BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksionisme Simbolik
Teori Interaksionisme Simbolik Untuk mempelajari interaksi sosial
digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interaksionist
prespektive. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionosme
simbolik (symbolic interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran
George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran
pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan
simbol-simbol dalam interaksi (Douglas (1973), dalam Kamanto Sunarto (2004)).
Teori tersebut juga mengajak kita untuk lebih memperdalam sebuah kajian
mengenai pemaknaan interaksi yang digunakan dalam mayarakat mulitietnik.
Dalam menggunakan pendekatan teori interaksionisme simbolik sudah nampak
jelas bahwa pendekatan ini merupakan suatu teropong ilmiah untuk melihat
sebuah interaksi dalam masyarakat multietnik yang banyak menggunakan
simbol-simbol dalam proses interaksi dalam masyarakat tersebut.
Pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga; yang pertama ialah
bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dipunyai
sesuatu baginya. Dengan demikian tindakan seorang penganut agama Hindu di
India terhadap seekor sapi akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama
islam di Pakistan, karena bagi masing-masing orang tersebut sapi tersebut
pemikiran teori interaksionisme simbolik, membuat kita memahami bahwa dalam
sebuah tindakan mempunyai makna yang berbeda dengan orang yang lain yang
juga memaknai sebuah makna dalam tindakan interaksi tersebut.
Interaksionis simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu
pendekatan sosiologis oleh Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang
berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan,
memberikan pengertian pada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan
interpretasi kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan
melalui interpretasi simbol-simbol atau komunikasi bermakna yang dilakukan
melalui gerak, bahasa, rasa simpati, empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya
yang menunjukan reaksi atau respon terhadap rangsangan-rangsangan yang datang
kepada dirinya.
Pendekatan interaksionisme simbolik merupakan salah suatu pendekatan
yang mengarah kepada interaksi yang menggunakan simbol-simbol dalam
berkomunikasi, baik itu melalui gerak, bahasa dan simpati, sehingga akan muncul
suatu respon terhadap rangsangan yang datang dan membuat manusia melakukan
reaksi atau tindakan terhadap rangsangan tersebut. Dalam pendekatan
interaksionisme simbolik akan lebih diperjelas melalui ulasan-ulasan yang lebih
spesifik mengenai makna simbol yang akan dibahas di bawah ini. Dalam
melakukan suatu interaksi, maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat
2.2 Perilaku Sosial
Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan
keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim, 2001). Sebagai
bukti bahwa manusia dalam memnuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak
dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain.Ada
ikatan saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya. Artinya
bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling
mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja
sama, saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup
bermasyarakat.
Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey (1982) dalam Rusli Ibrahim
(2001), perilaku sosial seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang
dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga
identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne, 1991 dalam
Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap
keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial
seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara
yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada orang yang
melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang
bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung sendiri.
Sesungguhnya yang menjadi dasar dari uraian di atas adalah bahwa pada
dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memuhi
kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi social
diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini
dikarenakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak
dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh
sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui
dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya
adalah perilaku sosial.
Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal
situasi sosial memegang pernana yang cukup penting. Situasi sosial diartikan
sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lain (W.A. Gerungan,1978:77). Dengan kata lain setiap situasi
yang menyebabkan terjadinya interaksi social dapatlah dikatakan sebagai situasi
sosial. Contoh situasi sosial misalnya di lingkungan pasar, pada saat rapat, atau
dalam lingkungan pembelajaran pendidikan jasmani.
2.3 Komunitas/Kelompok Sosial
Soekanto mengemukakan “kelompok sosial atau social group merupakan
himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya
hubungan dan timbal balik di antara mereka” (Soekanto, 1975:94). Namun
himpunan manusia dapat dikatakan sebagai kelompok sosial jika di dalamnya
terdapat kesadaran kelompok, hubungan timbal balik antara anggota dan
merupakan kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan
dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok
juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya. Kelompok-kelompok sosial
merupakan himpunan manusia yang saling hidup bersama dan menjalani saling
ketergantungan dengan sadar dan tolong menolong.
Komunitas merupakan sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme
yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama.
Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki
maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah
kondisi lain yang serupa. Komunitas itu sendiri adalah suatu wilayah kehidupan
sosial yang ditandai oleh suatu derajat setempat ini adalah lokalitas dan perasaan
semasyarakat (Soekanto 1975:117).
Masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang tetap atau permanen,
biasanya memiliki ikatan yang kuat karena faktor demografis tersebut. Namun,
pada perkembangan masyarakat modern saat ini, ikatan karena faktor kesatuan
tempat tinggal dirasakan berkurang sebagai akibat dari perkembangan teknologi,
sarana dan prasarana transportasi atau perhubungan. Namun sebaliknya, hal
tersebut memperluas wilayah pengaruh ikatan masyarakat setempat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, masyarakat setempat atau komunitas berfungsi
sebagai ikatan untuk menggarisbawahi hubungan antara hubungan-hubungan
sosial dengan suatu demografis wilayah geografis.
Soekanto dalam (Soekanto 1975:118) menjelaskan bahwa faktor kesatuan
tempat tinggal tidak cukup untuk mengidentifikasi suatu komunitas. Di samping
membutuhkan dan bahwa tanah yang mereka tinggali memberi kehidupan bagi
mereka semua. Soekanto menyebut hal ini dengan istilah community sentiment.
Yang di dalamnya mencakup unsur-unsur sentiment komunitas yakni: seperasa,
sepenanggungan, dan saling memerlukan.
Dari uraian tentang pengertian komunitas di atas, penulis menggambarkan
bahwa interaksi sosial dalam sebuah komunitas atau suatu kelompok sosial
tertentu dilandasi atas kesamaan dan kebersamaan individu-individu di dalamnya.
Kesamaan yang dimiliki oleh individu-individu terkait dengan komunitasnya yang
mencakup aspek psikologis, dan sebagainya. Kebersamaan yang terkait dengan
adanya kehidupan bersama yang dijalani maupun telah dijalani dalam kurun
waktu yang cukup lama, yang melibatkan interaksi antar individu di dalamnya.
Kebersamaan yang dibangun dianggap sebagai suatu tali persaudaraan serta
kekeluargaan antara sesama anggota dengan anggota yang lainnya.
Kumpul-kumpul setiap hari atau pada saat ada agenda.
Komunitas atau kelompok pemusik merupakan sekumpulan orang yang
memiliki minat dan ikatan emosional sebagai sesama pecinta satu aliran musik
yang sama. Untuk menunjukkan identitas komunitas mereka pada masyarakat
biasanya suatu komunitas atau kelompok menggunakan atribut-atribut tertentu
yang menjadi penanda bahwa mereka berasal dari satu komunitas tertentu.
Tergabungnya mereka dalam komunitas kemudian melahirkan satu aliran baru.
2.4 Teori Labelling (Penjulukan)
Lahirnya Teori Penjulukan (Labelling Theory), diinspirasi oleh Perspektif
rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti
kriminologi, kesehatan mental (pengidap schyzophrenia) dan kesehatan, serta
pendidikan. Teori Penjulukan dari studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan
awal tahun 1960 yang merupakan penolakan terhadap Teori Konsensus atau
Fungsionalisme Struktural. Awalnya, menurut Teori Struktural deviant atau
penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang
berlawanan dengan norma-norma sosial. Deviant adalah bentuk dari perilaku.
Namun Labelling Theory menolak pendekatan itu, deviant hanya sekedar nama
yang diberikan atau penandaan. Tegasnya, Labelling theory rejected this approach
and claimed that deviance is not a way of behaving, but is a name put on
something: a label… Deviance is not something inherent in the behavior, but is an
outcome of how individuals or their behavior are labelled. (Socioglossary,
September 26, 1997).
Teori Penjulukan menekankan pada pentingnya melihat deviant dari sudut
pandang individu yang devian. Seseorang yang dikatakan menyimpang dan ia
mendapatkan perilaku devian tersebut, sedikit banyak akan mengalami stigma,
dan jika itu dilakukan secara terus menerus dirinya akan menerima atau terbiasa
dengan sebutan itu (nubuat yang dipenuhi sendiri). Menurut Howard Becker
(1963), kelompok sosial menciptakan penyimpangan melalui pembuatan aturan
dan menerapkan terhadap orang-orang yang melawan aturan untuk kemudian
menjulukinya sebagai bagian dari outgrup mereka. Teori penjulukan memiliki dua
proposisi, pertama, perilaku menyimpang bukan merupakan perlawanan terhadap
norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dijuluki
tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak, penyimpangan
dikatakan ada dalam “mata yang melihat”.
Proposisi kedua, penjulukan itu sendiri menghasilkan atau memperkuat
penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial
menghasilkan penyimpangan sekunderyang mana mereka mendapatkan citra diri
atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang secara
permanen terkunci dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan
merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol