• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN HADIS TENTANG DIPERBOLEHKANYA MENJAMA’ SHALAT DALAM KEADAAN MUQIM (TELAAH MA’ANIL HADIS DENGAN PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS - Institutional Repository of IAIN Tulungagung REVISI BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAHAMAN HADIS TENTANG DIPERBOLEHKANYA MENJAMA’ SHALAT DALAM KEADAAN MUQIM (TELAAH MA’ANIL HADIS DENGAN PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS - Institutional Repository of IAIN Tulungagung REVISI BAB I"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Kajian

Muhammad adalah sosok teladan hidup bagi orang-orang yang beriman.

Bagi mereka yang sempat bertemu langsung maka cara meneladaninya dapat

mereka lakukan secara langsung, sedang bagi mereka yang tidak sezaman dengan

Rasulullah saw, cara mereka meneladaninya dengan mengkaji, memahami dan

mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau hadis Nabi.1 Sesuai

pernyataan di atas jelaslah bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam.

Di antara kelebihan yang ditunjukkan Nabi Muhammad adalah

otoritasnya sebagai penjelas lebih lanjut tentang apa yang ada di dalam Al-Qur'an,

kitab suci yang paling baik dan lengkap. Betapa pentingnya penjelas dan

penjabaran Nabi, sehingga menjadi bahasan atau kajian serius bagi kalangan

kaum terpelajar Islam.2 Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembuktian bahwa

mana yang sesungguhnya – kata-kata yang jumlahnya ratusan ribu – yang

betul-betul bersumber dari manusia pilihan itu. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan

dalam Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 44:

1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 9

2 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 27

(2)

مهههيلإ لزههن اههم ساههننلل ّنينبههتل رّكذنههلا كههيلا انلزنأو رّبزنلاو تانينبلاّب

نورك

ن فتي مهلنعلو

“Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. An-Nahl: 44)3

Dalam catatan sejarah, Hadis Nabi yang notabene adalah perkataan,

perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang disandarkan pada Muhammad4 tidak

semuanya tertulis pada zaman Nabi masih hidup, hal itu dikarenakan Nabi

melarang menulisnya. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat

untuk menulis hadis beliau. Hal itu terbukti dengan dimilikinya catatan-catatan

hadis oleh kalangan sahabat Nabi di antaranya Ali bin Abi Thalib (w. 40 H),

Sumrah bin Jundab (w. 60 H), Abdullah Amr bin Ash (w. 65 H), Abdullah ibn

Abbas (w. 69 H), Jabir bin Abdullah al Anshari (w. 78 H), dan Abdullah bin Abiy

Awfa’ (w. 86 H).5 Akan tetapi tidak berarti semua hadis telah terhimpun oleh para

sahabat di atas. Hal itu sangatlah wajar dikarenakan catatan yang dibuat para

sahabat di atas adalah kehendaknya sendiri dan juga memakai metode yang

beragam. Sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti dan mencatat apa saja

yang berasal dari Nabi.

Dengan kenyataan tersebut, hadis Nabi yang berkembang pada zaman

Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan daripada tulisan. Hal ini sesuai

3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 1995), hal. 408

4 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 27

(3)

dengan tradisi bangsa Arab yang lebih suka hafalan daripada tulis menulis.

Ketentuan mengenai larangan menulis hadis di satu sisi dan membolehkan

menulis hadis di sisi yang lain, dilakukan Nabi dengan pertimbangan bahwa

sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an sudah turun dan sudah banyak para sahabat

yang menghafalnya, sehingga Rasulullah merasa tidak khawatir lagi akan

bercampur aduk di antara keduanya. Pemberian ijin penulisan hadis tertuang

dalam sabdanya sebagai berikut:

ق

ق حح ل

ل اا ههننما جهرهخنيح احم هادايحّبا ِىس

ا فننح ِىذاللا وحفح ! ب

ن تهّك

ن اه

.

6

“Tulis! Demi Dzat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar daripada-Nya kecuali yang benar (hak)”.

