• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Medan Dalam Perspektif Pelayanan Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Medan Dalam Perspektif Pelayanan Publik"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Era Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru

menuntut pembaharuan dalam berbagai bidang dengan menerapkan azas azas

transfaransi, akuntabilitas, dan desentralisasi.Dalam bidang pemerintahan,

pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai konsekuensi dari kebijakan desentralisasi

telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.Kebijakan Otonomi daerah ini di

tuangkan dalam UU No. 22 Tahun 1991, selanjutnya di sempurnakan dengan UU

No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Otonomi daerah sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah :

“Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem

negara kesatuan republik indonesia”. UU Nomor 23 Tahun 2014 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya

disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan otonomi kepada

daerah kabupaten dan kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi

yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah mencakup

(2)

luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama.

Pelaksanaan otonomi daerah memiliki tujuan antara lain: untuk peningkatan

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, peningkatan partisipasi

masyarakat dalam kehidupan politik dan pelaksanaan pembangunan, peningkatan

efektifitas pelaksanaan koordinasi, pemanfaatan sumber daya yang ada di daerah,

dan peningkatan efektifitas pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan

adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah dapat dengan cepat merespon

tuntutan masyarakat di daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki daerah

masing masing.

Pelaksanaan sistem desentralisasi yang mengedepankan prinsip otonomi

daerah menuntut semua pihak untuk melakukan perubahan ( reform). Salah satu

kewenangan yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

rangka otonomi daerah adalah kewenangan untuk menetapkan peraturan daerahnya

sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan

ditingkat atasnya.Hal itu dimaksudkan agar daerah dapat lebih optimal dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan situasi di

daerah setempat.

Dalam penyelengaraan pemerintahan, pemerintah daerah menjalankan

fungsi fungsi yaitu, pengaturan, pemberdayaan, dan pelayanan yang dipengaruhi

oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah faktor manusia yang dalam hal

ini adalah sebagai aparatur pemerintaah, harus memiliki kemampuan yang dapat

menunjang terlaksananya otonomi daerah sesuai dengan apa yang diinginkan

(3)

sangat tergantung kepada aparatur pemerintah daerah sebagai perencana dan

pelaksana.Dalam pelaksanaan otonomi daerah aparat pemerintah daerah juga

dituntut untuk memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam melaksanakan tugas serta

pengembangan struktur jabatan, penjenjangan karier yang jelas, dan juga

pembagian tugas berdasarkan disiplin ilmu yang dimiliki.

Sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat, peran aparatur pemerintah

haruslah berfokus kepada pelayanan publik.Pemerintah harus melakukan

peningkatan sumber daya aparatur, kualitas, profesionalisme pada seluruh jajaran

pemerinahan.Seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat yang cukup

tinggi Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas

semakin mendesak.Masyarakat menghendaki pelayanan yang cepat, akurat, dan

biaya murah.mengutamakan hasil yang optimal terutama pelayanan yang sifatnya

administratif. Pelayanan yang prima tersebut akan mendorong masyarakat ikut

berparisipasi dalam proses pembangunan. Dengan demikian akan mengarah pada

peningkatan produktifitas dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun pada

pelaksanaan sering terjadi hambatan-hambatan dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat.Hal ini disebabkan oleh hal-hal sifatnya teknis dan non teknis

yang dapat mempengaruhi kinerja aparatur, misalnya penyediaan fasilitas

pelayanan yang terbatas, dan kurangnya kemampuan dalam mengemban

tugasnya.Hal ini merupakan tantangan bagi aparat, yang merupakan ujung tombak

penyelenggaraan pemerintahan didaerah yang berhadapan langsug dengan

(4)

Berdasarkan keputusan Menteri pendayagunaan aparatur Negara Nomor 63

tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik seperti

prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, kemampuan petugas pelayanan,

kecepatan pelayanan, keadilan mendapatkan pelayanan, kepastian biaya pelayanan,

dan kepastian jadwal pelayanan maka pemerintah dituntut untuk meningkatkan

pelayanan masyarakat serta peningkatan kemampuan sumberdaya aparatur.

Menurut Ridwan (2009:163) ada beberapa hambatan yang biasanya

dikeluhkan oleh masyarakat yang ingin mengurus perizinan yaitu:

a. Biaya perizinan

1. Biaya pengurusan izin sangat memberatkan bagi pelaku usaha kecil.

Besarnya biaya perizinan seringkali tidak transparan

2. Penyebab bearnya biaya disebabkan karena pemohon tidak mengetahui

besar biaya resmi utuk pengurusan izin, dan akrena adanya pungutan

liar.

b. Waktu

1. Waktu yang diperlukan mengurus izin relatif lama karena prosesnya

yang berbelit-belit

2. Tidak adanya kejelasan kapan izin diselesaikan.

3. Proses perizinan tergantung pada pola birokrasi setempat

c. Persyaratan

1. Persyaratan yang ditetapkan seringkali sulit untuk diperoleh

2. Persyaratan yang diminta secara berulang-ulang untuk berbagai jenis

(5)

