BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Era Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru
menuntut pembaharuan dalam berbagai bidang dengan menerapkan azas azas
transfaransi, akuntabilitas, dan desentralisasi.Dalam bidang pemerintahan,
pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai konsekuensi dari kebijakan desentralisasi
telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.Kebijakan Otonomi daerah ini di
tuangkan dalam UU No. 22 Tahun 1991, selanjutnya di sempurnakan dengan UU
No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Otonomi daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah :
“Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
negara kesatuan republik indonesia”. UU Nomor 23 Tahun 2014 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan otonomi kepada
daerah kabupaten dan kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah mencakup
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama.
Pelaksanaan otonomi daerah memiliki tujuan antara lain: untuk peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, peningkatan partisipasi
masyarakat dalam kehidupan politik dan pelaksanaan pembangunan, peningkatan
efektifitas pelaksanaan koordinasi, pemanfaatan sumber daya yang ada di daerah,
dan peningkatan efektifitas pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan
adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah dapat dengan cepat merespon
tuntutan masyarakat di daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki daerah
masing masing.
Pelaksanaan sistem desentralisasi yang mengedepankan prinsip otonomi
daerah menuntut semua pihak untuk melakukan perubahan ( reform). Salah satu
kewenangan yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
rangka otonomi daerah adalah kewenangan untuk menetapkan peraturan daerahnya
sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan
ditingkat atasnya.Hal itu dimaksudkan agar daerah dapat lebih optimal dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan situasi di
daerah setempat.
Dalam penyelengaraan pemerintahan, pemerintah daerah menjalankan
fungsi fungsi yaitu, pengaturan, pemberdayaan, dan pelayanan yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah faktor manusia yang dalam hal
ini adalah sebagai aparatur pemerintaah, harus memiliki kemampuan yang dapat
menunjang terlaksananya otonomi daerah sesuai dengan apa yang diinginkan
sangat tergantung kepada aparatur pemerintah daerah sebagai perencana dan
pelaksana.Dalam pelaksanaan otonomi daerah aparat pemerintah daerah juga
dituntut untuk memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam melaksanakan tugas serta
pengembangan struktur jabatan, penjenjangan karier yang jelas, dan juga
pembagian tugas berdasarkan disiplin ilmu yang dimiliki.
Sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat, peran aparatur pemerintah
haruslah berfokus kepada pelayanan publik.Pemerintah harus melakukan
peningkatan sumber daya aparatur, kualitas, profesionalisme pada seluruh jajaran
pemerinahan.Seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat yang cukup
tinggi Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas
semakin mendesak.Masyarakat menghendaki pelayanan yang cepat, akurat, dan
biaya murah.mengutamakan hasil yang optimal terutama pelayanan yang sifatnya
administratif. Pelayanan yang prima tersebut akan mendorong masyarakat ikut
berparisipasi dalam proses pembangunan. Dengan demikian akan mengarah pada
peningkatan produktifitas dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun pada
pelaksanaan sering terjadi hambatan-hambatan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.Hal ini disebabkan oleh hal-hal sifatnya teknis dan non teknis
yang dapat mempengaruhi kinerja aparatur, misalnya penyediaan fasilitas
pelayanan yang terbatas, dan kurangnya kemampuan dalam mengemban
tugasnya.Hal ini merupakan tantangan bagi aparat, yang merupakan ujung tombak
penyelenggaraan pemerintahan didaerah yang berhadapan langsug dengan
Berdasarkan keputusan Menteri pendayagunaan aparatur Negara Nomor 63
tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik seperti
prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, kemampuan petugas pelayanan,
kecepatan pelayanan, keadilan mendapatkan pelayanan, kepastian biaya pelayanan,
dan kepastian jadwal pelayanan maka pemerintah dituntut untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat serta peningkatan kemampuan sumberdaya aparatur.
Menurut Ridwan (2009:163) ada beberapa hambatan yang biasanya
dikeluhkan oleh masyarakat yang ingin mengurus perizinan yaitu:
a. Biaya perizinan
1. Biaya pengurusan izin sangat memberatkan bagi pelaku usaha kecil.
Besarnya biaya perizinan seringkali tidak transparan
2. Penyebab bearnya biaya disebabkan karena pemohon tidak mengetahui
besar biaya resmi utuk pengurusan izin, dan akrena adanya pungutan
liar.
