• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi-Agustus 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institusi-Agustus 2008"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI AGUSTUS 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

Daftar Isi

Hasil Pilkades Lagadar Kemungkinan Dibatalkan --- 1

UU Pemilu Bertentangan dengan Kemerdekaan Pers --- 2

Menciptakan Pemerintahan yang Bersih --- 3

Jangan Ada Kekerasan dalam Pilkada Riau --- 4

KPU Mimika Diminta Serahkan Hasil Pilkada --- 5

November, Putaran Kedua Pilkada Jatim --- 6

Demokrasi Belum Dapat Memberikan Kesejahteraan --- 7

UU Pemda dan Pilkada Dipisah --- 8

Pilkada Diusulkan Digabung --- 9

Bung Ciil dan Pilpres 2009--- 10

Pemerintah Berencana Terbitkan UU Pilkada --- 12

KPUD Mimika Diminta Gelar Rapat Pleno Hasil Pilkada --- 13

Menekan golput dalam Pemilu 2009 --- 14

PAN Tunggu UU Pemilu dalam Pencalonan Presiden--- 16

Dari Pilgub ke Pilwali Surabaya --- 17

Golput dan Memilih dengan Rasional --- 19

Keabsahan Pilkada Digugat --- 21

Korupsi Para Politikus --- 23

Sepakat Pilkada Aman --- 25

Konsistensi & Citra Politik SBY --- 26

Globalisasi Pemiskinan --- 29

Suap DPR --- 31

UU Nomor 39/2004 Perlu Disempurnakan --- 33

Dada Menang Telak di Pilkada Bandung --- 35

Pilgub Jatim: Gus Ipul Klaim Didukung Kiai Sepuh --- 36

Sosialisasi Dini Pemilih Cegah Golput --- 37

Jumlah DPT Pilkada Makassar 959.814 --- 38

Pilkada Kota Bandung Suara Dada Tak Terkejar --- 39

Kualitas Pemilu 2009 --- 40

Panwas Pilkada Ancam Bekukan Kegiatan --- 42

Elite Parpol agar "Legowo" --- 44

Otonomi Daerah Harus Diperkuat --- 45

(4)

Politik Kesetaraan --- 48

Pelanggaran Konstitusi dan Parlemen "Tuyul'' 2009 --- 51

UU Pemilu Timbulkan Konflik Parpol --- 54

Golput dan Demokrasi “Kaum Penjahat” --- 55

Waktu Penyelenggaraan Pilkada Putaran II Fleksibel --- 57

Delapan Pasang Kandidat Mulai Berkampanye --- 58

Dibutuhkan Perda Khusus --- 59

Sikap Pembahasan RUU Tipikor Jadi Ukuran --- 60

Pilgub Diprediksi 2 Putaran --- 61

Indonesia Belum Merdeka dari Kemiskinan --- 63

Kebijakan Populis Tidak Mengurangi Kemiskinan --- 66

Penduduk Miskin Indonesia dalam Angka --- 68

"Conflict Governance" Pemilu --- 70

Paket UU Politik Buka Celah Gugatan --- 72

Pilkada Nabire Dilaksanakan 22 Oktober--- 73

Entaskan Kemiskinan dengan Program Berkelanjutan --- 74

Angka Golput Diprediksi Tinggi --- 75

Kebijakan Otonomi Daerah Perlu Direkonstruksi --- 76

DPD Optimistis Amendemen UUD 1945 Setelah Pemilu --- 78

Hati-hati Selesaikan RUU Keistimewaan DIY --- 79

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi --- 81

Pilkada Kabupaten Bogor Sepi --- 83

PP Perizinan Segera Ditetapkan --- 85

Dana Otsus Redam Separatisme --- 86

Revisi Terbatas UU Pemilu --- 87

(5)

Pikiran Rakyat Jumat, 01 Agustus 2008

H a sil Pilk a d e s La g a d a r Ke m u n g k in a n D ib a t a lk a n

Jum'at, 01 Agustus 2008 , 09:56:00

SOREANG, (PRLM).- Hasil pemilihan kepala desa (pilkades) Desa Lagadar, Kec. Margaasih, Kab. Bandung hampir pasti dibatalkan. Pasalnya, sebanyak tujuh dari sebelas anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Lagadar, menolak mengakui hasil pilkades itu.

Demikian terungkap dalam pertemuan antara masyarakat dengan Komisi A DPRD Kab. Bandung, Kamis (31/7). Pertemuan itu pun berjalan alot dan nyaris tidak menghasilkan apa pun, karena Komisi A menyatakan tidak memiliki kewenangan apa pun untuk merestui atau menggagalkan pilkades.

Pertemuan itu dihadiri oleh anggota masyarakat, anggota BPD, camat, panitia pemilihan, panitia pengawas, dan anggota Komisi AS. Di dalam pertemuan itu terjadi saling lempar tanggung jawab dalam menyikapi aspirasi masyarakat yang menolak hasil pilkades. Pihak panitia pemlihan dan panwas bersikukuh, bahwa pilkades itu berjalan sesuai aturan undang-undang. Di pihak lain, masyarakat menuduh panitia dan panwas terlalu takut dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu calon kepala desa.

Ketika Wakil Ketua Komisi A, Cep Iid Ishak Farid meminta pertimbangan Camat Margaasih, Masykur, S.Ip. Sementara camat menyatakan tidak akan melantik kepala desa terpilih, sebelum ada keputusan BPD Lagadar. Pun demikian ketika BPD dan Bagian Hukum Pemkab Bandung dimintai pertimbangannya, mereka menyatakan sebelum ada pelantikan, maka masalah pilkades Lagadar masih berada dalam kewenangan panitia pemilihan. Sedangkan panitia dan panwaslu menyatakan, pilkades itu sudah sesuai aturan.

Sedangkan sebagian besar anggota BPD Lagadar menyatakan menolak hasil pilkades. Karena itu mereka meminta rekomendasi DPRD Kab. Bandung untuk membatalkan dan mengulang proses pilkades.

"Prosesnya sudah salah sejak awal. Sejak ujian yang dilakukan oleh Universitas Nurtanio," kata Wahidin, salah seorang anggota BPD.

Mendengar bahwa permasalahan muncul seusai ujian bagi bakal calon kades, yang dilakukan oleh Universitas Nurtanio, Cep Iid mengusulkan agar dilakukan pertemuan lanjutan antara DPRD Kab. Bandung, pihak-pihak terkait di Lagadar, dan Universitas Nurtanio. Namun usulan itu ditolak oleh perwakilan warga, Ade Witarsa. Menurut dia, pertemuan yang berkepanjangan tidak akan produktif, karena segala bukti pelanggaran pilkades sudah lengkap. Ade juga mengatakan, secara de fakto BPD Lagadar sudah menolak hasil pilkades.

Pernyataan Ade itu didukung oleh anggota Komisi A, Asep Qomsuddin. Dia menyatakan, apa yang terjadi di Lagadar, harus diselesaikan oleh perangkat desa yang ada. Apalagi, hasil pilkades itu belum mendapat pengesahan dari pihak berwenang.

(6)

Berkhas 2 Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan Jumat, 01 Agustus 2008

UU Pe m ilu Be r t e n t a n g a n d e n g a n Ke m e r d e k a a n Pe r s

[JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui, Pasal 99 Undang-Undang (UU) No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (UU Pemilu Legislatif) bertentangan dengan semangat reformasi yang tidak membreidel media massa. Para menteri terkait agar mempelajari pasal tersebut dan memikirkan jalan keluar terbaik dan cepat dalam menyelesaikan masalah ini.

(7)

Republika Sabtu, 02 Agustus 2008

2008-08-02 09:48:00

M e n cip t a k a n Pe m e r in t a h a n y a n g Be r sih

Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) menitikberatkan visi dan misinya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Roh partai itu begitu gamblang dituliskan dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang dipimpin oleh mantan menneg pemberdayaan aparatur negara, Ryaas Rasyid, ini.

Kepedulian PDK terhadap pemerintahan yang bersih tampaknya tak lepas dari pengaruh kuat yang diberikan Ryaas sebagai pendiri partai. Pakar dan pengamat otonomi daerah ini sudah lama malang melintang di dunia pemerintahan. Selain sebagai pengajar di Institut Ilmu Pemerintah, pria yang lahir di Gowa, Sulsel, pada 17 Desember 1949, ini juga pernah ditunjuk Presiden SBY sebagai ketua tim pengkaji atau evaluasi terhadap Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) ketika sedang dirundung banyak masalah.

Sesuai dengan asasnya, PDK menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan kemajemukan serta prinsip-prinsip desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah. Karena itulah, partai ini memosisikan dirinya sebagai partai tengah, yaitu partai yang memberi solusi bagi politik aliran di Indonesia.