Hal tentang pembolehan para sahabat melakukan penulisan hadis

ditanggapi serius oleh para sahabat sehingga sepeninggal beliau para sahabat

berupaya keras mencari, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis yang

ditulis oleh sebagian sahabat untuk kemudian digabungkan dan dicocokkan

dengan hafalan mereka. Perkembangan penulisan hadis berlanjut pada masa

Khulafaur Rasyidin dan pemerintahan khilafah seterusnya.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib disinyalir awal kemunculan hadis palsu.

Hadis palsu yang muncul pada masa itu dipengaruhi oleh faktor politik.

Ketegangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah

menyebabkan banyaknya bermunculan hadis palsu. Hal itu demi

mempertahankan dan membela golongan masing-masing. Setelah itu banyak

(4)

sekali faktor-faktor yang menjadi kemunculan hadis palsu di antaranya

kepentingan membela aliran teologi, membela madhab fiqh, memikat hati orang

yang mendengarnya, untuk menjadikan orang lain lebih zahid, mendorong orang

lain lebih rajin melakukan ibadah tertentu dan untuk menghancurkan agama

Islam.7

Berbagai upaya pemalsuan hadis tersebut telah menyulitkan umat Islam

saat ini yang ingin mengetahui berbagai riwayat hadis yang benar-benar dapat

dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sungguh

merupakan anugerah yang luar biasa dan tiada taranya bahwa ternyata para ulama

hadis telah bekerja keras menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari “kehancuran”.

Dalam hal ini kritik sanad dan matan sangatlah penting demi mengetahui

keotentikan suatu hadis.

Berbagai kaidah dan ilmu hadis yang telah diciptakan oleh ulama hadis

telah dituangkan dalam berbagai kitab untuk kepentingan penelitian hadis. Hal itu

terjadi pada pertengahan abad 4 H pada masa kekuasaan Dinasti Abasiyah yang

dipelopori oleh Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi dengan karyanya yang

monumental dalam bidang hadis yaitu Al-Muhaddis Fashil Baina ar-Rawi wa

al-Wa’i. Yang pada masa berikutnya diikuti para tokoh seperti Imam al-Hakim

an-Naysaburi, al-Khatib al-Baghdadi al-Qadhi Iyadh. Jasa keilmuan para ulama di

(5)

atas patutlah diberi pengargaan karena telah mampu membangun pondasi awal

tentang Ulum al-Hadis.8

Dengan telah terjadinya berbagai pemalsuan hadis tersebut, maka

kegiatan penelitian hadis sangatlah penting. Demi menyelamatkan hadis di

tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu. Hal itu bertujuan untuk

meneliti keshahihan sanad dan matan hadis. Sedangkan untuk kepentingan

penelitian tersebut disusunlah kaidah keshahihan sanad hadits sehingga

ditemukanlah hadis yang mempunyai taraf sahih, hasan dan daif. Dengan

demikian banyak hadis yang mardud (tertolak) karena cacat pada matan dan

sanadnya.

Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadis guna mengetahui

tingkat validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadis dapat diketahui apakah

dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Langkah yang harus

ditempuh adalah penelitian ulang terhadap hadis-hadis terutama dari segi

sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrij.9

Dalam pada itu, penulis pernah mendengar suatu hadis tentang kebolehan

melaksanakan shalat jama’ dalam keadaan muqim dari salah satu dosen STAIN

Tulungagung. Awalnya, terlepas dari status kualitas hadis tersebut apakah shahih

atau dhaif, dapat dijadikan hujjah atau tidak, hadis tentang shalat jama’ tersebut

terkesan kontroversi dengan pemahaman penulis. Selama ini, informasi yang

8 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik sampai Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 36

(6)

telah beredar di masyarakat - (terkait dengan madhab yang dianut sebagian besar

penduduk di negara Indonesia adalah madhab Syafi’i) - dan juga sepengetahuan

penulis bahwa salah satu kemudahan (rukhsah) yang diberikan Nabi Muhammad

SAW adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat fardu ke dalam satu

waktu), dan hal itu dapat dilaksanakan dengan syarat di antaranya dalam keadaan

bepergian dengan jarak minimal 89 km10 dan atau dalam keadaan takut (khauf)

sewaktu dalam peperangan ataupun lainnya. Tidak hanya itu saja, penulis juga

mengadakan penelusuran dengan bertanya pada beberapa orang, masing-masing

dari mereka adalah lulusan pondok pesantren Al-Falah (Ploso, Kediri), santri

pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in (Ngunut, Tulungagung), lulusan atau

alumni pondok pesantren Al-Islahiyyah (Mayan, Kediri). Mereka memaparkan

kepada penulis bahwa belum pernah menjumpai atau mengkaji hadis tentang

diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan shalat maghrib

dengan isya’ dalam keadaan muqim (tidak sedang bepergian ataupun dalam

keadaan takut).

Selain itu, kajian secara akademis baik dalam perkuliahan maupun dialog

dan diskusi di luar perkuliahan belum pernah penulis jumpai yang membahas

secara detail tentang tema hadis tersebut baik dari segi matan ataupun sanad.

Selama ini yang sering penulis jumpai adalah pembahasan tentang berapa jarak

diperbolehkannya menjama’ dan mengqasar shalat jika sedang bepergian.

(7)

Bagaimana jika jarak yang ditentukan dapat ditempuh dengan waktu yang

singkat? dan sebagainya.

Dari fakta di atas, menjadikan kegundahan tersendiri bagi penulis untuk

mengkaji dan meneliti ulang hadis tersebut, bagaimana sebenarnya status kualitas

hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim baik

ditinjau dari segi sanad hadis dan dari segi matan hadis, juga bagaimana pula

pemahaman kita terkait implikasi dan relevansi hadis tersebut, yang penulis

rumuskan dalam suatu judul skripsi yaitu: “Pemahaman Hadis tentang Diperbolehkannya Menjama’ Shalat dalam Keadaan Muqim (Telaah Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis)”

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, penulisan skripsi mengenai

pemahaman hadits tentang diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan

shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’ diarahkan pada pembahasan

dan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad hadis diperbolehkannya menjama’ shalat dalam

keadaan muqim?

2. Bagaimana kualitas matan hadis diperbolehkannya menjama’ shalat dalam

keadaan muqim ?

3. Bagaimana pemahaman yang tepat tentang hadis diperbolehkannya menjama

(8)

4. Bagaimana implikasi dan relevansi hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari kajian kepustakaan ma’ani hadis tentang diperbolehkannya

menjama’ shalat zuhur dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’

dalam keadaan muqim (tanpa bepergian) adalah:

1. Untuk mengetahui kualitas sanad hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim

2. Untuk mengetahui kualitas matan hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim

3. Untuk mengetahui pemahaman yang tepat hadis tentang diperbolehkannya

menjama’ shalat dalam keadaan muqim

4. Untuk mengetahui implikasi dan relevansi hadis tentang diperbolehkannya

menjama’ shalat dalam keadaan muqim

D. Kegunaan Penelitian

Bagi akademis

a. Secara Teoritis.

Hasil dari pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan mengenai pemahaman hadis tentang diperbolehkannya

menjama’ shalat dalam keadaan muqim. Selain itu juga sebagai bahan

(9)

b. Secara Praktis

Sekiranya pembahasan ini dapat digunakan sebagai media untuk

meluruskan penyimpangan yang dilakukan sebagian umat Islam dalam

menyikapi hadis yang memperbolehkan menjama’ shalat dalam keadaan

muqim. Selain itu agar dapat menambah kadar keimanan kita serta

memberikan motivasi untuk berfikir secara kritis dan analitis dalam

menyikapi sebuah hadis Nabi.

E. Penegasan Istilah

1. Ma’ani

Secara etimologis ma’ani adalah jamak dari ma’na yang berarti

makna atau arti. Secara terminologis adalah ilmu yang membahas bagaimana

prinsip-prinsip metotodologi (proses dan prosedur) memahami hadis Nabi,

sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud kandungannya secara tepat

dan proposional. Untuk memahami hadis harus mempertimbangkan aspek

aspek yang meliputi hadis. Aspek aspek yang perlu dipertimbangkan antara

lain:

1. Mempertimbangkan posisi Nabi.

2. Situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis Nabi (asbabul

(10)

3. Mencermati varian redaksi matan.

4. Mencari makna yang relevan dengan konteks kekinian.11

2. Hadis

Menurut bahasa mempunyai beberapa arti: a) jadid artinya yang baru

jama’nya: hadis, hadasa dan hudus, b) qarib artinya yang dekat yang belum

lama lagi terjadi, c) khabar artinya berita.12 Sedangkan menurut istilah dan

disepakati jumhur muhaddisin adalah:

وأ ارههيرقت وأ لعف وا لوههق ملههسو هههيلع هللا ِىلص ِىبنلل فيضأ ام

اهوحن

ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa

perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.