b. Waktu
1. Waktu yang diperlukan mengurus izin relatif lama karena prosesnya
yang berbelit-belit
2. Tidak adanya kejelasan kapan izin diselesaikan.
3. Proses perizinan tergantung pada pola birokrasi setempat
c. Persyaratan
1. Persyaratan yang ditetapkan seringkali sulit untuk diperoleh
2. Persyaratan yang diminta secara berulang-ulang untuk berbagai jenis
Dalam mendirikan suatu bangunan setiap anggota masyarakat harus memiliki
izin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan dan persyaratan yang ditetapkan
oleh badan yang terkait yang bertugas memberi izin mendirikan bangunan. Menurut
Peratuturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1993 disebutkan sebelum
melakukan pembangunan harus mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan, izin tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian hukum atas
kelayakan, kenyamanan, kesamaan, keamanan sesuai dengan fungsinya. Izin
mendirikan bangunan yang disingkat dengan IMB tidaklah hanya untuk bangunan
yang baru saja namun juga dibutuhkan ketika akan melakukan pembongkaran,
merenovasi, mengubah atau memperbaiki struktur bangunan. Adanya kegiatan
perizinan yang di laksanakan oleh pemerintah pada intinya adalah untuk
menciptakan kondisi bahwa kegiatan pembangunan sesuai dengan yang
diperuntukan, disamping itu agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan. Dalam rangka
melaksanakan rencana tata ruang dan tata bangunan tersebut maka perlu adanya
sertifikat izin mendirikan bangunan yang akan memberi kepastian hukum kepada
masyarakat.
Izin mendirikan bangunan sebagai suatu kebijakan pemerintah dalam
mengendalikan pelaksanaan penataan bangunan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun pemanfaatan bangunan. Pengendalian ini diperlukan
mengingat laju pertumbuhan bangunan yang berimplikasi pada meningkatnya
permintaan akan lahan (ruang) untuk perumahan atau tempat usaha dari berbagai
“penertiban bangunan” yaitu pengendalian pemanfaatan lahan dan pengaturan
kepadatan bangunan serta mencegah penumpukan bangunan di satu tempat dan
bangunan di daerah yang di larang seperti (jalur hijau, sempanjangan sungai,
sempanjangan jalan dan lain-lain) yang telah diatur dan ditetapkannya dalam
Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentangRencana Detail Tata
Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahuin 2015-2035. Dalam perda tersebut
diatur mengenai zona lindung dan zona budidaya, zona perdagangan dan jasa
,peryaratan IMB, ketentuan pemanfaatan ruang, perizinan, pembinaan dan
pengawasan.
Dalam kaitannya dengan pelayanan pemberian Izin Mendirikan bangunan
(IMB), diharapkan praktek pelayanan perizinan tersebut dapat memenuhi tujuan
yang telah ditetapkan terutama dalam hal penyederhanaan prosedur.Kepemiikan
bangunan sering menjadi sengketa publik yang berkepanjangan. Masalah tersebut
muncul karena ketiadaan sertifikat izin mendirikan bangunan (IMB) karena
sebagian masyarakat merasa prosedur perizinan cukup berbelit-belit serta ketiadaan
biaya untuk mengurus izin tersebut.bagi masyarakat yang tidak manpu Keresahan
itu sebenarnya berujung pada kurangnya sosialisasi tentang IMB, karena IMB
adalah merupakan alat pengendali pemanfaatan ruang serta berfungsi sebagai
jaminan kepastian Hukum atas bangunan tersebut.
Pada dasarnya, setiap pengakuan hak oleh seseorang terhadap suatu
bangunan harus didasarkan oleh bukti yang kuat dan sah menurut hukum. Tanpa
menjadi tidak sah, Sehingga dengan adanya sertifikat IMB akan memberikan
kepastian dan jaminan hukum kepada masyarakat
Adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang di miliki masyarakat, maka
diharapkan penataan wilayah kota Medan dapat berjalan sesuai dengan yang di
peruntukan, selain itu pula masyarakat kota Medan dapat memiliki bangunan yang
statusnya tercatat di pemerintah kota Medan dan memiliki kekuatan hukum
sehingga akan menghindari pemiliknya dari sebutan bangunan liar yang rawan
pembongkaran paksa oleh pemerintah karena dinilai melanggar aturan. contoh
permasalahan dalampelayanan perizinan mendirikan bangunan di Kota Medan.
Berikut kutipan beritanya:
TRIBUN-MEDAN | Manajemen Bumi Asri Mengaku Dipersulit Urus IMB - Kepala Bagian Hukum PT Bumi Pembangunan I Karya Cipta (perusahaan pemilik Perumahan Bumi Asri di Medan Helvetia), Erfin Jamal Lubis, menampik segala bentuk keberatan warga atas keberadaan waterpark di halaman kompleks perumahan tersebut.Meski mengakui bahwa usaha waterpark miliknya tidak memiliki izin, Erfin mengaku pihaknya telah mencoba mengurus izin, mulai dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun, katanya, Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan enggan mengeluarkan."Soal tanpa IMB itu, bukan kami pelaku usaha yang bandel tidak mau ngurus IMB.Kami sudah mencoba mengurus IMB. Kami memenuhi persyataran.Tapi Dinas TRTB tetap tidak mau mengabulkan permohonan kami.Bahkan sudah sampai ke pengadilan, ke Bapak Sekda Pemprov Sumut supaya disampaikan ke Wali Kota Medan, supaya memproses permohonan IMB kami. Tetapi instansi TRTB ini tetap juga tidak mau," ujar Erfin, Sebelumnya diberitakan, keberadaan wahana rekreasi taman bermain air (water park) di Kompleks Perumahan Bumi Asri, Jalan Asrama, Pondok Kelapa, Medan Helvetia, ditentang oleh warga perumahan setempat. Bisnis pariwisata tersebut disebut-sebut warga tidak memiliki izin.
Pada kutipan di atas terlihat bahwa terdapat permasalahan di dalam
pelayanan perizinan mendirikan bangunan. Lamanya waktu dan biaya yang tinggi
serta persyaratan yang sulit di lengkapin menjadi kendala bagi masyarakat kota
medan dalam mengurus izin mendirikan bangunan , hal tersebut membuat
banyaknya masyarakat yang malas dan tidak mau tau akan IMB sehingga
banyakanya rumah ataupun tempat usaha yang tidak memiliki surat izin mendirikan
bangunan. Pada dasarnya harapan masyarakat terhadap proses perizinan tidak
berbeda dengan harapan pemerintah, yakni sederhana, murah, adanya kepastian
waktu, pelayanan yang berkualitas dan sah secara hukum. Dari sisi masyarakat,
murah berarti biaya yang wajar dan dapat di jangkau.Kepastian waktu merupakan
elemen penting lainnya yang diharapkan masyarakat dari pemerintah. Kepastian
tersebut menyangkut masalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk proses
pengurusan serta kapan izin dapat dikeluarkan. Lamanya pengurusan izin
seharusnya diketahui oleh para pemohon sehingga bermanfaat bagi proses
perencanaan dan perjadwalan mereka, dan pemeritah sebagai penyedia pelayanan
harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ini.
Implementasi Kebijakan IMB di Kota Medan masih memiliki beragam
persoalan atau tanda tanya. Pemerintah kota Medan, dalam hal ini Dinas Tata Ruang
dan Tata Bangunan, memiliki peran melaksanakan sebagian urusan rumah tangga
daerah dalam bidang tata kota dan tata bangunan, antara lain menyusun,
mengembangkan dan mengendalikan rencana tata ruang kota, pengurusan
perizinan, pengendalian, pengawasan dan pembinaan terhadap pembangunan fisik
kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota serta melaksanakan tugas
pembantuan sesuai dengan bidang tugasnya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “ IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MEDAN DALAM PERSPEKTIF
PELAYANAN PUBLIK. ”
I.2 Perumusan Masalah
Arikunto (1993) menguraikan agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik
baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana
harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian.
Kemana harus pergi dan dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah agar diketahui arah
tujuan penelitian.berdasarkan latar belakang di atas,maka pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan di
Kota Medan dalam Perspektif Pelayanan Publik?
2. Faktor faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Izin
Mendirikan Bangunan dalam Perpektif Pelayanan Publik di Kota
Medan ?
I.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan
2. Untuk mengkaji secara komperhensif dan mengungkapkan faktor
faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Izin Mendirikan
Bangunan dalam Perpektif Pelayanan Publik di Kota Medan
I.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, bermanfaat dalam menambah pengetahuan khususnya
mengenai kebijakan izin mendirikan bangunan di Kota Medan dan
meningkatkan kemampuan pola pikir melalui penulisan karya ilmiah
ini.
2. Bagi instansi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
untuk pemerintah kota medan dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Tata
Bangunan Kota Medan dalam mengimplementasikan kebijakan Izin
Mendirikan Bangunan ( IMB ).
3. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan
pemikiran dalam ilmu kebijakan publik, khususnya yang berkaitan
dengan kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB ).
I.5 Kerangka Teori
Menurut Masri Singarimbun (1989:37) Teori merupakan serangkaian
asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan preposisi untuk menerangkan suatu
penomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan batasan
dilakukan maka sebelum melakukan penelitian perlu di jelaskan terlebih dahulu
kerangka teori yang menjadi landasan penelitian,sebagai berikut
I.5.1 Pelayanan Publik
I.5.1.1 Pengertian Pelayanan Publik
Menurut Kurniawan ( dalam Sinambela : 2006 : 5 ) pelayanan publik
diartikan sebagai pemberi pelayanan ( melayani ) keperluan orang atau masyarakat
yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan
tata cara yang ditetapkan.
Menurut UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
Menurut Wasistiono (Saleh, 2010: 24), pelayanan publik adalah sebagai
pemberian jasa yang diberikan oleh suatu organisasi (perusahaan, pemerintah,
swasta) kepada publiknya dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi
kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.