Didirikan pada 23 Juli 2002, awalnya PDK bernama Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK). Ryaas tak sendiri ketika membentuk partai ini. Ia bersama-sama pengamat politik lainnya, Andi Malarangeng, mendeklarasikan partai yang kini berlambang bintang merah yang terletak di antara padi dan kapas dalam lingkaran untaian rantai emas ini. Andi, kini menjadi juru bicara kepresidenan dan beralih ke Partai Demokrat.

Pada Pemilu 2004, PPDK mampu meraih 1,16 persen suara sehingga memperoleh lima kursi DPR. Dalam pilpres pada tahun yang sama, partai ini mendukung pasangan Wiranto-Solahudin Wahid. Namun, menghadapi Pemilu 2009 partai ini kemudian berganti nama. Sesuai dengan hasil rapimnas pada Oktober 2007 di Jakarta, partai itu berubah nama menjadi PDK. Berikut gambar logo partainya yang baru.n djo

Ketua Umum :Ryaas Rasyid Sekjen :Rapiuddin Hamarung No Urut :20

Visi

Menghadirkan pemerintahan yang baik, membangun negara Indonesia seutuhnya demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, serta keadilan bagi setiap warga masyarakat Indonesia.

Asas

Pembukaan UUD 1945.

Sifat

Terbuka bagi semua WNI yang menerima asas partai tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, jenis kelamin, dan golongan sosial.

(8)

Berkhas 4 Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan Sabtu, 02 Agustus 2008

Ja n g a n Ad a Ke k e r a sa n d a la m Pilk a d a Ria u

[PEKANBARU] Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto mengatakan, tugas utama gubernur yang baru dilantik harus fokus menyiapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tanggal 22 September 2008. Jangan ada kekerasan dalam pelaksanaan Pilkada Riau.

"Diharapkan pelaksanaan pilkada dapat berjalan demokratis. Meskipun masa tugas Gubernur Riau berlangsung singkat, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian gubernur," kata Mardiyanto, seusai melantik H Wan Abu Bakar sebagai Gubernur Riau definitif, di Pekanbaru, Provinsi Riau, Kamis (31/7).

Wan Abu Bakar menjabat sebagai Gubernur Riau definitif sampai 21 November 2008 menggantikan Rusli Zainal yang mengajukan permohonan berhenti karena mengikuti Pilkada Riau. Pelantikan yang berlangsung dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Riau, Djuharman Arifin.

Turut hadir antara lain mantan Mendagri Syarwan Hamid, serta pasangan gubernur/wakil gubernur Riau yang akan maju dalam pilkada September 2008, yakni Rusli Zainal - Mambang Mit yang populer disingkat dengan RZ - MM dan pasangan Chaidir - Suryadi Khusaini yang akrab dipanggil CS.

(9)

Suara Pembaruan Sabtu, 02 Agustus 2008

KPU M im ik a D im in t a Se r a h k a n H a sil Pilk a d a

[JAYAPURA] Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mimika, Papua, diminta secepatnya menyerahkan hasil putusan Pengadilan Tinggi (PT) Papua terkait sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Mimika yang memenangkan dan Mengesahkan Hasil Penetapan KPU setempat yang menyatakan pasangan Klemen Tinal-Muis menang.

Penegasan ini disampaikan Pemerhati Demokrasi di Tanah Papua, Markus Haluk menjawab SP, Jumat (1/8), di Jayapura.

Permintaan itu dimaksudkan agar proses pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat lebih intensif dijalankan. Sesungguhnya Pilkada Mimika yang berlangsung tanggal 19 Mei lalu dan diikuti empat pasang calon bupati, yakni Yan Yoteni-Paulus Pakage, Hans Magal-Sutoyo, Klemen Tinal-Abdul Muis, dan Yopi Kilangin-Yohanis Felix dilakukan secara demokratis.

Dengan diserahkannya hasil putusan PT Papua yang memperkuat putusan KPU Mimika oleh KPU sendiri ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika, justru semakin baik. Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No 6/2005 yang menyatakan bahwa 3 hari setelah KPU Kabupaten menerima hasil putusan sengketa pilkada, KPU sudah harus menyerahkan hasil tersebut kepada DPRD agar ditetapkan untuk kemudian diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sehingga diterbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Bupati/Wakil Bupati terpilih agar segera dilantik oleh gubernur atas nama Mendagri.

Dengan tidak konsistennya KPU Kabupaten Mimika tersebut, masyarakat dapat saja mempertanyakan alasan belum diserahkannya hasil putusan pengadilan kepada DPRD Mimika.

(10)

Berkhas 6 Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan Sabtu, 02 Agustus 2008

N ov e m b e r , Pu t a r a n Ke d u a Pilk a d a Ja t im

[SURABAYA] Pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), melaju ke putaran kedua pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Timur (Jatim). Hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, Jumat (1/8), tidak ada yang mencapai 30 persen dari jumlah pemilih. Untuk sementara KPU menetapkan tanggal pencoblosan pada 5 November mendatang.

Pasangan Karsa memperoleh 4.498.332 suara atau 26,43 persen dan pasangan Kaji mengumpulkan 4.223.089 suara atau 24,82 persen. Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) mendapat suara 3.605.106 atau 21,18 persen. Soenarjo-Ali Maschan (Salam) mendapat suara 3.290.448 atau 19,34 persen, dan Achmady-Suhartono (Achsan) mendapat suara 1.397.291 atau 8,21 persen.

Hasil penghitungan secara manual KPU Jatim, tidak jauh berbeda dengan penghitungan cepat yang dilakukan empat lembaga survei, beberapa jam setelah dilakukan pencoblosan.

Dengan demikian pasangan Karsa yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional akan bertarung lagi dengan pasangan Kaji yang diusung Partai Persatuan Pembangunan dan 12 partai non-parlemen.

Karsa unggul di 18 kabupaten/kota, sedangkan Kaji, SR, dan Salam unggul di enam kabupaten/kota. Dalam pilkada 23 Juli lalu, jumlah suara yang sah 17.014.266 juta. Sedangkan total pemilih yang tercatat di KPU Jatim, 29 juta dari 37 juta lebih penduduk daerah ini.

Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) putaran kedua akan dilaksanakan 60 hari setelah penetapan, pada Oktober mendatang.

Anggota KPU Jatim, Arief Budiman mengatakan, jika pada Oktober akan berbenturan dengan agenda besar lain, yakni Hari Jadi Provinsi Jatim pada 12 Oktober. Kendala lain, proses menuju putaran kedua bersamaan waktunya dengan bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri.

Pada Oktober juga ada pilkada empat kota di Jatim, meliputi Probolinggo, Kediri, Mojokerto dan Madiun. Jika pada saat tersebut dipaksakan menjadi hari pemungutan suara putaran kedua, dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih.

Konsultasi

KPU Jatim segera konsultasi kepada Mendagri, Mardiyanto, di Jakarta.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jatim, Fathorrasjid mengatakan, DPRD siap menambah anggaran pilkada putaran kedua jika dianggap perlu. Sebelumnya, dewan menetapkan anggaran Rp 225 miliar, namun KPU Jatim mengajukan anggaran sebesar Rp 240 miliar. DPRD akan meninjau kembali anggaran yang diajukan KPU untuk putaran kedua.

Sesuai dengan hasil perhitungan dari beberapa lembaga survei yang terlibat dalam Pilkada Jatim, suara golongan putih (golput) tetap mendominasi perolehan suara yang dihitung secara manual oleh KPU Jatim.

(11)

Kompas Senin, 04 Agustus 2008

D e m ok r a si Be lu m D a p a t M e m b e r ik a n Ke se j a h t e r a a n

Senin, 4 Agustus 2008 | 00:23 WIB

Semarang, Kompas - Demokrasi yang saat ini berlaku di Indonesia hanya berhasil pada tataran proses dan masih belum mampu memberikan manfaat yang substantif, yaitu membaiknya kesejahteraan rakyat.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Warsito pada Temu Akbar Alumni dan Dies Natalis Ke-42 FISIP Undip, Minggu (3/8) di Semarang, Jawa Tengah. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X juga menghadiri acara itu.

Oleh karena demokrasi belum mampu menyejahterakan rakyat, lanjut Warsito, terjadi fenomena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. ”Hal itu bisa dilihat dari semakin tingginya angka golongan putih (golput atau orang yang sengaja tak menggunakan hak pilihnya) dalam pemilihan kepala daerah,” ucap Warsito.

Jika terus seperti itu, Warsito menuturkan, dalam proses demokrasi yang terus berkembang di Indonesia, dimungkinkan untuk memunculkan sikap apatis dari rakyat. Bahkan, bisa memicu naiknya penguasa yang bersikap otoritarian.

Sejak reformasi bergulir, Warsito menambahkan, hingga kini Indonesia belum memiliki sistem nilai penyelenggaraan pemerintahan yang mapan. ”Nilai lama mulai dilepaskan, tetapi nilai baru belum terbentuk,” tuturnya.

Strategi kebudayaan

Sebaliknya, Sultan HB X menegaskan, tidak ada jalan lain untuk membangun sebuah kultur demokratis di Indonesia selain dengan menggelar strategi kebudayaan. ”Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadi prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual,” kata dia.