Ta’rif di atas mengandung empat macam unsur, yakni perkataan,

perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad

yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada Nabi saja, tidak

termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada

tabi’in.

Lebih lanjut, dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan

penelusuran dan pencarian hadis dengan memfokuskan pada kitab Shahih

Muslim sebagai sumber primer, untuk selanjutnya dikaji secara lengkap

tentang sanad dan matannya. Untuk mendukung keakuratan penelitian penulis

(11)

juga akan mengadakan penelusuran terhadap hadis yang senada dalam kitab

yang lain.

3. Shalat jama’

Shalat jama’ yaitu mengabungkan antara shalat zuhur dan ashar atau

antara maghrib dan isya’ dalam sebuah perjalanan berjarak safar (89km).13

Maksudnya, dua buah shalat dari shalat lima waktu itu dikerjakan dalam

waktu saja. Misalnya: antara shalat zuhur dan ashar dikerjakan pada waktu

zuhur saja atau dikerjakan pada waktu ashar saja.

Penulis menganggap pengertian shalat jama’ diatas adalah pengertian

yang sangat sempit. Dalam artian yang lebih luas pengertian shalat jama’

adalah penggabungan shalat dalam satu waktu baik dilakukan sewaktu

bepergian ataupun yang lain, seperti: karena hujan, khauf, sakit dan lain

sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam agama yang relevan sepanjang

zaman. Sebagai salah satu contohnya seorang musafir mendapatkan perlakuan

istimewa dari Allah SWT dalam rangka melaksanakan shalatnya yaitu berupa

keringanan (rukhsah) dalam mengerjakan shalat, hakikatnya adalah nikmat

Tuhan atas manusia. Maka wajarlah jika dikerjakan dengan baik pemberian

Tuhan itu.

(12)

4. Takhrij

Takhrij menurut bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari suatu

tempat.14 Sedangkan menurut Mahmud at-Tahhan kata at-takhrij menurut

pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan

pada sesuatu yang satu”. Pengertian-pengertian yang popular dari takhrij

ialah: (1) al-istimbat (hal mengeluarkan); (2) at-tadrib (hal melatih atau hal

pembiasaan); (3) at-tarjih (hal memperhadapkan).15

Sedangkan menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadits

adalah sebagai berikut:16

1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan

para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu

dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.

2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan

oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang

susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para

gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerapkan siapa

periwayatnya dan para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan

sumber pengambilan.

14 M. Hasby Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Rizki Putra, 1980), hal. 194

(13)

3. Menunjukkan asal usul hadis dan mengemukakan sumber

pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para

mukharijnya langsung (yakni para periwayat juga sebagai

penghimpun bagi hadits yang mereka riwayatkan).

4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai

sumbernya, yakni kitab-kitab hadis yang didalamnya disertakan

metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing serta

diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.

5. Mewujudkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya

yang asli yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadis

itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk

kepentingan penelitian dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.

Dalam pada itu, takhrij dari segi istilah menurut Syahrin Harahap

adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadis dari kitab-kitab

hadis untuk menganalisis keadaan sanadnya, baik aspek kesinambungan mata

rantai perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan

diketahui tingkat validitas hadis.17

Pengertian takhrij yang dikehendaki penulis sama dengan pengertian

yang dikemukakan Syuhudi Ismail pada pengertian istilah yang nomer 5

dengan dikuatkan pengertian takhrij oleh Syahrin Harahap seperti yang

tertulis di atas.