I.5.1.2 Asas- Asas Pelayanan Publik
Menurut Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik, Adapun asas-asas pelayanan publik adalah:
1. Kepentingan umum, yaitu; Pemberian pelayanan tidak boleh
2. Kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban
dalampenyelenggaraan pelayanan.
3. Kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus
sebandingdengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi
maupunpenerima pelayanan.
5. Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi
yangsesuai dengan bidang tugas.
6. Partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraanpelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan
harapanmasyarakat.
7. Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara
berhakmemperoleh pelayanan yang adil.
8. Keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan
mudahmengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang
diinginkan.
9. Akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus
dapatdipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
10.Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu
Pemberiankemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan
11.Ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan
tepatwaktu sesuai dengan standar pelayanan.
12.Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis
pelayanandilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
I.5.1.3 Prinsip Pelayanan Publik
Menurut Ridwan (2010: 101), Prinsip pelayanan publik adalah :
1. Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit- belit,
mudahdipahami, dan mudah dilaksanakan
2. Kejelasan, memuat tentang ;
a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik
b. Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/
sengket dalam pelaksanaan pelayanan publik
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran
3. Kepastian waktu, di mana dalam pelaksanaan pelayanan publik
dapatdiselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
4. Akurasi, di mana produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat
danSah
5. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman
dankepastian hukum
6. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat
yangditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan
7. Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan prasarana
kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai
termasukpenyediaan sarana teknologi komunikasi dan informatika
(telematika)
8. Kemudahan akses, di mana tempat dan lokasi serta sarana pelayanan
yangmemadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat
memanfaatkanteknologi telekomunikasi dan informatika
9. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, di mana pemberi pelayanan
harusbersikap disiplin, sopan, dan santun, ramah, serta memberikan
pelayanandengan ikhlas
10.Kenyamanan, yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,
disediakanruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah
dan sehatserta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti
parkir, toilet,tempat ibadah, dan lain- lain.
I.5.1.4 Jenis Pelayanan Publik
Menurut Undang- Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik,
pelayanan publik dikelompokkan dalam beberapa jenis yang didasarkan pada
ciriciri dan sifat- sifat kegiatan dalam proses pelayanan serta produk pelayanan
yang dihasilkan. Jenis- Jenis pelayanan itu sebagai berikut:
1. Pelayanan Administratif, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh
unitpelayanan berupa kegiatan pencatatan, penelitian, pengambilan
keputusan,dokumentasi, dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara
sertifikat, izin- izin,rekomendasi, keterangan tertulis, pembayaran pajak,
dan lain- lainnya. Contohjenis pelayanan ini adalah pelayanan sertifikat
tanah, pelayanan IMB,pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akta
kelahiran/ kematian).
2. Pelayanan Barang, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayananberupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan
berwujud fisiktermasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen
langsung sebagaiunit atau sebagai individual dalam satu system. Secara
keseluruhan kegiatantersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda
(berwujud fisik) atauyang dianggap benda yang memberikan nilai tambah
secara langsung bagipenerimanya. Contoh pelayanan ini adalah pelayanan
listrik, pelayanan airbersih, pelayanan telepon
3. Pelayanan Jasa, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayananberupa penyediaan sarana dan prasarana serta
penunjangnya.Pengoperasiannya berdasarkan suatu system pengoperasian
tertentu dan pasti,produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat
bagi penerimanyasecara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu
tertentu. Contoh jenispelayanan ini adalah pelayanan angkutan darat, laut,
dan udara, pelayanankesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos dan
I.5.1.5 Kualitas Pelayanan Publik
Dalam Sinambela (2010, hal : 6), secara teoritis tujuan pelayanan publik
pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu
dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
1. Transparan
Pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti.
2. Akuntabilitas
Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Kondisional
Pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan
penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektivitas.
4. Partisipatif
Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan Hak
Pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun
khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan
penerima pelayanan publik.
I.5.1.6 Kewajiban Penyelenggara Pelayanan Publik
Menurut Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik, dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban :
1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan
2. Menyusun, menetapkan, dan mempublikasikan maklumat pelayanan
3. Menempatkan pelaksana yang kompeten
4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik
yangmendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai
5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraanpelayanan publik
6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan
7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang
terkaitdengan penyelenggaraan pelayanan publik
8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan.Membantu masyarakat dalam memahami hak dan
tanggung jawabnya
9. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayananpublik
10.Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
apabilamengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau
11.Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakanperintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang
berwenang darilembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak,
berwenang, dan sahsesuai dengan peraturan perundang-undangan.
I.5.2. Implementasi Kebijakan Publik
I.5.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam kebijakan publik pada
tahap implementasi terjadi proses yang dinamis dimana pelaksana kebijakan
melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya mendapat suatu
hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Menurut Alfatih
(2010:15) menyatakan implementasi kebijakan adalah penerapan apa yang
diamanahkan oleh suatu kebijakan secara baik dan benar dalam rangka mencapai
tujuan kebijakan tersebut.