Sistem pendidikan ini, lanjut Sultan HB X, berfokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. ”Otonom di sini bukan berarti egosentris dari pemerintahan yang ada,” ucapnya.

Menurut Sultan, dalam kehidupan politik sehari-hari, biaya dan manfaat tidak selalu hadir dalam bentuk fisik dan material, tetapi juga dapat diurai dalam bentuk nilai simbolik, seperti kepercayaan, stabilitas, solidaritas, serta loyalitas.

(12)

Berkhas 8 Volume VI Agustus 2008

Kompas Senin, 04 Agustus 2008

UU Pe m d a d a n Pilk a d a D ip isa h

8 5 Ke p a la D a e r a h Aj u k a n Pe n g u n d u r a n D ir i

Senin, 4 Agustus 2008 | 00:22 WIB

Bandung, Kompas - Departemen Dalam Negeri menyiapkan pemisahan aturan mengenai pemerintahan daerah atau pemda dan pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung. Saat ini, keduanya masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Direktur Pejabat Negara Departemen Dalam Negeri Sapto Supono, Sabtu (2/8) di Bandung, mengatakan, diharapkan pemisahan aturan pilkada dan pemda bisa selesai tahun 2009. ”Mudah-mudahan bisa masuk dalam program legislasi nasional,” katanya dalam Sosialisasi UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 49 Tahun 2008.

Usulan pemisahan aturan pilkada dan pemda merupakan wacana lama. UU No 32/2004 dinilai tidak terlalu rinci mengatur mengenai pilkada sehingga untuk pilkada diusulkan ada UU tersendiri.

Sapto mengatakan, ada salah satu usulan yang akan masuk dalam rancangan UU pilkada, yakni mengenai gugatan hukum pada proses pencalonan kepala daerah. Dalam pilkada yang berlangsung sejak tahun 2005, ada dua hal yang menjadi sumber masalah, yaitu data pemilih yang kurang akurat dan proses pencalonan kepala daerah.

Untuk itu, Sapto melanjutkan, ada usulan dalam proses pencalonan kepala daerah diberikan kesempatan bagi semua pihak untuk mengajukan gugatan hukum. ”Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan calon kepala daerah, lalu ada yang merasakan tak adil atau ada masalah internal parpol yang mengajukan calon, diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan. Pengadilan harus secepatnya mengambil keputusan,” ujar dia.

Selain itu, menurut Sapto, masih banyak usulan lain untuk pengaturan pilkada yang saat ini masih dikaji Depdagri.

85 kepala daerah

Terkait dengan pilkada, saat ini tercatat 85 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengajukan pengunduran diri karena akan mencalonkan diri lagi. Dari sejumlah itu, 72 kepala daerah di antaranya sudah mendapat persetujuan pemberhentian dari jabatannya yang ditandatangani Mendagri Mardiyanto. Mereka yang sudah mendapatkan surat keputusan pemberhentian sebagai kepala daerah harus meninggalkan fasilitas jabatannya.

Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang mengungkapkan, pengunduran diri incumbent (pejabat bertahan) yang akan mencalonkan diri dalam pilkada untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan fasilitas selama masa tahapan pilkada berlangsung. ”Selain itu, juga untuk menjamin netralitas pegawai negeri sipil, yang mungkin akan bingung bila kepala daerah dan wakilnya maju dalam pilkada,” ujar dia.

Hal itu diatur dalam UU No 12/2008, yang diturunkan dengan PP No 49/2008 tentang Perubahan atas PP No 6/2005 tentang Pilkada. PP No 49/2008 disahkan Presiden pada 4 Juli 2008.

(13)

Republika Senin, 04 Agustus 2008

2008-08-04 11:27:00

Pilk a d a D iu su lk a n D ig a b u n g

Biaya dihemat bila pemilihan pilkada gubernur, bupati, dan wali kota digabung.

BANDUNG -- Departemen Dalam Negeri telah memulai pembahasan untuk menggulirkan revisi menyeluruh undang-undang pemerintahan daerah (UU Pemda). Selain pemisahan topik pemilihan kepala daerah menjadi RUU tersendiri, usulan yang kuat mengemuka adalah mengenai penyatuan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten kota.

''Integrasi pemilihan gubernur dan bupati atau wali kota ini akan menghasilkan penghematan yang besar sekali,'' kata Direktur Pejabat Negara pada Direktorat Jendral Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Sapto Supono, di Bandung, Sabtu (3/8). Penghematan, kata dia, tak hanya dari sisi waktu karena hilangnya perulangan tahapan pilkada, tapi juga dari jumlah nominal dana pembiayaannya.

Menurut Sapto, dari sisi nominal bila pikada digabung, maka terjadi penghematan biaya yang sangat besar. ''Bayangkan saja berapa biaya untuk Jawa Barat? Provinsi ini terdata memiliki 26 kabupaten kota. Dengan adanya integrasi pilkada itu, maka akan dilakukan satu kali pilkada saja untuk memilih sekalgus gubernur, bupati, atau wali kota.''

Dalam revisi menyeluruh UU Pemda, lanjut Sapto, yang paling menonjol adalah dikeluarkannya topik pilkada dari undang-undang itu, menjadi RUU tersendiri. Di situ, kata dia, akan diakomodasi aturan untuk mengantisipasi temuan permasalahan mengenai sengketa pada pilkada yang kebanyakan bermula dari proses pencalonan yang tak mulus. ''Di revisi menyeluruh nanti, kami akan masukkan usulan pemberian ruang untuk gugatan tahapan pencalonan ini. Jadi setelah tahap penetapan peserta pemilu kepala daerah, maka nanti akan diberikan waktu tiga hari untuk mengajukan gugatan,'' kata Sapto. Apalagi, kata dia, memang sengketa calon di pilkada itu biasanya sudah mulai sejak dari internal partai.

Selain soal gugatan ini, kata Sapto, juga akan dimasukkan aturan yang lebih rinci mengenai daftar pemilih sementara (DPS). ''Selain itu juga akan diatur mengenai soal kampanye dan lain-lain.''Revisi menyeluruh UU Pemda, kata Sapto, merupakan langkah lanjut dari revisi terbatas UU tersebut yang melahirkan UU Nomor 12 tahun 2008. ''Belum semua hal terakomodasi dalam revisi terbatas kemarin itu,'' kata Sapto. Sapto lebih lanjut menyatakan, pemerintah memang telah menargetkan revisi menyeluruh UU Pemda ini dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009. Saat ini, kata dia, sudah mulai ada berbagai pembahasan terkait dengan rencana tersebut.

Penghematan biaya

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana, mengatakan, mendukung usulan integrasi pilkada. Menurutnya, dampak penggabungan itu tak hanya akan mewujudkan penyederhanaan jumlah pilkada dan penghematan biaya, tetapi juga akan berimbas pada peningkatan kinerja daerah. ''Apalagi semua tahu, rutinitas pemilu dan pilkada itu kini sudah sangat mempengaruhi kinerja daerah,'' katanya. Menurut Denny, dari sisi jumlah, jika pilkada gubernur kemudian dapat diintegrasikan dengan pilkada bupati dan wali kota, maka nantinya selama lima tahun di Indonesia hanya akan ada 35 pemilu saja saja. Yaitu, satu pemilu legislatif, satu pemilu presiden, dan 33 pemilu kepala daerah.

''Bila semua itu digabung maka memang penghematan biaya dapat dengan signifikan akan segera terlihat,'' katanya.

(14)

Berkhas 10 Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan Senin, 04 Agutsus 2008

Bu n g Ciil d a n Pilp r e s 2 0 0 9

Christianto Wibisono

Bung Ciil (Dr Syahrir) meninggal dalam usia 63 tahun, dan merupakan generasi terempas yang menurut Om Tjian (Rosihan Anwar) dalam obituari di Kompas 28/7/2008 tidak sempat membuktikan teori dan idealismenya dalam kejahatan struktural sebagai menteri. Ia meninggal masih dalam status anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Selama 32 tahun rezim Soeharto telah menghasilkan generasi terhempas, suatu populasi elite Indonesia yang sebenarnya mempunyai kualitas dan kapabilitas intelektual dan berwawasan, tapi dimubazirkan oleh Orde Baru. Karena itu, sekarang ini muncul generasi tergesa, kesusu dan kebelet mau langsung terjun dalam perlombaan ke puncak kekuasaan dengan mengorbitkan diri sendiri sebagai cawapres dan capres. Sebagian sudah melontarkan pekik perang seperti suku Indian, capres sebaliknya berusia balita (bawah limapuluh tahun) dan capres seperti Megawati dan incumbent SBY-JK dianggap sudah tua karena ber- kepala 6.

