi uang jemputan sebagai tradisi “membeli laki-laki”, merupakan cara

pandang atau persepsi yang berbeda dari ekspektasi sebenarnya tentang nilai-nilai tradisi uang jemputan, di mana pemberian uang jemputan dimaksudkan sebagai

(10)

Mulyana mengemukakan bahwa dalam komunikasi antarmanusia, stereotip

umumnya akan menghambat keefektifan komunikasi, bahkan pada gilirannya

akan menghambat integrasi manusia yang sudah pasti dilakukan lewat komunikasi

(dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 236).

Suatu kajian yang menarik mengenai perbedaan persepsi masyarakat,

khususnya generasi muda Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan.

Pelaksanaan suatu tradisi akan kuat, bila dilaksanakan di daerah asal.

Bagaimanakah jika tradisi tersebut, dilaksanakan di luar daerah asal atau di

perantauan?. Tradisi uang jemputan yang dilaksanakan di daerah rantau akan

melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Proses ini akan berpengaruh pada persepsi budaya generasi muda, khususnya yang lahir dan besar di perantauan,

sebagai generasi penerus dalam proses transmisi nilai-nilai budaya.

Sebagaimana Samovar, et al. (2010: 49) menyebutkan bahwa “kita lebih

dari budaya kita”. Meskipun semua budaya memberikan referensi secara umum,

manusia bukanlah tawanan dari budaya mereka atau tunduk pada semua hal dari

budaya tersebut. Manusia berfikir, merasa, dan berperan dalam perilaku sosial

kolektif mereka. Akibatnya, nilai dan perilaku dari budaya tertentu, mungkin

bukanlah merupakan nilai dan perilaku semua individu dalam budaya tersebut.

Sjarifoedin (2011: 477) mengemukakan, tradisi perkawinan dengan uang

jemputan sering mengundang pro dan kontra dalam masyarakat, baik dari dalam

maupun dari luar masyarakat Pariaman. Namun tradisi tersebut tetap langgeng

dan eksis dilaksanakan.

Proses yang dilalui individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya)

(11)

pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi

bagian kepribadian dan perilaku kita. Proses belajar ini memungkinkan kita

berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang memiliki pola-pola

komunikasi serupa (Adler dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 138).

Pada akhirnya proses komunikasi yang dilakukan dalam tradisi uang

jemputan, berakibat pada berhasil atau tidaknya seorang perempuan Minang

Pariaman untuk mendapatkan suami (menikah). Hal ini disebabkan, bahwa dalam

suku Minang, merupakan aib besar bagi suatu keluarga, kalau mereka mempunyai

gadih gadang indak balaki” atau gadis yang telah dewasa, namun belum

memiliki suami (Sjarifoedin, 2011: 471). Kelahiran anak perempuan, sebenarnya

sangat didambakan oleh masyarakat Minang sebagai pelanjut kekerabatan dan

pemegang hak atas kekayaan keluarga. Kedudukan perempuan menjadi sentral

untuk urusan di dalam maupun di luar (Yaswirman, 2011: 125-126).

Berdasarkan seluruh paparan di atas, peneliti tertarik melakukan

penelitian komunikasi dalam adat perkawinan suku Minang, khususnya pada

persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh perempuan Minang Pariaman yang

lahir dan besar di Kota Medan. Alasan pemilihan permasalahan ini, disebabkan

karena perempuan Minang Pariaman pada sistem matrilineal, merupakan pihak

yang memiliki peranan utama dalam proses pelamaran dan pemberian uang

jemputan. Hal ini dapat dikatakan pula bahwa pihak perempuan merupakan

komunikator dalam proses pelamaran dengan tradisi uang jemputan.