Dalam mendirikan suatu bangunan setiap anggota masyarakat harus memiliki

izin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan dan persyaratan yang ditetapkan

oleh badan yang terkait yang bertugas memberi izin mendirikan bangunan. Menurut

Peratuturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1993 disebutkan sebelum

melakukan pembangunan harus mengajukan permohonan izin mendirikan

bangunan, izin tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian hukum atas

kelayakan, kenyamanan, kesamaan, keamanan sesuai dengan fungsinya. Izin

mendirikan bangunan yang disingkat dengan IMB tidaklah hanya untuk bangunan

yang baru saja namun juga dibutuhkan ketika akan melakukan pembongkaran,

merenovasi, mengubah atau memperbaiki struktur bangunan. Adanya kegiatan

perizinan yang di laksanakan oleh pemerintah pada intinya adalah untuk

menciptakan kondisi bahwa kegiatan pembangunan sesuai dengan yang

diperuntukan, disamping itu agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam

rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan. Dalam rangka

melaksanakan rencana tata ruang dan tata bangunan tersebut maka perlu adanya

sertifikat izin mendirikan bangunan yang akan memberi kepastian hukum kepada

masyarakat.

Izin mendirikan bangunan sebagai suatu kebijakan pemerintah dalam

mengendalikan pelaksanaan penataan bangunan mulai dari tahap perencanaan,

pelaksanaan maupun pemanfaatan bangunan. Pengendalian ini diperlukan

mengingat laju pertumbuhan bangunan yang berimplikasi pada meningkatnya

permintaan akan lahan (ruang) untuk perumahan atau tempat usaha dari berbagai

(6)

“penertiban bangunan” yaitu pengendalian pemanfaatan lahan dan pengaturan

kepadatan bangunan serta mencegah penumpukan bangunan di satu tempat dan

bangunan di daerah yang di larang seperti (jalur hijau, sempanjangan sungai,

sempanjangan jalan dan lain-lain) yang telah diatur dan ditetapkannya dalam

Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentangRencana Detail Tata

Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahuin 2015-2035. Dalam perda tersebut

diatur mengenai zona lindung dan zona budidaya, zona perdagangan dan jasa

,peryaratan IMB, ketentuan pemanfaatan ruang, perizinan, pembinaan dan

pengawasan.

Dalam kaitannya dengan pelayanan pemberian Izin Mendirikan bangunan

(IMB), diharapkan praktek pelayanan perizinan tersebut dapat memenuhi tujuan

yang telah ditetapkan terutama dalam hal penyederhanaan prosedur.Kepemiikan

bangunan sering menjadi sengketa publik yang berkepanjangan. Masalah tersebut

muncul karena ketiadaan sertifikat izin mendirikan bangunan (IMB) karena

sebagian masyarakat merasa prosedur perizinan cukup berbelit-belit serta ketiadaan

biaya untuk mengurus izin tersebut.bagi masyarakat yang tidak manpu Keresahan

itu sebenarnya berujung pada kurangnya sosialisasi tentang IMB, karena IMB

adalah merupakan alat pengendali pemanfaatan ruang serta berfungsi sebagai

jaminan kepastian Hukum atas bangunan tersebut.

Pada dasarnya, setiap pengakuan hak oleh seseorang terhadap suatu

bangunan harus didasarkan oleh bukti yang kuat dan sah menurut hukum. Tanpa

(7)

menjadi tidak sah, Sehingga dengan adanya sertifikat IMB akan memberikan

kepastian dan jaminan hukum kepada masyarakat

Adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang di miliki masyarakat, maka

diharapkan penataan wilayah kota Medan dapat berjalan sesuai dengan yang di

peruntukan, selain itu pula masyarakat kota Medan dapat memiliki bangunan yang

statusnya tercatat di pemerintah kota Medan dan memiliki kekuatan hukum

sehingga akan menghindari pemiliknya dari sebutan bangunan liar yang rawan

pembongkaran paksa oleh pemerintah karena dinilai melanggar aturan. contoh

permasalahan dalampelayanan perizinan mendirikan bangunan di Kota Medan.

Berikut kutipan beritanya:

TRIBUN-MEDAN | Manajemen Bumi Asri Mengaku Dipersulit Urus IMB - Kepala Bagian Hukum PT Bumi Pembangunan I Karya Cipta (perusahaan pemilik Perumahan Bumi Asri di Medan Helvetia), Erfin Jamal Lubis, menampik segala bentuk keberatan warga atas keberadaan waterpark di halaman kompleks perumahan tersebut.Meski mengakui bahwa usaha waterpark miliknya tidak memiliki izin, Erfin mengaku pihaknya telah mencoba mengurus izin, mulai dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun, katanya, Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan enggan mengeluarkan."Soal tanpa IMB itu, bukan kami pelaku usaha yang bandel tidak mau ngurus IMB.Kami sudah mencoba mengurus IMB. Kami memenuhi persyataran.Tapi Dinas TRTB tetap tidak mau mengabulkan permohonan kami.Bahkan sudah sampai ke pengadilan, ke Bapak Sekda Pemprov Sumut supaya disampaikan ke Wali Kota Medan, supaya memproses permohonan IMB kami. Tetapi instansi TRTB ini tetap juga tidak mau," ujar Erfin, Sebelumnya diberitakan, keberadaan wahana rekreasi taman bermain air (water park) di Kompleks Perumahan Bumi Asri, Jalan Asrama, Pondok Kelapa, Medan Helvetia, ditentang oleh warga perumahan setempat. Bisnis pariwisata tersebut disebut-sebut warga tidak memiliki izin.