Perdebatan capres dengan demikian menjadi masalah vulgar atau primordial. Soal suku Jawa non -Jawa, sipil militer sudah berangsur tergeser, tapi wacana bahwa presiden harus dari generasi kebelet dan tidak memberi kesempatan lagi bagi generasi terhempas untuk berperan. Salah sendiri kenapa dulu di zaman Soeharto tidak masuk jadi antek atau kroni supaya masuk kabinet. Tetapi, Soeharto juga tidak gampang mengganti menteri, sehingga yang jadi menteri ya itu itu juga, jarang sekali rotasi menteri zaman Soeharto.

Elite Indonesia dengan demikian mempunyai banyak generasi terhempas yang tidak sempat mengabdikan diri dalam jajaran struktural seperti Syahrir. Tetapi, di belakang mereka muncul generasi tergesa yang sudah tidak sabar dan tidak mau disuruh menunggu 5 tahun lagi. PKS mengadakah konvensi capres balita, tokoh muda seperti Fazrul Rahman dan Rizal Mallarangeng ngebut mengorbitkan diri. Yusril Ihza Mahendra sudah melewati usia balita, mengaku kepada Tempo tidak punya dana jorjoran seperti Rizal. Tetapi, cerdik memanfaatkan peluang publik, ikut debat dan tampil di media tanpa perlu merogoh kocek untuk iklan.

Generasi tergesa sebetulnya secara teknokratis sudah berada di puncak kekuasaan seperti Sri Mulyani sebagai "economic czarina". Sri Mulyani mempunyai bakat dan peluang untuk menjadi wanita presiden RI yang tidak mengandalkan kharisma dinasti proklamator, berkualitas, mandiri menaiki jenjang sebagai negarawan. Kalau masalah ekonomi menjadi isu penting maka Sri Mulyani mestinya masuk dalam daftar capres atau cawapres berbagai versi. Tetapi, performa dan dampak kenaikan BBM memang bisa mengakibatkan popularitas incumbent berkurang termasuk anggota kabinet, apalagi menteri keuangan yang dianggap chief architect dari kebijakan ekonomi pemerintah.

Wapres Jusuf Kalla dalam kutipan media mutakhir menyatakan bahwa status quo kelanjutan duet incumbent merupakan pilihan yang terbaik. Memang majunya duet SBY-JK merupakan alternatif teraman bagi keduanya, tetapi jika Partai Demokrat tetap hanya partai menengah yang lebih kecil dari Golkar tentu secara fatsoen agak lucu kalau Ketua Umum partai pemenang pemilu hanya jadi wapres. Ini akan mirip anomali ketika PDI-P menang pemilu 1999, namun Megawati disalip oleh Gus Dur di tikungan memakai "mobil" Poros Tengah.

"Status Quo"

(15)

Suara Pembaruan Senin, 04 Agutsus 2008

Politik di Indonesia telanjur menjadi arena para primadona dan gladiator yang berslogan bertempur sampai salah satu mati. Jadi, sulit muncul kompromi yang sifatnya lintas manusia, demi kepentingan nasional. Koalisi PDI-P Golkar misalnya akan merupakan paket terkuat dengan gentleman agreement, pemenang pertama menjadi presiden dan pemenang kedua jadi wapres.

Kalau dua partai ini berkoalisi dengan duet Mega-Kalla atau Kalla -Mega, bila duet SBY-JK cerai, maka akan tercipta pemerintahan koalisi yang kuat. Partai Demokrat dan PKS akan menjadi oposisi atau ikut bergabung dalam koalisi PDI-P, Golkar sebagai mitra junior.

Skenario status quo SBY- JK hanya mungkin bila Golkar tidak menjadi pemenang pertama dan Partai Demokrat tidak terlalu merosot perolehannya atau bisa melejit dalam pileg. Elite sudah mulai memakai skenario seandainya alternatif yang bisa muncul , yaitu status quo penerusan duet incumbent., tampilnya koaliasi baru Mega-Kalla atau Kalla- Mega, tergantung posisi pemenang partai, atau duet baru bila konvensi Golkar menghormati pola rekrutmen Obama. Bisa muncul Sultan Hamengku Buwono - Fadel Mu- hammad mengakomodasi generasi terhempas, dan generasi tergesa.

Seandainya status quo cerai, maka SBY perlu Demokrat yang kuat untuk bisa bargaining dengan mitra koalisi. Artinya, bila duet incumbent retak dan Golkar direformasi, peluang Sultan Hamengkubuwono untuk muncul adalah yang terkuat menurut survei kader Golkar. Politik Indonesia memang masih ditentukan oleh figur dan soal program menjadi sekunder. Tetapi, akan menjadi isu utama bila menyangkut hajat hidup orang banyak seperti soal ekonomi yang bisa menentukan jatuh bangunnya seorang presiden.

Tantangan masa depan ialah bagaimana Indonesia bisa berdiri tegak di tengah Kebangkitan Asia tahap II sebagai diproyeksikan oleh Prof Dr Kishore Mahbubani Dekan LKY School of Public Policy dalam Presidential Lecture Kamis 31 Juli di Istana Merdeka.berjudul Indonesia : Between Asian Revival And Global Crisis.

Acara ini merupakan peningkatan program Global Nexus Institute (GNI) mengundang penulis buku The New Asian Hemisphere itu untuk menguraikan tesisnya tentang 7 rahasia sukses Kebangkitan Asia.

Dalam kaitan dengan pilpres 2009, Global Nexus Institute akan menggelar Formasi 2009, suatu program pengembangan informasi tentang kriteria kapabilitas, kualitas dan karakter para capres. Ikuti kegiatan Formasi dalam program QTV acara Christianto Wibisono Formasi 2009. Kita tidak bisa membiarkan kepresidenan ditentukan secara tergesa-gesa oleh generasi balita atau dijadikan sasaran frustrasi generasi terhempas yang sedang meredup. Presiden harus berkualitas, berkarakter dan kompeten dalam memimpin Indonesia sesuai harkat martabat sebagai bangsa terbesar ke empat sedunia.

Sebetulnya, ketika tahun 2007 Bung Ciil diangkat menjadi Wantimpres, secara berkelakar saya bilang "Ciil , you sudah jadi Wantimpres, saya mau meneruskan estafet Ketua Umum PIB. Lalu saya mendeklarasikan agar tahun 2009 nanti SBY berpasangan dengan Anda, dan kemudian Partai Demokrat dan PIB merger, untuk dijadikan mobil balap Formula I ngebut menuju 2009".

(16)

Berkhas 12 Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan Senin, 04 Agustus 2008

Pe m e r in t a h Be r e n ca n a Te r b it k a n UU Pilk a d a

[BANDUNG] Pemerintah berencana memecah Undang-Undang (UU) 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi dua, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada). Rencana itu diharapkan bisa terwujud pada 2009.

Hal itu ditegaskan Direktur Pejabat Negara, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Sapto Supono dalam lokakarya sosialisasi UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di Bandung, Sabtu (2/8).

Rencana pemecahan UU 32/2004 itu sudah lama. Bahkan, rencana semula akan dipecah menjadi tiga, yakni UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pilkada, dan UU Pemerintahan Desa. Tiga UU itu selama ini disatukan, sehingga tidak terlalu terinci.

Terkait pengaturan pilkada, Sapto menjelaskan, salah satu usulan yang akan masuk dalam rancangan UU Pilkada adalah masalah gugatan hukum pada proses pencalonan kepala daerah.

Dalam pilkada yang sudah berlangsung sejak 2005, yang menjadi sumber masalah adalah data pemilih yang kurang akurat dan proses pencalonan kepala daerah.

Juru Bicara Depdagri, Satu Situmorang mengatakan saat ini sudah ada 85 kepala daerah/wakil kepala daerah yang mengundurkan diri karena maju lagi dalam pilkada. Sebanyak 72 di antaranya sudah disetujui Mendagri Mardiyanto dan 13 lagi akan disetujui pada Senin (4/8) atau Selasa (5/8).

(17)

Jurnal Nasional Selasa, 05 Agustus 2008

Nusantara | Jayapura | Selasa, 05 Agt 2008 19:41:32 WIB

KPUD M im ik a D im in t a Ge la r Ra p a t Ple n o H a sil

Pilk a d a

KOMISI Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua diminta menggelar rapat pleno penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bupati dan Wakil Bupati setempat periode 2008-2013 setelah Pengadilan Tinggi Papua memenangkan pasangan Klemen Tinal dan Abdul Muis.

Hal itu disampaikan anggota KPUD Provinsi Papua, Hasjim Sangaji di Kantor KPUD Papua di Jayapura, Selasa (5/8) perihal berlarut-larutnya proses penetapan hasil Pilkada Mimika.

Sangaji mengatakan, Pilkada Bupati/Wakil Bupati Mimika yang berlangsung Maret 2008 di Timika diikuti tiga pasangan dimana pasangan Klemens Tinal ( Calon Bupati) dan H.Abdul Muis (Calon Wakil Bupati) meraih suara terbanyak menyisihkan pasangan Yoppy Kilangin dan pasangan Hans Magal.