(14)

Terkait dengan skripsi yang penulis tulis, penulis memfokuskan kajian

ma’aninya pada hadis riwayat Imam Muslim sebagai berikut:

رههيهز ّنههع اههعيمج املس ّنّب نوعو سنوي ّنّب دمحأ انثدح

لاهق ساهبع ّنههّبا ّنهع ريبهج ّنّب ديعس ّنع ريّبز وّبأ انثدح

ةههنيدملاّب اعيمج رصعلاو رهظلا .ام .ص هللا لوسر ِىلص

(ملسم هور) .رفس لو فوخ ريغ ِىف

Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan ‘Aun bin Salam, keduanya dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibn Abbas berkata (Ibn Abbas)” Rasulullah saw melaksanakan shalat dhuhur dan ashar secara jama’ di madinah (dalam kota) tidak dalam keadaan takut dan tidak sedang bepergian

يههّبأ ّنههع كههلام ِىههلع تأرههق لاههق ِىيحي ّنّب ِىيحي انثدح

ِىلههص لاههق ساههبع ّنههّبا ّنههع ريبههج ّنههّب ديعس ّنع ريّبزلا

اههعيمج رصعلاو رهظلا ملسو هيلع هللا ِىلص هللا لوسر

رفههسلو فوههخ رههيغ يف اعيمج ءاشعلاو بيرغملاو

هور)

( ملسم

18

“Diceritakan dari Yahya bin Yahya , (dia) berkata telah saya bacakan kepada Malik dari Abi Zubair dari Said bin Jubair dari Ibn Abbas, berkata bahwa Rasulullah saw melakukan shalat dhuhur dan ashar dengan jama’ , dan shalat magrib dan isya’ dengan jama’ tidak dalam keadaan takut dan tidak sedang bepergian “.

(15)

Pemilihan obyek kajian tersebut dilatar belakangi oleh keraguan

penulis terhadap hadis yang dibukukan oleh Muslim, apakah semua hadis

yang dibukukan oleh Muslim sudah pasti memiliki kualitas hadis yang shahih

sehingga kitab karangannya disebut Shahih Muslim. Oleh karena itu penulis

lebih memilih hadis riwayat Muslim.

Untuk memudahkan penelitian yang penulis lakukan terkait telaah

ma’ani, penulis sebelumnya melakukan takhrij hadis hadis diatas agar

keberadaan hadis tersebut dapat diketahui pada kitab lain selain kitab Shahih

Muslim. Hal itu nantinya akan memudahkan penulis dalam melakukan i’tibar

guna mengetahui ada tidaknya syahid dan muttabi’.

Pada akhirnya perlu penulis tegaskan terkait judul skripsi yang

penulis pilih yaitu Pemahaman Hadis tentang Diperbolehkannya Menjama’

Shalat dalam keadaan Muqim (Telaah Ma’anil Hadis dengan Pendekatan

Sosio-Historis) adalah upaya untuk mengetahui kualiyas hadis tetang shalat

jama’ dalam keadaan muqim. Setelah itu penulis mengkaji hal hal disekitar

hadis saat hadis tersebut muncul, misalnya keadaan Nabi, situasi politik,

kebiasaan yang berlaku (adat istiadat).

Selama ini pemahaman tentang shalat jama’ berdasar yang penulis

ketahui dikait kaitkan dengan keadaan bepergian dan ada hubungannya

dengan shalat qasar. Penulis mencoba menepis segala pemahaman yang telah

beredar di masyarakat tersebut dengan mengkaji lebih lanjut hadis tentang

(16)

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metodologi yang digunakan dapat dijabarkan

sebagai berikut:

a. Sumber Kajian

Sumber kajian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

dengan melakukan studi kepustakaan (library research) dengan memposisikan

kitab Shahih Muslim sebagai acuan atau sumber primer. Teknik dokumentasi

yakni teknik pengumpulan data dari hal-hal yang dibahas atau teori-teori yang

digunakan dalam perumusan data yang terkait dalam permasalahan yang akan

dibahas.19

b. Bahan primer

Bahan primer adalah bahan yang diambil dengan pengambilan data

secara langsung lewat tangan pertama. Dalam hal ini adalah kitab Imam

Muslim yang tergolong dalam Kutub At-Tis’ah dan kitab-kitab hadis lainnya.