Budaya didefenisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari melalui

komunikasi (Edward T. Hall dalam Ruben dan Stewart, 2013: 361). Ketika

(12)

keluarga akan berperan dalam urusan perjodohan dan penyampaian pesan tentang

adanya tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan. Oleh karena itu peneliti

ingin mengetahui lebih dalam, tentang persepsi dan perubahan sikap perempuan

Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan, tentang tradisi uang

jemputan sebagai adat perkawinan sukunya (intra culture) yang menerpa dirinya. Alasan pemilihan Kota Medan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan

Kota Medan merupakan Kota Metropolitan ketiga setelah Jakarta dan Surabaya

(Pelly, 2013: 4) yang memiliki kedekatan geografis dengan Sumatera Barat

sebagai daerah asal tradisi uang jemputan. Sebagaimana dikemukakan Mochtar

Naim bahwa hubungan komunikatif yang relatif lancar, antara perantau di Kota

Medan dengan kampung halaman, memungkinkan perantau Minangkabau rutin

untuk pulang kampung (Naim, 2013: 109). Pada keluarga perantau Minang yang

berasal dari Pariaman yang ada di Kota Medan, memungkinkan terjadinya proses

komunikasi dalam pewarisan nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan,

sebagai upaya menjalankan misi budaya. Pelly (2013: 3) mengemukakan bahwa,

dengan meneliti “misi budaya” yang dibawa para perantau ke daerah perantauan,

kita bisa melihat budaya tuan rumah yang dominan itu, dapat mempengaruhi

konsep-konsep budaya yang dibawa para perantau dari daerah asal.

Dalam era globalisasi informasi, suatu fenomena tidak hanya sekedar

memerlukan pertimbangan nilai baik atau buruk, benar atau salah, indah atau

jelek, tetapi memerlukan pertimbangan lain, apakah menguntungkan atau

merugikan, layak atau tidak layak dan sebagainya (El Karimah dan Wahyudin,

2010: 52). Perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan

(13)

kehidupan modern dan multikultural, sehingga turut pula membentuk persepsi

budayanya tentang tradisi uang jemputan yang menarik untuk diteliti. Selain itu

dalam referensi yang peneliti telusuri dan baca, peneliti belum mendapati

penelitian sebelumnya yang meneliti persepsi perempuan Minang Pariaman yang

lahir dan besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat

perkawinan Pariaman. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian ini,

untuk memberikan variasi terhadap penelitian sejenis.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, peneliti menetapkan

fokus masalah penelitian sebagai berikut:

1.2.1.Bagaimana cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar

di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan?

1.2.2.Bagaimana perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan

besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam

adat perkawinan?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1.3.1. Mengetahui cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan

besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan.

1.3.2. Mengetahui perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan

besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam

(14)

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1. Secara akademis, diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ilmu

komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi antarbudaya. Selain itu

diharapkan dapat memberikan motivasi kepada peneliti-peneliti lain, untuk

mengkaji lebih dalam penelitian komunikasi tentang tema-tema budaya.

1.4.2. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah pemahaman masyarakat

akademis mengenai penelitian yang berkaitan dengan tradisi uang

jemputan dalam adat perkawinan Pariaman di Kota Medan.

1.4.3. Secara praktis, diharapkan dapat menggambarkan terjadinya perubahan atau

pergeseran nilai-nilai pada tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan

Pariaman, melalui persepsi dan terlihat pada perubahan sikap perempuan

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan regresi pada penelitian ini menggunakan data aset beberapa bank di Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui apakah aset suatu bank bergantung pada suku

Penulisan ilmiah ini dibuat dengan tahapan pembuatan hompage meliputi : struktur navigasi, desain tampilan halaman user, desain tampilan halaman administrator, perancangan

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan program penjualan Merchandise pada Toko Soccer Sport Mania dengan menggunakan Visual Basic 6.0 dan menggunakan

Belanja Jasa Kantor Belanja Telepon BELANJA LANGSUNG BELANJA BARANG DAN JASA Belanja Bahan Pakai Habis Belanja Alat Tulis Kantor. Belanja Peralatan Kebersihan dan

Bersumber dari masalah diatas penulis terdorong untuk dapat mengatasi kesulitan itu dengan mengkomputerisasikan system tersebut, dengan harapan akan dapat meningkatkan mutu

Akan tetapi, peningkatan keterampilan proses sains siswa SMP yang mendapat pembelajaran berbasis praktikum pada subkonsep struktur jaringan tumbuhan lebih baik

Dan sistem yang akan diusulkan pada penelitian ini memanfaatkan mikrokontroler dan teknologi Modul bluetooth yang saat ini masih belum banyak yang

Tipe pengaliran yang akan digunakan pada sistem transmisi adalah dengan menggunakan sistem gravitasi, karena sumber mata air berada pada elevasi yang lebih tinggi