Namun, dalam Pilkada Mimika itu terjadi sengketa sehingga pasangan Yoppy Kilangin-Helyanan menggugat KPUD Mimika ke Pengadilan Tinggi Papua di Jayapura.

Pengadilan Tinggi Papua memenangkan KPUD Mimika tetapi hasil keputusan Pengadilan Tinggi Papua itu sampai saat ini belum ditindaklanjuti KPUD Mimika.

Dikatakannya, untuk menindak lanjuti proses pelantikan pasangan terpilih Tinnal-Muis), maka KPUD Provinsi Papua sudah mendesak KPUD Mimika untuk menggelar rapat pleno sesuai dengan hasil perolehan suara yang diputuskan di Pengadilan Tinggi Papua.

Dia juga meminta KPUD Mimika agar secepatnya setelah melakukan pleno menyerahkan hasil pleno kepada DPRD agar DPRD Mimika memproses SK pelantikan dari Mendagri melalui Gubernur Provinsi Papua.

(18)

Berkhas 14 Volume VI Agustus 2008

Bisnis I ndonesia Rabu, 06 Agustus 2008

M e n e k a n g olp u t d a la m Pe m ilu 2 0 0 9

Dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, apakah itu pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum, kita mengenal kelompok atau individu yang tidak mengambil bagian dalam pemungutan suara. Mereka ini kita kenal dengan istilah golongan putih (golput).

Golput telah menjadi masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu di negara mana pun.

Di Indonesia, istilah golput dalam peta politik pertama kali muncul pada 1971 terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Mereka yang tidak mengambil bagian tersebut oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi.

Artinya secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian tidak ada justifikasi bahwa golput sebagai sikap yang bertentangan dengan undang-undang dan menghancurkan tatanan demokrasi di Indonesia.

Meskipun golput merupakan konsekuensi logis dari kebebasan masyarakat untuk memilih atau tidak memilih. Namun, yang menjadi persoalan adalah, tentu saja dengan semakin tingginya angka golput maka semakin rendah nilai legitimasi pemimpin yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.

Memasuki Pemilu 2009, wacana golput kembali mengemuka di hadapan kita. Banyak pihak memperkirakan angka golput pada Pemilu 2009 tidak terelakkan, alias akan meningkat tajam. Peningkatan itu seiring dengan semakin tingginya pengkhianatan pemimpin dan wakil rakyat terhadap konstituante. Betapa tidak, pemilu yang digelar selama ini cenderung tidak menghasilkan perubahan sebagaimana harapan rakyat. Pemilu hanya membuang-buang waktu, energi dan biaya saja.

Lihat saja, setelah pemilu usai, rakyat dipertontonkan dengan kelakuan buruk para pejabat, elite politik, dan wakil rakyat. Mereka banyak tersangkut kasus korupsi, bahkan yang lebih menjijikkan mereka juga terlibat perbuatan asusila atau perbuatan tidak bermoral. Perbuatan tersebut sangat tidak pantas dilakukan oleh wakil rakyat. Karena mereka adalah orang-orang terhormat, yang seharusnya memberikan contoh teladan pada rakyat.

Fenomena ini membuat rakyat kecewa. Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada wakil rakyat dan partai politik yang ada. Masyarakat merasa wakil rakyat belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya.

Selalu lamban

Hal itu ditambah lagi dengan tidak seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa. Akibatnya, Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Lihat saja kasus Lapindo dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

(19)

Bisnis I ndonesia Rabu, 06 Agustus 2008

Mencermati hal di atas, maka setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhi mengapa angka golput cenderung tinggi dalam setiap pesta pemilu.

Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.

Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai poltik). Mereka menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi politik mereka.

Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan antarelite politik atau parpol pemenang pemilu.

Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika wakil rakyat tidak memberikan kepuasan. Buat apa menyalurkan hak pilih apabila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan rakyat.

Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.

Akhirnya, diperlukan kesadaran semua elite politik, baik yang ada dipemerintahan, di kepengurusan partai, di Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun yang paling penting di lembaga perwakilan untuk menegaskan bahwa golput tidak boleh terus terjadi dalam setiap pesta demokrasi.

Semua elite politik hendaknya belajar dari pemilu yang sudah lewat. Memahami bahwa golput adalah instrumen politik rakyat untuk melakukan kritik. Kritik yang disampaikan melalui golput hendaknya mampu dijadikan bahan renungan, sehingga golput dapat ditekan pada Pemilu 2009.

Untuk itu, menyambut Pemilu 2009, yang harus dilakukan oleh semua elite politik adalah; hendaknya secara terus-menerus menyosialisasikan pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi.

Untuk menekan golput, semua elite politik dibantu seluruh elemen masyarakat apakah itu mahasiswa, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya harus bekerja keras melakukan sosialisasi pemilu.

Sejatinya, semua pemilih potensial dipastikan sudah terdaftar dalam setiap daerah pemilihan. Karena, bagaimana pun pemilu merupakan bagian terpenting dari kehidupan politik di Indonesia. Adalah kewajiban kita untuk mengamalkannya. Karena, dengan pemilu kita dapat menentukan arah, cita-cita, dan masa depan bangsa ini. Semoga.

Oleh Oksidelfa Yanto

(20)

Berkhas 16 Volume VI Agustus 2008

Bisnis I ndonesia Rabu, 06 Agustus 2008

PAN Tu n g g u UU Pe m ilu d a la m Pe n ca lon a n Pr e sid e n

Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:57 WIB

Jambi, Kompas - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir menegaskan, nama calon presiden dari partai yang dipimpinnya akan diumumkan setelah Undang-Undang Pemilu (2009) selesai dibuat. Walaupun dia sudah didukung mayoritas Dewan Pimpinan Wilayah PAN, pendeklarasian capres saat ini, menurut Soetrisno, tidak tepat.

”PAN (Partai Amanat Nasional) belum waktunya mendeklarasikan nama capres (calon presiden) kepada masyarakat. Selain karena UU (undang-undang) Pemilu belum selesai, masih ada suasana yang belum cair, belum satu hati, dalam tubuh PAN,” ujar Soetrisno saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM-PAN) di Jambi, Selasa (5/8).

Pengusungan Ketua Umum PAN Amien Rais pada Pemilihan Presiden 2004, katanya memberi contoh, merupakan suatu pengalaman berharga. Hal itu dilakukan terlalu dini dan tidak diiringi langkah-langkah antisipasi sehingga perolehan suara menjadi kecil.

Soetrisno berpendapat, saat ini PAN harus terlebih dahulu berkonsentrasi memenangkan Pemilu 2009. PAN, katanya, menargetkan perolehan 100 kursi legislatif di tingkat nasional.

Secara terpisah, Ketua DPP BM-PAN Azwar Jaya mengatakan, rapimnas kali ini bertujuan mempertajam hasil Rapat Kerja Nasional PAN di Surabaya, yakni menghasilkan nama dan kriteria kader terbaik PAN yang akan diusung menjadi capres.

(21)

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

D a r i Pilg u b k e Pilw a li Su r a b a y a

Kamis, 7 Agustus 2008 | 13:39 WIB

Oleh:Mochamad Toha

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jatim Sutjipto dan Ridwan Hisjam, yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim pada 23 Juli, ternyata bisa mengungguli empat pasangan lain di 10 kota/kabupaten, termasuk Kota Surabaya.

Di Surabaya, pasangan yang disingkat SR itu mendapatkan 299.772 suara atau 28,56 persen. Posisi kedua ditempati pasangan Khofifah- Mudjiono dengan 290.953 suara (27,72 persen) dan posisi ketiga ditempati pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dengan 241.332 suara (22,99 persen). Bagaimana dengan yang lain?

Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa menempati urutan keempat dengan 166.783 suara dan pasangan Achmady-Suhartono di urutan terakhir dengan 50.706 suara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya menetapkan perolehan hasil suara Pilgub Jatim itu pada 28 Juli 2008.

Dengan unggul di Surabaya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memiliki prospek cerah dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya 2010 atau mengulang sukses pilwali tahun 2005 yang berhasil mengusung pasangan Bambang Dwi Hartono dan Arif Afandi.

Perolehan suara pasangan SR dalam Pilgub Jatim pada 23 Juli 2008 setidaknya sudah membuka peluang calon PDI-P bisa memenangi Pilwali Surabaya 2010. Ini bisa terjadi jika PDI-P tetap membina komunikasi politik dengan para loyalis Ridwan Hisjam yang selama ini juga dikenal sebagai tokoh Partai Golkar (PG) Jatim.

Apalagi, dalam pemilu legislatif pada April 2004, PDI-P berhasil meraih 13 kursi DPRD Surabaya. Sementara partai lain seperti PKB memperoleh 11 kursi, PAN 5 kursi, PD 5 kursi, PG 4 kursi, PDS 4 kursi, dan PKS 3 kursi. Perolehan 28,56 persen suara SR tadi setara dengan 13 kursi DPRD (30 persen suara).

Jika pada Pemilu 2009 nanti perolehan suara PDI-P masih bisa dipertahankan seperti pada Pemilu 2004, calon PDI-P bisa leading dalam pilwali 2010. Apalagi, kalau PDI-P bersedia berkoalisi "secara resmi" dengan partai lain. Koalisi "pribadi" seperti dengan Ridwan Hisjam saat Pilgub Jatim sebaiknya jangan dilakukan lagi.

Pasalnya, yang terjadi adalah pasangan calon PDI-P kurang mendapatkan dukungan resmi dari partai yang diajak berkoalisi. Dengan partai apa PDI-P bisa berkoalisi, itu sangat bergantung pada kepentingan koalisi partai bersangkutan. Jika para elite PDI-P dan PG di Jakarta telah "berkoalisi", ini bisa dilakukan di bawah. Toh antara PDI-P dan PG sudah tidak ada lagi perbedaan ideologi yang mendasar. Dua partai ini sama-sama berdasarkan nasionalisme dan kebangsaan. Namun, tidak tertutup kemungkinan PDI-P juga bisa berkoalisi dengan partai lain, seperti PKB, PAN, PD, PDS, atau PKS, atau bila perlu berkoalisi dengan "partai golput".

Mulai menjaring

(22)

Berkhas 18 Volume VI Agustus 2008

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Jika melihat kenyataan tersebut, pemenang pilgub di Surabaya sebenarnya adalah "partai golput" yang mencapai 46 persen. Mereka perlu didekati partai pengusung calon wali kota dan wakil wali kota.

Bukan tidak mungkin, persentase perolehan suara pada Pemilu 2009 hingga Pilwali Surabaya 2010 nanti masih dalam kisaran seperti hasil Pilgub Jatim 2008. Untuk mendapatkan calon berkualitas, sebaiknya sekarang partai mulai menjaring calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya.

Pilwali Surabaya 2010 bakal menarik. Pasalnya, peluang calon independen untuk ikut sangat terbuka lebar. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007 mengizinkan calon independen boleh mengikuti pilkada. Persyaratan dukungan juga kecil, cuma 3 persen.

Calon independen sangat berpeluang meraup suara massa golput. Ini karena mereka sebenarnya pemilih potensial yang punya idealisme. Selama ini mereka memilih golput lantaran tidak ada calon partai yang- menurut penilaian mereka-pantas mendapatkan jabatan sebagai kepala daerah.

Tidak hanya itu. Rasa kecewa terhadap kinerja partai, elite politik, dan pejabat menambah enggan massa golput terlibat dalam partisipasi politik seperti pemilu atau pilkada. Namun, jika ada calon independen yang menurut mereka bisa menjadi alternatif, massa golput akan melibatkan diri dalam proses demokrasi secara berkelanjutan.

Salah satu contohnya, calon independen dalam Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengantarkan Irwandi Yusuf-Moh Nazar terpilih sebagai Gubernur-Wakil Gubernur NAD. Penerimaan calon independen di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain agar tidak terjadi dualisme hukum di Indonesia. Pasalnya, dualisme itu bisa menimbulkan terlanggarnya hak warga negara. Kemenangan calon independen pada pilkada NAD menunjukkan, rakyat di sana lebih memilih calon dari luar partai politik (parpol). Parpol besar di sana tidak berkutik dalam menghadapi calon independen.

Mungkinkah ini terjadi dalam Pilwali Surabaya? Jika ingin mengajak massa golput agar terlibat dalam proses demokrasi, sebaiknya ada calon independen dalam Pilwali Surabaya nanti. Pasalnya, setelah terpilih, calon dari partai nanti cenderung menjadi wali kota partai, bukan wali kota rakyat. Dan, para pejabatnya biasanya dipaksa menunjukkan loyalitas ke partai. Sangat mungkin calon independen juga memperoleh dukungan dari partai-partai yang punya kursi di DPRD Surabaya.

Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan PDI-P akan menjadi rebutan calon yang ingin maju dalam Pilwali Surabaya 2010. PDI-P terbukti mampu meraup suara pemilih besar. Siapa yang berminat?

(23)

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Golp u t d a n M e m ilih d e n g a n Ra sion a l

Kamis, 7 Agustus 2008 | 01:00 WIB

Oleh Roby Muhamad

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa seseorang menjadi golput.

Pertama, seseorang menjadi golput karena di luar kehendak; misalnya sebetulnya ingin memilih tetapi karena suatu hal —misalnya sakit parah—dia tidak memilih.

Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan ketidakpercayaan pada sistem yang ada.

Ketiga, golput menganggap memilih bukan perilaku rasional karena tidak memberi keuntungan apa-apa bagi diri sendiri.

Untung-rugi

Seseorang dikatakan berperilaku rasional jika perilakunya didasarkan pada penghitungan untung-rugi. Jika seseorang memilih perilaku yang paling menguntungkan dirinya, perilaku itu dianggap rasional. Ikut memilih dalam pemilihan presiden apakah rasional atau bukan? Apa untungnya memberikan satu suara di antara ratusan juta suara lain?

Memang satu suara yang diberikan hampir pasti tidak memengaruhi hasil pemilihan presiden. Di antara sekitar 170 juta pemilih, pengaruh satu suara bisa diabaikan. Karena itu, kelihatannya memilih dalam pemilihan presiden bukan tindakan rasional karena kemungkinan suara yang diberikan memengaruhi hasil pemilu presiden amatlah kecil.

Argumen ini bisa diperluas, bukan hanya sekadar tindakan memilih tetapi juga apakah rasional bagi kita untuk peduli proses pemilihan presiden secara umum. Jika suara kita tidak bisa memengaruhi hasil pemilihan presiden, untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi mendengarkan janji-janji yang disampaikan para calon presiden?

Bagi masing-masing individu, memilih memang tidak rasional. Tetapi hasil pemilihan ini berdampak bagi 250 juta orang Indonesia. Misalkan, presiden baru terpilih bisa meningkatkan kualitas hidup orang Indonesia sebesar Rp 100.000 secara rata-rata, maka memilih presiden mirip dengan mengambil undian gratis dengan hadiah Rp 2,5 triliun.

Jadi, meski kecil kemungkinan suara pilihan kita menentukan pemenang pemilu presiden, dampaknya amat besar. Dalam ilmu statistik, hal ini dikenal sebagai peristiwa yang memiliki probabilitas kecil, tetapi nilai ekspektasinya besar.

Nilai ekspektasi adalah hasil perkalian dari probabilitas kejadian dengan dampak kejadian sehingga meski probabilitasnya kecil, jika dampaknya besar, ekspektasinya besar pula. Probabilitas adalah konsep abstrak, tetapi nilai ekspektasi mempunyai nilai riil; dalam contoh itu adalah uang Rp 2,5 triliun. Jadi, pilihan rasional bukan memilih hanya berdasarkan probabilitas tertinggi, tetapi memilih berdasarkan nilai ekspektasi tertinggi.

Perilaku rasional

(24)

Berkhas 20 Volume VI Agustus 2008

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Hasil penelitian beberapa ilmuwan politik di Columbia University, New York, memperlihatkan pemilih di AS memilih berdasarkan keuntungan (preferensi) sosial, bukan individu. Penemuan ini membantah pendapat dari sebagian ekonom—misalnya ekonom Steven Levitt pengarang buku populer Freakonomics—yang menganggap memilih dalam pemilu tidak rasional karena tidak memberi keuntungan pribadi.

Mencoblos dalam pemilu bisa dianggap perilaku rasional. Kuncinya adalah memperluas definisi perilaku rasional itu. Kebanyakan ekonom dan ilmuwan sosial menganggap rasionalitas didasarkan keuntungan individu; di sini rasionalitas sama dengan egoisme. Padahal, perilaku rasional dapat juga didefinisikan bukan hanya sebagai perilaku yang memberikan keuntungan pribadi, tetapi juga perilaku yang memberi keuntungan sosial.

Dalam kasus perilaku memilih dalam pemilu malah tidak rasional jika seseorang bertindak egois. Sebab, seorang egois hanya memikirkan keuntungan pribadi, sedangkan mencoblos dalam pemilu tidak memberi keuntungan pribadi.

Dalam konteks pemilihan umum jika Anda ingin menjadi orang rasional, ikutlah memilih dan pilih kandidat yang dipercaya membawa kebaikan bagi negara secara umum, bukan baik bagi Anda saja. Jika Anda memilih hanya untuk kepentingan pribadi, Anda tidak rasional.

(25)

Kompas Kamis, 07 Agsutus 2008

Ke a b sa h a n Pilk a d a D ig u g a t

Tahapan untuk Putaran Kedua Bisa dilanjutkan Kamis, 7 Agustus 2008 | 13:41 WIB

Surabaya, Kompas - Gagal membuktikan kemenangan pasangan calon kepala daerah Jawa Timur Sutjipto-Ridwan Hisjam, tim pembela Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menggugat keabsahan Pemilihan Kepala Daerah Jatim 2008. Pilkada Jatim dinilai cacat hukum. Sebab, semua keputusan ditandatangani oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Jatim Wahyudi Purnomo, terdakwa kasus korupsi sisa kertas Pemilu 2004.