Menurut Van Meter Van Horn (dalam Leo Agustino, 2006:139)
menyatakan, “implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan”
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk
mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yaitu, langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Berdasarkan beberapa definisi
1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; 2) adanya aktivitas atau kegiatan
pencapaian tujuan; dan 3) adanya hasil kegiatan.
Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena
masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di lapangan.Ancaman
utama dari implementasi kebijakan adalah inkonsistensi implementasi.Dalam
pelaksanaannya kemungkinan bisa terjadi adanya kendala dan penyimpangan yang
dilakukan oleh pelaksananya kemungkinan bisa terjadi adanya kendala dan
penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan.Masalah implementasi ini
berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan dengan realisasi dari kebijakan tersebut.
Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat di lihat dari
pernyataan seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach (dalam Agustino,
2006:138) melukiskan kerumitan dalam proses implementasi menyatakan
pernyataan sebagai berikut :“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan
kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi
merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedenganrannya
mengenakan bagi telinga pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya.dan
lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua
orang termasuk mereka anggap klien”.
Dari berbagai defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor
pelaksana kebijakan dengan sarana-sarana pendukung berdasarkan aturan-aturan
yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya, Model
Donald Van Metter dan Van Horn, Model Hogwood dan Gunn, Model Goerge C.
Edward III,Model Grindle, dan Ripley dan Franklin.
1. Model Donald Van Metter dan Carl Van Horn (1975 )
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara
linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini
menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang
saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
a. Standar dan Sasaran Kebijakan / Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari
ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di
level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal
(utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn
(dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi
kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai
oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut
b. Sumberdaya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia.Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.Setiap
tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai
c. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan (publik) akan
sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta sesuai dengan para agen
pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu
juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana.Semakin luas
cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang
dilibatkan.
d. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam impelementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan
akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
e. DisposisiSikap/Kecenderungan para pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.
Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah
hasil formulasi orang-orang yang terkait langsung terhadap kebijakan yang
mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
publik dalam persepektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah
yang telah ditetapkan.Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh
karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula
memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
Gambar 1.1 :model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Sumber: (Agostino, 2006)
2. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978)
Menurut Hogwood dan Gunn (dalam Abdul Wahab, 1991:57-64), untuk
dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perpect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
b. Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari pada hubungan
kausalitas yang handal.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit matarantai
penghubungannya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang/kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Model ini terdiri dari 10 point yang harus diperhatikan dengan seksama agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik.Ada beragam sumber
daya, misalnya.Waktu, keuangan, sumber daya manusia, peralatan yang harus
tersedia dengan memadai.Disamping itu, sumber daya tersebut harus kombinasi
berimbang.Tidak boleh terjadi ketimpangan, misalnya sumber daya manusia cukup
memadai tetapi peralatan tidak memadai, atau sumber keuangan memadai tetapi
ketersedian waktu dan keterampilan tidak cukup. Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus dapat dikontrol agar kondusif bagi implementasi kebijakan. Ini
cukup sulit sebab kondisi lingkungan sangat luas, beragam serta mempunyai
karakteristik yang spesifik sehingga tidak mudah untuk dapat dikendalikan dengan
sangat lama ada, tumbuh berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan kepercayaan
masyarakat.Contoh lingkungan eksternal lainnya yang sulit dikontrol adalah keadaan ekonomi masyarakat, dimana sangat tidak mudah untuk mengubah
keadaan ekonomi masyarakat, apalagi dalam waktu dekat demi implementasi suatu
kebijakan publik.Teori ini juga mensyaratkan adanya komunikasi dan koordinasi
sempurna.Seringkali, dalam pelaksanaan suatu kegiatan, kedua hal ini kurang
mendapatkan perhatiaan dengan baik.Apalagi harus sempurna.Hal ini sering
diperburuk karena adanya ego sektoral.Berdasakan deskripsi diatas, teori ini kurang
cocok untuk dijadikan untuk penelitian ini.
3. Model Implementasi Kebijakan Goerge C. Edward III ( 1980)
Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi
keberhasilan impelementasi suatu kebijakan,yaitu: Komunikasi, Sumberdaya,
Disposisi dan Struktur birokrasi.
a. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 150) adalah
komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian
tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi
apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila
komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan
peraturan impelementasi harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada
tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi)
diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin
konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam
masyarakat.Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur
keberhasilan variabel komunikasi yaitu :
a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi
adalah adanya salah pengertian (misscommunication).
b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan
(street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua)
ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi impelementasi, pada
tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan
kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan
tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah
yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan,
b. Sumber daya
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam
mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino,
a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh
karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak ompoten dibidangnya.
Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang
diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi
perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus
mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
patuh terhadap hukum.
c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah
dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi
dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi
kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak, efektivitas akan
menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi
d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi
tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
c. Disposisi
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi,
menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :
a) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil
yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan.
b) Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi.
d. Struktur birokrasi
Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun
sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana
kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan
untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat
dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur
birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak
orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka
hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan
harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan
melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :
a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat)
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang
ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.
b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau
Gambar 1.2 :Faktor penentu implementasi menurut Edwards III
Sumber : George III Edward :implemeting public policy, 1980
4. Model Grindle (1980 )
Implementasi kebijakanmenurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi
kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya
telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan
mulus, tergantung pada implementabilitydari program itu, yang dapat dilihat pada
isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang
dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa
pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian dengan
konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud oleh
penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan
para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana program
akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah
dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van
Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi
kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).
Gambar 1.3. Model implementasi menurut grindle
5. Model Ripley dan Franklin
Randall B. Repley and Grace A. Franklin (1986 : 232-33) (dalam Alfatih,
2010:51-52), menulis tentang tiga konsepsi yang berkaitan dengan keberhasilan
implementasi kebijakan, yaitu :
1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku.
Perspektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan
implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor dalam
melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, atau program. (dalam Purwanto dan
Sulistyastuti, 2012:69).
2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi
Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas
fungsi dan tidak adanya masalah- masalah yang dihadapi; (dalam Akib,
Haedar.Jurnal Administrasi Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010). 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki.
Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada
implementasi/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari semua
program-program yang dikehendaki. (dalam Akib, Haedar. Jurnal Administrasi
Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010).
Pendapat Ripley dan Franklin diatas menunjukkan bahwa keberhasilan
suatu implementasi akan ditentukan bagaimana tingkat kepatuhan, lancarnya
rutinitas fungsi lembaga , dan hasil kebijakan yang sesuai dengan rencana dari
I.5.3. Izin Mendirikan Bangunan
I.5.3.1. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan
Menurut Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2015
TentangRencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun
2015-2035. Izin mendirikan bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan
yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah/ memperbaiki/ rehabilitasi/ renovasi, memperluas,
mengurangi, dan/ atau merawat bangunan, dan/ atau memugar dalam rangka
melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku.
Menurut Susanta (2009: 6), izin mendirikan bangunan (IMB) adalah izin
yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pribadi, sekelompok orang atau
badan untuk membangun dalam rangka pemanfaatan ruang sesuai dengan izin yang
diberikan karena telah memenuhi ketentuan dari berbagai aspek, baik pertanahan,
teknis, perencanaan serta lingkungan.Sedangkan menurut Dwi ( 2008: 11), Izin
mendirikan bangunan atau lebih sering dikenal IMB adalah izin yang diberikan
untuk melakukan kegiatan membangun yang dapat diterbitkan apabila rencana
bangunan dinilai telah sesuai dengan ketentuan yang meliputi aspek pertanahan,
aspek planologis (perencanaan), aspek teknis, aspek kesehatan, Aspek
kenyamanan, dan aspek lingkungan.
Sebelum memulai mendirikan bangunan, bangunan sebaiknya
memilikikepastian hukum atas kelayakan, kenyamanan, keamanan, sesuai dengan
tetapi juga dibutuhkan untuk membongkar, merenovasi, menambah,mengubah,
atau memperbaiki yang mengubah bentuk atau struktur bangunan.
I.5.3.2 Persyaratan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Sesuai dengan Perda Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Detail
Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun 2015-2035, dan peraturan
Walikota Medan No. 40 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis atas Pelaksana
Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 Tahun 2015 tentangRencana Detail Tata
Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun 2015-2035, persyaratan dalam
mengurus izin mendirikan bangunan adalah:
A. Persyaratan Administrasi:
1. Foto copy kartu tanda penduduk yang masih berlaku
2. Foto copy surat pemberitahuan pajak terhutang dan surat tanda terima
setoran (bukti pelunasan) pajak bumi dan bangunan tahun terakhir.
3. Surat surat kepemilikan tanah antara lain:
a) Fotocopy sertifikat tanah yang dilegalisasi oleh badan pertanahan
nasional
b) Foto copy akta kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh camat yang
dilegalisasi oleh camat (bagi tanah yang belum bersertifikat)
c) Fotocopy akta kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh notaris yang
dilegalisasi oleh notaris
d) Fotocopy kepemilikan atas tanah berdasarkan putusan pengadilan yang
e) Surat tidak silang sengketa untuk keperrluan mengurus IMB yang
dikeluarkan oleh lurah (bagi surat tanah yang belum bersertifikat) dan
f) Rekomendasi dari bank bagi surat tanah yang sedang diagungkan.