c. Bahan sekunder

Bahan sekunder adalah bahan yang diambil guna menunjang bahan

primer, bahan-bahan antara lain Mu’jam Mufahras, Tahdzib al-Tahdzib dan

buku-buku penunjang lainnya tentunya yang masih berkaitan.20Disamping

19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 113-114

(17)

menggunakan cara manual, penulis juga menggunakan bantuan CD

kitab-kitab hadis untuk membantu mempermudah penulis dalam proses penelusuran

atau pelacakan sanad dan matan hadis. Adapun CD yang penulis maksud

adalah Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al Tis’ah.

d. Pendekatan Kajian

Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena

didalamnya terungkap berbagai tradisi yang berkembang di masa Rasulullah

saw. Tradisi tradisi yang ada pada masa kenabian tersebut mengacu pada

pribadi Nabi saw, sebagai utusan Allah swt. Dalam pendekatan ini mengacu

pada sosial masyarakat, tradisi, budaya, kebiasaan yang terjadi pada masa

Rasulullah saw.

1. Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah upaya memahami hadis nabi dengan

cara menyorotiya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada

perilaku itu.21 Pendekatan ini juga dapat diartikan sebagaimana

pendekatan agama melalui ilmu ilmu sosial, karena di dalam agama

banyak timbul permasalahan sosial.22 Melalui pendekatan sosial, hadis

Nabi dapat dipahami dengan mudah karena hadits Nabi berisi tentang

kehidupan sosial di jaman Nabi.

21 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), hal. 26

(18)

2. Historis

Pendekatan historis adalah pendekatan dalam memahami hadis

dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis

itu disampaikan Nabi saw.23 Atau bisa juga disebut pendekatan melalui

ilmu sejarah. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan

melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang

terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan ini, seseorang diajak

menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.

Pendekatan ini tergantung pada dua macam data, yaitu data primer

dan data sekunder.24 Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu

penulis secara langsung melakukan penelitian pada kitab aslinya yaitu

kitab Shahih Muslim. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber

sekunder yaitu penulis melakukan penelitian pada buku buku lain dengan

menggunakan hasil penelitian pada kitab pertama yang dijadikan

acuannya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang

memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi prioritas dalam

pengumpulan data.25

23 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), hal. 26

24 Akhmad Taufik, Weldan, M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam, (Malang : Bayumedia,2004), hal. 18

(19)

e. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1. Takhrij hadis, yakni penelusuran dan pencarian hadis pada berbagai kitab

sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang didalam sumber

itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang

bersangkutan.26

2. I’tibar sanad yakni menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis

tertentu yang hadis tersebut pada bagian sanad nya27 tampak hanya

seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad tersebut

akan diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian

sanad dari hadis yang dimaksud. Untuk itu nantinya dapat diketahui

seluruh jalur sanad yang diteliti akan dapat diketahui begitu pula nama

periwayat dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing

periwayat yang bersangkutan serta keadaan sanad yang diteliti

terdapat syahid28 dan muttabi29 atau tidak.30

26 Moh. Musta’in, Takhrij Hadis Kepemimpinan Wanita, (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001), hal. 23

27 Sanad atau thoriq ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad. Lihat Ibid.,hal. 24

28 Syahid yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat secara lafal atau makna sesuai dengan yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Lihat Syahrin Harahap, Metodologi…, hal. 37

29 Muttabi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, tapi pada rowi yang berada di tingkat bawahnya (tabi’ atau taba’ at-tabiin) terdapat perbedaan nama rawi pada masing-masing jalur. Lihat Ibid., hal.37

(20)

f. Metode Analisa Data

Adapun analisis yang digunakan, langkah-langkahnya sebagai

berikut:

1. Meneliti kualitas pribadi masing-masing perawi (periwayat hadis) baik

dari sisi keadilan maupun kedhabitannya,31 dan siqah tidaknya

seorang perawi. ‘Adil disini berkaitan dengan kualitas pribadi perawi

sedang dhabit berkaitan dengan kualitas intelektualnya. Dalam hal ini

penulis menggunakan kitab acuan: Jarh wa Ta’dil, Tahdzib

al-Tahdzib, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar Rijal.32

2. Meneliti persambungan sanad yaitu dengan meneliti lafal-lafal yang

dipergunakan oleh periwayat dalam menerima maupun meriwayatkan

hadis.

3. Meneliti syaz33 dan illat34 hadis, hal ini untuk mengetahui adanya

kejanggalan dan cacat yang terdapat dalam sebuah hadis.35

31 Dhabit ialah orang yang kuat ingatannya. Lihat Fatchur, Ikhtisar…, hal. 99 32 M. Syahrin Harahap, Metode Studi dan Penelitian…, hal. 37-38

33 Syaz ialah kejanggalan pada matan hadis. Hadis syaz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (siqah) menyalahi iwayat orang yang lebih rajih lantaran mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyak sanadnya. Lihat, Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal.234

34 Illat ialah sebab tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis, lihat M. Syuhudi Ismail,

(21)

g. Metode Pemahaman

1. Tekstual

Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka

pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak

menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka

melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Masa

berikutnya digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada

prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis.

Golongan yang memahami hadis secara tekstual adalah kelompok

yang bepegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat

pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih

dekat dengan kehidupan Rasulullah saw. dan persoalan-persoalan belum

begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab,

persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw.

Jadi pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis dari arti

yang tampak, secara lahiriyah tanpa mempedulikan hal hal disampingnya,

asbab al wurud, sosial budaya, adat istiadat.

2. Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar

(22)

kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi

yang ada hubungan dengan suatu kejadian.36 Kedua arti ini dapat digunakan

karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis.

Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya

sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam

menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga

berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan

dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus

dhabit37 dan siqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah

keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat.

Pemahaman hadis secara kontekstual yaitu dengan melihat kondisi dan

situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya.

Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis

yang dulunya dapat diamalkan (ma’mul bih) dapat berubah menjadi ghairu

ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari

pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi

saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat.

36 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 591

(23)

Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti

suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih.

Pada penulisan skripsi ini penulis menerapkan kedua metode yang ada

yaitu metode tekstual dam kontekstual guna mendapatkan pemahaman

yang lebih sempurna dalam memahami hadis Nabi.

G. Telaah Pustaka

Kajian keislaman mengenai shalat jama’ mungkin banyak kita jumpai

seperti halnya di pesantren, di sekolah ataupun dalam dialog keagamaan, tetapi

kebanyakan pembahasannya hanya pada ranah pengertian, mengetahui syarat

syaratnya, cara atau kaifiyah pengerjaannya, lafal niatnya. Dalam pada itu penulis

belum menemukan baik dalam bentuk buku-buku, artikel, dan jurnal yang khusus

membahas tentang hadis yang memperbolehkan menjama’ shalat dalam keadaan

muqim, dalam artian tidak dalam keadaan bepergian, takut, ataupun sedang

melaksanakan ibadah haji.

Dalam penelusuran yang dilakukan penulis, penulis menemukan buku

yang salah satu isinya mengangkat tema shalat jama’ yang dilakukan oleh kaum

Syi’ah imamiah. Buku itu berjudul “Meluruskan Penyimpangan Syi’ah

karangan. Musa Al Musawi. Dalam buku itu ditulis berbagai penyimpangan

penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah , termasuk di dalamnya praktek

(24)

Zuhur dan Ashar atau Magrib dan Isya’ ketika tidak sedang bepergian. Hal itu

sudah biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah. Anehnya, dalam teorinya, mayoritas

fuqaha Syi’ah seringkali menfatwakan lebih baiknya melaksanakan shalat pada

waktu waktu yang telah ditetapkan.38 Mengerjakan shalat pada masing masing

waktunya adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an Allah

berfirman:

هللاوههجري ناههّك ّنههمل هنههسح ةوههسا هههللا لوسر يف مكل ناّك دقل

اريثّك هللا رّك ذو رخلا امويلاو

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululloh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh”.(QS Al Ahzab 21)39

