BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Saat proses pembelajaran matematika berlangsung, sebenarnya siswa tidak hanya dituntut untuk mendapatkan informasi serta menghapal berbagai aturan-aturan, rumus-rumus, definisi-definisi serta berbagai macam prosedural dalam matematika, namun keaktifan siswa sangat diperlukan, sehingga pengetahuan matematika dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendekatan kontruktivisme yang dinyatakan oleh Piaget (Cole dan Wertsch, 1996) bahwa anak secara individual mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui
tindakan mereka terhadap alam sekitarnya, atau dapat dikatakan “to understand is
to invent”. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian bagi para pendidik, mengingat bahwa kemampuan pemahaman matematis penting untuk dimiliki oleh siswa.
dapat digunakan dalam memecahkan masalah-masalah baru. Oleh karena itu kemampuan pemahaman matematis merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa.
Kemampuan pemahaman matematis erat kaitannya dengan kemampuan representasi matematis. Bagaimana caranya agar dapat menggambarkan pemahaman siswa tentang konsep matematika tersebut? Terdapat sebuah contoh dalam NCTM (2001), misalnya siswa diberikan angka -3, mungkin itu hanya dilihat sebagai tanda minus atau tanda negatif yang kemudian diikuti oleh angka 3, tapi mungkin ada juga siswa yang telah membentuk suatu pemahaman terhadap konsep yang berkaitan, tetapi gagal untuk mengasosiasikannya ke dalam notasi simbolis. Siswa lain mungkin memiliki sedikit atau tidak ada gagasan sama sekali mengenai angka negatif atau bahkan melihat angka kurang dari nol sebagai mustahil. Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa setiap siswa masing-masing memiliki representasi internal yang berbeda-beda, atau istilah lainnya seperti yang diutarakan oleh Kosslyn dan Palmer (NCTM, 2001) yaitu “mental
representation” siswa.
menjelaskan bahwa interaksi ini disoroti dengan beberapa contoh dari tindakan anak dalam menetapkan makna matematika sebagai struktur, tugas representasi eksternal dan membangun kepribadian, serta representasi internal dari lambang angka.
Terdapat sepuluh standar pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang harus diperoleh dari siswa pra-TK hingga siswa kelas XII dalam NCTM (2000) yaitu:
1. Standar Isi: Operasi bilangan, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Analisis data dan Probabilitas.
2. Standar Proses: Problem Solving, Penalaran dan Pembuktian, Komunikasi, Koneksi, dan Representasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis pada siswa sangat diperlukan, yang sejalan dengan pendapat Abdullah (2013) bahwa “Dalam pengajaran matematika, kemampuan mengungkapkan gagasan/ide matematis dan merepresentasikan gagasan/ide matematis dapat merupakan suatu hal yang harus dilalui oleh setiap orang yang
sedang belajar matematika”. Selain itu, Thomas dan Hong (2001) sangat setuju
dengan pernyataan Lesh bahwa "... kefasihan representasional adalah jantung dari "memahami" hal-hal penting yang mendasari dalam konstruksi matematika"
Bruner (Salkind, 2007) mengatakan bahwa “The power of a representation can . . . be described as its capacity, in the hands of a learner, to connect matters
that, on the surface, seem quite separate. This is especially crucial in
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis dan representasi matematis merupakan kemampuan yang harus siswa miliki. Namun, pada kenyataannya kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa di indonesia belum sepenuhnya baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdi, Ikhsan, & Marwan (2013) yang menunjukan hasil rata-rata tes soal matematika siswa SMA setara PISA masih dibawah level satu, yang berarti siswa belum mampu menyelesaikan soal matematika setara PISA, padahal soal-soal PISA merupakan soal-soal literasi matematis yang dalam penyelesaiannya menuntut siswa untuk memiliki kemampuan pemahaman serta representasi matematis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Febriansyah, dkk. (2014) juga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa SMA masih tergolong kurang. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk. (2014) menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa SMA masih dikategorikan rendah yaitu dengan persentase rerata skor sebesar 40,62% dari skor ideal. Begitu juga data yang dihasilkan dari penelitian Ansari (2014) diketahui bahwa persentase penggunaan aspek representasi matematis siswa SMA dalam menyelesaikan soal tes sebesar 36,1%, hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan representasi siswa SMA.
Strategi konflik kognitif merupakan strategi pembelajaran yang berdasarkan pada pendekatan kontruktivisme. Lee, dkk. (2003) menyebutkan bahwa konflik kognitif adalah keadaan persepsi disaat seseorang menyadari perbedaan antara struktur kognitif dengan lingkungannya (informasi eksternal), atau antara komponen-komponen yang berbeda (misalnya, konsepsi, keyakinan, substruktur dan sebagainya) dari struktur kognitif seseorang. Menurut teori Piaget (Lee, dkk., 2003), ketika seorang anak mengakui konflik kognitif (disequilibrium), pengakuan ini memotivasi dia untuk mencoba menyelesaikan konflik. Piaget menyebut proses penyelesaian konflik ini adalah ''equilibrium''. Menurutnya, equilibrium mengacu pada proses pengaturan diri yang memelihara keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Sejak 1980-an menurut Lee, dkk. (2003) penggunaan konflik kognitif sebagai strategi pengajaran telah populer di bidang pendidikan sains dan sejumlah besar peneliti berpendapat bahwa konflik kognitif memiliki peran penting dalam perubahan konseptual, artinya strategi konflik kognitif mampu untuk membentuk pemahaman konsep pada siswa, atau dapat dikatakan representasi internal
(representasi mental) pada siswa. Hal yang sama dikemukakan oleh Salkind
(2007) bahwa untuk memahami sistem representasi eksternal, siswa harus
memproses mereka secara internal, Oleh karena itu, pembelajaran dengan strategi
konflik kognitif diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman serta
representasi matematis pada siswa. Selain itu hal ini didukung juga oleh penelitian
yang dilakukan oleh Mariawan (1997) yang menunjukkan bahwa strategi konflik kognitif dapat meningkatkan rata-rata prestasi belajar siswa sebesar 75%.
Prata, dkk. (2009) menyebutkan banyak peneliti telah menemukan hasil
yang menunjukkan bahwa konflik kognitif dalam pembelajaran muncul dari
proses kolaborasi, ketika siswa saling terlibat untuk mengkonstruksi pengetahuan
secara bersama-sama. Bahkan, Moshman dan Geil, serta Kruger (Prata, dkk.,
2009) mengklaim bahwa konflik kognitif yang produktif berlangsung hanya
dalam konteks kerjasama, dan tidak melalui persaingan atau konflik interpersonal.
Moshman dan Geil melihat bahwa konflik kognitif yang produktif tidak muncul
dari siswa yang berdebat untuk mendukung pandangan mereka sendiri, tetapi dari
mengutarakan bahwa model pembelajaran kooperatif memberi kesempatan pada
siswa guna menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis mereka. Oleh
karena itu, di dalam penelitian ini penulis akan menerapkan strategi konflik
kognitif dengan model kooperatif dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis dan kemampuan pemahaman matematis siswa.
kognitif dengan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif? 2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang
mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah)?
3. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif? 4. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang
mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif.
3. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif.
4. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Siswa
Meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan pemahaman matematis siswa.
2. Guru
Dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di sekolah dalam meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan pemahaman matematis siwa.
3. Sekolah dan peneliti