4. Rekomendasi dari instansi terkait bagi pembangunan tempat ibada, tempat
persemayaman mayat ,stasiun pengisian bahan bakar umum/stasiun
pengisian bahan bakar elpiji, sarana pendidikan, sarana kesehatan,dan
sarana olahraga dan menara telekomunikasi.
5. Surat kuasa yang bermaterai bagi pemohon yang bukan pemilik tanah
6. Fotocopy akte perusahan yang dilegalisasi atau fotocopy surat keputusan
instansi yang dilegalisasi ( bagi pemohon yag berbadan hukum).
7. Gambar rencana peruntukan bagi pemohon bangunan pagar
8. Fotocopy surat perjanjian sewa menyewa tanah bagi pemohon IMB yang
bersifat sementara atau berjangka waktu kurang dari 5 tahun yang
dilegalisasi oleh notaris.
9. Fotocopy IMB terdahulu beserta selruh gambar lampiranya untuk
permohonan memperluas,menambah tingkat ,dan renovasi bangunan atau
bangunan menara diatas bangunan
10.Izin dari warga yang berbatasan langsung bagi pembangunan tempat
persemayaman mayat,stasiun pengisian bahan bakar umum/stasiun
pengisian bahan bakar elpiji,sarana pendidikan, sarana keshatan, dan sarana
olahraga serta menara telekomunikasi dan
11.Izin dari warga dengan jarak radius setinggi bangunan bagi pembangunan
B. Persyaratan Teknis
1. Denah lokasi tanah yang dimohon
2. Gambar rencana bangunan rangkap 3 (tiga) minimal ukuran kertas A3
dengan skala 1:100 (satu banding seratus) atau 1:200 (satu banding dua
ratus) yang disetujui oleeh pemohon yang terdiri dari
a) Denah dan perencanaan tapak bangunan (site plan) yang
menggambarkan bentuk persil sebenarnya;
b) Tampak depan, tampak samping, tampak samping kanan, dan tampak
belakang;
c) Potongan memanjang dan potongan melintang
d) Konstruksi (pondasi, pengikat pondansi( sloop), kolom, balok, lantai,
tangga, dan rencana atap/ kap);
e) Dena sanitasi, tangki pembuangan limbah manusia (septic tank) dan
bak control;
f) Untuk membangun pagar (pondasi, tampak bangunan, potongan, dan
situasi)
3. Perhitungan konstruksi yang dibuat oleh konsultan dan ditanda tanganin
oleh perencana dan distempel oleeh konsutan bagi bangunan dengan;
a) Bentangan balok beton atau baja lebih dari 6 (meter)
b) Ketinggian 2 (dua) lantai atau lebih untuk bangunan yang digunakan
untuk kepentingan umum;
d) Konstruksi kuda kuda baja atau kayu yang bentanganya lebih dari 6
(enam) meter;
e) Konstruksi baja atau kayu yang ketinggian tiangnya lebih dari 5 (lima)
meter per lantai dan;
f) Bangunan yang memiliki basement dan semi basement.
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan:
1. Besarnya retribusi IMB didasarkan kepada volume, fungsi dan lokasi
bangunan.
2. Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya retribusi didasarakan
denganmemperhatikan biaya kegiatan dan tingkat penggunaan jasa pelayanan
IMB dalam rangka pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan
bangunan yang meliputi pengecekkan, pengukuran lokasi, pemetaan,
penelitian, pemeriksaan, dan penatausahaan.
3. Retribusi yang dihitung sebagai berikut :
a. Biaya Retribusi untuk bangunan Rumah Tinggal, Sosial Komersial :
1. Biaya Sempadan: 0,95% x (RAB+2NJOP x Luas Bangunan) = Rp. A
2. Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B
3. Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C
4. Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D
Besarnya Retribusi IMB = Rp. (A+ B + C + D)
b. Untuk bangunan Sosial Non Komersial :
Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B
Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C
Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D
Besarnya Retribusi IMB = Rp. (B + C + D)
4. Bangunan Industri, Perumahan, Niaga, Kantor Non Pemerintah dan bangunan
Komersial lainnya.
1. Biaya Sempadan: 1,9 % x (RAB x 2NJOP x Luas Bangunan)= Rp. A
2. Biaya Pengawasan: 10% x Rp. A = Rp. B
3. Biaya Pendaftaran: 6% x Rp. A = Rp. C
4. Biaya Konstruksi: 1% x Rp. A = Rp. D
Besarnya Retribusi IMB = Rp. (A+ B + C + D)
5. Untuk perbaikan bangunan (renovasi) dikenakan biaya retribusi yangdihitung
berdasarkan biaya renovasi yang dilaksanakan serta sesuai perhitungan point
3a.
6. Untuk mengganti IMB yang hilang, dikenakan biaya retribusi sebesar 6%
(enam persen) dari biaya retribusi IMB.Retribusi biaya balik nama ditetapkan
sebesar 10% (sepuluh persen) dari biaya retribusi IMB.
7. Bangunan yang didirikan sebelum tahun 1996 diberikan Pemutihandengan
memperhitungkan penyusutan setiap tahun sebesar 2,5% (dua setengah peren
dan maksimal 25% (dua puluh lima persen);
8. Hasil pemungutan sebagaimana dimaksud point 3a dikembalikan kepada Dinas
Gambar. Proses Pengurusan IMB
Penolakan pemberian IMB
Penolakan pemberian IMB sesuai pasal 12 Perda Kota Medan Tahun 2012 jika:
a. Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
b. Bertentangan dengan rencana tata ruang kota, bila:
1. Bangunan yang direncanakan tidak sesuai dengan peruntukantanah di
lokasi yang dimaksud.
2. Di atas persil yang dimohon rencana jalan/pelebaran sehingga sisa luas
tanah tidak dapat dibangun sesuai dengan persyaratan peruntukan.
3. Bangunan yang dimohon tidak sesuai ketentuan teknis lainnya.
c. Bertentangan dengan kelestarian, keserasian, dan keseimbangan lingkungan.
d. Bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau ketertiban umum.
e. Bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku.
f. Telah dibangun dan memiliki IMB tetapi menyimpang dari imb yang telah
I.6. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional I.6.1. Defenisi Konsep
Konsep merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial. Dengan konsep peneliti melakukan abstraksi dan
menyederhanakan pemikiranya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa
kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainya maka defenisi konsep
untuk penelitian ini ialah:
1. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelian ini ialah pelayanan Izin
Mendirikan Bangunan di Kota Medan
2. Implementasi kebijakan adalah proses ataupun tindakan-tindakan terhadap
kebijakan yang telah di tetapkan dan dijalankan oleh individu-individu (dan
kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan. Implementasi Kebijakan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Daerah No 5 Tahun 2012 Tentang
Retribusi Izizn Mendirikan Bangunan di Kota Medan dengan memperhatikan
variabel yang di kemukakan oleh George C. Edwards III Sebagai Berikut
2. Sumberdaya
3. Disposisi
4. Struktur Birokrasi
3. Izin mendirikan bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah
daerah kepada pihak pribadi atupun kelompok dalam mendirikan bangunan
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
I.6.2. Defenisi Operasional
Defenisi Operasional adalah sebagai petunjuk pelaksana bagaimana caranya
mengukur suatu variabel atau suatu informasi yang membantu peneliti sehingga
dari informasi tersebut diketahui bagaimana cara mengukur variabel penelitian
tersebut. Adapun yang menjadi indikator implementasi pada penelitian ini adalah:
a. Komunikasi yaitu hubungan yang di lakukan oleh seseorang individu atau
sekelompok dengan individu lain untuk memperoleh informasi dalam menjalankan
suatu tugas ataupun kegiatan. Komunikasi juga diperlukan agar para pembuatan
keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan
kebijakan yang akan di tetapkan dalam masyarakat. Komunikasi haruslah konsisten
dan jelas karena jika komunikasi yang diberikan berubah ubah akan menimbulkan
kebingungan bagi para agen pelaksana. Dalam penelitian ini peneliti akan
melakukan komunikasi terhadap pihak pihak yang mengerti dan berperan penting
dalam pelayanan izin mendirikan bangunan untuk mendapatkan informasi yang
b. Sumber daya, meliputi :
1. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat
pendidikan, keahlian atau keterampilan dan kemampuan dalam
menjalankan tugas dan fungsinya masing masing.
2. Fasilitas yaitu sarana dan perasaran yang di gunakan untuk
mendukung terlaksananya suatu kegiatan.
c. Disposisi atau sikap pelaksanan menyangkut respon dari implementor
terhadap pelaksanaan implementasi kebijakan. Pengangkatan personil perlu di
perhatiakan untuk mencegah hambatan hambatan yang mungkin ditemui,
pengangkatan personil pelaksana haruslah memiliki dedikasi terhadap kebijakan
yang telah di tetapkan.
d. Struktur birokrasi menyangkut kerja sama diantara banyak orang,
birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan
yang telah di putuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik.
Dua karakteristik yang mendongkrak kinerja struktur birokrasi kea rah yang lebih
baik yaitu dengan melakukan:
1. Standar operating prosedures (SPOs) adalah kegiatan rutin yang
dilaksanakan para pegawai setiap harinya sesuai standar yang di
tetapkan dalam menjalankan suatu kebijakan.
2. Fragmentasi adalah tanggung jawab pegawai dalam menjalankan
I.7. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, dan
sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB III : DESKRIPS LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian dan
karakteristik daerah penelitian.
BAB IV : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
Bab ini memuat hasil data data penelitian yang diperoleh
dilapangan danmemberikan analisis atas data tersebut serta
meberikan interprestasi terhadap perasalahan yang diajukan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang di peroleh dari hasil