Musa al Musawi mengatakan belum menemukan alasan kaum Syi’ah

memperbolehkan menjama’ shalat tanpa alasan yang tepat. Apakah hal itu

muncul karena dorongan untuk mencari kebaikan? Ataukah itu perbuatan yang

direkayasa oleh orang orang yang bertujuan menjauhkan Syi’ah dari upaya

persatuan, yang kemudian didukung oleh fuqaha dan imam imam masjid, secara

sadar ataupun tidak?. Yang jelas Musawi hanya menghimbau para imam masjid

Syi’ah dan kaum Syi’ah umumnya agar melaksanakan shalat pada waktunya

masing masing. Hendaklah mereka menjadikan shalat lima waktu yang

dipraktekkan oleh Rasulullah sebagai pedoman mereka. Al-Musawi juga

(25)

menukilkan ucapan imam Ali ketika ia menyurati para gubernurnya untuk

menerangkan masalah shalat dan waktu waktunya.

ِىتههح رهههظلا ساههنلااّب اولههصف ، دههعّب اههمأ

ّنههم سمههشلاءيفت

اولههصو... ةيحءاههضيّب سمشلاورصعلا مهّب اولصو زنعلا ضّبرم

ّنههيح ءاشعلا مهّب اولصو ...مئاصلا رطفي ّنيح بيرغملا مهّب

لههجرلاو ةادههغلا مهههّب اولههصو لههيللا ثههلث ِىههلا قفشلا ِىراوتي

هبحاص هجو فرعي

Kemudian,shalatlah Zuhur bersama kaum muslimin sampai matahari hilang

panasnya; dan shalatlah Ashar ketika mtahari masih bersinar terang; dan shalatlah Magrib bersama mereka ketika orang berbuka puasa; dan shalatlah Isya’ ketika warna merah di langit senja mulai hilang sampai sepertiga malam; dan shalatlah subuh bersama mereka ketika seseorang telah dapat melihat wajah sahabatnya”.40

Lebih lanjut dalam penelitian ini, selain untuk mengetahui kualitas hadis

yang membolehkan shalat jama’ dalam keadaan mukim baik dari segi sanad

maupun matan, juga untuk mengetahui pemahaman tentang hadis tersebut guna

mengetahui implikasi dan relevansinya terhadap keberagaman umat Islam.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

(26)

Bab Pertama adalah Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode

Penelitian, Telaah Pustaka dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua adalah Pembahasan tentang Tinjauan Umum Tentang Shalat

yang terdiri dari Ta’rif Shalat, Pengertian Shalat Jama’, Macam macamnya Shalat

Jama’, Alasan Yang Membolehkan Shalat Jama’, Pendapat Ulama tentang Shalat

jama’, Dasar Hukum Mendirikan Shalat dan Waktu waktu Shalat.

Bab ketiga adalah Hadis Hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat

dalam keadaan muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari I’tibar, Kritik sanad,

Kritik matan.

Bab keempat adalah Pemaknaan Hadis hadits tentang diperbolehkannya

Menjama’ Shalat dalam keadaan Muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari

Analisis Kebahasaan, Analisis Sosio-Historis, Analisis kekinian, Implikasi dan

Relevansi hadis tentang shalat jama’ terhadap keberagaman agama Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan yang tercantum di dokumen pengadaaan/pelelangan umum; dan3. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan peninjauan lokasi kerja

Kegunaan dalam penelitian ini adalah untuk menambah khasanah keilmuan bagi mahasiswa tentang teknik komunikasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKUTU SELATAN SEKRETARIAT DAERAH. falan Raya Padang Paniang

35 Unit analisis dalam penelitian ini adalah scene dalam film Sang Pencerah yang menunjukkan bentuk-bentuk Islam Kejawen dan sesuai dengan kategori yang

ketika sisi keutuhan individu adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri, pendidikan jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui fisikal.. Pemahaman ini menunjukkan

13 Menelaah nola dinas tentang hasil pelelan8an dan m€ndlsposisl kepada Sekretaris untuk menyusun surat pemberitahu,n hasll

Stuart Hall, Dorothy hobson,Andrew Lowe.2011. Budaya,Media dan Bahasa.. Analisis Teks Media :Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana ,Analisis Semiotic dan Analisis

[r]