"Dari sisi peraturan perundang-undangan, Ketua KPU (Jatim) yang menjadi terdakwa dilarang menyelenggarakan pilkada dan menandatangani keputusan, penetapan, dan pengesahan," kata calon Gubernur Jatim dari PDI-P, Sutjipto, Rabu (6/8) di Surabaya.

Menurut M Soleh, tim pembela PDI-P, dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum disebutkan bahwa anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana pemilu.

Karena itu, PDI-P akan meminta Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya untuk menyatakan Pilkada Jatim 2008 cacat hukum. "Pengajuan gugatan itu akan disampaikan secepatnya sebelum putaran kedua dilangsungkan," kata Soleh.

Soleh menambahkan, gugatan sengketa pilkada tidak diajukan karena selisih suara antara Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) berkisar 800.000. Adapun selisih suara yang hilang dari pasangan SR hanya 450.000.

Kehilangan suara itu, menurut koordinator tim monitoring dan evaluasi tim SR, Jagat Hariseno, disebabkan kecurangan seperti manipulasi suara di tempat-tempat pemungutan suara (TPS). Hal itu terdeteksi di Pasuruan, Sampang, dan Pamekasan.

Selain itu, kata Sutjipto, pelanggaran dan kecurangan lain terjadi antara lain pada penetapan daftar pemilih tetap (DPT) yang kacau-balau dan jual-beli suara.

Untuk itu, kata Soleh, tim pembela PDI-P juga akan menggugat KPU Jatim secara perdata ke Pengadilan Negeri Surabaya. Sejumlah uang juga akan dituntut sesuai kerugian yang dialami tim SR. Besaran uang yang dituntut saat ini masih dihitung.

Adapun untuk terbatasnya masalah yang bisa dipersengketakan dalam pilkada, gugatan uji materiil (judicial review) juga akan diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 106 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008 dianggap merugikan.

Menghadapi gugatan atas keabsahan Pilkada Jatim, Wahyudi yang dihubungi melalui telepon seluler menyatakan, "No comment". Adapun anggota KPU Jatim, M Nabil, mempersilakan PDI-P dan SR menggugat. "Pak Wahyudi tidak dituntut lebih dari lima tahun dan keputusan belum inkracht (berkekuatan hukum tetap) sehingga tetap sah sebagai Ketua KPU Jatim," kata Nabil.

(26)

Berkhas 22 Volume VI Agustus 2008

Kompas Kamis, 07 Agsutus 2008

Sementara itu, Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Jatim Sukardo mengatakan, Direktur Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Sapto Supon memberi petunjuk lisan kepada Pemprov Jatim agar putaran kedua Pilkada Jatim dilaksanakan akhir Oktober 2008 bersamaan dengan salah satu pemilihan wali kota yang ada di Jatim.

(27)

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Kor u p si Pa r a Polit ik u s

Kamis, 7 Agustus 2008 | 01:01 WIB

Oleh Sigit Pamungkas

Korupsi yang terjadi di berbagai institusi publik hampir selalu melibatkan para politikus. Kategori korupsinya termasuk skala besar.

Sedikit sekali korupsi berskala besar tanpa menyertakan politisi. Terkuaknya anggota Komisi IX DPR yang menerima dana Bank Indonesia sebesar Rp 21,6 miliar membuktikannya.

Selain itu, terkuaknya berbagai kasus korupsi juga menyiratkan, korupsi bukan sebuah patologi dari bekerjanya sistem politik normal. Korupsi sepertinya bukan penyakit yang harus dilawan, dilumpuhkan, atau dimatikan keberadaannya. Korupsi justru terlihat sebagai metode bekerja dari sistem politik (Lay, 2006).

Sebagai metode, korupsi adalah normalitas, aturan, dan tata kerja bagi politisi dan pejabat birokrasi. Sementara itu, mekanisme yang bersih justru dilihat sebagai abnormalitas.

Pada perspektif ini, semua proses politik dalam menjalankan pemerintahan akan berujung pada kegagalan jika tidak dilakukan dengan korupsi. Alih fungsi hutan, revisi undang-undang, dan pengadaan peralatan akan gagal bila tidak disertai korupsi. Korupsi harus dilakukan jika pemerintahan tidak ingin jalan buntu.

Struktur pemaksa

Analisis bahwa lemahnya moralitas menjadi penyebab korupsi tidaklah tepat. Sebab, korupsi juga melibatkan politisi dengan partai berbasis agama yang dipersepsikan memiliki kualitas moral lebih baik.

Penjelasan budaya sebagai penyebab korupsi juga tidak relevan karena penyelesaian korupsi akan berputar-putar tidak pernah selesai. Budaya tidak statis, senantiasa bermetamorfosis. Suatu saat sebuah budaya memfasilitasi terjadinya korupsi, pada saat lain dapat mendorong terjadinya sikap antikorupsi.

Sebenarnya korupsi para politikus bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007).

Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga.

Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.

Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.

(28)

Berkhas 24 Volume VI Agustus 2008

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik akan mati.

Karena itu, selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai.

Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis. Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian.

Dilema solusi

Sayang, pilihan solusi untuk memecahkan kelangkaan keuangan partai agar bertahan tetap terjaga juga terbatas. Iuran anggota sebagai pilar sumber keuangan partai tidak berjalan baik, padahal sumber ini berpotensi mengatasi korupsi sekaligus membangun kemandirian partai.

Selain itu, sumbangan kepada partai juga sulit digunakan sebagai cara mencegah korupsi politisi karena atas nama fairness dan independensi jumlah sumbangan dibatasi. Padahal, asal sumbangan dikelola transparan ketakutan terhadap efek negatif sumbangan berlebihan dapat dicegah. Mengandalkan bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhan partai juga tidak mungkin karena jumlahnya terbatas.

Mengandalkan survavilitas partai berbasis finansial tampaknya perlu digeser, dari berbasis besaran finansial yang diakumulasi dan didistribusikan menjadi ke arah survavilitas berbasis kepercayaan publik. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

(29)

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

Se p a k a t Pilk a d a Am a n

Kampanye Harus Berkoordinasi dengan Polda Sumsel Kamis, 7 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - Para peserta pilkada, KPU, Polda-TNI, dan pemerintah menandatangani kesepakatan untuk mengamankan proses pilkada. Jika asas keamanan tidak diindahkan, para calon harus berhadapan dengan 12 pasal dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mengatur sanksi atas pelanggaran pidana.

Demikian diutarakan Kepala Polda Sumatera Selatan Irjen Ito Sumardi dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel Syafitri Irwan dalam penandatanganan Nota Kesepakatan Penyelenggaraan Pengamanan Pilkada Sumsel di Griya Agung, Rabu (6/8). Turut hadir calon gubernur nomor urut 1 Alex Noerdin, cagub nomor urut 2 Syahrial Oesman beserta Helmy Yahya, dan semua tim suksesnya. Hanya calon wagub Eddy Yusuf saja yang berhalangan hadir.

Kegiatan ini sendiri merupakan rangkaian penandatanganan nota kesepakatan. Selain kontestan pilkada, unsur parpol pendukung juga turut menandatangani nota kesepakatan itu.

Koordinasi polisi

Dalam sambutannya, Ito mengatakan bahwa setiap kegiatan kampanye pilkada harus dikoordinasikan dengan Polri, dalam hal ini Polda Sumsel. Kepada pengurus KPU, Polda mengimbau agar ada pengaturan mengenai lokasi kampanye.

”Intinya, lokasi jangan berdekatan. Selain itu, kami juga mengimbau agar tidak membawa senjata tajam-api, sekaligus atribut yang bisa membahayakan lainnya,” katanya.

Selain itu, kepada segenap unsur Polri-TNI, Ito yang sekaligus mewakili Pangdam Sriwijaya mengimbau agar aparat keamanan menjunjung tinggi asas netralitas.

”Kami sudah siap menerapkan sanksi bagi aparat yang terbukti tidak netral,” kata Ito.

Ancaman pidana

Syafitri Irwan menambahkan, setiap pasangan calon peserta pilkada juga harus menjunjung tinggi kepentingan masyarakat di atas kepentingan golongan-pribadi-kelompok. Jika ada pelanggaran keamanan, KPU-Panwas-Polri siap memproses pelanggaran tersebut.

(30)

Berkhas 26 Volume VI Agustus 2008

Seputar I ndonesia Kamis, 07 Agustus 2008

Kon sist e n si & Cit r a Polit ik SBY

Thursday, 07 August 2008

Keputusan Presiden SBY mempertahankan dua anggota kabinetnya, MS Kaban dan Paskah Suzetta yang diduga terkait aliran dana BI, memunculkan tiga reaksi.