(8)

Pada kutipan di atas terlihat bahwa terdapat permasalahan di dalam

pelayanan perizinan mendirikan bangunan. Lamanya waktu dan biaya yang tinggi

serta persyaratan yang sulit di lengkapin menjadi kendala bagi masyarakat kota

medan dalam mengurus izin mendirikan bangunan , hal tersebut membuat

banyaknya masyarakat yang malas dan tidak mau tau akan IMB sehingga

banyakanya rumah ataupun tempat usaha yang tidak memiliki surat izin mendirikan

bangunan. Pada dasarnya harapan masyarakat terhadap proses perizinan tidak

berbeda dengan harapan pemerintah, yakni sederhana, murah, adanya kepastian

waktu, pelayanan yang berkualitas dan sah secara hukum. Dari sisi masyarakat,

murah berarti biaya yang wajar dan dapat di jangkau.Kepastian waktu merupakan

elemen penting lainnya yang diharapkan masyarakat dari pemerintah. Kepastian

tersebut menyangkut masalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk proses

pengurusan serta kapan izin dapat dikeluarkan. Lamanya pengurusan izin

seharusnya diketahui oleh para pemohon sehingga bermanfaat bagi proses

perencanaan dan perjadwalan mereka, dan pemeritah sebagai penyedia pelayanan

harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ini.

Implementasi Kebijakan IMB di Kota Medan masih memiliki beragam

persoalan atau tanda tanya. Pemerintah kota Medan, dalam hal ini Dinas Tata Ruang

dan Tata Bangunan, memiliki peran melaksanakan sebagian urusan rumah tangga

daerah dalam bidang tata kota dan tata bangunan, antara lain menyusun,

mengembangkan dan mengendalikan rencana tata ruang kota, pengurusan

perizinan, pengendalian, pengawasan dan pembinaan terhadap pembangunan fisik

(9)

kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota serta melaksanakan tugas

pembantuan sesuai dengan bidang tugasnya.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “ IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MEDAN DALAM PERSPEKTIF

PELAYANAN PUBLIK. ”

I.2 Perumusan Masalah

Arikunto (1993) menguraikan agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik

baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana

harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian.

Kemana harus pergi dan dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah agar diketahui arah

tujuan penelitian.berdasarkan latar belakang di atas,maka pokok permasalahan

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan di

Kota Medan dalam Perspektif Pelayanan Publik?

2. Faktor faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Izin

Mendirikan Bangunan dalam Perpektif Pelayanan Publik di Kota

Medan ?

I.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan

(10)

2. Untuk mengkaji secara komperhensif dan mengungkapkan faktor

faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Izin Mendirikan

Bangunan dalam Perpektif Pelayanan Publik di Kota Medan

I.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, bermanfaat dalam menambah pengetahuan khususnya

mengenai kebijakan izin mendirikan bangunan di Kota Medan dan

meningkatkan kemampuan pola pikir melalui penulisan karya ilmiah

ini.

2. Bagi instansi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

untuk pemerintah kota medan dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Tata

Bangunan Kota Medan dalam mengimplementasikan kebijakan Izin

Mendirikan Bangunan ( IMB ).

3. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan

pemikiran dalam ilmu kebijakan publik, khususnya yang berkaitan

dengan kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB ).

I.5 Kerangka Teori

Menurut Masri Singarimbun (1989:37) Teori merupakan serangkaian

asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan preposisi untuk menerangkan suatu

penomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar

konsep. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan batasan

(11)

dilakukan maka sebelum melakukan penelitian perlu di jelaskan terlebih dahulu

kerangka teori yang menjadi landasan penelitian,sebagai berikut

I.5.1 Pelayanan Publik

I.5.1.1 Pengertian Pelayanan Publik

Menurut Kurniawan ( dalam Sinambela : 2006 : 5 ) pelayanan publik

diartikan sebagai pemberi pelayanan ( melayani ) keperluan orang atau masyarakat

yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan

tata cara yang ditetapkan.

Menurut UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, Pelayanan publik

adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara

dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan

oleh penyelenggara pelayanan publik.

Menurut Wasistiono (Saleh, 2010: 24), pelayanan publik adalah sebagai

pemberian jasa yang diberikan oleh suatu organisasi (perusahaan, pemerintah,

swasta) kepada publiknya dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi

kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.

I.5.1.2 Asas- Asas Pelayanan Publik

Menurut Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik, Adapun asas-asas pelayanan publik adalah:

1. Kepentingan umum, yaitu; Pemberian pelayanan tidak boleh

(12)

2. Kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban

dalampenyelenggaraan pelayanan.

3. Kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus

sebandingdengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi

maupunpenerima pelayanan.

5. Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

yangsesuai dengan bidang tugas.

6. Partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraanpelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan

harapanmasyarakat.

7. Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara

berhakmemperoleh pelayanan yang adil.

8. Keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan

mudahmengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang

diinginkan.

9. Akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus

dapatdipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

10.Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu

Pemberiankemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan

(13)

11.Ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan

tepatwaktu sesuai dengan standar pelayanan.

12.Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis

pelayanandilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

I.5.1.3 Prinsip Pelayanan Publik

Menurut Ridwan (2010: 101), Prinsip pelayanan publik adalah :

1. Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit- belit,

mudahdipahami, dan mudah dilaksanakan

2. Kejelasan, memuat tentang ;

a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik

b. Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/

sengket dalam pelaksanaan pelayanan publik

c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran

3. Kepastian waktu, di mana dalam pelaksanaan pelayanan publik

dapatdiselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

4. Akurasi, di mana produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat

danSah

5. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman

dankepastian hukum

6. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat

yangditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan

(14)

7. Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan prasarana

kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai

termasukpenyediaan sarana teknologi komunikasi dan informatika

(telematika)

8. Kemudahan akses, di mana tempat dan lokasi serta sarana pelayanan

yangmemadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat

memanfaatkanteknologi telekomunikasi dan informatika

9. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, di mana pemberi pelayanan

harusbersikap disiplin, sopan, dan santun, ramah, serta memberikan

pelayanandengan ikhlas

10.Kenyamanan, yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,

disediakanruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah

dan sehatserta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti

parkir, toilet,tempat ibadah, dan lain- lain.

I.5.1.4 Jenis Pelayanan Publik

Menurut Undang- Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik,

pelayanan publik dikelompokkan dalam beberapa jenis yang didasarkan pada

ciriciri dan sifat- sifat kegiatan dalam proses pelayanan serta produk pelayanan

yang dihasilkan. Jenis- Jenis pelayanan itu sebagai berikut:

1. Pelayanan Administratif, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh

unitpelayanan berupa kegiatan pencatatan, penelitian, pengambilan

keputusan,dokumentasi, dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara

(15)

sertifikat, izin- izin,rekomendasi, keterangan tertulis, pembayaran pajak,

dan lain- lainnya. Contohjenis pelayanan ini adalah pelayanan sertifikat

tanah, pelayanan IMB,pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akta

kelahiran/ kematian).

2. Pelayanan Barang, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit

pelayananberupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan

berwujud fisiktermasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen

langsung sebagaiunit atau sebagai individual dalam satu system. Secara

keseluruhan kegiatantersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda

(berwujud fisik) atauyang dianggap benda yang memberikan nilai tambah

secara langsung bagipenerimanya. Contoh pelayanan ini adalah pelayanan

listrik, pelayanan airbersih, pelayanan telepon

3. Pelayanan Jasa, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit

pelayananberupa penyediaan sarana dan prasarana serta

penunjangnya.Pengoperasiannya berdasarkan suatu system pengoperasian

tertentu dan pasti,produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat

bagi penerimanyasecara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu

tertentu. Contoh jenispelayanan ini adalah pelayanan angkutan darat, laut,

dan udara, pelayanankesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos dan

(16)

I.5.1.5 Kualitas Pelayanan Publik

Dalam Sinambela (2010, hal : 6), secara teoritis tujuan pelayanan publik

pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu

dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :

1. Transparan

Pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak

yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah

dimengerti.

2. Akuntabilitas

Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional

Pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan

penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan

efektivitas.

4. Partisipatif

Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,

kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan Hak

Pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun

khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.

(17)

Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan

penerima pelayanan publik.

I.5.1.6 Kewajiban Penyelenggara Pelayanan Publik

Menurut Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik, dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban :

1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan

2. Menyusun, menetapkan, dan mempublikasikan maklumat pelayanan

3. Menempatkan pelaksana yang kompeten

4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik

yangmendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai

5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas

penyelenggaraanpelayanan publik

6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan

7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang

terkaitdengan penyelenggaraan pelayanan publik

8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang

diselenggarakan.Membantu masyarakat dalam memahami hak dan

tanggung jawabnya

9. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara

pelayananpublik

10.Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku

apabilamengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau

(18)

11.Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau

melaksanakanperintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang

berwenang darilembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak,

berwenang, dan sahsesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I.5.2. Implementasi Kebijakan Publik

I.5.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam kebijakan publik pada

tahap implementasi terjadi proses yang dinamis dimana pelaksana kebijakan

melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya mendapat suatu

hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Menurut Alfatih

(2010:15) menyatakan implementasi kebijakan adalah penerapan apa yang

diamanahkan oleh suatu kebijakan secara baik dan benar dalam rangka mencapai

tujuan kebijakan tersebut.

Menurut Van Meter Van Horn (dalam Leo Agustino, 2006:139)

menyatakan, “implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada

pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan”

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk

mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yaitu, langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan

derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Berdasarkan beberapa definisi

(19)

1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; 2) adanya aktivitas atau kegiatan

pencapaian tujuan; dan 3) adanya hasil kegiatan.

Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena

masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di lapangan.Ancaman

utama dari implementasi kebijakan adalah inkonsistensi implementasi.Dalam

pelaksanaannya kemungkinan bisa terjadi adanya kendala dan penyimpangan yang

dilakukan oleh pelaksananya kemungkinan bisa terjadi adanya kendala dan

penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan.Masalah implementasi ini

berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan dengan realisasi dari kebijakan tersebut.

Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat di lihat dari

pernyataan seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach (dalam Agustino,

2006:138) melukiskan kerumitan dalam proses implementasi menyatakan

pernyataan sebagai berikut :“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan

kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi

merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedenganrannya

mengenakan bagi telinga pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya.dan

lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua

orang termasuk mereka anggap klien”.

Dari berbagai defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi

kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor

pelaksana kebijakan dengan sarana-sarana pendukung berdasarkan aturan-aturan

yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

(20)

Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya, Model

Donald Van Metter dan Van Horn, Model Hogwood dan Gunn, Model Goerge C.

Edward III,Model Grindle, dan Ripley dan Franklin.

1. Model Donald Van Metter dan Carl Van Horn (1975 )

Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara

linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini

menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang

saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

a. Standar dan Sasaran Kebijakan / Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari

ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di

level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal

(utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn

(dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi

kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai

oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan

penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut

b. Sumberdaya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia.Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.Setiap

tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai

(21)

c. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan

organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan (publik) akan

sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta sesuai dengan para agen

pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu

juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana.Semakin luas

cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang

dilibatkan.

d. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam impelementasi

kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang

terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan

akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

e. DisposisiSikap/Kecenderungan para pelaksana.

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak

mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.

Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah

hasil formulasi orang-orang yang terkait langsung terhadap kebijakan yang

mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.

f. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi

publik dalam persepektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah

(22)

yang telah ditetapkan.Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif

dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh

karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula

memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Gambar 1.1 :model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:

Sumber: (Agostino, 2006)

2. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978)

Menurut Hogwood dan Gunn (dalam Abdul Wahab, 1991:57-64), untuk

dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perpect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai

berikut:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan

(23)

b. Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari pada hubungan

kausalitas yang handal.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit matarantai

penghubungannya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang/kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Model ini terdiri dari 10 point yang harus diperhatikan dengan seksama agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik.Ada beragam sumber

daya, misalnya.Waktu, keuangan, sumber daya manusia, peralatan yang harus

tersedia dengan memadai.Disamping itu, sumber daya tersebut harus kombinasi

berimbang.Tidak boleh terjadi ketimpangan, misalnya sumber daya manusia cukup

memadai tetapi peralatan tidak memadai, atau sumber keuangan memadai tetapi

ketersedian waktu dan keterampilan tidak cukup. Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus dapat dikontrol agar kondusif bagi implementasi kebijakan. Ini

cukup sulit sebab kondisi lingkungan sangat luas, beragam serta mempunyai

karakteristik yang spesifik sehingga tidak mudah untuk dapat dikendalikan dengan

(24)

sangat lama ada, tumbuh berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan kepercayaan

masyarakat.Contoh lingkungan eksternal lainnya yang sulit dikontrol adalah keadaan ekonomi masyarakat, dimana sangat tidak mudah untuk mengubah

keadaan ekonomi masyarakat, apalagi dalam waktu dekat demi implementasi suatu

kebijakan publik.Teori ini juga mensyaratkan adanya komunikasi dan koordinasi

sempurna.Seringkali, dalam pelaksanaan suatu kegiatan, kedua hal ini kurang

mendapatkan perhatiaan dengan baik.Apalagi harus sempurna.Hal ini sering

diperburuk karena adanya ego sektoral.Berdasakan deskripsi diatas, teori ini kurang

cocok untuk dijadikan untuk penelitian ini.

3. Model Implementasi Kebijakan Goerge C. Edward III ( 1980)

Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi

keberhasilan impelementasi suatu kebijakan,yaitu: Komunikasi, Sumberdaya,

Disposisi dan Struktur birokrasi.

a. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu

kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 150) adalah

komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian

tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi

apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.

Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila

komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan

peraturan impelementasi harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada

(25)

tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi)

diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin

konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam

masyarakat.Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur

keberhasilan variabel komunikasi yaitu :

a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu

implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi

adalah adanya salah pengertian (misscommunication).

b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan

(street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua)

ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi impelementasi, pada

tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan

kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan

tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi

haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah

yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi

pelaksana di lapangan,

b. Sumber daya

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu

kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam

mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino,

(26)

a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan

yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh

karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak ompoten dibidangnya.

Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga

kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan

kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang

diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,

yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.

Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi

perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap

peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus

mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut

patuh terhadap hukum.

c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah

dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para

pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika

wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak

terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi

dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi

kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak, efektivitas akan

menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi

(27)

d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa

yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi

tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi

kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

c. Disposisi

Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan

adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi,

menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :

a) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan

hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil

yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh

pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana

kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah

ditetapkan.

b) Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk

mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi

insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan

mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan

mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah

keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang

(28)

dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi.

d. Struktur birokrasi

Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun

sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana

kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan

untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat

dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur

birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak

orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka

hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan

menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan

harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan

melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja

struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :

a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang

memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat)

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang

ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.

b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau

(29)

Gambar 1.2 :Faktor penentu implementasi menurut Edwards III

Sumber : George III Edward :implemeting public policy, 1980

4. Model Grindle (1980 )

Implementasi kebijakanmenurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi

kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah

kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya

telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan

mulus, tergantung pada implementabilitydari program itu, yang dapat dilihat pada

isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang

dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)

derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa

pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian dengan

konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud oleh

(30)

penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan

para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana program

akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah

dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van

Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi

kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).

Gambar 1.3. Model implementasi menurut grindle

(31)

5. Model Ripley dan Franklin

Randall B. Repley and Grace A. Franklin (1986 : 232-33) (dalam Alfatih,

2010:51-52), menulis tentang tiga konsepsi yang berkaitan dengan keberhasilan

implementasi kebijakan, yaitu :

1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku.

Perspektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan

implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor dalam

melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, atau program. (dalam Purwanto dan

Sulistyastuti, 2012:69).

2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi

Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas

fungsi dan tidak adanya masalah- masalah yang dihadapi; (dalam Akib,

Haedar.Jurnal Administrasi Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010). 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki.

Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada

implementasi/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari semua

program-program yang dikehendaki. (dalam Akib, Haedar. Jurnal Administrasi

Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010).

Pendapat Ripley dan Franklin diatas menunjukkan bahwa keberhasilan

suatu implementasi akan ditentukan bagaimana tingkat kepatuhan, lancarnya

rutinitas fungsi lembaga , dan hasil kebijakan yang sesuai dengan rencana dari

(32)

I.5.3. Izin Mendirikan Bangunan

I.5.3.1. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan

Menurut Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2015

TentangRencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun

2015-2035. Izin mendirikan bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan

yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk

membangun baru, mengubah/ memperbaiki/ rehabilitasi/ renovasi, memperluas,

mengurangi, dan/ atau merawat bangunan, dan/ atau memugar dalam rangka

melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan

teknis yang berlaku.

Menurut Susanta (2009: 6), izin mendirikan bangunan (IMB) adalah izin

yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pribadi, sekelompok orang atau

badan untuk membangun dalam rangka pemanfaatan ruang sesuai dengan izin yang

diberikan karena telah memenuhi ketentuan dari berbagai aspek, baik pertanahan,

teknis, perencanaan serta lingkungan.Sedangkan menurut Dwi ( 2008: 11), Izin

mendirikan bangunan atau lebih sering dikenal IMB adalah izin yang diberikan

untuk melakukan kegiatan membangun yang dapat diterbitkan apabila rencana

bangunan dinilai telah sesuai dengan ketentuan yang meliputi aspek pertanahan,

aspek planologis (perencanaan), aspek teknis, aspek kesehatan, Aspek

kenyamanan, dan aspek lingkungan.

Sebelum memulai mendirikan bangunan, bangunan sebaiknya

memilikikepastian hukum atas kelayakan, kenyamanan, keamanan, sesuai dengan

(33)

tetapi juga dibutuhkan untuk membongkar, merenovasi, menambah,mengubah,

atau memperbaiki yang mengubah bentuk atau struktur bangunan.

I.5.3.2 Persyaratan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Sesuai dengan Perda Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Detail

Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun 2015-2035, dan peraturan

Walikota Medan No. 40 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis atas Pelaksana

Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentangRencana Detail Tata

Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun 2015-2035, persyaratan dalam

mengurus izin mendirikan bangunan adalah:

A. Persyaratan Administrasi:

1. Foto copy kartu tanda penduduk yang masih berlaku

2. Foto copy surat pemberitahuan pajak terhutang dan surat tanda terima

setoran (bukti pelunasan) pajak bumi dan bangunan tahun terakhir.

3. Surat surat kepemilikan tanah antara lain:

a) Fotocopy sertifikat tanah yang dilegalisasi oleh badan pertanahan

nasional

b) Foto copy akta kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh camat yang

dilegalisasi oleh camat (bagi tanah yang belum bersertifikat)

c) Fotocopy akta kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh notaris yang

dilegalisasi oleh notaris

d) Fotocopy kepemilikan atas tanah berdasarkan putusan pengadilan yang

(34)

e) Surat tidak silang sengketa untuk keperrluan mengurus IMB yang

dikeluarkan oleh lurah (bagi surat tanah yang belum bersertifikat) dan

f) Rekomendasi dari bank bagi surat tanah yang sedang diagungkan.

4. Rekomendasi dari instansi terkait bagi pembangunan tempat ibada, tempat

persemayaman mayat ,stasiun pengisian bahan bakar umum/stasiun

pengisian bahan bakar elpiji, sarana pendidikan, sarana kesehatan,dan

sarana olahraga dan menara telekomunikasi.

5. Surat kuasa yang bermaterai bagi pemohon yang bukan pemilik tanah

6. Fotocopy akte perusahan yang dilegalisasi atau fotocopy surat keputusan

instansi yang dilegalisasi ( bagi pemohon yag berbadan hukum).

7. Gambar rencana peruntukan bagi pemohon bangunan pagar

8. Fotocopy surat perjanjian sewa menyewa tanah bagi pemohon IMB yang

bersifat sementara atau berjangka waktu kurang dari 5 tahun yang

dilegalisasi oleh notaris.

9. Fotocopy IMB terdahulu beserta selruh gambar lampiranya untuk

permohonan memperluas,menambah tingkat ,dan renovasi bangunan atau

bangunan menara diatas bangunan

10.Izin dari warga yang berbatasan langsung bagi pembangunan tempat

persemayaman mayat,stasiun pengisian bahan bakar umum/stasiun

pengisian bahan bakar elpiji,sarana pendidikan, sarana keshatan, dan sarana

olahraga serta menara telekomunikasi dan

11.Izin dari warga dengan jarak radius setinggi bangunan bagi pembangunan

(35)

B. Persyaratan Teknis

1. Denah lokasi tanah yang dimohon

2. Gambar rencana bangunan rangkap 3 (tiga) minimal ukuran kertas A3

dengan skala 1:100 (satu banding seratus) atau 1:200 (satu banding dua

ratus) yang disetujui oleeh pemohon yang terdiri dari

a) Denah dan perencanaan tapak bangunan (site plan) yang

menggambarkan bentuk persil sebenarnya;

b) Tampak depan, tampak samping, tampak samping kanan, dan tampak

belakang;

c) Potongan memanjang dan potongan melintang

d) Konstruksi (pondasi, pengikat pondansi( sloop), kolom, balok, lantai,

tangga, dan rencana atap/ kap);

e) Dena sanitasi, tangki pembuangan limbah manusia (septic tank) dan

bak control;

f) Untuk membangun pagar (pondasi, tampak bangunan, potongan, dan

situasi)

3. Perhitungan konstruksi yang dibuat oleh konsultan dan ditanda tanganin

oleh perencana dan distempel oleeh konsutan bagi bangunan dengan;

a) Bentangan balok beton atau baja lebih dari 6 (meter)

b) Ketinggian 2 (dua) lantai atau lebih untuk bangunan yang digunakan

untuk kepentingan umum;

(36)

d) Konstruksi kuda kuda baja atau kayu yang bentanganya lebih dari 6

(enam) meter;

e) Konstruksi baja atau kayu yang ketinggian tiangnya lebih dari 5 (lima)

meter per lantai dan;

f) Bangunan yang memiliki basement dan semi basement.

Retribusi Izin Mendirikan Bangunan:

1. Besarnya retribusi IMB didasarkan kepada volume, fungsi dan lokasi

bangunan.

2. Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya retribusi didasarakan

denganmemperhatikan biaya kegiatan dan tingkat penggunaan jasa pelayanan

IMB dalam rangka pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan

bangunan yang meliputi pengecekkan, pengukuran lokasi, pemetaan,

penelitian, pemeriksaan, dan penatausahaan.

3. Retribusi yang dihitung sebagai berikut :

a. Biaya Retribusi untuk bangunan Rumah Tinggal, Sosial Komersial :

1. Biaya Sempadan: 0,95% x (RAB+2NJOP x Luas Bangunan) = Rp. A

2. Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B

3. Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C

4. Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D

Besarnya Retribusi IMB = Rp. (A+ B + C + D)

b. Untuk bangunan Sosial Non Komersial :

(37)

Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B

Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C

Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D

Besarnya Retribusi IMB = Rp. (B + C + D)

4. Bangunan Industri, Perumahan, Niaga, Kantor Non Pemerintah dan bangunan

Komersial lainnya.

1. Biaya Sempadan: 1,9 % x (RAB x 2NJOP x Luas Bangunan)= Rp. A

2. Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B

3. Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C

4. Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D

Besarnya Retribusi IMB = Rp. (A+ B + C + D)

5. Untuk perbaikan bangunan (renovasi) dikenakan biaya retribusi yangdihitung

berdasarkan biaya renovasi yang dilaksanakan serta sesuai perhitungan point

3a.

6. Untuk mengganti IMB yang hilang, dikenakan biaya retribusi sebesar 6%

(enam persen) dari biaya retribusi IMB.Retribusi biaya balik nama ditetapkan

sebesar 10% (sepuluh persen) dari biaya retribusi IMB.

7. Bangunan yang didirikan sebelum tahun 1996 diberikan Pemutihandengan

memperhitungkan penyusutan setiap tahun sebesar 2,5% (dua setengah peren

dan maksimal 25% (dua puluh lima persen);

8. Hasil pemungutan sebagaimana dimaksud point 3a dikembalikan kepada Dinas

(38)

Gambar. Proses Pengurusan IMB

Penolakan pemberian IMB

Penolakan pemberian IMB sesuai pasal 12 Perda Kota Medan Tahun 2012 jika:

a. Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.

b. Bertentangan dengan rencana tata ruang kota, bila:

1. Bangunan yang direncanakan tidak sesuai dengan peruntukantanah di

lokasi yang dimaksud.

2. Di atas persil yang dimohon rencana jalan/pelebaran sehingga sisa luas

tanah tidak dapat dibangun sesuai dengan persyaratan peruntukan.

3. Bangunan yang dimohon tidak sesuai ketentuan teknis lainnya.

c. Bertentangan dengan kelestarian, keserasian, dan keseimbangan lingkungan.

d. Bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau ketertiban umum.

e. Bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku.

f. Telah dibangun dan memiliki IMB tetapi menyimpang dari imb yang telah

(39)

I.6. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional I.6.1. Defenisi Konsep

Konsep merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat

perhatian ilmu sosial. Dengan konsep peneliti melakukan abstraksi dan

menyederhanakan pemikiranya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa

kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainya maka defenisi konsep

untuk penelitian ini ialah:

1. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelian ini ialah pelayanan Izin

Mendirikan Bangunan di Kota Medan

2. Implementasi kebijakan adalah proses ataupun tindakan-tindakan terhadap

kebijakan yang telah di tetapkan dan dijalankan oleh individu-individu (dan

kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran yang telah ditetapkan. Implementasi Kebijakan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Daerah No 5 Tahun 2012 Tentang

Retribusi Izizn Mendirikan Bangunan di Kota Medan dengan memperhatikan

variabel yang di kemukakan oleh George C. Edwards III Sebagai Berikut

(40)

2. Sumberdaya

3. Disposisi

4. Struktur Birokrasi

3. Izin mendirikan bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah

daerah kepada pihak pribadi atupun kelompok dalam mendirikan bangunan

sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

I.6.2. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional adalah sebagai petunjuk pelaksana bagaimana caranya

mengukur suatu variabel atau suatu informasi yang membantu peneliti sehingga

dari informasi tersebut diketahui bagaimana cara mengukur variabel penelitian

tersebut. Adapun yang menjadi indikator implementasi pada penelitian ini adalah:

a. Komunikasi yaitu hubungan yang di lakukan oleh seseorang individu atau

sekelompok dengan individu lain untuk memperoleh informasi dalam menjalankan

suatu tugas ataupun kegiatan. Komunikasi juga diperlukan agar para pembuatan

keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan

kebijakan yang akan di tetapkan dalam masyarakat. Komunikasi haruslah konsisten

dan jelas karena jika komunikasi yang diberikan berubah ubah akan menimbulkan

kebingungan bagi para agen pelaksana. Dalam penelitian ini peneliti akan

melakukan komunikasi terhadap pihak pihak yang mengerti dan berperan penting

dalam pelayanan izin mendirikan bangunan untuk mendapatkan informasi yang

(41)

b. Sumber daya, meliputi :

1. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat

pendidikan, keahlian atau keterampilan dan kemampuan dalam

menjalankan tugas dan fungsinya masing masing.

2. Fasilitas yaitu sarana dan perasaran yang di gunakan untuk

mendukung terlaksananya suatu kegiatan.

c. Disposisi atau sikap pelaksanan menyangkut respon dari implementor

terhadap pelaksanaan implementasi kebijakan. Pengangkatan personil perlu di

perhatiakan untuk mencegah hambatan hambatan yang mungkin ditemui,

pengangkatan personil pelaksana haruslah memiliki dedikasi terhadap kebijakan

yang telah di tetapkan.

d. Struktur birokrasi menyangkut kerja sama diantara banyak orang,

birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan

yang telah di putuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik.

Dua karakteristik yang mendongkrak kinerja struktur birokrasi kea rah yang lebih

baik yaitu dengan melakukan:

1. Standar operating prosedures (SPOs) adalah kegiatan rutin yang

dilaksanakan para pegawai setiap harinya sesuai standar yang di

tetapkan dalam menjalankan suatu kebijakan.

2. Fragmentasi adalah tanggung jawab pegawai dalam menjalankan

(42)

I.7. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, dan

sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPS LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian dan

karakteristik daerah penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

Bab ini memuat hasil data data penelitian yang diperoleh

dilapangan danmemberikan analisis atas data tersebut serta

meberikan interprestasi terhadap perasalahan yang diajukan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang di peroleh dari hasil

Gambar

Gambar 1.1 :model implementasi kebijakan publik Van Meter
Gambar 1.3. Model implementasi menurut grindle
Gambar. Proses Pengurusan IMB

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kantor Pelayanan

Implementasi suatu kebijakan dapat berjalan dengan efektif maka perintah- perintah dan keputusan-keputusaan dari kebijakan harus konsisten dan jelas

kebijakan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara yakni Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten khususnya tentang pembuatan

Untuk mengetahui apakah dalam mengimplementasikan kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia, didapat lebih banyak

Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Pekanbaru yakni Komunikasi antara Dinas Tata Ruang dan Ba- ngunan Kota Pekanbaru

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan anugerah terbesar, semangat dan ketekunan kepada penulis selama masa penyelesaian skripsi

1) Secara umum, Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten mengenai pembuatan KTP di dinas kependudukan dan pencatatan sipil Kabupaten Halmahera

Berkaitan dengan content of policy isi kebijakan dalam implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan IMB di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DPMPTSP Kota Bekasi