Pertama,reaksi yang melihat kebijakan SBY keliru. Presiden seharusnya menonaktifkan atau bahkan memecat kedua menteri tersebut demi integritas pemerintahannya yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, agar tidak terjadi delegitimasi atas pemerintahan SBY.

Kedua, reaksi yang menganggap keputusan SBY untuk tetap mempertahankan kedua menterinya sambil menunggu proses hukum merupakan langkah tepat. SBY harus mengedepankan hukum daripada keputusan politik terhadap kasus yang baru tahap ”disangka”,belum tersangka.

Ketiga, reaksi yang melihat keputusan SBY tidak konsisten dan politis. Alasannya, dalam kasus yang sama SBY mengambil sikap berbeda.SBY pernah mengganti menterinya yang juga ”disangka” terlibat korupsi, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin.Terhadap Kaban dan Suzetta, SBY justru mempertahankan keduanya.

Karena itu,keputusan SBY tersebut dilihat oleh kelompok terakhir lebih bersifat politis, daripada sebagai upaya penghormatan terhadap proses hukum. Reaksi tersebut merupakan akumulasi dari opini yang berkembang di saat korupsi makin semarak dan kian mengudara.

Melalui media massa, masyarakat disuguhi tontonan yang hampir setiap waktu menyorot tindakan korupsi yang dilakukan oleh para wakil mereka di DPR.Kalau pemberitaan media massa belakangan diperingkat, kasus korupsi ini menempati urutan teratas sejajar dengan kasus pembantaian Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Dua berita yang sama-sama memuakkan dan menjijikkan bagi martabat kemanusiaan.

Karena itu pula wajar bila muncul harapan yang begitu besar kepada Presiden SBY untuk mengambil tindakan terhadap menterinya yang ditengarai terlibat korupsi.Walau tuntutan tersebut belum tentu benar secara hukum, tapi secara politik dampaknya bisa cukup signifikan bagi eksistensi citra SBY.

Prerogatif Politik

Secara politik, Presiden SBY sangat berkepentingan agar langkah yang diambilnya berdampak positif. Begitu pun atas kasus dua anggota kabinetnya itu.Sedikit banyak isu tersebut ”mendegradasi” citra SBY. Karenanya keputusan atas isu ini akan menentukan tingkat pencitraan SBY yang sejak awal berkomitmen melawan korupsi.

Secara struktural SBY bisa mengambil tindakan pemecatan atau pergantian atas para pembantunya,walaupun tanpa menunggu proses hukum. Bahkan secara ekstrem Presiden bisa mengganti kabinetnya tanpa alasan terbuka sekalipun. Hal ini sangat dimungkinkan karena pengangkatan dan pemberhentian kabinet sepenuhnya hak prerogatif presiden.

(31)

Seputar I ndonesia Kamis, 07 Agustus 2008

Langkah itu, sebagaimana disampaikan SBY saat itu, lebih pada upaya ”peningkatan efektivitas dan kinerja kabinet” yang dianggap kurang maksimal. Dengan kata lain, isu miring yang disematkan publik pada Yusril dan Hamid tidak menjadi pertimbangan utama atas reshuffle, tapi lebih pada kinerja yang tidak maksimal.

Itu pula yang menjadi landasan reshuffle jilid II yang dilakukan SBY dengan mengganti 7 menteri,termasuk Yusril dan Hamid. Walau demikian,faktor politik tentu sulit dilepaskan dari kebijakan evaluasi dan pergantian kabinet. Hal itu karena sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu ini berdiri di atas koalisi partai dengan pelbagai kepentingannya.

Antara Citra dan Konsistensi

SBY tentu sangat sadar atas keputusan yang dia ambil dengan segala konsekuensinya, termasuk dengan tetap mempertahankan Kaban dan Paskah dalam kabinet.Walaupun publik menghendaki pergantian atau penonaktifan, tapi SBY mengambil sikap ”melawan”.

Ini merupakan kali kedua SBY mengambil kebijakan yang melawan arus. Opini pemberhentian kedua anggota kabinet yang digaungkan oleh para pengamat ternyata dihadapi SBY dengan tetap mempertahankan keduanya.Langkah ini tentu tidak populer. Sama dengan tidak populernya kebijakan menaikkan BBM beberapa waktu lalu.Namun langkah ini membuktikan bahwa SBY tidak terlalu peduli terhadap politik pencitraan (popularitas) yang selama ini sering dituduhkan.

Upaya mengedepankan apa yang seharusnya (das sollen) lebih banyak menjadi pertimbangan. Secara politik keputusan tersebut merugikan SBY karena menjadi lahan empuk para pesaingnya untuk mendelegitimasi citranya sebagaimana terjadi dalam kasus kenaikan harga BBM. Meski demikian, mengambil langkah sebaliknya,mengikuti arus,belum tentu bebas dari pendapat kontra.

Apalagi di tengah kondisi politik yang semakinpanas.Sebuahkondisidimana konstelasi politik bergerak ke segala arah demi pencitraan dan demi kekuasaan. Karena itu langkah yang diambil SBY bisa dimaknai lebih sebagai upaya konsistensi atas penegakan hukum. Kalau SBY mengambil langkah pemecatan mendahului proses hukum, kontroversi pun akan terus terjadi.

Apalagi sejak awal,SBY menekankan kontrak politik pada seluruh anggota kabinetnya.Sehingga bila langkah pemecatan dilakukan tanpa proses hukum, berarti secara sengaja SBY menodai kontrak tersebut demi memenuhi ”kehendak publik.” Sebagaimana diketahui, dari empat butir kontrak politik Kabinet Indonesia Bersatu, salah satu poinnya terkait korupsi.

Poin ketiga menyebut bahwa anggota kabinet berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi dan siap diperiksa harta kekayaannya, baik secara berkala maupun insidental. Jika secara hukum dinyatakan bersalah,karena terlibat dalam kasus korupsi,menteri siap mengundurkan diri dan siap menerima sanksi sesuai hukum yang berlaku. Berdasarkan kontrak politik tersebut, nasibKabandanSuzettasaatiniada di tangan penegak hukum.

(32)

Berkhas 28 Volume VI Agustus 2008

Seputar I ndonesia Kamis, 07 Agustus 2008

Hal tersebut sekaligus menjadi pertaruhan bagi SBY tentang keseriusannya memberantas korupsi yang menjadi salah satu ikon penting dan paling cemerlang selama kepemimpinannya. Inilah politik hukum SBY.Pemanggilan dan keputusan SBY terhadap status kedua menterinya merupakan keputusan politik yang diharapkan dapat meredam kesimpangsiuran opini di tengahmasyarakat.

Perlujugadiingat,penyerahan pada proses hukum merupakan upaya pembelajaran bahwa politik tidak boleh mengalahkan hukum. Walaupun hukum tidak bisa dilepaskan dari proses politik,namun ketika ia menjadi keputusan, ia menjadi ketetapan hukum yang harus ditaati semua pihak.Hanya dengan begitu hukum tetap dihormati.

Sebaliknya, ketika ketetapan hanya sebatas rangkaian kalimat, penyimpangan demi penyimpangan akan terus terjadi, sebagaimana para kaum legislator (DPR) ”mengabaikan”hasil legislasi yang mereka buat dan mereka sahkan melalui perilaku menyimpang.(*)

A Bakir Ihsan

(33)

Kompas Jumat, 08 Agustus 2008

Glob a lisa si Pe m isk in a n

Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:35 WIB

Oleh Yonky Karman

Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).

Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.

Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual

Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.

Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.

Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.

Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.

(34)

Berkhas 30 Volume VI Agustus 2008

Kompas Jumat, 08 Agustus 2008

Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.

Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.

Negara lemah

Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).

Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.

Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.

Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.

Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.

Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.

Maka, saatnya pem

Referensi

Dokumen terkait

Selain daripada itu, terdapat juga item yang menuduh pasangan tanpa usul periksa (M=2.38), tidak menyokong pasangan dalam pelbagai hal (M=2.36), memburukkan pasangan

Tesis ini menitikberatkan hirarkhisitas Kedudukan Peraturan Menteri Dengan Peraturan Daerah Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Tinjau Dari Undang Undang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan otohimedengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan sidat ( Anguilla marmorata ) dengan menggunakan

Pada bab dua ini akan dibahas mengenai teori-teori yang digunakan penulis untuk membangun system yaitu mengenai pengembangan sistem informasi geografis dalam

Probiotik bakteri asam laktat (BAL) indigenous yang digunakan adalah probiotik campuran yang di dalamnya mengandung tiga strain BAL yaitu Lactobacillus murinus

Mengacu pada Pasal 22 UUD NRI 1945, dalam Pasal 1 angka 4 Undang- undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011), PERPPU didefi

Penyediaan benih merupakan rangkaian kegiatan menyediakan benih tomat bermutu dari varietas yang dianjurkan dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang

Pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen laba pernah diteliti oleh Widyastuti (2009), dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional